Hadiah dari Tuhan
Sore itu berwarna jingga keunguan lengkap dengan burung-burung yang pulang dari perantauan. Udara sore nampaknya dapat membuat beberapa orang merasa tenang. Tak terkecuali untuk seorang gadis yang tengah berjalan menyusuri taman bunga yang terletak beberapa meter jauh dari keramaian.
Hari ini seperti biasa, ia menjalankan aktivitas hariannya menemani seseorang untuk berjalan-jalan sore menikmati indahnya langit dan hamparan tanaman di taman belakang.
“Sus, lo suka bunga?” tanya laki-laki itu kepada Feyre yang sedang berjalan di belakangnya. Feyre mengangguk pelan dengan tersenyum namun tetap tanpa mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Laki-laki itu kemudian hanya mengangguk pelan menanggapinya.
Dari ujung sana terlihat dua sosok laki-laki lain yang Feyre kenali berjalan mendekat menuju ke arahnya. Laki-laki tinggi dengan jaket kulit hitam serta satu lagi dengan kemeja cokelat andalannya. “Fey!” panggil Abian dari jarak beberapa meter membuat beberapa orang menoleh kepadanya. Feyre hanya membalas dengan lambaian tangan tanpa menjawab.
“Siapa?” bisik laki-laki yang tengah ia temani berjalan-jalan tadi ketika melihat ada seseorang yang memanggil teman jalan-jalannya.
“Hanya teman.”
Beberapa waktu kemudian, Abian dan Ezra telah berdiri di depannya, kemudian mereka memandang Feyre dengan tatapan lelah. Tidak percaya gadis itu telah melakukan hal ini setiap hari tanpa sekalipun mengeluh.
“Lo temennya suster gue?” tanyanya kepada Abian.
Mendengar pertanyaan laki-laki itu, Abian dengan segera memandang Feyre dengan tatapan tidak percaya. “Dia masih nggak inget sama lo?” Feyre hanya mengangkat bahu.
“Dia juga nggak inget sama lo, kak.”
Benar, laki-laki itu tidak mengingat siapa gadis yang ia panggil dengan sebutan 'suster' itu, ia juga tidak mengingat siapa laki-laki yang berdiri di hadapannya, bahkan sekarang ia juga tidak mengingat siapa dirinya.
“Kadang dia bangun terus inget semuanya, kadang dia lupa beberapa orang, kadang dia juga lupa siapa namanya, kaya sekarang. Coba tanya aja.” Abian dan Ezra memandang Dewa dengan tatapan tidak percaya.
Mereka hanya mengira bahwa Dewa hanya akan melupakan beberapa orang atau beberapa kejadian saja, namun ternyata ia bahkan sudah berada di tahap lupa dengan dirinya sendiri. “Dewa, lo nggak inget gue?”
Laki-laki yang dipanggil dengan nama Dewa itu mengerutkan kening, merasa asing karena tiba-tiba Abian terlihat sangat akrab dengannya. “Lo panggil gue Dewa?“
Abian mengangguk. “Nama lo Dewa. Lo nggak inget?“ Dewa menggeleng pelan kemudian menatap Feyre meminta validasi apakah yang dikatakan oleh laki-laki di depannya benar adanya. Gadis itu hanya mengangguk pelan.
Sudah dua bulan Feyre menemani Dewa di rumah sakit, tepat ketika ia keluar dari ruang operasi dan dokter menyatakan bahwa Dewa kemungkinan tidak akan bangun dari tidurnya atau kalaupun Dewa terbangun ia akan tetap amnesia seperti sebelumnya karena operasi yang dilakukan tidak bisa memberikan apa yang Dewa inginkan.
Feyre tidak peduli itu, ia tidak peduli jika Dewa terbangun dan melupakan dirinya, karena yang ia inginkan hanya dapat melihat Dewa membuka mata lagi meskipun kemungkinannya kecil atau disertai dengan kemungkinan-kemungkinan lain.
Selama dua bulan, hanya satu kali Dewa mengingat semuanya, selebihnya ia lupa, lupa dengan orang-orang di sekitarnya, dan bahkan lupa dengan siapa dirinya.
Dahulu Feyre merasa bahwa ia tidak masalah jika melihat Dewa terbangun tanpa ingatan itu, namun setelah ia menjalani beberapa waktu bersama Dewa yang kehilangan ingatannya, semua terasa berat.
Karena seseorang bukan lagi menjadi orang itu sendiri tanpa ingatan mereka.
