Dating or Not You're Still Mine.

Terangnya lampu kota malam ini menjadi teman perjalanan panjang kedua anak adam itu, begitu juga bising kendaraan yang saling berebut untuk menyita perhatian dari kemacetan yang tak mampu mereka hindarkan. Bandung dan hari minggu memang selalu menjadi perpaduan yang tak terkalahkan, apa lagi di waktu-waktu semua orang ingin memanjakan mata dan pikiran, kala jenuh datang pada sunyinya kehidupan.

Mereka berjalan beriringan, menjadi penikmat bising yang datang dari puluhan kendaraan di jalanan. “Bandung lagi berisik, ya?” ucap Abian dengan tawa kecil khas miliknya.

Sudah lebih dari lima belas menit mereka berjalan, namun belum ada satupun kata yang dilemparkan untuk dapat memecah kebisingan sekaligus keheningan yang hadir di antaranya. Kebisingan yang berasal dari sekitarnya serta keheningan yang berasal dari keduanya. Mereka sama-sama bingung, atas apa yang harus mereka ucapkan saat berada di kondisi seperti sekarang.

Cica mengangguk untuk membalas ucapan Abian, menyadari bahwa jantungnya ikut berisik karena genggaman tangan laki-laki itu tidak dilepaskan sejak pertama kali mereka turun ke jalan. Bukannya Cica tidak ingin bersuara, namun isi kepalanya mendadak hilang, bahkan bising di jalanan pun tak mampu meredam bising kepalanya saat ini.

Abian berhenti berjalan, kemudian berbalik menghadap Cica yang tampak mulai tidak nyaman. Jika boleh jujur, jantung Abian juga tak kalah berisik dari Cica. Bahkan jika gadis di sebelahnya dapat menyadari, Abian tak berhenti mengatur nafasnya sejak tadi. Tanda jika jantungnya juga dalam kondisi yang tidak aman.

Kalo kaya gini mah suara bedug maghrib juga kalah sama suara jantung gue. Batin Abian pasrah ketika merasakan jantungnya semakin berpacu hanya karena melihat Cica yang berdiri di sampingnya.

“Lo nggak nyaman? Terlalu berisik ya?”

Sebenarnya bukan tidak nyaman, justru Cica merasa sangat nyaman dengan posisinya sekarang, berjalan di sebelah kiri laki-laki itu dengan tangan yang digenggam erat olehnya. Hangatnya tangan Abian bahkan bisa tersalurkan hingga ke tangannya, dan lebih jauh lagi ternyata hingga ke dadanya. “Nyaman kok, cuma ... ya agak berisik aja emang.”

Gadis itu terkekeh kecil, tidak menyalahkan Abian yang mengajaknya pergi malam ini karena itu semua juga keinginannya. Justru ia berterima kasih kepada laki-laki itu karena telah membantunya memenuhi keinginan yang sejak lama ia pendam. Tapi di sisi lain ia memang merasa bahwa jalanan terlalu berisik untuknya, ditambah beberapa orang yang mulai menyadari siapa dirinya meskipun separuh wajahnya sudah tertutup oleh masker dan topi hitam andalannya.

“Mau balik aja nggak? Kayanya jalan-jalan malem di hari minggu bukan pilihan yang bagus.”

Patut diakui jika ucapan Abian memang benar adanya, hari minggu bukanlah hari yang baik untuk mereka yang ingin menikmati Kota Bandung di malam hari dengan tenang. Mereka justru akan bertemu dengan banyaknya kendaraan bahkan juga orang-orang yang sedang berkencan di pinggir jalan.

“Balik tuh beneran balik? Apa gimana?” Cica memastikan.

Dalam hati Cica tidak ingin menyudahi hari ini dengan cepat, rasanya ia sedang tenggelam dalam buaian harapan yang hampir menyatu dengan kenyataan.

Harinya di mulai dengan sempurna, makan bubur di pinggir jalan bersama Abian, kemudian datang ke pernikahan teman Abian dan disambut seluruh temannya dengan hangat dan penuh perhatian, kemudian lanjut untuk berburu makanan enak di Bandung yang hampir tidak bisa ditemukan, dan sekarang mereka berjalan di trotoar dengan bergandengan tangan.

Sungguh, siapa yang tidak bahagia jika dihadapkan dengan segala hal baik yang sempat ia impikan?

