Hari ke-30
Entah sudah berapa kali gadis itu menghembuskan nafas panjang, mencoba menetralkan detak jantungnya yang berdegup sangat kencang melebihi ketika ia menyelesaikan tes lari enam putaran di Lapangan Saraga saat mata kuliah olahraga. Hari ini, ia akan bertemu dengan laki-laki itu lagi. Laki-laki yang sempat menghilang beberapa hari belakangan, laki-laki yang berhasil membuat hati dan pikiran gadis itu menjadi penuh sampai berserakan.
Ia merapikan bajunya, mengecek kembali rambutnya yang tergerai, kemudian masih berusaha mengatur nafas dan detak jantungnya untuk membuat dirinya lebih tenang.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.50 WIB, ia masih memiliki waktu kurang lebih sepuluh menit sebelum Dewa datang menjemputnya hari ini.
Kafe sudah tutup sekitar 20 menit yang lalu, entah kenapa pemilik kafe memberitahukan bahwa hari ini kafe cukup buka sampai pukul 21.30 WIB dan seluruh pekerja bisa pulang dengan lebih cepat, membuat Feyre menghembuskan nafas lega karena merasa beruntung. Ia bisa mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum benar-benar bertemu dengan Dewa. Sebuah keberuntungan, batinnya.
Silau lampu mobil membuat mata Feyre menyipit. Ia tahu, Dewa pasti akan datang lebih awal dari perkiraan, sesuai dengan kebiasaannya yang memilih untuk datang lebih dulu daripada terlambat. Dan tebakannya benar, pukul 21.55 WIB mobil Dewa sudah terlihat memasuki pelataran parkir kafe tersebut. Laki-laki itu kemudian turun dari mobilnya dan menghampiri Feyre yang tengah berdiri di depan pintu kafe setelah memarkirkan mobil hitamnya di tempat parkir kafe yang sudah sepi.
“Udah siap? Mau pergi sekarang?” ucap Dewa sesampainya di depan Feyre, yang dijawab dengan sebuah anggukan kecil tanpa suara.
Keduanya sama-sama terdiam di dalam mobil, tidak mengatakan satu patah kata dan lebih memilih untuk berbicara dalam hati mereka masing-masing. Membiarkan musik mengantarkan mereka menuju tujuan.
Feyre tidak tahu ke mana Dewa akan membawanya hari ini. Seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan, Feyre selalu saja menurut ke mana pun laki-laki itu membawanya, tanpa banyak bertanya. Seperti sekarang, Feyre hanya diam tanpa suara, memandang jalanan Kota Bandung yang cukup ramai, tanpa bertanya ke mana tujuan mereka hari ini. Dan ketika matanya menangkap sebuah tempat yang sangat ia kenali, jantungnya kembali berdegup kencang.
Apartemen Dewa.
Feyre tidak mengerti kenapa Dewa membawanya ke sana, tempat yang mengingatkan ia dengan segala hal tentang laki-laki di sebelahnya.
“Kita ngapain ke sini?” tanya Feyre setelah mesin mobil berhenti dan Dewa melepaskan sabuk pengamannya.
“Mau ngomongin sesuatu, kita butuh tempat yang tenang.”
Jika jantung Feyre berdetak sangat kencang, maka jantung Dewa tidak kalah kencangnya. Laki-laki itu sampai harus memegang dadanya sesekali untuk membuat detakan dalam tubuhnya dapat berkurang. Namun sayang, semua itu tidak berhasil, jantungnya semakin berpacu. Apalagi ketika tangannya tidak sengaja menyenggol tangan Feyre saat berada di dalam lift, rasanya jantung Dewa akan meledak saat itu juga.
Rasanya aneh. Perasaannya sekarang dengan kemarin-kemarin seakan menjadi dua hal yang sangat berbeda. Jika biasanya ia akan dengan mudah mengacak rambut Feyre atau menggandeng tangan gadis itu. Sekarang, sekadar untuk menatap matanya saja ia tidak mampu. Terlalu canggung bagi mereka berdua untuk kembali menatap dan berbicara.
Selain itu, suasana yang cukup hening sedari tadi membuat keduanya semakin dibuat canggung oleh keadaan.