Raganya memanglah Dewa yang Feyre kenal, namun ingatannya bukan. Tapi Feyre tidak pernah mengeluh, ia merasa harus tetap bersyukur setidaknya ia masih bisa melihat tawa Dewa atau mendengar suara laki-laki itu lagi sekarang. Ia tidak ingin menjadi serakah kepada Tuhan karena meminta sesuatu yang lebih lagi. Sudah cukup Tuhan mengabulkan doanya untuk membuat Dewa bangun, ia tidak ingin ketika ia meminta yang lebih, Tuhan akan murka dan justru mengambil semuanya dari hidupnya.
Ia belum siap.
Hingga langit menjadi hitam, Dewa terus berbincang bersama Abian sedangkan Feyre dan Ezra menatap mereka dari kejauhan. Mendengarkan laki-laki di depannya menceritakan tentang dirinya yang selama ini ia lupakan.
“Fey, gue balik dulu ya sama Ezra. Lo masih mau di sini kan?” tanya Abian kepada Feyre tepat ketika ia melihat langit sudah berubah menjadi hitam dan merasa sudah waktunya Dewa untuk istirahat. Tujuan utama Abian datang ke sini sebenarnya hanya untuk memastikan apakah Feyre baik-baik saja. Lantas ketika melihat Feyre terlihat baik-baik saja, ia bisa pulang dengan tenang.
“Iya, abis Kak Dewa tidur nanti gue balik.”
Abian mengangguk pelan kemudian pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan Feyre dan Dewa berdua dalam diam.
“Nama lo … Feyre?” Gadis itu mengangguk untuk mengiyakan, menatap Dewa dengan senyum sangat lebar karena jantungnya berdegup kencang ketika mendengar laki-laki itu mengucapkan namanya kembali setelah dua bulan laki-laki itu tidak pernah mengcapkannya. “Lo mau ikut ke atap nggak? Gue pengen lihat langit dari atap.“
Dewa memandang Feyre dengan tatapan bertanya sekaligus memohon karena sebenarnya ini sudah melewati batas waktu Dewa di luar dan harus segera istirahat. “Tapi kamu udah waktunya harus istirahat.”
Bukannya membalas, Dewa malah bangkit dan mengambil tangan Feyre pelan kemudian menarik gadis itu untuk berjalan mengikutinya. Feyre bingung, ia tidak ingin Dewa sakit karena terlalu lama terkena udara luar, namun otak dan hatinya tidak sejalan, terlebih lagi ketika ia melihat tangannya kini berada dalam genggaman tangan Dewa yang selama ini ia rindukan.
Perasaannya menghangat, ia merasakan detak jantungnya kembali berdetak melebihi biasanya ketika tangannya bergesekan dengan tangan hangat milik Dewa. Ia tidak memiliki kemampuan untuk menolak permintaan Dewa sampai akhirnya mereka berdua telah berada di atap rumah sakit itu.
“Dingin tau di sini, kamu nggak bawa jaket double tadi.” Feyre berucap ketika melihat Dewa yang hanya mengenakan pakaian rumah sakit yang dilapisi sweater tipis tanpa memakai jaket lebih tebal.
Udara Kota Bandung memang sangat dingin, terlebih lagi angin kini berhembus sangat kencang karena hujan terlihat akan turun membasahi bumi. Dewa memandang Feyre yang hanya menggunakan kemeja lengan pendek tipis, jauh lebih tipis dari baju rumah sakit miliknya.
“Ngapain?” Feyre bertanya saat melihat Dewa melepaskan jaket miliknya dan memasangkan kepada pundak gadis itu.
“Biar kamu nggak kedinginan.” Jantung Feyre seperti ingin keluar dari rongganya. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini lagi dari Dewa setelah dua bulan laki-laki itu tidak mengenalinya sebagai istri dan hanya melihat dirinya sebagai perawat yang bertugas untuk membantunya.
“Kamu nanti sakit. Pake aja aku nggak papa.” Feyre hendak melepaskan jaket itu namun Dewa dengan segera memegangi kedua pundak Feyre. “Jangan dilepas, biarin aja.” Feyre tidak bisa menolak lagi. Seolah semua indera miliknya tidak dapat berfungsi dengan baik ketika ia berhadapan dengan Dewa.
Mereka berdua kini berdiri bersebelahan dan menghadap jalanan yang ramai, diam tanpa mengatakan sepatah kata dan hanya membiarkan hambusan angin malam menemani mereka di sana. Feyre menarik nafas panjang, melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangannya.