“Emang lo mau ke mana?” Abian bertanya dengan masih memandang Cica. “Awas, itu ada orang lewat.” Cica menarik Abian untuk maju satu langkah karena mendadak ada segerombolan anak perempuan yang tampak asyik bercanda dan tidak memperhatikan jalan.

Mereka meminta maaf ketika menyadari salah satu di antaranya menyenggol Abian hingga laki-laki itu hampir menabrak Cica jika tidak menahan tubuhnya dengan cepat. “Maaf-maaf kak,” katanya. Mata mereka perlahan mulai menelusuri Cica dan Abian yang hanya mengangguk pelan sebagai balasan.

“Eh itu Aruna Nafisa bukan sih?”

“Iya, itu kayanya Cica!!”

“Sama cowoknya? Apa sama kakaknya?”

Gadis-gadis itu saling berbisik, namun suaranya masih bisa dijangkau oleh telinga Cica dan Abian yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sepertinya gerombolan gadis muda itu sudah menyadari bahwa sosok di depan laki-laki yang mereka tabrak baru saja adalah Aruna Nafisa. Penyanyi terkenal yang lagunya sering mereka dengarkan.

“Ca?” bisik Abian tiba-tiba. Tubuhnya kini mulai menutupi Cica dengan sempurna hingga beberapa gadis itu tidak dapat melihat Cica lagi karena tertutup oleh tubuh besar milik Abian. Sepertinya laki-laki tengah merencanakan suatu pelarian karena matanya mengisyaratkan kepada Cica untuk mengerti kode yang akan ia berikan setelah ini. “Kenapa?” bisik Cica saat dirinya tidak menangkap kode yang Abian berikan.

“Kalo gue bilang lari, kita lari balik ke McD ya?” lanjut Abian dengan berbisik.

“HAH?”

“Lari.” Belum sempat Cica mencerna ucapan laki-laki itu, tangannya ditarik paksa dan tubuhnya ikut terseret secara tiba-tiba, seketika ia harus menyesuaikan langkah lebar yang Abian lakukan.

Mereka berdua berlari, persis seperti seorang anak kecil yang kabur akibat ketahuan menghilangkan sebuah Tupperware berharga milik ibunya. Tentu saja, siapa yang berani menghadapi kemarahan ibu-ibu yang Tupperware-nya menghilang? Jelas lebih menyeramkan daripada menghadapi singa yang kabur dari hutan.

Terdengar sayup-sayup beberapa gadis itu berteriak. “Tuh kan bener!! Itu Aruna Nafisa woy!”

“Harusnya tadi lo cepet ngomong, kan kita bisa foto bareng kalo tau!”

Abian dan Cica hanya tertawa, mereka sudah sering menghadapi beberapa orang yang tiba-tiba mengenalinya ketika berada di luar bersama. Sayangnya, untuk saat ini mereka harus kabur, tidak seperti biasanya yang dengan senang hati memberikan oleh-oleh foto bersama secara cuma-cuma. Mereka sedang dalam hubungan yang tidak ingin dipublikasikan, tentu mereka harus waspada jika ada orang yang mengenali mereka tiba-tiba seperti baru saja.

“Capek?” Abian bertanya saat keduanya telah sampai di pelataran parkir McD Simpang Dago, tempat di mana mereka meletakkan mobil yang mereka bawa sebelum berjalan menyusuri Jalan Ir H Juanda. “Lumayan.”

Nafas cepat milik Cica dapat menjelaskan dengan jelas bagaimana kondisi gadis itu sekarang. Ia itu tersenyum, senang dengan adegan kejar-kejaran yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena gerombolan gadis tadi pun tidak sampai hati untuk mengejar mereka. Untuk apa?

Padahal sebenarnya adegan berlari-larian tadi hanya akal-akalan Abian untuk membuat suasana lebih terasa seperti ada di dalam drama Korea yang sering Cica ceritakan.

Lupakan, Abian memang sering berbuat hal gila.

Begitu memasuki mobil, hal pertama yang laki-laki itu lakukan adalah menyalakan AC agar panas yang menjalar dalam tubuh mereka setelah berlari-larian dapat segera sirna. “Jadi mau motoran abis ini nggak?” ucap Abian masih dengan nafas yang terengah-engah.

Cica tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk antusias. “Jadi plisss!”

Abian tertawa pelan, menyadari Cica masih setia dengan energi yang penuh walaupun peluh perlahan mulai turun dari pelipisnya. “Okey! Tapi bentar, nafas dulu ya.”

