Kambuh
Sudah hampir satu jam gadis ini bergelut dengan pakaian di dalam lemarinya. Memilah-milah jenis pakaian apa yang harus ia kenakan pada hari ini. Ia tidak ingin salah kostum karena menggunakan pakaian formal, namun tidak ingin terlihat terlalu santai juga jika menggunakan celana jeans biasa. Janji temunya dengan Dewa 30 menit lagi dan ia masih belum menemukan satu potong pakaian yang menjadi pilihannya.
Lama ia bergelut dengan pikirannya, matanya menatap sebuah dress berwarna cokelat yang menggantung di ujung lemarinya. Tangannya dengan cepat mengambil dress tersebut dan mencoba mencari pakaian lain yang ia rasa cocok menemani dress tersebut. Pilihannya kemudian jatuh kepada jaket berwarna putih, ia berpikir mungkin memakai dress dan jaket akan terlihat cukup casual namun tidak terlalu santai juga.
Setelah lama bersiap diri, akhirnya ia berjalan keluar saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 18.54 WIB. Feyre tahu, mungkin saja Dewa sudah berada di bawah karena laki-laki itu pasti akan lebih memilih untuk datang lebih awal daripada terlambat.
Benar saja, mobil Pajero hitam sudah terparkir rapi di depan pagar kos Feyre, lengkap dengan laki-laki yang memakai jaket putih juga, persis seperti apa yang Feyre kenakan.
“Lahh? Kok sama?” Dewa melirik jaket Feyre dan jaketnya bergantian, menyadari bahwa mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang berencana menggunakan pakaian couple padahal kenyataannya mereka tidak sengaja.
Tidak menunggu lama untuk keduanya kemudian masuk ke dalam mobil dan bergegas menuju lokasi yang sudah Dewa siapkan sejak semalam bersama Abian. Laki-laki itu dengan sangat bersemangat membantu Dewa menyiapkan segala hal yang akan digunakan pada hari ini. Feyre memandang bangunan tinggi berwarna putih itu dengan sangat takjub. Eksteriornya terlihat sangat minimalis dengan kesan segar karena banyak tumbuh-tumbuhan serta bunga yang menghiasi halamannya.
Tidak hanya eksteriornya yang bagus, interiornya juga terlihat sangat menawan, memberikan kesan sebuah tempat yang akan menyambut orang dengan hangat sekaligus perasaan bahagia. Mereka berjalan ke luar untuk menuju 'tempat' yang telah Dewa persiapkan.
Tempat di ujung halaman yang sudah dihiasi oleh lampu-lampu serta bangku yang berisi lilin dan bunga di atasnya. Jantung Feyre berdegup kencang, merasakan nuansa bahagia yang tempat ini berikan padanya. Dewa menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Feyre untuk duduk di sana. Laki-laki itu kemudian mengambil tempat di seberang Feyre dan mulai melambaikan tangan kepada pelayan di sana.
“Lo mau makan apa?” tanya Dewa. Mata Feyre masih menatap lekat buku menu di depannya, bergantian dari kanan ke kiri untuk menemukan makanan yang ia kenali.
“Lo makan apa kak?” Bukannya menjawab ia justru balik bertanya kepada Dewa karena merasa bingung harus memesan apa.
“Chicken Mushroom Casserole. Lo mau juga?”
“Boleh deh. Samain aja semuanya.” Dewa kemudian mengangguk dan mengucapkan pesanan mereka kepada pelayan di sebelahnya.
Malam ini, Dewa akan mengatakan semuanya kepada Feyre, tentang perasaannya. Dewa telah berpikir sepanjang hari, mencoba mengenali perasaannya, apakah yang ia rasakan memang benar-benar perasaan jatuh cinta, atau hanya sekedar perasaan peduli seperti yang ia pikirkan selama ini. Namun, beruntung Dewa memiliki sahabat seperti Abian yang sangat mengerti tentang suatu hubungan, sehingga kini, akhirnya ia bisa menyadari semua perasaannya terhadap gadis itu dan ingin segera mengatakannya sebelum terlambat.