Dewa sampai hampir lupa tentang apa tujuan ia mengajak gadis itu untuk bertemu di hari ke-30 mereka menjalani kontrak. Pikirannya mendadak berhenti bekerja sesaat setelah ia menyadari betapa cantiknya gadis yang ada di sebelahnya saat ini.
Mereka berdua tengah berada di balkon apartemen dan berdiri secara terpisah sejauh satu meter. Keduanya sama-sama sedang fokus melihat Kota Bandung yang menyajikan sebuah pemandangan indah lampu kota yang menghiasinya. Dan lagi, keduanya masih terdiam. Sibuk dengan apa yang sedang mereka pikirkan.
Pikiran Dewa melayang ke berbagai hal, tentang sanggupkah ia mengakhiri kontrak ini dan melepaskan Feyre, membiarkan gadis itu hidup jauh dari pandangannya, dan mungkin membiarkan hidupnya tidak lagi terisi oleh gadis itu. Memikirkannya saja, membuat dada Dewa terasa sangat sesak.
Namun, kembali pikirannya membawa sebuah realita, tentang bagaimana hidup gadis itu akan berubah ketika Dewa memaksakan diri untuk bersamanya. Memikirkan bagaimana jika nanti papanya melakukan hal yang sangat tidak ia inginkan kepada Feyre, memikirkan bagaimana jika Feyre mengalami hal buruk saat bersamanya, dan memikirkan hal-hal buruk lain yang membuat Dewa merasa sangat frustasi.
Sedangkan Feyre?
Gadis itu juga terdiam, pikirannya melayang jauh untuk memikirkan bagaimana ia harus memulai percakapan ini. Sudah hampir 30 menit mereka sama-sama diam, sejak menginjakkan kaki di balkon apartemen ini. Feyre bingung, apakah ia harus menunggu Dewa membuka suara atau haruskah ia memulai percakapan mereka karena merasa Dewa tidak akan segera membuka suara.
Ia sudah hampir tidak mampu, perasaannya semakin mendominasi ketika ia berdiri di sebelah laki-laki itu. Aroma tubuh Dewa yang selalu ia ingat di luar kepala dan suasana apartemen yang selalu menghantui pikirannya—karena menampilkan banyak memori di kepalanya—membuat gadis itu ingin cepat pergi dari sana. Karena ia takut. Takut, kalau perasaannya akan semakin mengambil alih dirinya dan ia tidak akan mampu lagi untuk pergi dari Dewa setelah ini.
“Kak?” kalimat singkat Feyre akhirnya berhasil membuat lamunan Dewa menghilang dalam sekejap. Dewa menoleh, mendapati gadis itu sudah berbalik untuk menghadapnya. Tatapannya mengarah langsung ke mata Dewa. “Kalo lo belum mau ngomong, gue yang mau ngomong duluan ya,” ujar Feyre yakin.
Saat ini Dewa hanya diam, menatap Feyre dengan tatapan yang mengisyaratkan bahwa ia sangat ingin berbicara namun mulutnya seolah terkunci dan tidak bisa terbuka. Feyre mengangguk pelan menyadari arti tatapan Dewa.
“Gue rasa, kontrak kita udah cukup sampe di sini. Waktu gue udah habis,” ucap Feyre dengan suara yang sedikit bergetar.
Dewa tahu, Feyre pasti akan mengatakan hal ini. Namun, Dewa tidak tahu jika efek samping dari mendengar hal ini secara langsung, dapat membuat dirinya merasa seperti digores dengan sebuah pisau belati tepat di hatinya. Sakit. Terlebih lagi ketika melihat gadis itu berbicara dengan membawa secuil kesedihan dalam ucapannya.
“Maaf, gue nggak berhasil dalam pekerjaan ini,” ucap Feyre lagi, “maaf karena gue gagal, maaf karena gue gak bisa bikin lo jatuh cinta sama gue, dan maaf karena...” Ia memberikan jeda dalam ucapannya, menarik nafas panjang sebelum mengucapkan kalimat terakhirnya.
“Gue jatuh cinta sama lo.”
Feyre menunduk, tidak ingin melihat Dewa dengan wajah yang sudah hampir penuh dengan air mata. Perasaannya sangat tidak karuan, ia ingin menyimpan perasaan itu dan meguburnya dalam-dalam, tidak memberitahu kepada Dewa bahwa ia gagal karena telah jatuh cinta kepada laki-laki itu. Namun ketika ia hendak berhenti, mulutnya seolah tersihir sampai semua perasaannya mengalir dengan sempurna dalam ucapannya.
