Jogja Part 2

Entah sudah menjadi kebiasaan, atau memang Feyre memilih untuk tidak bertanya kepada Dewa tentang tujuan mereka hari ini, gadis itu hanya menurut. Pagi tadi Dewa berkata bahwa ia akan mengajak Feyre pergi ke suatu tempat, tepat saat keduanya duduk di kursi resto hotel untuk sarapan. Tidak ada pertanyaan lanjutan dari Feyre seperti biasanya, dan Dewa merasa bahwa gadis itu akhirnya menyadari kebiasaan Dewa untuk melakukan hal impulsif, seperti tiba-tiba mengajak Feyre ke sini, ataupun hal-hal impulsif lainnya selama mereka bersama.

Bukan lagi jalanan bersandingan dengan bangunan berjajar yang menemani perjalanan mereka berdua saat ini, melainkan tebing-tebing tinggi, beberapa hamparan sawah, serta hutan-hutan yang menyajikan nuansa sejuk dan alami sepanjang perjalanan. Suara musik dari Lauv yang menyanyikan lagu berjudul Never Not ikut menemani Feyre dan Dewa menuju destinasi mereka pagi ini.

“Kak boleh di buka ga jendelanya?” Tanpa menjawab, Dewa segera menurunkan kaca mobilnya, membiarkan Feyre tersenyum senang saat tangan dan kepalanya berhasil menyembul dari dalam mobil.

“Kita mau ke pantai ya?” Akhirnya Feyre bertanya kepada Dewa, setelah kurang lebih satu setengah jam ia hanya mengamati lingkungan yang dilewati oleh mobil mereka, menebak-nebak kemana Dewa akan membawa mereka berdua pergi, dan akhirnya menemukan sebuah jawaban saat Feyre menyadari posisi mereka kini sudah tidak lagi di kota, namun berada di Gunung Kidul, pusat dari pantai-pantai indah di Yogyakarta.

“Hmm.” Dewa menjawab dengan singkat, tangan kirinya sibuk membuka ponsel untuk mengganti musik yang berputar di dalam mobil.

“Kata lo gak suka pantai kak?”

“Emang.” Lagi-lagi Dewa hanya menjawab dengan singkat.

“Terus?” tanya Feyre lagi.

“Terus apa?” Tangan kiri Dewa yang tadinya digunakan untuk membuka ponsel, kini kembali memegang kemudi karena Feyre tiba-tiba mengambil alih ponsel Dewa saat melihat laki-laki itu masih saja fokus ke ponselnya untuk mencari musik yang ingin ia putar. “Mau lagu apa?”

“Apa aja, terserah lo.” Feyre mengangkat sebelah alisnya. Berusaha mencari lagu yang kira-kira cocok dengan selera mereka berdua, dan akhirnya tangannya berhenti pada tulisan 'The Beach-The Neighbourhood' pada playlist Dewa. “Eh lo belom jawab gue kak. Terus kenapa lo ngajak gue ke pantai? Katanya lo gak suka.” Feyre meletakkan ponsel Dewa ke tempat semula kemudian kembali menatap laki-laki itu.

“Ya... emang gak suka.” Sungguh, Feyre ingin memaki Dewa karena tidak memberikan jawaban yang jelas dari pertanyaan Feyre. Namun, niat itu ia urungkan seketika saat mengingat Dewa sudah berbaik hati mengajak Feyre berlibur ke Yogyakarta di sela kesibukannya. Bahkan jika diingat pun, untuk apa Dewa repot-repot mengajak Feyre berlibur? Ia tidak memiliki satu alasan apapun yang dapat dipahami oleh Feyre. Jika dipikir-pikir, bukankah seharusnya Feyre yang mengajak Dewa untuk berlibur, dalam rangka menjalankan misi membuat Dewa jatuh cinta kepadanya dalam waktu 30 hari? Gadis itu hanya diam dan memikirkan kebingungannya sejak kemarin. Tentang alasan Dewa yang secara mendadak mengajaknya pergi ke sini. Terlebih lagi sekarang laki-laki itu mengajak Feyre ke pantai, yang notabennya adalah tempat yang Dewa tidak sukai.

“Makanya ... kenapa lo ajak gue ke pantai?”