Dahulu, ia berpikir bahwa sebuah ketidakmungkinan ia akan jatuh cinta hanya dalam waktu 30 hari, dengan seorang stranger yang baru saja ia kenal.
Kenyataannya, ketika waktu menunjukkan hari ini adalah hari ke-25 sejak mereka memulai perjanjian itu, Dewa benar-benar sudah jatuh cinta kepadanya.
“Fey.” Suara pelan Dewa terdengar di telinga Feyre yang sedang mendengarkan alunan musik di tempat itu.
“Kenapa kak?”
Dewa bingung, bagaimana ia memulai semua percakapannya. Tidak mungkin dengan tiba-tiba ia mengatakan ia telah jatuh cinta kepada gadis itu tanpa bridging sedikitpun. Ketika otaknya sibuk dengan apa yang harus ia katakan, matanya mendadak berkunang-kunang dan kepalanya sedikit pusing.
“Sial, jangan sekarang, plis,” pinta Dewa dalam hati.
Ia merasa bahwa tubuhnya mendadak menjadi tidak seimbang sehingga ia harus berpegang pada meja dan menutup matanya sejenak untuk membuat dirinya bisa normal kembali.
“Kak? Lo gak papa?” Menyadari hal tersebut, Feyre bertanya dengan nada khawatir. Takut sesuatu telah terjadi kepada Dewa. Setelah berhasil menetralkan kembali badannya, Dewa membuka mata dan melihat raut wajah Feyre yang berubah menjadi khawatir.
“Gak papa, tadi kaya pusing sebentar. Kurang tidur kayanya.”
Pada saat seperti ini, satu-satunya harapan Dewa adalah ia tidak bertemu dengan gejala itu lagi. Gejala yang sering menyerang Dewa secara tiba-tiba sampai nembuat dirinya tidak bisa bangun dari tempatnya seperti dahulu, saat Feyre menemukan dirinya tergeletak di lantai apartemen seorang diri tanpa bisa beranjak.
Beberapa menit kemudian pelayan datang membawa pesanan mereka, Dewa merasa bersyukur karena setelah makanan datang, suasana kembali seperti semula dengan Feyre yang sudah tidak menyadari adanya perubahan dalam diri Dewa. Sepuluh menit mereka makan dalam diam, menikmati satu persatu potongan makanan yang tersajikan dengan sangat indah dan lezat.
“Gimana makanannya, enak gak?” Feyre mengangguk antusias. Mulutnya masih mengunyah suapan terakhir, kemudian menelannya sebelum ia menjawab Dewa dengan sebuah suara.
“Enak banget, apa karena gue laper ya kak?”
Tawa Dewa datang bersamaan dengan Feyre yang tiba-tiba bersendawa dengan lumayan keras. “KAAAKKK MAAFIN, GAK SENGAJA.”
“Kenyang banget ya pasti?” Gadis itu mengangguk lagi.
Memang benar bahwa ia merasa sangat kenyang, selain karena masakan di sini memang terasa sangat lezat, ia juga sudah menghabiskan seluruh minumannya sehingga ruang yang tersisa dalam perutnya hanyalah udara. “Syukur deh kalo gitu, gak sia-sia kan makanannya berarti.”
“Semua makanan mah gak pernah sia-sia kak.”
Baru saja Dewa ingin menanggapi serta memulai kalimatnya yang telah ia susun sejak tadi, tiba-tiba ponsel Feyre berbunyi dan fokus mereka yang tadinya ada pada satu sama lain, kini beralih menuju suara tersebut. Dewa akhirnya menutup kembali mulutnya yang sudah hampir mengucapkan sepatah kata namun tidak sempat.
“Bentar ya kak, gue angkat dulu, dari Ezra.”