Gadis itu mengangguk, toh tidak buru-buru juga.

Abian kini tampak bingung, berusaha mengobrak-abrik bagian jok belakang mobilnya akibat mencari sesuatu yang saat ini ia butuhkan. “Nyari apa?”

“Tissu,” jawab Abian cepat dengan tangan yang sudah memegang sekotak tissu mobil dari belakang joknya dan kembali pada posisinya semula. Ia mengambil beberapa helai tissu itu, kemudian menghadap Cica yang kini ikut menatapnya. “Kenapa liatin gue?”

Abian menggeleng pelan, tidak lupa dengan menyuguhkan bibir yang melengkung ke atas tanda bahwa ia sedang bahagia. “Nih ambil, apa mau gue yang ngelapin ke lo biar romantis gitu?” Matanya menunjuk tissu yang tadi telah ia tarik dari wadahnya. Menyunggingkan senyum miring karena berhasil menggoda gadis di depannya hingga ia salah tingkah hanya karena ditatapnya.

“Nggak lah, gue bisa ngelap sendiri kali. Dasar manusia sinting.” Cica menyahut tissu yang Abian berikan, kemudian mengelap peluhnya sendiri dengan cepat.

Kekehan kecil laki-laki itu berhasil membuat rona merah pada wajah Cica semakin ketara. Bukan lagi karena hawa panas yang ada pada tubuhnya setelah berlari-larian, namun hawa panas karena tatapan yang saat ini sedang Abian berikan.

“Liatin gue-nya biasa aja kali, gue tahu kalo gue cakep.” Cica menatap wajahnya pada kaca mobil, kemudian memutar tubuhnya untuk menghadap jendela, mencoba mengalihkan padangan Abian dari wajahnya yang sudah merah sejak tadi. “Lo kalo salting lucu dah.” Abian terkekeh gemas.

Permisi, bisa nggak kalian pergi dulu dari sini? Hehehe, maaf saya jomblo.

Oke, kembali kepada dua sejoli yang sedang di mabuk asmara itu lagi. Cica mungkin sekarang sedang berperang, berusaha mati-matian untuk menahan senyumnya agar tidak merekah seperti bunga di musim semi setelah penantian panjang melalui musim dingin. “Udahan belum nafasnya? Bisa lanjut sekarang aja nggak biar lo nggak liatin gue terus?” ucap Cica masih dengan membelakangi Abian.

Meskipun tidak melihatnya secara langsung, pantulan wajah Abian di kaca mobil yang terkena lampu membuat Cica bisa melihat raut wajah miring laki-laki itu.

Abian semakin tertawa. Ingin rasanya ia menggigit Cica saking gemasnya. Gadis itu sekarang tengah duduk dengan kedua kaki yang terangkat, meringkuk menghadap kaca sembari sesekali melirik Abian dengan tatapan yang seolah mengintimidasi. Namun bukannya takut, Abian justru merasa gadis itu sangat lucu.

“Biaaaann!” Cica sepertinya sudah tidak tahan dengan kelakuan Abian. “Bian di sini.”

Kebiasaan Abian ketika Cica memanggil namanya. Sepertinya mulai sekarang hobi Abian yang baru adalah menggoda Cica. “Buruaaan atau gue turun sekarang?” Cica mengancam. Tahu jika Abian tidak akan membiarkan ia pergi dari sana dan lebih memilih untuk menurutinya.

“Iya-iya maaf, ini gue jalan sekarang.”

...

Begitu sampai di pelataran parkir rumah itu, Abian dengan segera melepaskan sabuk pengamannya juga milik Cica secara tiba-tiba, hingga gadis itu terkejut seketika.

Jangan kaget, tangan Abian memang terkadang jahil seperti sekarang.

“Udah sampe nih, nggak mau turun?” Cica menoleh menghadap kaca, mengamati rumah yang lumayan besar itu dengan mata yang kebingungan. “Ini di mana?”

Ah benar, Abian lupa belum memberitahu Cica jika ia tidak memiliki motor dan harus meminjam kepada seseorang jika ingin mengajaknya berkeliling Bandung dengan motor. Bukannya tidak punya, hanya saja motor miliknya telah dijual oleh papanya karena mengira Abian tidak akan pernah menaiki motor itu lagi. Tidak salah sih, mungkin jika Cica tidak menginginkan hal ini juga Abian mungkin tidak akan memberanikan dirinya untuk mengendarai kendaraan roda dua itu lagi. Trauma yang dimilikinya cukup berat untuk dilawan, tapi demi gadis itu, Abian rela untuk melawan ketakutan yang ia rasakan.