Akhirnya, setelah mengumpulkan semua keberaniannya, Feyre bisa merasa lega. Setidaknya ketika ia pergi setelah ini, tidak ada perasaan yang mengganjal dalam dirinya karena ia sudah mengatakannya kepada laki-laki itu. Ia pun sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia tidak ingin memaksakan perasaannya kepada Dewa.
Apapun yang terjadi nantinya.
Sepuluh detik berlalu dan masih tidak ada suara dari Dewa, Feyre pun tidak mampu mendongak untuk melihat bagaimana reaksi Dewa saat ini. Yang ia lakukan sekarang hanya menunduk dan meremas tangannya. Mencoba untuk menghilangkan rasa sakit yang ia rasakan dalam hatinya karena pikirannya yang berkata bahwa Dewa pasti akan menolaknya setelah ini, memutus kontrak, dan menyuruh Feyre untuk mengembalikan semua uangnya karena gagal dalam pekerjaan ini.
Sebenarnya Feyre sudah tidak peduli lagi dengan uang itu, kalaupun ia harus mengembalikannya agar bisa bersama dengan Dewa, ia rela. Sebab yang ia pikirkan sekarang hanyalah bagaimana ia bisa bersama dengan laki-laki itu atau bagaimana ia bisa berdamai dengan perasaanya, jika Dewa sudah tidak ada di sisinya lagi setelah ini.
Sebaliknya, Dewa pun saat ini juga sudah tidak peduli dengan uang itu. Karena baginya, perasaan ini lebih berharga dari segepok uang 100 juta yang ia berikan kepada Feyre.
“Fey,” panggil Dewa lirih.
Bukannya menjawab, Feyre justru diam dan semakin meremas tangannya. Kepalanya masih menunduk, bibirnya masih digigit dan kini gigitannya semakin kuat untuk menahan air matanya agar tidak jatuh melewati pipinya. Baginya, hanya mendengar suara Dewa sudah membuatnya sangat ingin menangis. Bagaimana laki-laki itu memanggil namanya dengan lembut dan membuat pertahanannya menjadi semakin runtuh.
“Feyre,” panggil Dewa kedua kali, namun dengan nada yang lebih lembut. Terdapat sebuah perasaan dalam ucapannya, yang bisa Feyre rasakan.
Ketika Dewa menyadari bahwa tangis Feyre hampir tidak bisa dibendung lagi, dan Feyre menyadari bahwa perasaannya kini sudah 100% mengambil alih dirinya, tanpa ragu Dewa melangkah untuk mendekap gadis itu dalam pelukannya. Merengkuhnya pelan dan menenggelamkan wajah Feyre dalam dadanya, tangan kanannya mengusap kepala Feyre dengan lembut dan penuh rasa sayang.
“Ssshhh, Fey, lo nggak perlu minta maaf, lo nggak salah apapun di sini.”
Benar saja, ketika Feyre mendengar kembali suara Dewa meluncur dengan sangat lembut di atas kepalanya, gadis itu akhirnya menangis semakin kencang. Pertahanan yang telah ia bangun sejak kemarin seketika runtuh.
Secara tidak sadar, tangannya sudah melingkar di pinggang Dewa, megeratkan dirinya untuk dapat merasakan kenyamanan dalam pelukan laki-laki itu. Dewa tidak bisa menahan lagi, keinginan untuk memeluk Feyre sejak beberapa hari yang lalu akhirnya terbayarkan.
Dewa merasa pertahanannya juga ikut runtuh, perasaannya terhadap Feyre terasa lebih besar dari apapun untuk akhirnya bisa mengusir ketakutannya akan hal-hal yang ada di pikirannya sejak kemarin. Ia tidak lagi memikirkan hal buruk yang akan terjadi ke depannya, yang ia pikirkan sekarang hanyalah bagaimana cara ia melindungi Feyre dari semua orang, terlebih lagi dari papanya. Agar ketika ia memilih untuk bersama Feyre dan melawan papanya lagi, ia bisa memastikan bahwa gadis itu akan baik-baik saja dalam jangkauannya.
