Dia yang pertama.
Biasanya, Dewa tidak akan pernah mau keluar apartemen jika waktu sudah menunjukkan lebih dari jam 9 malam—kecuali jika sahabat atau saudara kembarnya—meminta tolong untuk melakukan sesuatu yang membuat ia harus keluar dan mau tidak mau ia akan keluar, jam berapapun itu. Tapi ternyata hari ini ada satu pengecualian lagi. Beberapa hari yang lalu Dewa melakukan suatu hal gila, yang menurutnya bisa saja dimaklumi, tapi kalau saja orang lain tahu, mungkin mereka akan langsung berpikir bahwa Dewa bukan hanya gila, melainkan benar-benar gila.
Bagaimana tidak, Dewa meminta seseorang untuk bekerja dengannya selama satu bulan, dengan gaji sebesar 100 juta, dan pekerjaannya hanya satu, membuat Dewa jatuh cinta kepadanya selama satu bulan. Meskipun sebenarnya Dewa sendiri tidak yakin gadis itu akan bisa membuat laki-laki seperti Dewa jatuh cinta, karena seumur hidupnya, sekalipun ia belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Belum pernah, bukan tidak pernah.
Bukan karena Dewa tiba-tiba menjadi pengemis cinta, sampai rela membayar 100 juta demi sebuah cinta dari orang yang bahkan tidak pernah ia kenal sebelumnya, tapi jauh dari itu, Dewa punya alasan. Alasan yang cuma ia dan tuhan yang tau. Saat ini.
Dewa juga bingung, kenapa dari sekian banyak gadis di dunia, ia harus singgah di ruang DM twitter seorang gadis bernama Feyre, yang pernah ia temui satu hari sebelumnya. Hari itu, hari di mana gadis itu menarik Dewa keluar dari kafe dan mengatakan kepada teman-temannya jika laki-laki yang sedang bersamanya adalah ‘cowo’ nya, saat itu juga Dewa menyadari satu hal. Feyre sedang menghindar dari suatu perjodohan.
“Feyre ini tuh jomblo dari lahir tau, tapi dia selaluuuuu aja, nolak cowok yang deket sama dia.” Kalimat teman satu mejanya yang masih sempat Dewa dengar, sebelum akhirnya gadis yang disebut dengan nama Feyre itu, menarik Dewa untuk ikut keluar dari kafe dan menghindari obrolan temannya, yang terlihat jelas sedang menjodohkannya dengan seseorang.
Lucunya, setelah hari itu, Dewa menjadi kepikiran dengan gadis itu. Gadis yang sekarang sedang duduk di hadapan Dewa, sambil memakan sepotong cheese cake dan menyeruput kopi nya yang tinggal setengah, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya untuk berkutat dengan tugas-tugasnya. Mengabaikan Dewa, yang sejak 30 menit lalu sudah berada di depannya. Tangan Dewa terlipat di depan dadanya, ia hanya diam mengamati kegiatan gadis di depannya, tanpa sedikitpun memiliki niat untuk mengajaknya ngobrol. Sesekali ia ikut menyeruput kopi yang baru saja disajikan—oleh Feyre. Dewa kemudian bangkit dari duduknya yang dihadiahi dengan tatapan bertanya dari Feyre.
“Mau kemana?”
“Ke depan, nge vape bentar. Takut lo keganggu kalo gue nge vape disini,” katanya menjelaskan.
“Padahal kalo lo mau nge vape disini juga gapapa.” Sejujurnya, Dewa tidak benar-benar akan melakukannya. Ia sudah berhenti melakukannya sejak masuk kuliah, namun entah kenapa ia mengatakan hal tersebut. Ia hanya bingung harus melakukan apa untuk menunggu Feyre menyelesaikan tugasnya dan mereka bisa pulang. Ia bisa saja meninggalkan Feyre disana sendirian dan pulang—karena sebelum Feyre mengenal Dewa pun, gadis itu sering begadang sendiri di kafe ini, setelah menutup kafe nya. Namun, Dewa memilih untuk menemani gadis itu, hari ini.
Hari itu, tepat satu minggu Feyre menerima tawaran Dewa untuk ‘bekerja’ selama satu bulan—yang sebenarnya tidak bisa disebut bekerja dan lebih ke sebuah misi gila.
Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 dan mereka berdua masih berada di kafe tempat Feyre bekerja. Tadi, Dewa memutuskan untuk berkunjung ke tempat kerja Feyre di Arion Café, setelah laki-laki itu selesai bekerja. Ia mendapati Feyre yang sedang duduk sendirian, di meja paling dekat dengan jendela, sedang berkutat dengan laptopnya seperti sekarang, di saat tulisan pada pintu kafe sudah menunjukkan tanda 'closed' sehingga tidak ada satu orang pun disana kecuali mereka.
“Lo gak mau balik?” tanya Dewa setelah ia kembali ke dalam kafe.
“Bentar, nanggung banget ini tugas gue tinggal dikit. Lo mau balik duluan kak?” Dewa menggeleng dan memilih untuk kembali duduk di hadapan gadis itu. Feyre memang seperti ini. Ia akan bekerja sampai larut malam, dan baru bisa mengerjakan tugas-tugasnya setelah selesai bekerja.
Dewa baru menyadari sesuatu setelah mereka bersama, kalau gadis di hadapannya ini, adalah orang yang gigih dan pantang menyerah. Hidup sebatang kara bersama adiknya, menjadikan ia tulang punggung keluarga di umurnya yang masih belia. Dewa juga tidak menyangka, kalau seseorang sepertinya harus menjalani kehidupan yang pahit karena ditinggalkan kedua orang tuanya—yang telah pergi dulu meninggalkan mereka dari dunia—karena sebuah kecelakaan tragis lima tahun yang lalu. Menyisakan ia dan adiknya—yang hanya berbeda tiga tahun dari umurnya.
Gadis yang pada awalnya Dewa pikir hidup dalam kedamaian dan kasih sayang bersama orang-orang terdekatnya, yang setiap pulang kuliah selalu disambut hangat oleh orang tuanya, atau yang setiap hari berangkat kuliah mengendarai mobil mewah yang dikemudikan oleh supir pribadinya, ternyata jutru memiliki kenyataan yang sangat berbeda. Gadis yang ternyata selalu hidup dalam ketakutan akan hidupnya, yang tidak pernah disambut oleh kedua orang tuanya sepulang kuliah, dan yang selalu bekerja siang malam karena harus membiayai hidupnya dan adiknya. Suatu kenyataan yang akhirnya membuat hati Dewa tergerak, karena melihat sedikit sosok dirinya di dalam gadis itu, si anak pertama yang bahunya harus sekuat baja.
Dewa tau, gadis yang ia temui itu sebenarnya adalah sosok gadis rapuh yang berusaha kuat untuk berdiri tegak di tengah kerasnya dunia. Tulang punggung keluarga kecilnya. Gadis yang tidak memiliki sandaran, dan hanya bisa bersandar pada kedua kaki kecilnya. Feyre sudah mulai bekerja sejak duduk di bangku SMA, mencoba segala macam pekerjaan yang sekiranya bisa ia kerjakan, hanya karena tidak ingin ia dan adiknya mati kelaparan di dunia.
“Gue anak pertama kak, jadi gue harus kuat dan gak boleh nyerah. Masih ada adik gue yang harus gue jaga di dunia,” katanya beberapa hari yang lalu, saat mereka berbicara di apartemen Dewa.
Beberapa hari yang lalu, gadis itu mampir ke apartemen Dewa. Hari itu, hari ke-5 sejak Feyre memutuskan untuk 'bekerja'. Feyre yang merasa curiga karena laki-laki itu tidak membalas pesannya sejak pagi, dan perasaan Feyre yang tiba-tiba menjadi tidak enak. Feyre merasa ada yang tidak benar dengan Dewa, ia pun akhirnya memutuskan untuk segera menuju apartemen Dewa yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya.
Dewa bukan tipe orang yang mengabaikan pesan Feyre, sekalipun itu adalah pesan iseng atau pesan yang tidak jelas, ia mungkin hanya membalas dengan singkat namun tidak akan pernah mengabaikannya, tidak hanya Feyre, namun semua orang yang Dewa kenal. Benar saja, saat Feyre tiba disana, Dewa sudah tergeletak lemas di ruang tamu dengan kondisi berkeringat deras dan tidak kuat untuk bangun. Feyre memang sudah mengetahui kode apartemen Dewa sejak hari pertama ia ‘bekerja’.