“Rumahnya Ezra, adiknya temen gue yang pernah gue ceritain, inget?” Cica mengangguk pelan, kepalanya masih mengingat dengan jelas nama sosok laki-laki yang sering Abian sebut dengan sebutan 'adik' itu. “Terus kenapa kita ke sini?”

“Ambil motor.” Abian membuka pintu mobilnya ketika melihat sosok laki-laki jangkung tengah berdiri di depan pintu rumahnya, melambaikan tangan kepada Abian dan mengisyaratkan bahwa apa yang ia cari telah disiapkan.

Cica keluar dari mobil dan segera mengikuti langkah Abian dengan lebar, matanya sesekali menoleh ke arah taman bunga anyelir putih yang terawat dengan sempurna di halaman rumahnya.

“Keren banget ada taman anyelir sebagus ini di sini.” Cica berbisik kepada dirinya sendiri, namun karena jarak langkah Abian yang terlalu dekat dengannya, membuat suara itu masih dapat diterima oleh telinganya. “Itu hadiah dari Dewa.”

Mendengar suara Abian di depannya, Cica mendongak dengan cepat. Gadis itu bingung dengan ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Abian. “Maksudnya?”

Abian mendesah penuh sesal.

Banyak hal yang sebenarnya ingin ia ceritakan kepada Cica, namun terkadang masih terasa berat bagi laki-laki itu untuk mengingatnya. Hingga yang bisa ia lakukan adalah mencoba perlahan-lahan untuk keluar dari zona hitamnya, mencoba sedikit demi sedikit kembali pada kehidupan normal miliknya, ya setidaknya upaya yang telah berhasil ia lakukan adalah seperti sekarang. Untuk bercerita secara langsung? Ia yakin jiwanya belum siap.

“Ini boleh gue bawa kan?” tanya Abian kepada Ezra, sengaja tidak menjawab pertanyaan Cica yang sempat ia sesalkan karena mulutnya yang tidak sengaja memancing pikiran gadis itu. Beruntung Cica tidak mengambil pusing dan lekas berpaling dari sana. “Bawa aja, mobil lo di sini kan?”

“Yoi. Mobil lo ke mana?” Abian menoleh ke kanan dan kiri, mencari mobil putih yang dihadiahkan oleh Om Wira kepada Ezra beberapa tahun yang lalu. “Gue titipin temen gue.”

“Eh by the way, kenalin, Zra, ini Cica, gue yakin lo pasti kenal.”

Ezra tertawa pelan, menyetujui ucapan Abian. Lagi pula siapa sih yang tidak mengenalnya? Selain Abian waktu itu tentu saja.

“Halo, Ezra?” Cica mengulurkan tangan ketika Abian selesai memperkenalkan. “Halo, kak. Pacarnya kak Bian, ya?” balas Ezra dengan tawa yang sekilas terselip dalam ucapannya. Tangannya terulur untuk membalas jabatan tangan dari Cica.

Gadis itu segera menoleh kepada Abian, bingung sekaligus berusaha mencari jawaban atas apa yang ditanyakan oleh Ezra kepadanya . “Iya aja biar cepet,” bisik Abian kepada Cica.

“Iya, hehehe.” Cica juga bingung mengapa ia menuruti perkataan Abian?

Setelah memberikan kunci motor kepada laki-laki itu, Ezra segera masuk kembali ke dalam rumah dan melanjutkan kegiatannya untuk mengerjakan tugas yang sempat tertunda beberapa menit sebelumnya. Sedangkan kedua anak adam itu masih sibuk bersiap-siap untuk mengendarai motor yang ada di hadapannya.

“Bisa masang nggak?” Abian bertanya kepada Cica ketika melihat gadis itu masih sibuk mengoak-atik helm yang sejak tadi tidak bisa terbuka talinya. “Bisa, tapi ini talinya susah dibuka,” balas Cica.

Tangan Abian terulur untuk mengambil helm itu dari tangan Cica, kemudian dengan sekali pergerakan dapat membukanya. “Lah kok bisa,” ucap Cica tidak terima. Ia sudah bersusah payah sejak tadi mengapa tidak bisa terbuka, namun ketika Abian yang membuka justru dengan segera dapat terbuka.