Laki-laki itu mengangguk, membiarkan Feyre bangkit untuk mengangkat telfonnya dan menjauh dari meja mereka. Nafas Dewa berhembus panjang, ia mulai mengatur detak jantungnya yang sudah mulai tidak teratur dan tangannya yang sudah mulai dingin.
Namun, lagi-lagi hal itu datang lagi. Kali ini Dewa tiba-tiba merasakan pusing yang amat sangat terasa sampai dirinya harus memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Ia merasa gejala yang lebih besar telah datang, gejala yang sejak kemarin ia takutkan akan muncul di saat yang tidak tepat.
Benar saja, seolah suatu yang buruk selalu datang di saat yang tidak tepat, hal ini pun sama. Dewa bangkit dari duduknya dengan sedikit sempoyongan, matanya ikut berkunang-kunang kembali dan rasanya seperti ia akan pingsan.
Sebelum Feyre sempat menoleh, dengan segera ia berjalan cepat menuju kamar mandi dan mengunci dirinya di dalam sana. Meninggalkan Feyre yang masih berada dalam panggilan dengan adiknya.
Tubuh Dewa mulai berkeringat, kepalanya pusing seperti ingin pecah, dan matanya terpejam karena menahan rasa sakit yang amat sangat serta datang dengan tiba-tiba itu.
Menyadari bahwa ia meninggalkan seorang gadis di luar sana, tangannya dengan bersusah payah merogoh ponsel dalam saku celananya, berusaha mencari nama seseorang yang ia rasa bisa membantunya sekarang.
Abian.
Tidak berhenti di sana, Dewa tidak hanya merasa pusing dan berkunang-kunang, kini ia merasakan mual yang amat sangat terasa. Jemarinya dengan segera memencet tombol telfon saat matanya menemukan nama yang ia cari, menunggu seseorang menjawabnya dari seberang sana. “Halo wa, gimana?”
“Dateng ke sini bi ... tolong ... jagain ... Feyre ... sebentar.” Suara Dewa terbata-bata karena menahan mual dan pusing di saat yang bersamaan. Abian yang mendengar itu dengan bingung dan sedikit panik karena merasa ada yang tidak beres dengan Dewa, segera melangkahkan kaki menuju mobil dan melajukannya ke tempat Dewa berada.
Beruntung jalanan Kota Bandung tidak begitu ramai, sehingga Abian dapat dengan segera mendaratkan dirinya di kursi tempat ini, berhadapan dengan gadis yang sering Dewa ceritakan.
“Maaf? Anda siapa ya?”
Sejujurnya Abian juga sedang kebingungan dengan situasi ini, ia tidak menemukan Dewa di mana-mana, namun ia menemukan mobil laki-laki itu masih terparkir di depan sana, tanda bahwa Dewa pasti mash berada di sini. Tapi di mana laki-laki itu sekarang?
“Gue ... temennya Dewa.” Dahi Feyre berkerut, ia bingung mengapa bukan Dewa yang ada di depannya melainkan laki-laki yang menyebut dirinya sebagai 'temannya Dewa' ini?
“Kak Dewa ke mana?” Sial. Abian bahkan tidak tahu juga di mana laki-laki itu berada.
“Uhm ... dia lagi ada urusan sebentar, jadi ... gue di suruh nemenin lo dulu sambil nunggu dia.”
Feyre tidak mengerti, mengapa laki-laki itu meninggalkannya di sini dengan orang asing yang bahkan Feyre sendiri tidak bisa 100% mempercayai bahwa ia adalah teman Dewa. Sejenak gadis itu berpikir, mungkin laki-laki di depannya ini yang kemarin diceritakan oleh Dewa, orang yang memberitahu bahwa Feyre sedang mengalami hal buruk di tempat kerjanya kemarin.
Abian dan Feyre hanya diam selama beberapa menit, dan ketika Abian menerima sebuah pesan lagi dari Dewa. la benar-benar merasa ada yang janggal dari laki-laki itu.