Feyre, Dewa, dan Harapan

Ruangan itu terasa semakin nyaman tatkala dua anak adam itu saling merengkuh dalam buaian perasaan. Mereka berbaring dalam pelukan, menghilangkan jarak yang ada ketika malam semakin datang membawa sebuah harapan yang belum pernah tersampaikan. Dewa menarik Feyre dalam pelukannya, menenggelamkan kepala gadis itu dalam dekapan tubuhnya yang hangat.

“Kamu jadi mau ke panti kan?” bisik Dewa dalam pelukannya, ia hanya merasakan kepala Feyre naik turun tanda bahwa gadis itu menjawab ‘iya’ tanpa suara.

“Kenapa? Kamu nggak jadi bisa izin?” Kepala Feyre mendongak, melihat wajah Dewa yang berada sangat dekat dengannya. Laki-laki itu terlihat tengah terpejam, menikmati keadaan yang seperti sekarang.

“Jadi kok, cuma mau mastiin aja.”

Feyre mengangguk sebelum kepalanya kembali ia daratkan pada dada bidang Dewa, tempat ternyaman ia bersembunyi. Ia merasa sangat bersyukur ketika hatinya berkata bahwa laki-laki itu benar-benar ada dalam dekapannya sekarang.

“Rere,” panggil Dewa lirih dengan mata yang masih terpejam.

“Hmm?” jawab Feyre singkat namun penuh perasaan.

“Kamu tahu nggak, setiap orang itu punya detak jantung yang berbeda-beda, sama kaya wajah kita yang selalu berbeda-beda.” Dewa berbicara, tangannya merengkuh lebih erat tubuh istrinya agar gadis itu dapat merasakan detak jantung Dewa. “Coba dengerin, detak jantung kita sama.”

Feyre mendekap Dewa lebih erat, sampai akhirnya ia bisa merasakan detak jantung Dewa yang berdetak seirama dengan detak jantungnya. “Itu sebabnya kita saling ditakdirkan, karena jantung kita berdetak bersama-sama.”

Gadis itu tersenyum kecil dalam pejaman matanya, nafasnya teratur, dan telinganya masih setia mendengar setiap detak jantung Dewa. Detak jantung yang selalu ingin ia dengar setiap hari.

“Kak,” panggil Feyre kemudian. Laki-laki itu bergumam kecil tanpa melepaskan pelukannya sedetikpun. “Kamu punya harapan nggak?”

Dewa mengernyit sesaat setelah mendengar pertanyaan istrinya, tentu saja, semua orang memiliki harapan dalam hidupnya. Namun ia bingung, harapan seperti apa yang gadis itu maksudkan.

“Harapan kaya gimana maksud kamu, Re?”

“Ya harapan, apa yang kamu inginkan buat ke depannya.” Laki-laki itu melepaskan pelukannya dengan lembut, kemudian menatap mata istrinya dengan penuh kasih sayang.

“Harapan aku cuma mau lihat kamu bahagia setiap hari, apalagi coba?” Feyre tertawa kecil, ia sudah menduga bahwa tentu saja jawaban klise yang akan ia dengarkan. Ia tidak menyalahkan itu karena ia tahu bahwa harapan itu tentu selalu ada dalam kehidupan Dewa, tentu saja kehidupannya juga, ia juga berharap bahwa ia bisa melihat Dewa bahagia setiap hari, terlebih jika bahagia itu berasal darinya.

“Tapi bukan itu yang aku maksud, uhmmm apa ya … maksud aku tuh harapan jangka pendek, kaya semacam wish list gitu deh.” Dewa berpkir sejenak sebelum menjawab, ia merasa bahwa ia tidak memiliki satupun wish list dalam hidupnya kecuali benar-benar membuat Feyre bahagia.

“Kayanya nggak ada sih, emang kamu gimana?” Feyre segera bangkit dari tidurnya membuat Dewa kebingungan sesaat. “Kamu mau ngapain?”

Gadis itu tidak menjawab, ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju meja belajarnya, mengambil sebuah buku yang tentu saja sangat Dewa kenali. Buku diary milik Feyre.

“Aku punya banyak banget wish list, kakak kan udah pernah lihat juga sebelumnya.”

Dewa ikut bangkit dari tidurnya kemudian menyusul Feyre untuk duduk dengan kaki terlipat. Ia melihat gadis itu tersenyum sangat lebar ketika membuka lembaran diary dan berhenti pada sebuah halaman yang berisi coretan-coretan milik gadis itu. “Lihat ini deh kak.”

