Dewa tidak berbohong, hari ini mereka berdua sedang berada di Bukit Bintang untuk benar-benar menikmati langit, yang ditambah dengan bonus pemandangan lautan kota di hadapan mereka. Perjalanan yang mereka habiskan selama kurang lebih 45 menit untuk menuju tempat tersebut tidak mereka sia-siakan hanya dengan melihat sekilas apa yang ingin mereka lihat.
“Ini masih jauh kak? Sumpah kaki gue udah mulai capek.” Feyre mengeluh beberapa waktu yang lalu, saat Dewa terus berjalan santai ditengah rindangnya pepohonan sambil menikmati hembusan angin yang segar, sedangkan gadis itu sudah berkeringat hanya karena berjalan beberapa puluh meter saja.
Jalanan menuju puncak bukit bintang memang tidak dapat dijangkau oleh mobil, sehingga mengharuskan mereka untuk menyusuri jalan setapak yang disediakan, bersama beberapa orang yang juga ingin menikmati pesona dari tempat tersebut. Dewa dan Feyre akhirnya disuguhi oleh pemandangan yang sangat indah saat keduanya berhasil mencapai titik puncak, setelah berjalan beberapa puluh atau mungkin ratus meter yang disertai banyak keluh kesah dari Feyre sepanjang jalan.
Kurang lebih sudah lima jam mereka ada di sana, sejak langit berwarna biru dan dihiasi oleh banyak awan serta burung-burung, kemudian berubah menjadi jingga, hingga sekarang menjadi hitam dan dipenuhi oleh bintang-bintang malam, yang tidak kalah cantik dengan lampu kota yang ada di depan mereka.
“Kak, kenapa lo suka langit?” tanya Feyre kemudian, setelah kurang lebih 30 menit mereka hanya berdiam diri dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Dewa masih diam tidak menjawab, matanya menatap nyalang atap dunia yang terbuka sangat lebar di atasnya. Saat ini, keduanya berada di atas tikar yang lima jam lalu mereka gelar, Dewa dengan posisi terlentang, kedua tangannya terlipat untuk menjadi bantalan kepala, dan matanya menatap langit dalam-dalam. Sedangkan Feyre? Ia hanya duduk bersila, matanya menatap hamparan lampu kota yang terlihat menakjubkan dari tempatnya. “Kak? lo ga tidur kan?”
Feyre menoleh untuk memastikan, karena tidak mendapat jawaban satu kata pun, dari laki-laki yang ditanyainya.
“Enggak.”
“Abisnya lo diem aja gue kira ketiduran.” Feyre kembali memandang ke depan, sesaat setelah memastikan bahwa Dewa masih dalam keadaan sadar, dan tidak meninggalkannya sendirian dalam keheningan.
Sekitar mereka sudah sepi, para pengunjung yang bersama mereka tadi sudah kembali ke rumah atau tempat asal mereka masing-masing karena malam yang semakin larut, dan kini menyisakan mereka berdua, yang masih nyaman dengan posisinya.
“Gue ngerasa lagi dijagain sama mama, kalo liat langit,” jawab Dewa kemudian, setelah kurang lebih lima menit laki-laki itu terdiam, memikirkan jawaban seperti apa yang harus ia katakan kepada Feyre. Haruskah ia menjawab itu dengan serius dan penuh makna dalam setiap ucapannya, ataukah perlu memberikan sedikit candaan agar tidak terlihat seperti seorang pujangga malam yang hanyut dalam perasaan.
“Dijagain mama?”
“Coba deh lo tiduran disini.” Dewa menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan kepada Feyre untuk ikut berbaring bersamanya, merasakan sensasi melihat langit dengan mata kepalanya sendiri, untuk dapat merasakan secara langsung apa yang Dewa maksudkan tadi. “Gue ga akan macem-macem.” lanjut Dewa, saat mendapati Feyre hanya memandang tempat di sebelah Dewa dengan ragu-apakah ia harus benar-benar menuruti perkataan Dewa, atau laki-laki itu hanya mencari kesempatan di saat seperti ini saja.
Feyre akhirnya menyerah, tidak menemukan suatu kejanggalan dari tatapan Dewa. Gadis itu menghembuskan napas pelan, sebelum kemudian mengikuti Dewa untuk berbaring dan melihat langit seperti apa yang sedang Dewa lakukan. Berusaha mempercayai ucapan Dewa dan mencoba untuk memahaminya sendiri.
“Liat langitnya, lagi banyak bintang.” Dewa menunjuk dengan tangan kirinya. “Itu kumpulan orang-orang baik yang udah pergi dari dunia.” sambungnya.