“Lo nggak gagal, Fey, nggak pernah. Justru lo berhasil. Bahkan jauh sebelum lo, gue udah jatuh lebih dulu,” ucap Dewa dengan lembut.
Dewa membiarkan gadis itu tenang dalam pelukannya. Ia tahu, perasaan Feyre saat ini pasti sedang tidak baik-baik saja. Dewa mengumpat dalam hati, memaki dirinya sendiri yang sempat menghilang kemarin, hanya karena merasa takut akan sesuatu hal yang sebenarnya tidak perlu ia takutkan.
Saat merasa bahwa Feyre sudah lebih tenang, Dewa melonggarkan pelukannya. Namun tangan Feyre masih melingkar di tubuh Dewa dan enggan untuk dilepaskan.
Diraihnya wajah kecil gadis di depannya, yang sudah memerah dan penuh dengan air mata. Dewa tersenyum, sungguh, Feyre masih saja terlihat sangat cantik bahkan ketika ia selesai menangis. Tatapan matanya bertemu dengan mata cantik Feyre. Gadis itu menatapnya dengan perasaan yang amat sangat tergambarkan, perasaan sayang, perasaan cinta, dan perasaan takut, akan kehilangan.
Dengan masih tersenyum kecil, dipandanginya detail wajah Feyre dari jarak dekat, jarak yang hanya tersisa kurang dari satu hasta. Ibu jarinya mengusap pelan sisa-sisa air mata di wajah gadis itu, memberikan usapan ringan yang berhasil membuat jantung Feyre seakan ingin meloncat dari tempatnya.
“Fey,” ucap Dewa ketiga kali.
Entah hanya perasaannya, atau memang Feyre merasa bahwa Dewa lebih hangat dari biasanya. Wajahnya terlihat sangat dekat, aroma tubuh mereka bercampur memenuhi ruangan karena tubuhnya yang saling bersentuhan. Feyre memandang Dewa lekat, menunggu laki-laki itu melanjutkan ucapannya.
“I'm falling in love with you, so hard, more than you know, and more than you think.” Tatapan mata Dewa tidak berbohong, apa yang ia ucapkan memang benar-benar nyata dari dalam hatinya. Laki-laki itu telah jatuh, jauh ke dalam, lebih dari apa yang mereka pikirkan.
“Maaf karena kemarin gue terlalu pengecut, lari dari hal sepele yang sebenernya nggak pantes gue takutkan,” ujar Dewa, “tapi gue janji, mulai sekarang, gue nggak akan lari, bahkan kalau gue harus ngelawan takdir buat bisa terus sama lo, gue akan lawan itu, sekuat apapun yang gue mampu, sampe kematian jadi satu-satunya hal yang bisa misahin kita berdua.”
Dewa kembali merengkuh Feyre dalam pelukannya. “Lo percaya sama gue, kan?”
Feyre merasakan hatinya menghangat, ucapan jujur dari Dewa membuat dirinya melupakan semua hal yang sebelumnya menghantui pikirannya, melupakan semua orang, dan melupakan sebuah fakta bahwa Dewa telah memiliki calon istri.
Gadis itu mengangguk pelan dalam pelukan Dewa. Memejamkan matanya dan merasakan detak jantung Dewa berdetak seirama dengan jantungnya. “Gue percaya. Jangan pergi ya, Kak. Jangan tinggalin gue sendirian lagi.”
Senyum Dewa merekah di sela usapan tangannya pada kepala Feyre, “Iya, gue janji. Gue nggak akan pergi ninggalin lo lagi.”
Pada akhirnya Dewa tersadar, bersembunyi di balik rasa takut hanya akan membuatnya menyesal di kemudian hari. Ia memberanikan diri untuk mempertaruhkan segala hal yang ia punya agar dapat melihat gadis dalam pelukannya tersenyum bahagia, bersamanya.
Gadis yang ia temui satu bulan yang lalu. Ralat, lebih tepatnya dua bulan lalu, jauh sebelum kontrak itu di mulai. Gadis yang tidak pernah menyadari bahwa Dewa sudah memperhatikannya jauh sebelum ia berbicara dengannya. Gadis yang ternyata dibawa oleh takdir untuk menghadapnya, tepat ketika Dewa membuka tangannya untuk berdoa.