Hampir saja Cica mengambil helm yang ada di tangan Abian sebelum laki-laki itu dengan segera menginstruksikan Cica untuk menguncir rambutnya ke belakang. “Rambut lo kuncir dulu, Ca. Biar nggak kena angin.”

Gadis itu menurut, mengambil kuncir rambut yang ada di tas kecilnya kemudian menguncir rambutnya dengan satu gerakan cepat. Namun lagi-lagi ketika Cica hendak mengambil helm itu, laki-laki itu menjauhkan helmnya dari Cica, membuat gadis itu bingung dengan kelakuan Abian.

Tanpa diduga, Abian justru memasangkan helm itu kepada Cica, membenahi rambut-rambut gadis itu yang berantakan, dan mengunci tali helmnya dengan sempurna.

Cica terdiam, sudah tidak bisa kaget dengan apa yang selalu dilakukan Abian kepadanya. Melihat Abian yang terlihat santai memasangkan helm—sedangkan Cica harus bersusah payah menahan jantungnya agar tidak meledak—seolah laki-laki itu telah ribuan kali melakukan itu kepada para gadis, membuat perasaan Cica merasa terbakar tiba-tiba. “Lo sering begini ya?”

Abian dapat melihat raut cemburu pada wajah Cica yang berada di depannya, gadis itu mendongak, menghadap Abian yang jauh lebih tinggi darinya. Kekehan kecilnya dapat terdengar jelas oleh gadis itu, sedangkan tanpa menjawab, tangannya menarik resleting jaket itu hingga menutupi seluruh dada dan perut Cica. Berusaha meminimalisir udara yang akan mengenai tubuh gadis itu saat berkendara nanti. Usai melakukannya, Abian menyejajarkan wajahnya pada wajah Cica, memegang kedua pundak gadis itu, dan tersenyum miring kepadanya.

“No, you're my first.”

Setelahnya Abian berbalik, memasang helm full face miliknya dan menaiki motor itu, kemudian memundurkannya hingga dapat mencapai gerbang, di susul oleh Cica yang berjalan mendekat dengan senyum kecil di wajahnya setelah mendengar ucapan dari Abian.

Mungkin jika diberi kesempatan untuk menyimpan satu hari yang bisa ia ulang sebanyak apapun di dunia, mungkin Cica akan memilih hari ini. Hari di mana ia memulai kegiatannya bersama Abian dari pagi menjelang pagi lagi seperti sekarang.

Cica melirik Abian yang sudah duduk manis di atas motornya, kemudian ketika dirinya hendak menurunkan pijakan motor, tangan Abian lebih dulu menurunkannya untuk Cica. “Yuk?” tangannya terulur untuk membantu Cica agar ia bisa naik ke atas motor besar itu dengan mudah.

Gadis itu menarik nafas panjang, sepertinya ia tidak akan diberikan kesempatan untuk melakukan apapun ketika Abian ada bersamanya. Segala hal sudah dilakukan oleh laki-laki itu, bahkan tanpa Cica meminta.

Suara motor mulai menjadi teman bagi malam yang sunyi ini, mengisi ruang untuk bersanding bersama bunyi jangkrik yang sudah terdengar sejak tadi. “Pegangan, Ca.” Abian mengingatkan ketika Cica sudah duduk di atas motornya.

“HAHH?!!” Sayangnya suara motor itu mengalahkan suara Abian, hingga motor itu melaju menembus jalanan Kota Bandung yang cukup sepi, Cica masih tidak paham dengan ucapan Abian dan tidak berpegangan.

Mereka berkeliling kota, menikmati indahnya malam di Kota Bandung dengan mengendarai sepeda motor, sesekali melaju pelan ketika melihat ada tempat yang menarik perhatian mereka. Menyadari gadis itu tidak berpegangan kepadanya, Abian melepaskan satu tangannya dari setang dan menarik tangan Cica yang diletakkan di atas pahanya untuk dapat melingkar ke tubuh Abian.

Awalnya gadis itu tidak merespon, kemudian memahami apa yang Abian lakukan, dengan segera Cica sadar dan lekas melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Abian. Memotong jarak di antara mereka dengan menempelkan tubuhnya pada tubuh Abian yang hangat, serta meletakkan dagunya pada pundak Abian. Sedangkan laki-laki itu memundurkan duduknya sedikit agar tubuhnya bisa menempel dengan sempurna pada tubuh Cica.

