Jatuh dan Ingatan
Kota Bandung malam ini terlihat sedikit padat dari biasanya, mobil-mobil saling berbicara menggunakan klaksonnya bahkan tepat ketika lampu baru saja berubah menjadi hijau. Malam ini Feyre bersama kedua sahabatnya tengah menuju apartemen Dewa, membawa sebuah kue untuk perayaan hari jadi suaminya.
“Aduh, kalo macet gini sampe tepat waktu nggak ya?” Nando berbicara sembari melihat jam, memastikan bahwa mereka tidak akan terlambat.
“Sampe-sampe, yakin dulu aja.” Nasya yang berada di kursi penumpang sebelah Nando melirik Feyre yang sedari tadi terdiam di kursi belakang. “Fey? Lo gapapa? Pucet banget muka lo,” tanya Nasya dengan wajah khawatir saat melihat sahabatnya terlihat pucat. Gadis itu juga terlihat menggigit bibirnya dan memegang perutnya seperti seorang yang sedang kesakitan.
“Lo sakit?“
Feyre menggeleng pelan. “Nggak, dikit doang kok tar juga ilang.”
Nasya memandang Feyre lagi, memastikan bahwa sahabatnya benat tidak sakit. “Yakin?” Gadis itu mengangguk lagi dan menghembuskan nafas panjang sebelum kemudian tersenyum kepada sahabatnya, memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja.
Sepuluh menit berlalu, kini mereka tengah berada di dalam lift yang mengantarkan ketiganya pada lantai tempat Feyre dan Dewa tinggal, Feyre memegang sebuah kotak berisi kue ulang tahun Dewa dengan gugup, sedikit tidak yakin dengan apa yang akan ia lakukan.
“Ini langsung masuk aja?” Feyre mengangguk menjawab Nasya, ia tidak bisa membuka ponselnya karena kedua tangannya memegang kue, sedangkan ia yakin bahwa Dewa dan teman-temannya sudah berada di dalam karena ia melihat mobil Abian telah terparkir di bawah sana.
Ia membuka pintu dengan hati-hati, kemudian dari dalam sana terlihat beberapa sosok laki-laki berdiri membelakangi mereka. “Surprise!!” Nasya berteriak untuk mengalihkan perhatian teman-teman Dewa. Mereka semua menoleh, memperhatikan siapa seseorang yang datang di sana.
“Happy birthday to you, happy birthday to you,” Nasya mulai bernyanyi, membuat beberapa orang saling menyenggol lengan dan akhirnya ikut bernyanyi mengikuti gadis itu. Tidak terkecuali Abian.
Di ujung sana, Feyre berjalan maju untuk mendekat ke arah Dewa, membawa kue lengkap dengan lilin yang menyala. Matanya menatap lekat Dewa yang ikut menatapnya. Selesai menyanyikan sebuah lagu, Feyre memandang Dewa dengan sebuah senyuman hangat, membuat Dewa mengerutkan keningnya. “Make a wish dulu kak sebelum tiup lilin.”
Dewa hanya diam dan menurut, kemudian ia meniup lilin tersebut sebelum kemudian mengambil kuenya dari tangan Feyre. Meletakkannya di meja dekat dengannya. Semua orang terdiam, entah bingung dengan suasana ini atau karena bingung harus memberikan reaksi seperti apa. “Selamat ulang tahun kak, semoga - ”
“Lo siapa?”
Feyre mematung seketika, tubuhnya kembali membeku dan hatinya kembali sakit. Kejadian ini datang lagi, dan Feyre tidak pernah menyangka bahwa kejadian ini akan datang tepat di hari ulang tahun Dewa. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani berbicara karena takut akan membuat suasana menjadi runyam.
Sebelumnya, mereka telah menyadari keanehan Dewa saat mereka tiba di apartemen dan Dewa mengatakan hal-hal aneh yang menurut mereka sangat tidak masuk akal. Sampai ketika Abian menjelaskan kepada mereka, baru lah mereka tahu apa yang terjadi kepada Dewa. Namun sayang, belum sempat Abian berhasil mengabari Feyre, gadis itu sudah berada di sana terlebih dahulu.
Feyre mundur beberapa langkah, mendekat ke arah Nasya dan Nando yang ikut mematung di tempatnya.
“Kalian ngapain di apartemen gue? Emang kita pernah kenal?” tanya Dewa dingin. Semua teman-temannya masih terdiam tidak ada yang berani berbicara. Abian yang menyadari suasana itu akhirnya mengambil inisiatif untuk menjelaskan kepada Dewa.