“Maksudnya?” Feyre bertanya kembali, karena masih tidak paham dengan ucapan Dewa baru saja. Tangan Dewa kembali menunjuk langit—lebih tepatnya menunjuk satu persatu bintang yang dapat mereka lihat dari bawah sana.
“Dari gue kecil, nyokap selalu bilang, kalo orang-orang baik yang udah pergi dari dunia, sama tuhan dikasih tempat yang baik di sana, dan mereka akhirnya dijadiin bintang di langit malam. Jadi, ketika lo ditinggal sama orang yang lo sayang, lo ga perlu ngerasa sendiri. Lo tinggal lihat langit aja, dan cari satu bintang disana. Itu pasti mereka, orang yang lo sayang, lagi liatin lo, lagi jagain lo, dari atas sana.” Feyre tertawa kecil. Tidak menyangka bahwa seorang seperti Dewa, masih mempercayai omongan yang ia dengar sejak dia kecil. Kenyataannya, mana ada manusia yang menjadi bintang? Itu semua hanya khayalan dan bualan yang diberikan kepada anak kecil, hanya untuk membuat mereka merasa aman saat ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka sayang.
“Lo percaya itu kak?” Dewa menoleh kepada Feyre, yang masih memandang langit.
“Enggak, gue cuma membayangkan aja, kalo nyokap gue bener-bener lagi ngejagain gue dari atas sana. Biar gue bisa ngerasa tenang, hidup sendirian di dunia.”
Dewa memang tidak mempercayainya, siapa juga yang mau mempercayai hal seperti itu. Itu hanya sebuah kiasan, untuk menggambarkan bahwa mereka yang telah pergi dari dunia, belum benar-benar pergi dan masih bersama mereka, dari tempatnya. Seperti kata Dewa tadi, ia pun hanya membayangkan jika orang yang paling ia sayang, yang telah lebih dahulu pergi dari dunia ini-mamanya-sedang menjaganya dari atas sana.
Sama seperti Feyre, Dewa juga sudah tidak memiliki mama. Bedanya, Dewa masih memiliki seorang papa, yang mungkin sudah tidak Dewa anggap sebagai orang tua lagi, sejak beberapa tahun yang lalu. Saat Dewa dan Atha memutuskan untuk pergi ke Bandung-melarikan diri dari nerakanya di dunia. Membawa seluruh amarah dan perasaannya, untuk lepas dari bayang-bayang orang yang membuat mereka menjadi sengsara. Dewa kehilangan sosok mama-orang yang paling menyayanginya-saat duduk di bangku kuliah, awal semester satu.
Mamanya meninggal karena sakit, tepat satu bulan setelah dipindahkan dari rumah sakit di Jakarta menuju rumah sakit di Bandung, karena harus mengikuti Dewa dan Atha yang memutuskan untuk pindah ke Bandung karena kuliah. Setelah kepergian mamanya, Dewa merasa bahwa keluarga dia satu-satunya hanyalah adik kembarnya, Atha. Oleh karena itu, ia merasa bahwa di dunia ini, hanya Atha lah keluarganya, orang yang paling ia sayang di dunia ini. Dewa akan melakukan segala cara untuk menjaga Atha, karena ia tidak ingin kehilangan orang tersayangnya untuk yang kedua kalinya.
Sejak Atha menikah dan pindah ke Bali, Dewa jarang bertemu dengannya. Dahulu, saat mereka masih duduk di bangku kuliah, Dewa terkenal seperti malaikat penjaganya, kemanapun Atha pergi, selalu ada Dewa. Sampai-sampai semua laki-laki yang ingin mendekati Atha, harus mendapatkan ospek terlebih dahulu dari Dewa. Semua itu Dewa lakukan karena ia tidak ingin kejadian seperti keluarganya, terulang kembali. Dahulu, papanya suka memukul mamanya, memukul Atha, dan memukul Dewa, hanya karena keegoisan laki-laki itu. Mereka selalu menjadi sasaran papanya ketika marah, mendapatkan banyak hal menakutkan, sampai mendapatkan trauma dan harus melarikan diri dari rumahnya. Lantas sejak mamanya meninggal, Dewa akhirnya menjadi figur orang tua untuk Atha. Menjadi mama sekaligus papa, karena Dewa mengemban tanggung jawab sebagai anak pertama.
“Lo sering kesini sendirian?” tanya Feyre dan dijawab dengan sebuah anggukan kecil dari Dewa, yang sebenarnya tidak bisa Feyre lihat.
“Sering, karena ga ada orang yang bisa gue ajak kesini... selain lo... sekarang.”