“Geli nggak?” tanya Cica dengan berteriak ketika meletakkan dagunya pada pundak Abian, takut jika laki-laki itu merasa tidak nyaman, dan berharap Abian masih bisa mendengar ucapannya karena sejak tadi mereka tidak bisa saling berbicara karena tidak mendengar apapun yang saling mereka ucapkan. Laki-laki itu menggeleng, membuat Cica tersenyum dan mengeratkan pelukannya pada tubuh Abian.

Nyaman, itu yang Cica rasakan.

Berada di posisi seperti ini, membuat Cica merasa jantungnya seakan dipompa melebihi biasanya. Aroma tubuh Abian yang maskulin bercampur udara malam yang segar pun dapat menjadi obat penenang instan untuknya. Bahkan jika Cica terpejam sebentar saja, ia akan bisa benar-benar tertidur karena merasa amat sangat nyaman untuk memeluk Abian.

Sudah hampir satu jam mereka berdua berkeliling Kota Bandung dalam tenang, sesekali tangan Abian terulur untuk mengusap punggung tangan Cica yang melingkar di tubuhnya, merasakan setiap desiran halus serta kupu-kupu yang menggelitik hingga ke dalam perutnya.

Mengingat hari sudah mulai malam dan tidak ingin berlama-lama di jalanan, Abian membelokkan motornya untuk kembali ke rumah Ezra, mengembalikan motor itu sekaligus mengambil mobilnya yang ia titipkan di sana. “Cepet banget?” tanya Ezra ketika melihat Abian yang telah sampai di rumah kembali hanya dalam waktu satu jam.

“Iya, takut ibu negara masuk angin.”

Bohong, sebenarnya Abian masih takut jika berlama-lama di atas motor. Apalagi dengan Cica yang ada bersamanya. Setidaknya ia tidak akan menaiki kendaraan itu lagi setelah ini, mungkin dalam wkatu enam bulan kedepan, atau lebih, ia tidak tahu.

..

Cica membuka pintu apartemennya, disusul oleh Abian yang ikut masuk bersamanya. Malam ini, mungkin akan menjadi malam terakhir mereka bersama sebelum laki-laki itu kembali ke Jerman untuk melanjutkan studinya. Besok malam Abian sudah harus persiapan untuk kembali ke Jerman, maka dari itu, Cica dan Abian memutuskan untuk tinggal lebih lama sebelum setelah ini harus dipisahkan.

Abian melemparkan tubuhnya ke sofa dengan cepat, seolah sudah akrab dengan apa yang ia lakukan di apartemen Cica. Sedangkan gadis itu masuk ke dalam kamar untuk segera membersihkan wajahnya setelah seharian tidak dibersihkan. Cica keluar membawa sebuah pouch yang berisi banyak skincare miliknya, kemudian duduk di sebelah Abian yang tampak telah memejamkan mata.

Sepertinya laki-laki itu kelelahan.

Tangan Cica mulai bergerak untuk mengambil kapas dan menuangkan sedikit micelar water ke atasnya. Perlahan mengusapkan kapas itu di atas wajah Abian yang masih terpejam. “Jangan bangun, gini aja dulu.” Cica memperingatkan ketika Abian tiba-tiba membuka mata dan hampir bangun karenanya.

Gadis itu terbiasa untuk segera membersihkan wajah ketika pulang dari mana saja, ia juga sering mengingatkan kakak-kakaknya untuk ikut membersihkan wajah mereka meskipun mereka merasa laki-laki tidak perlu melakukannya.

Abian membuka mata, menatap wajah Cica yang berjarak tidak jauh dari wajahnya. Pandangannya menelusuri setiap wajah Cica, kemudian berhenti pada matanya. “Kenapa?”

“Nggak papa, you look beautiful from here.”

Wajah Cica memanas, bisa-bisanya Abian masih sempat menggodanya ketika ia sedang membersihkan wajah laki-laki itu. “Nggak usah gombal deh.”

Selesai membersihan wajah Abian, Cica hampir berdiri untuk membuang kapas yang terlihat sedikit kotor itu. Meskipun tidak sekotor wajahnya nanti jika dibersihkan. “Gue serius.”