“Wa, itu - ” Feyre menaikkan tangannya memberikan tanda untuk Abian tidak berbicara, laki-laki itu terdiam tepat saat Feyre mengangkat tangannya. Menuruti apa yang gadis itu lakukan.
“Uhmm, halo kak. Kenalin aku Feyre,” gadis itu berbicara dengan tersenyum, mencoba menyembunyikan perasaan sakit hati dan sedihnya dalam senyuman yang sedang ia paksakan.
“Terus?” Dewa menjawab dengan ketus, persis seperti Dewa dahulu ketika masih kuliah.
Abian hampir frustasi, ia tidak tega melihat Feyre seperti ini, bahkan setelah segala hal yang sudah Feyre siapkan untuk Dewa hari ini. Tapi ia juga tidak bisa menyalahkan Dewa karena laki-laki itu juga tidak mengingat apapun tentang istrinya.
“Ya berhubung hari ini ulang tahun kakak, jadi aku mau nguca - ” Gadis itu tiba-tiba berhenti berbicara, tangannya seketika memegangi perutnya ketika ia merasakan rasa perih yang tidak terkira. Nasya dan Nando segera menghampiri gadis itu, dan tepat ketika gadis itu akan terjatuh, Abian dengan sigap menangkapnya, melihat Dewa yang sangat tidak mungkin melakukan itu saat ini juga.
Semua orang terkejut, Abian dengan segera membopong Feyre yang sudah tidak sadarkan diri. Wajah gadis itu pucat pasi dan tangannya sangat dingin. Ia yakin bahwa gerd-nya itu kambuh lagi. Abian menoleh kepada Dewa, melihat kembali apakah laki-laki itu akan memberikan reaksi lain atau tidak, namun tetap, Dewa hanya menatap mereka datar tanpa ekspresi.
Saat itulah Abian tahu, bahwa sekarang, ialah yang harus membawa gadis itu ke rumah sakit seperti sebelumnya. “Gue cabut dulu ke rumah sakit,” pamit Abian kepada teman-temannya.
Nakula dan semua teman-temannya mengangguk pelan, membiarkan Abian membawa Feyre menuju tempat yang seharusnya sebelum terlambat. Di sisi lain, Dewa tampak bingung dengan kondisi yang ada. Ia benar-benar tidak mengingat apapun tentang gadis itu, bahkan ketika matanya melihat kue yang ada di atas meja, kemudian matanya menangkap foto yang terpajang di dinding, menampilkan dirinya beserta gadis itu, lagi-lagi ia masih tidak bisa mengingatnya. Beberapa menit ia terdiam, mencoba memahami dengan pikirannya yang tersisa. Sampai ketika ia sudah tidak bisa menemukan satupun jawaban, ia pun akhirnya bertanya.
“Dia siapa?” tanya Dewa pada akhirnya, membuat beberapa temannya bingung harus menjawab apa. Mereka tahu bahwa Dewa saat ini pasti tidak bisa mempercayai apapun yang mereka katakan, karena ingatan Dewa tentang gadis itu benar-benar telah hilang.
“Dia istri lo, Wa.” Nakula berbicara kepada Dewa, kemudian menepuk pundak temannya pelan. Berharap laki-laki itu bisa menerima ucapannya. Istrinya? Dewa berpikir keras, bagaimana ia bisa memiliki istri jika dalam pikirannya, ia masih berada di bangku kuliah, dan lebih jelas lagi ia merasa tidak pernah mengenal gadis itu.
Kepalanya berdenyut ketika mencoba mengingat semua hal yang terjadi, sekuat tenaga ia mencoba mengingat, namun tidak ada satupun ingatan tentang gadis itu hadir dalam hidupnya. Hingga kemudian, ketika otaknya terlalu dipaksa untuk bekerja, matanya kembali berkunang-kunang dan badannya limbung karena ia merasa lemas tiba-tiba.
“Wa, lo kenapa? Dewa?” Semua orang di sana terlihat panik ketika melihat Dewa tiba-tiba terjatuh sembari memegang kepalanya yang sakit. Badannya dingin dan ia mulai berkeringat. “Wa bangun, lo kenapa?” tanya Nakula lagi.
Namun, belum sempat Dewa menjawab, kegelapan datang menerpa tubuhnya. Pada akhirnya ia kembali tumbang dalam ingatan yang masih menghilang.