Tangan kecilnya menunjuk kata demi kata yang tertulis di sana, melihat sudah ada beberapa coretan tanda bahwa harapan itu sudah terkabul. “Banyak juga ya harapan kamu.” Dewa terkekeh kecil dan mengacak rambut Feyre pelan karena gemas dengan istrinya.

“Kamu beneran nggak punya harapan gitu?” tanya Feyre lagi memastikan, ia yakin bahwa sebenarnya Dewa memiliki itu, tidak mungkin seorang manusia tidak memiliki harapan.

Sesederhana apapun itu, harapan tetaplah sebuah harapan yang akan selalu mereka semogakan. “Nggak, atau belum sih.”

Feyre bangkit kembali, mengambil sebuah spidol berwarna merah yang ada di meja belajarnya. “Kalo gitu ayo kita tulis harapan kita berdua di sini. Kita doain sambil kita realisasiin bareng-bareng.” ucap Feyre bersemangat, membuat Dewa hanya bisa mengangguk dan tertawa karenanya.

Gadis itu yakin, ketika dirinya menulis sebuah harapan, maka hidupnya akan terasa lebih bersemangat, karena ada sesuatu yang membuat dirinya bertahan demi mewujudkan suatu harapan itu.

Harapan merupakan suatu keinginan dalam diri seseorang yang mendorong dirinya untuk bisa mencapai tujuannya di masa depan, mendorong seseorang untuk bergerak, dan mendorong seseorang untuk bisa terus bertahan.

“Sejak dulu aku selalu nulis harapan, karena buat aku, harapan itu jadi salah satu motivasi hidup buat aku.” Dewa menoleh memperhatikan Feyre yang tengah berbicara dengan menatapnya. “Aku selalu mikir begini tau kak, ‘ayo feyre kamu harus bisa, masih banyak harapan kamu yang belum terwujud, jadi jangan sampe nyerah ya cuma karena dunia sedang gak baik sama kamu.’ … gitu.”

Feyre mengucapkan dengan tersenyum, membayangkan seberapa berat hidupnya dahulu, membayangkan ketika dirinya menjadi satu-satunya orang yang bisa menyemangati dirinya ketika tidak ada orang lain yang ada di sisinya. “Dulu aku cuma hidup sendirian, tapi aku selalu ngerasa aku gak sendirian karena aku punya harapan.”

Dewa masih menatap gadis itu dengan penuh kasih sayang, tidak memotong sedikitpun ucapan yang keluar dari mulut istrinya.

“Aku ngerasa, ada aku yang lain di amsa depan, yang lagi liat aku di masa sekarang. Ngasih aku semangat buat bisa ketemu sama dia di masa depan. Dan ternyata bener, sekarang aku ngerasain itu.” Feyre tersenyum di setiap ucapannya, matanya memancarkan sebuah kesungguhan. Dewa tahu itu, gadisnya telah bertahan sejauh ini karena ‘harapan’ nya, karena ‘mimpi’ nya.

“Aku nggak pernah nyangka kalo aku bisa ada di titik ini sekarang karena — ” Ucapan itu terputus, tepat ketika Dewa merengkuh kembali gadis itu dalam pelukannya.

“Kamu hebat, Re. Hebat banget. Aku bangga sama kamu,” bisik Dewa, tangannya mengelus kepala Feyre dengan lembut, menyalurkan semua perasaannya kepada gadis itu. “Makasih ya, karena nggak pernah menyerah.”

Feyre melingkarkan tangannya pada tubuh Dewa, ia tersenyum, merasakan hangatnya pelukan Dewa pada tubuh mungilnya. Ia juga merasa bangga kepada dirinya sendiri karena telah bertahan sejauh ini. Tidak menyangka bahwa harapan-harapan kecilnya dapat membawa dirinya pada titik paling bahagi dalam hidupnya. “Makasih juga kak, karena nggak pernah menyerah sampe detik ini.”

Malam itu, mereka berbagi setiap harapan yang mereka punya. Menuliskannya pada selembar kertas yang akan selalu mereka bawa kemana-mana. Menjadikan coretan itu sebuah sumber kekuatan yang dapat membawa mereka menuju masa depan yang lebih bahagia.

Harapan terbesar mereka, terus bersama selamanya.