Cafe

Dewa berjalan gusar, setelah turun dari mobil yang ia parkir di sembarang tempat baru saja. Pikirannya fokus kepada Feyre yang berada di dalam sana. Entah gadis itu sudah melakukan hal apa, sampai-sampai ia harus mendapatkan sebuah tamparan—menurut Abian di percakapan Whatsapp mereka tadi—seperti itu.

Dewa berjalan masuk dengan cepat, melangkahkan kaki dengan lebar untuk dapat segera sampai di tempat kejadian. Melihat Abian yang tengah berdiri di ambang pintu, kaki Dewa melangkah dengan semakin cepat.

“Di mana dia?”

“Tuh di arah jam 11.” Pandangan keduanya mengarah ke sana, ke tempat banyak orang mengerumuni seseorang.

“Saya ga mau tau ya! Pokoknya dia harus di pecat dari sini.” Suara wanita paruh baya—yang Abian maksud telah menampar Feyre tadi—masuk ke telinga Dewa dengan segera. Matanya menangkap sosok gadis yang ia cari, sedang menunduk, dengan tubuh yang sudah basah terkena air atau mungkin minuman lain, karena warna dan bentuknya yang menyerupai jus alpukat berada di atas rambutnya.

Perasaan Dewa tiba-tiba menjadi penuh dengan amarah, melihat seseorang memperlakukan Feyre seperti itu, meskipun ia sendiri tidak tahu separah apa kesalahan yang Feyre buat sampai ia diperlakukan seperti itu.

“Panggil manajernya kesini, cepat, saya mau ngom—Eh, siapa kamu?” tanya ibu tersebut saat melihat Dewa dengan tiba-tiba memberikan jaketnya kepada Feyre. Melewati orang-orang yang mengerumuninya sejak tadi, tanpa berani membantu sedikitpun.

“Lo gak papa?” tanya Dewa langsung, tidak memedulikan ibu-ibu yang sedang menatapnya. Feyre mengangguk pelan. Tubuhnya bergetar, yang Dewa yakini, gadis ini pasti sedang merasa ketakutan, dan malu, tentu saja. “Gue anterin balik sekarang ya.” Kalimat Dewa lebih seperti ajakan, bukan pertanyaan. Feyre lantas segera menggeleng.

“Ga usah .. kak ... gue masih kerja,” balas Feyre sangat pelan dan sedikit bergetar. Dewa tahu itu, Feyre pasti akan menolaknya. Sebenarnya Dewa cukup dibuat kebingungan dengan gadis ini, ia bukan tipe orang yang dengan mudah diam saja saat ada orang lain memperlakukannya dengan tidak baik, namun entah kenapa, hari ini seakan dia hanya menerima apapun itu tanpa penolakan sedikitpun.

“Hey anak muda! Kamu denger gak sih saya ngomong apa?” Dewa akhirnya menoleh, mulai merasa muak dengan wanita paruh baya di depannya yang berlagak sangat sombong dan arogan.

“Apa yang dia lakukan sampai ibu merasa harus untuk melakukan hal seperti ini?”

“Dia gak sopan sama saya! Dasar pelayan gak tahu diri.” Feyre masih menunduk, tidak mampu untuk mendongak sedikitpun walau hanya satu detik.

“Di mana letak tidak sopannya, bu? Coba ibu jelaskan dengan baik agar kami semua bisa mengerti.” Dewa kembali bertanya. Sungguh sebenarnya ia tidak ingin memperbesar masalah ini, namun, melihat kembali Feyre yang berada di kondisi seperti itu, membuat hati Dewa menjadi semakin tidak karuan.

“Saya tadi minta refill minum tapi dia gak mau. Terus saya minta ganti jus saya yang udah gak dingin biar dingin lagi, tapi dia malah sok nasehatin saya. Saya ini Food Vlogger, saya bisa kasih rating dan ulasan jelek di web kalo saya mau. Kalian mau restoran terkenal kaya gini dapet ulasan jelek hah?” Dewa menghembuskan nafas kasar, sungguh ia tidak menyangka hanya karena masalah sepele yang sudah jelas kesalahan wanita tersebut, Feyre harus menerima hal yang sangat tidak mengenakkan ini.

“Ya sudah silahkan saja, kalau berani. Saya juga bisa membuat ibu tidak bisa menulis ulasan lagi setelah ini.” Dewa tersenyum miring. Kening wanita paruh baya itu berkerut, ia tidak paham dengan ucapan Dewa baru saja. Memangnya siapa laki-laki itu sehingga ikut campur dengan urusannya dan mengancam membuat ia tidak bisa menulis ulasan lagi?

“Memangnya kamu siapa sih, dateng-dateng ikut campur urusan orang? Panggil saja manajernya kesini, saya mau ngomong sama dia, bukan sama kamu.”

Semua orang di sana terdiam, tidak ada yang berani berbicara untuk menanggapi wanita itu. Sekalipun Abian yang sedari tadi berdiri di sana, mengamati apa yang akan Dewa lakukan untuk mengatasi kekacauan ini.

“Saya pemilik tempat ini.” Feyre mendongak seketika, tubuhnya membeku sesaat setelah mendengar ucapan Dewa. Ia benar-benar tidak mengetahui bahwa tempat terkenal ini adalah milik seseorang yang sangat ia kenal, Dewa. Sungguh, ia hanya berpikir bahwa selama ini Dewa adalah pekerja kantoran biasa seperti orang lain pada umumnya, melupakan sebuah fakta bahwa Dewa adalah keturunan pemilik konsultan pertambangan terkenal yang memiliki banyak usaha lain selain usaha tersebut.