Feyre terdiam, tidak menjawab. Pikirannya kini sibuk berkelana, membayangkan apa yang sedang Dewa rasakan, mencoba memahami bagaimana rasanya menganggap si 'bintang' itu sebagai orang yang ia sayang, sedang meliat dan menjaganya dari sana. Dan saat Feyre dapat merasakan itu, sebuah senyuman terukir indah di wajahnya.
“Kayanya sekarang gue tau deh kak, maksud lo dijagain sama Mama,” ucapnya lirih. “Gue barusan juga ngerasain, kalo sekarang, Mama sama Papa gue lagi senyum dan ngelus kepala gue, bilang kalo gue hebat udah bertahan sejauh ini sampe bisa ada di titik ini. Bertahan dari apa yang mungkin ga pernah gue bayangin—bisa gue lewatin dengan baik.”
Ada kesedihan di dalam ucapan gadis itu. Perasaan sedih yang ia rasakan selama bertahun-tahun, sendirian. Dewa menyadari itu. Dewa menyadari kalau saat ini Feyre sedang bersedih, merindukan kedua orang tuanya yang katanya 'mungkin' sedang tersenyum dari atas sana, karena anak pertama mereka sudah melakukan suatu hal yang luar biasa, di dunia.
Dewa kemudian memiringkan tubuhnya untuk dapat menghadap Feyre. Mengulurkan tangan kanannya, namun langung dibalas dengan tepisan ringan dari gadis itu.
“Mau ngapain lo?” Feyre yang sudah mengantisipasi Dewa akan melakukan hal aneh, langsung beranjak dari tidurnya dan kembali duduk. Dewa hanya tertawa kecil dan akhirnya ikut beranjak dari tidurnya, menyusul Feyre untuk duduk di sebelahnya.
“Lo hebat, Fey, makasih banyak ya udah bertahan sejauh ini.” Dewa tersenyum, tangannya terulur untuk mengsap puncak kepala Feyre dengan lembut, dan penuh kasih sayang, persis seperti apa yang Feyre katakan sebelumnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidup Feyre, ia merasakannya, puncak kepalanya diusap dengan penuh rasa sayang, dan ia bisa mendengarkan kalimat itu. Kalimat yang setiap hari ia ucapkan kepada dirinya sendiri, kalimat yang menjadi semangatnya untuk terus bertahan hari demi hari. Bedanya, kini ia mendengar ucapan itu dari orang lain, dan hatinya mendadak terasa hangat. Pertama kali dalam hidupnya, Feyre merasakan kupu-kupu berkeliaran di dalam perutnya karena seorang laki-laki. Laki-laki yang kini kembali memposisikan dirinya untuk tidur di atas tikar itu.
“Sini deh, gue belom selesai ngomongnya.” Feyre masih diam membeku dengan posisi duduk seperti tadi. Dewa kemudian memegang pundak Feyre dan menariknya agar dapat kembali tertidur di posisi seperti tadi, namun kali ini tangan kiri Dewa terulur dan menjadi bantal untuk kepala Feyre.
“Eh, ini tangan lo pindahin kak, masih nyangkut tuh.”
“Sengaja, pake aja buat bantal.” Dewa sungguh-sungguh. Ia memberikan tangannya untuk dijadikan bantal oleh Feyre, dengan senang hati.
Tadi, Dewa melihat postur tidur Feyre yang sedikit tidak nyaman karena tidak ada bantalan di kepalanya, lantas kemudian Dewa memutuskan untuk memberikan tangannya menjadi bantalan kepala Feyre. Gadis itu hanya menurut, ia sedang tidak bisa merespon apapun yang Dewa lakukan, perasaannya takut. Takut kalau-kalau bukan Dewa yang jatuh cinta, melainkan dirinya.
“Fey?” Panggil Dewa lirih.
“Hmm?”
“Kalo lo kangen sama orang yang lo sayang, dan dia udah ga ada di dunia ini, lo lihat aja bintang. Anggep mereka disana lagi liat dan jagain lo. Percaya sama gue, mereka bener-bener lagi jagain lo dari atas sana.” Feyre mengangguk kecil di atas lengan Dewa, membuat laki-laki itu tersenyum kembali.
Malam itu, mereka berdua menghabiskan sisa malamnya dengan menikmati indahnya langit yang dipenuhi oleh 'orang-orang baik', bercerita tentang kehidupan satu sama lain, cerita yang tidak pernah mereka sangka akan keluar dari mulut mereka. Menceritakan pahit dan manisnya hidup yang telah mereka jalani selama ini. Menjadikan hubungan keduanya semakin erat, karena merasa sedang berbagi kisah dengan orang yang benar-benar merasakannya. Karena pada akhirnya, mereka memiliki cerita yang hampir sama.