Kalimat seperti itu sebenarnya sudah sering Cica dengarkan dari banyak orang, namun untuk orang yang kini tengah menarik tubuhnya agar bertukar posisi dengannya, sangatlah jarang ia dengarkan. Saat ini posisi mereka berubah, Abian yang bangkit untuk duduk, menarik Cica agar memposisikan dirinya untuk tertidur seperti Abian tadi. “Gantian, gue bersihin wajah lo.”

“I can do it my self, Bian,” balas Cica dengan cepat. “Tapi gue pengen lakuin ini, please?”

Desahan Cica akhirnya membuat Abian bersorak bahagia, ia mengambil kapas yang ada di meja depannya dan menuangkan micelar water seperti apa yang Cica lakukan tadi. Perlahan ikut mengusapkan kapas basah itu pada wajah Cica dengan gerakan yang pelan dan tidak tergesa-gesa.

Dalam hati Cica sudah banyak sekali pertanyaan yang ingin ia sampaikan, mengenai apa kelanjutan hubungan yang mereka punya setelah ini. Mengingat ia akan ditinggalkan oleh Abian selama kurang lebih enam bulan ke depan, membuat pikiran Cica terbang ke mana-mana. “Bi, gue boleh nanya sesuatu nggak?”

“Nanya aja, Ca. Ngapain pake izin dulu?”

Cica mengangguk pelan, kemudian mempersiapkan kalimat-kalimat yang hendak ia lemparkan. “Tapi sebelumnya, gue mau pengakuan dosa dulu.” Ucapan Cica tersebut dihadiahi dengan sebuah kekehan kecil oleh Abian. “Pengakuan dosa apa?”

“Gue tadi lihat saved video lo, di TikTok.”

Tangan Abian berhenti seketika, menyadari apa yang Cica katakan akan berdampak panjang dengan kelangsungan hidup mereka setelah ini. Gadis itu bangkit dari tidurnya, kemudian menghadap Abian dengan pandangan yang menatap lurus ke mata legam laki-laki itu. Ada kilat keterkejutan dalam matanya, namun cepat-cepat Abian sembunyikan ketika menyadari Cica kini mempertanyakan tatapannya. “Is that, true?”

Sepertinya memang sudah tidak bisa disembunyikan lagi, sepertinya takdir juga yang memaksa Abian utuk berterus terang kepada Cica mengenai perasaannya. Laki-laki itu lantas meletakkan kapas yang ia pegang, dan mendekatkan dirinya kepada Cica.

Hembusan nafas panjang Abian menjadi pembuka untuk senyum manisnya terpampang di sana. Ia mengangguk, menyetujui apa yang ditanyakan oleh Cica kepadanya.

“That's true.”

“So ... what are we right now?” tanya Cica ragu. “Basically, we're not dating, right?”

Dating? Abian juga bingung, apa hubungan mereka sekarang? Haruskah ia mendeklarasikan dengan formal menggunakan kalimat 'Mau nggak kamu jadi pacarku?' seperti pacaran anak remaja pada umumnya? Menurutnya, formalitas seperti itu sudah tidak ada, ketika mereka saling mengetahui perasaan satu sama lain dan saling mencintai, maka ia bisa menyebutnya sebagai deklarasi atas suatu hubungan. Lantas ketika ia telah mengetahui perasaan Cica sebelumnya, ia hanya perlu memastikan perasaannya saja bukan?

Perlahan tangan Abian terulur untuk membelai lembut rambut Cica, gadis itu menarik nafas dalam ketika merasakan tangan Abian mulai turun ke wajahnya, mengusap lembut rahangnya dan berhenti di sana. Senyuman tidak tertinggal dari wajahnya.

“You wanna know?” bisikan singkat Abian bahkan berhasil membangkitkan bulu-bulu halus dalam tubuh Cica. Gadis itu mengangguk pelan, masih dengan menatap mata Abian yang kini bergerak mendekat ke arahnya. Dibawanya tangan gadis itu untuk melingkar pada tubuhnya, sebelum kemudian Abian berhasil menghapus jarak di antara mereka hingga hidung mereka menyatu dan yang tersinya hanyalah udara di sekitarnya.

“Dating or not, you're still mine, right?” bisik Abian tepat di depan bibir Cica. Gadis itu tersenyum, matanya terpejam sebelum bisikannya berhasil membuat kewarasan Abian benar-benar hilang. “Right, dating or not, you're still mine, Bian.”