“HAHAHA, bagus deh kalo gitu. Saya kasih tau ya, pegawai kamu ini mending di pecat saja, daripada membuat orang seperti saya marah suatu saat kalo kesini lagi.”

Dewa tersenyum. “Oh ibu mau datang lagi nanti?”

“Tentu saja, restoran ini terkenal dan makanannya enak. Hanya PEGAWAI RENDAHANNYA saja yang membuat suasana menjadi tidak nyaman,” kata wanita itu lagi dengan menekan kata pegawai rendahannya' yang dapat membuat emosi Dewa semakin terpancing.

Senyum Dewa semakin lebar, ia memajukan badannya untuk dapat mendekat ke arah wanita tersebut, dan kemudian berbisik pelan. “Saya pastikan seluruh pegawai saya tidak menerima orang seperti Anda lagi di sini. Satu lagi, saya punya CCTV yang bisa dengan segera mengungkap tingkah laku Anda terhadap pacar saya—yang Anda sebut dengan pegawai rendahan itu—kepada media, dan dengan sekejap, karir Anda di dunia Food Vlogger akan terancam. Sekarang pilihan Anda ada dua, memilih untuk meneruskan ini dan membuat karir Anda hancur, atau memilih pergi dengan tenang dan tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di restoran ini? Your choice, saya sudah mulai habis kesabaran.”

Tanpa menunggu lagi, wanita itu berbalik untuk mengambil tas dan barang-barangnya, kemudian pergi meninggalkan restoran ini dengan amarah yang tersisa.

Dewa mengisyaratkan kepada semua orang untuk kembali pada aktivitasnya masing-masing. Meninggalkan Feyre dan Dewa berdua di ujung ruangan.

“Ga usah nolak lagi, gue anterin lo pulang pokoknya, sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban, Dewa menggandeng tangan Feyre yang masih menunduk untuk dapat barjalan mengikutinya. Di dalam mobil, mereka berdua hanya diam tanpa ada satupun yang berbicara, hanya ada suara dari radio Prambors yang menyelamatkan mereka dari canggungnya keadaan.

“Kak.” Feyre akhirnya mengeluarkan suara, setelah kurang lebih lima menit mereka berada di dalam mobil dalam keheningan yang dalam.

“Gue ga bakal nanya apapun.”

“Makasih.”

Feyre bersyukur, amat sangat bersyukur, karena saat ini Dewa tidak menghujaninya berbagai pertanyaan yang sudah pasti ada di dalam kepala laki-laki itu. Pasalnya, beberapa waktu yang lalu Feyre membuat janji kepada Dewa untuk tidak menambah kerja part- timenya karena harus fokus dengan kuliahnya.

Selain itu, Dewa juga tidak ingin melihat Feyre memforsir dirinya dengan sekuat tenaga untuk kuliah dan bekerja di waktu yang bersamaan. Namun, hari ini Feyre mengingkarinya, bahkan ia tidak tahu bahwa tempat yang ia datangi untuk melaksanakan kerja part-time adalah tempat milik laki-laki itu.

Gadis itu melangkah keluar dengan kondisi yang sudah cukup tenang, dari sebelumnya. Jaket Dewa masih tersampir di bahunya untuk menutupi pakaian putihnya yang basah terkena tumpahan minuman tadi.

“Maaf ya, Fey.”

Perkataan maaf dari Dewa membuat Feyre bingung. Feyre merasa laki-laki itu tidak berbuat salah sedikitpun kepadanya, justru ia yang harusnya berterima kasih karena berkat laki-laki itu, ia terbebas dari wanita aneh di restoran tadi.

“Maaf buat?” Dewa menatap manik mata Feyre lekat, ada perasaan tulus di dalam mata Dewa yang dapat Feyre rasakan. Gadis itu tahu, bahwa Dewa benar-benar sedang meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Namun, yang gadis itu tidak pahami adalah, untuk apa?

“Maaf karena gue dateng terlambat. Maaf karena gue gak bisa lindungin lo dari mereka.”

Jika waktu bisa berputar kembali, mungkin Dewa akan memutarnya untuk mencegah semua hal ini terjadi.

Terlebih lagi, mencegah semua hal buruk yang harus menimpa seseorang yang sangat ia khawatirkan saat ini. Dan ketika Dewa selesai berbicara, Feyre tersenyum untuk membalasnya.

“Makasih ya, kak. Makasih, karena lo udah hadir di dunia.”

Gadis itu masih menatap manik mata Dewa lekat, begitupun sebaliknya. Senyuman yang ada di wajah Feyre mulai menular ke wajah Dewa, hingga tak sadar, laki-laki itu kini juga ikut tersenyum bersamanya.

“Makasih juga, Fey, udah hadir di dunia.”

Bagi mereka yang tak pernah merasakannya, sungguh sangat bahagia ketika pertama kali mendengar kalimat tersebut. Baginya, perasaan sayang dan cinta bukan selalu tentang 'aku mencintaimu' atau 'aku menyayangimu', tapi lebih simpel dari itu. Ini tentang mereka, yang selalu bersyukur saat keduanya sama-sama hadir di dunia. Siapapun yang ada di sana, pasti bisa merasakannya.

Kedua anak adam tersebut akhirnya telah saling jatuh cinta.