“Gue kasih kode apartemen kalo sewaktu-waktu lo harus dateng kesana karena suatu hal.” Begitulah yang Dewa ucapkan hari itu. Makanya pada saat itu, Feyre bisa masuk dengan sendirinya.
Beruntung saat Feyre datang, ia membawa makanan dan sekotak obat, karena ternyata Dewa pun belum makan sedikitpun sejak tergeletak disana.
“Lo kenapa ga telfon gue sih kak? Kalo misalnya gue ga kesini gimana?” Itulah saat di mana Dewa melihat seorang Feyre marah, untuk pertama kalinya. Bukan marah karena ia merasa dikecewakan, dikhinati, atau marah karena hal-hal seperti itu, melainkan marah karena ia takut. Feyre takut kalau Dewa kenapa-kenapa dan ia tidak ada di sana.
Gadis itu juga bingung, kenapa ia harus se marah itu hanya karena laki-laki yang kini sedang duduk di sebelahnya dan memakan buburnya dengan perlahan itu— tidak memberitahu kepadanya kalau ia sedang sakit hingga tidak bisa bangun.
“Gue ga kepikiran,” balas Dewa singkat. Benar juga, siapa yang kepikiran memberitahu orang lain kalau ia sedang sakit, di saat memikirkan dirinya sendiri sudah makan atau belum saja tidak sempat.
“Lain kali lo missed call gue aja, tanda kalo lo kenapa-kenapa.”
Dewa hanya tertawa kecil. “Gue seriusan kak,” ucap Feyre memelas.
“Kenapa lo jadi marah? Gue ga kenapa-kenapa, cuma demam doang tadi.” Sungguh, Feyre juga bingung kenapa ia menjadi seperti ini.
“Gue... takut.” Dewa menoleh untuk menunggu kalimat lanjutan apa yang akan Feyre ucapkan. “Gue takut... orang terdekat gue pergi lagi.” Sambungnya.
Dewa merasakannya, ketulusan di dalam ucapan Feyre baru saja. Ketulusan yang dapat menjemput senyum kecil Dewa yang selama ini belum pernah Feyre lihat sebelumnya. Tangan besar Dewa terulur untuk mengacak pelan rambut Feyre. “Jadi sekarang gue udah jadi orang terdekat lo?” Ucapnya dengan sedikit tawa.
Orang terdekat. Dewa merasa hatinya menjadi hangat, sesaat setelah mendengar perkataan tulus Feyre. Diantara semua orang di dunia ini, Feyre akirnya menganggap Dewa menjadi orang terdekatnya. 5 hari yang sebelumnya mereka berdua masih bertukar pandangan saling membenci, tidak mengenal dan tidak mempedulikan satu sama lain. Siapa yang menyangka hanya dalam waktu 120 jam mereka akhirnya bisa menjadi orang terdekat, orang yang saling membutuhkan dan saling bergantung, untuk satu sama lain.
Feyre akhirnya menyadari itu, ia menyadari bahwa di dunia yang luas ini, ia hanya memiliki tiga orang terdekat dalam hidupnya. Sekarang.
Adiknya, sahabatnya, dan Dewa.
“Iya.” Feyre menunduk setelah mengucapkan satu kalimat singkat itu.
Dewa tersenyum tipis mendengar kalimat yang Feyre ucapkan, ia merasa bahwa akhirnya, ada orang yang membawa masuk dirinya ke dalam hidup mereka. Dahulu, hidup Dewa hanya berisi Atha, saudara kembarnya, orang yang paling ia sayang di dunia ini. Tentu saja sahabat-sahabatnya juga, hanya saja porsi mereka berbeda.
Namun, ia pun baru menyadari juga, bahwa hidup Atha tidak semua tentang Dewa, hidup Atha juga berisi orang lain, yang mungkin akan ada orang yang lebih ia sayang dan cinta, jauh lebih dari pada Dewa. Siapa lagi kalau bukan Mahesa, suaminya.
Lantas ketika Feyre datang di hidupnya, untuk pertama kali setelah sekian lama, Dewa merasa hidupnya berharga.
Ya. Ini sebuah cerita tentang dua orang yang saling menjadi 'yang pertama' dalam hidup mereka.
—