Ia bingung, berapa lama lagi ia harus menahan Dewa untuk berada di sini. Ia khawatir angin malam akan membuat kesehatan Dewa semakin memburuk. Namun saat ia hendak membuka mulut guna mengajak Dewa turun dari sana, laki-laki itu berbalik menghadapnya.
“Rere.”
Rere. Panggilan yang hanya Dewa ucapkan untukya. Benarkah ia mendengar Dewa mengucapkan itu kepadanya?
Saat itu juga, seluruh hidup Feyre seolah berhenti. Hanya mendengarkan satu kata dari Dewa dapat membuat pertahanan air matanya mendadak hilang seketika. Tangan Dewa terulur untuk menggengam tangan Feyre, kemudian menarik gadis itu dalam pelukannya yang hangat.
“Maafin aku.” Air mata Feyre tidak kuasa untuk ditahan, ia meloloskan butiran air bening itu dari mata cantiknya. “Kamu udah nunggu lama ya?” tanya Dewa di puncak kepala Feyre.
Gadis itu menggeleng keras untuk mengatakan bahwa ia tidak masalah jika menunggu selama apapun itu. Kepalanya diusap dengan lembut oleh Dewa, laki-laki itu kemudian mengecup puncak kepala Feyre, memberikan semua perasaan sayangnya kepada Feyre yang selama ini ia lupakan.
“Maafin aku udah bikin kamu nunggu selama ini, Re. Maafin aku karena butuh waktu lama buat inget kamu.”
Dewa ingat, mendadak ia teringat dengan semua hal tentang gadis di sebelahnya ketika tangan mereka bersatu. Merasakan kehangatan yang terasa familiar dalam ingatannya hingga dapat membawa kembali memori yang sempat hilang terbawa kenyataan.
Mereka saling memeluk, menyalurkan perasaan melalui detak jantung yang saling berdetak seirama. “Selamat ulang tahun ya, sayang.” Feyre melepaskan pelukannya seketika, ia tidak percaya, benar-benar tidak percaya bahwa Dewa yang berada di depannya kini telah mengingat dirinya bahkan hari ulang tahunnya.
“Kamu inget?” tanya Feyre ragu.
“Tentu aja, aku bahkan udah nyiapin hadiah paling spesial buat kamu.” Gadis itu hampir menangis lagi, merasa amat sangat bahagia karena Tuhan memberikan hadiah paling indah di hari ulang tahunnya.
“Tapi hadiahnya ada di rumah kamu, di halaman rumah, gede banget jadi nggak bisa di bawa ke sini,” bisik Dewa di depan wajah Feyre. Tangan Dewa mengusap air mata yang tersisa di sana, mengelus wajah istrinya yang sangat ia rindukan. “Jadi kamu harus lihat sendiri nanti, nggak harus nanti sih, bisa kapan aja.”
Feyre mengangguk, ia merasa tidak bisa membalas ucapan Dewa saat ini dan hanya bisa mengatakan syukur berkali-kali dalam hatinya.
“Re,” panggil Dewa dengan nada rendah tepat di depan wajah gadis itu. Feyre mendongak untuk menatap wajah Dewa yang berada sangat dekat di depannya. “Mulai sekarang jangan nunggu aku lagi, ya?“
Gadis itu menatap Dewa bingung, tidak memahami apa maksud dari ucapannya. Namun Feyre tetaplah Feyre, ia akan selalu menjadi gadis yang keras kepala dan tidak akan menuruti perkataan orang lain jika tidak sesuai dengan kemauannya.
“Aku nggak akan nunggu lagi, karena mulai sekarang aku nggak akan biarin kamu pergi sendiri jadi aku nggak perlu nunggu kamu kembali.”
Feyre berjinjit untuk mengecup bibir Dewa cepat sebelum menjauhkan diri darinya, merasakan suhu tubuh laki-laki itu sudah mulai dingin karena angin yang menerpa mereka.
Dewa tidak melepaskan tubuh Feyre, justru ia menarik lebih dekat gadis itu untuk berada dalam jangkauannya, mengikis jarak diantara keduanya untuk bisa saling beradu nafas yang hangat dalam wajahnya. Dewa mencium bibir Feyre pelan, memberikan semua kasih sayang miliknya pada Feyre melalui bahasa tubuhnya. Mereka menikmati momen tersebut beberapa saat sebelum kenyataan kembali datang menghantam kehidupan mereka.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam dua bulan, Dewa dan Feyre merasa hidupnya terasa amat sangat bahagia. Feyre bersyukur, di hari ulang tahunnya, ia mendapatkan hadiah paling berharga dari Tuhan.