Abian menggeram, tidak sanggup menahan hasrat yang selama ini ia pendam. Terlebih lagi tangan Cica kini mulai berani untuk menyusup di balik rambutnya.

Secepat gerakan kilat, Abian menghapus jarak bibir mereka hingga tak tersisa. Ciuman itu terasa begitu hangat, memberikan sensasi yang menyengat dalam tubuhnya. Jika sebelumnya mereka pernah berciuman ketika Cica sedang mabuk, sekarang mereka benar-benar di dalam kondisi sepenuhnya sadar. Sehingga tidak akan ada lagi acara lupa ingatan setelah ini.

Lumatan yang diberikan oleh Abian membuat Cica ikut mengerang pelan. Tangan laki-laki itu menarik tengkuk Cica untuk memperdalam ciuman mereka, hingga decapan-decapan itu muncul seiring dengan erangan yang ikut keluar bersamanya. Abian menggigit bibir Cica pelan hingga gadis itu membuka mulutnya, kemudian kesempatan itu tidak ia sia-siakan begitu saja, ia segera meloloskan lidahnya untuk bertemu dengan milik Cica, merasakan milik gadis itu yang selama ini selalu menjadi pertanyaan dalam benaknya.

“Taste like strawberry, you like it, right?” Abian berbisik ketika memberikan jeda pada ciumannya. Namun sakan Cica yang kini menginginkan lebih, ia lekas mengangguk dan menarik Abian untuk kembali menciumnya dengan cepat. “Calm down girl, i'm not going anywhere.” Abian terkekeh di sela ciuman mereka. Sedangkan Cica seolah tidak mendengar ucapan Abian dan hanya fokus pada ciumannya.

Tangan Abian meremas pinggang Cica pelan, menarik gadis itu untuk berdiri sembari masih melumat bibir satu sama lain. Mereka berjalan menuju ruangan yang diketahui adalah kamar tidur Cica, saat ini.

Menyadari bahwa hasratnya mungkin sudah hampir menguasai dirinya, Abian melepaskan ciuman mereka dengan segera.

“We need to stop, Ca. Gue takut kebablasan.” Laki-laki itu berdiri di depan Cica yang tengah duduk di ujung tempat tidur. Matanya menatap bibir itu dalam, bibir yang terlihat sedikit membengkak akibat ulahnya beberapa menit yang lalu.

Memang benar, jika kegiatan itu mereka lanjutkan, mungkin Abian akan benar-benar kebablasan.

Cica menarik nafas panjang, kemudian menatap Abian dengan kecewa, seolah gadis itu masih sangat menginginkan laki-lakinya.

Ah benar, mungkin sekarang status mereka bisa naik satu tingkat dari sebelumnya, hingga dapat mengakui sat sama lain sebagai milik mereka.

“But i want you so bad, please?”

Abian menunduk untuk menatap Cica, tangannya menangkup kedua pipi gadis itu dan terkekeh karena merasa gemas.

Namun Cica sudah tidak tahan lagi, ia benar-benar menginginkan Abian. Memikirkan setelah ini ia akan jauh dengan laki-laki itu semakin membuat otaknya rancu. Tanpa menunggu jawaban, Cica menarik Abian yang berdiri di depannya, dan kembali melumat bibir manis itu dengan cepat.

Pertahanan Abian runtuh, ia bahkan tidak bisa menolak apapun permintaan Cica. Maka setelah gadis itu memilih untuk menciumnya sekarang, Abian mendorong tubuh kecil Cica agar berbaring di atas tempat tidur. Menggunakan kedua tangannya untuk menopang berat tubuhnya agar tidak memberatkan gadis itu. “Remember that you want it yourself.”

“With pleasure.”

Selanjutnya Abian tidak menahan diri lagi, ia melumat bibir Cica lebih dalam dari sebelumnya, sesekali membelai rambutnya dan turun untuk menjamah leher jenjang milik Cica. Menghirupnya dalam seperti menghirup ganja yang ia butuhkan.

Jangan salahkan Abian jika setelah ini mereka akan melewati malam yang panjang, Cica bahkan tidak membiarkan dirinya bernafas barang satu detik pun. Gadis itu sudah yakin, menyerahkan dirinya pada Abian dengan perasaan yang akhirnya terbalaskan.

Pada kenyataannya, mereka kembali saling memiliki tanpa harus ada kata tanya yang menyertainya.