Dewa diam sejenak, membuat suara di dalam mobil hanya terisi oleh alunan musik yan kini sudah berganti. “Karena ... iseng aja.”

Bohong. Dewa tidak se iseng itu untuk secara cuma-cuma mengajak Feyre pergi ke pantai. Pastinya, tanpa Feyre sadari lagi, Dewa telah membacanya, di buku harian Feyre. Tulisan tentang seberapa ingin gadis itu kembali lagi, ke pantai yang akan mereka kunjungi setelah ini. Pantai yang mengingatkan Feyre kepada kedua orang tuanya, pantai yang selalu Feyre dan keluarganya datangi ketika keluarga mereka berlibur di Yogyakarta, dan pantai yang menjadi saksi terakhir kali Feyre bertemu kedua orang tuanya sebelum mereka berdua pergi.

“Lo kira gue percaya, kak, kalo lo cuma iseng?” kata Feyre dengan jelas.

“Enggak.”

“Ya terus kenapa?” Feyre masih bersikeras untuk menanyakan hal tersebut. Hal yang menjadi pertanyaan Feyre sejak tadi.

“Udah si, tinggal nurut aja kenapa?” Kali ini Dewa berkata dengan sedikit nada tegas, membuat gadis yang duduk di sebelahnya mau tidak mau memilih untuk diam dan menurut, tidak ingin membuat suasana liburan mereka menjadi kacau karena pertengkaran mereka hanya karena pertanyaan singkat Feyre.

Mobil yang mereka kendarai memasuki tempat parkir, setelah kurang lebih satu setengah jam perjalanan mereka lewati. Dewa dan Feyre dengan segera turun dari mobil dan berjalan menuju bibir pantai, menikmati lembutnya pasir pantai serta deburan ombak yang mengenai kaki mereka yang telanjang. Feyre melupakan pikirannya tentang alasan Dewa membawanya kemari, saat ini ia hanya fokus kepada pantai yang sangat ia rindukan, mencoba mengenang satu persatu memori yang pernah ia buat di tempat ini.

“Dulu gue sering kesini tau kak, sama mama papa dan Ezra,” katanya yang disambut dengan senyuman dan anggukan kecil dari Dewa, seolah sudah mengerti tentang apa yang Feyre katakan. Gadis itu lantas bercerita sambil mengajak Dewa menyusuri bibir pantai dari ujung ke ujung.

Dewa memang tidak menyukai pantai, baginya, pantai hanyalah kenangan buruk. Dahulu ia pernah pergi bersama keluarganya ke pantai yang ada di Bali, saat masih berumur tujuh tahun. Seperti anak kecil pada umumnya, Dewa menikmati pantai dengan bermain bersama Atha. Sedangkan mama dan papanya berada jauh dari mereka. Dewa awalnya hanya berenang di bibir pantai bersama orang-orang lain, namun entah kenapa tiba-tiba dia seperti terseret oleh ombak sampai membuatnya hampir tenggelam. Beruntung ada penjaga pantai yang dengan sigap menolong Dewa dari sana, jika terlambat satu detik saja mungkin Dewa sudah tidak ada lagi di dunia. Sejak saat itu, Dewa paling tidak suka dengan pantai. Setiap ada yang mengajak ke pantai, ia lebih memilih untuk tidak ikut atau mengusulkan tempat lain, sehingga ia tidak pernah lagi pergi ke pantai sejak umur tujuh tahun. Anehnya, kali ini Dewa memilih untuk melawan rasa takutnya, membiarkan kakinya menuntun mereka berdua menuju tempat yang dahulunya sangat ia benci.

“Kak, gue mau serius nanya, jadi lo harus serius jawab ya?” ujar Feyre saat keduanya sudah duduk di pasir pantai untuk menikmati suara deburan ombak dan angin pantai yang sangat kencang itu.

“Kalo pertanyaan lo aneh, gue ga mau jawab.” Feyre mendengus kesal saat mendengar ucapan Dewa.

“Lo pernah baca buku diary gue, ya?”

Dewa terdiam. Sepuluh detik dirinya hanya diam dan tidak mengeluarkan satu patah kata pun untuk menanggapi Feyte di sebelahnya. “Pernah,” jawabnya kemudian, sembari menoleh kepada Feyre yang diringi dengan anggukan ringan.

Rambut Feyre yang dibiarkan tergerai kini terlihat melambai-lambai terkena terpaan angin kencang di pantai, beberapa helai rambut menutupi sebagian wajahnya, meskipun sudah berkali-kali tangannya berusaha untuk menyingkap rambut tersebut dari sana.

“Sejauh mana?” Tangannya masih sibuk membenahi rambutnya yang beratakan.

“Cuma lembar yang kebuka pas lo tinggalin di apart.” Dewa menjawab, kemudian tangannya terulur, membenahi rambut Feyre yang kini mulai menutup setengah dari wajah gadis itu. Dewa menarik karet rambut yang tadinya berada di pergelangan tangannya, meraih sedikit demi sedikit rambut Feyre sampai menjadi satu.

“Eh kak, biar gue aja.”

“Sekalian, udah terlanjur kepegang,” ucap Dewa menyelesaikan kegiatannya untuk mengikat rambut Feyre yang berantakan. Kebiasaan Dewa sejak dulu, membawa karet rambut di pergelangan tangannya. Dahulu, ia seringkali melihat Atha kesulitan makan akibat rambutnya yang panjang dan jarang dikuncir, membuat Dewa menjadi sadar untuk selalu membawa karet rambut kemanapun ia pergi. Tidak menyangka, kebiasaan tersebut akan berguna di saat-saat seperti ini, sekalipun itu bukan Atha lagi.

“Makasih kak.”

“Jadi ... karena lo, pengen ke pantai.” Suara pelan Dewa yang ia pikir tidak akan terdengar oleh Feyre akibat suara ombak yang lebih kencang, ternyata berhasil masuk ke telinga gadis itu.

“Hah? Gue?”

Dewa yang menyadari bahwa suara pelannya ternyata terdengar oleh gadis itu, mau tidak mau menoleh dan menatap mata Feyre yang juga tengah menatapnya bingung. “Iya. Tadi lo nanya, kenapa gue ngajak lo ke pantai padahal gue gak suka pantai, kan?” Feyre mengangguk. “Ya itu, jawabannya. Karena lo pengen ke pantai. Makanya gue ajak lo ke pantai, bukan ke Dufan.”

Feyre semakin bingung, alisnya bertaut, dahinya berkerut, membuat Dewa tertawa ringan. Tangannya terulur untuk mengusap kepala Feyre, menatap mata gadis itu dengan penuh makna. Gadis yang ditatapnya itu hanya diam, memproses makna dari kalimat 'karena lo pengen' yang diucapkan oleh Dewa baru saja. Feyre bingung, apakah Dewa benar-benar melakuan semua hal ini hanya untuknya? Namun kenapa? Dewa tidak memiliki alasan untuk melakukan hal ini kepadanya bukan? Kecuali jika ...

“Kak?”

“Hmm?”

“Lo udah jatuh cinta sama gue?”

“Hah?” Dewa bingung, sejujurnya. Apa yang harus ia katakan kepada gadis di depannya untuk menjawab satu bulir pertanyaan yang dilontarkannya tadi. “Lo udah jatuh cinta sama gue?” ulangnya.

Laki-laki itu menarik kembali pikirannya, menanyakan kepada diri sendiri apa jawaban dari pertanyaan itu, karena sungguh, ia sendiri pun tidak tahu.

“Gue ... belom jatuh cinta sama lo.” Satu jawaban yang membuat gadis bernama Feyre itu mengangguk dan kembali menatap air yang kini hampir mengenai kaki mereka.

“Oh, kirain udah,” balas gadis itu lirih, sampai-sampai ia sendiri tidak bisa mendengarnya. Canggung. Keduanya kini hanya diam dan menikmati ombak, tidak membiarkan satu patah kata pun meluncur dari mulut keduanya, saat ini. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, bertanya kepada perasaan tentang apa yang mendasari semua tingkah laku mereka.

Sampai saat ini, hanya tuhan yang tahu, bagaimana perasaan keduanya, karena mereka berdua pun sama, tidak memahami apa yang mereka sebut dengan cinta.