Kenyatan Pahit

Sejak pertama kali Abian mendengar suara Dewa diseberang sana, ia sudah yakin bahwa laki-laki itu sedang tidak baik-baik saja. Abian bingung, apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya di saat Dewa seharusnya sedang bersama dengan gadis ini. Dan sekarang, justru Abian lah yang sedang bersamanya sekarang.

Di depan rumah kos Feyre, memandang punggung gadis itu menghilang di balik pagar besi berwarna hitam setelah berpamitan dengannya.

Tangan Abian kemudian dengan cepat mengambil ponsel di sakunya, menuliskan beberapa kalimat yang ia kirimkan kepada Dewa yang sedari tadi tidak membalas ataupun menjelaskan apapun kepadanya.

Lantas ketika Abian membaca sesuatu yang tidak benar pada kondisi ini, langkahnya melebar dengan sempurna meninggalkan tempat itu, kemudian dengan segera melaju kembali ke tempat yang ia pikirkan sekarang.

Tempat di mana Dewa mungkin berada.

Mungkin.

“Lo kenapa sih wa?” rutuk Abian dalam hati, memikirkan apa yang Dewa lakukan sekarang sangat tidak masuk akal baginya. Tidak mungkin Dewa sedang mabuk, ia bahkan tidak pernah menyentuh botol alkohol sedikitpun ketika sedang bersama teman-temannya. Ia hanya akan melihat dan meminum air putih dengan alasan ia harus menjaga kesehatannya.

Selalu begitu.

Satu hal yang tidak pernah Abian pikirkan, mengapa Dewa selalu seperti itu?

Dan ketika Abian melihat kembali pesan yang Dewa kirimkan, seolah terlihat seperti seseorang yang sedang mabuk, Abian berpikir kembali, apakah Dewa benar-benar melakukannya? Mengapa?

Tidak ada satu jawabanpun yang melintas di benak Abian sekarang.

Matanya menatap parkiran yang masih sama seperti tadi, saat terakhir kali laki-laki itu meninggalkannya. Tidak ada yang berubah sama sekali, bahkan mobil hitam Dewa masih berada di sana.

“Mas, mau nanya. Tadi lihat temen saya yang duduk di sebelah sana, nggak?” Tangan Abian menunjuk ke arah meja di ujung halaman, tempat ia menemui Feyre sepuluh menit yang lalu.

“Oh, tadi kayaknya ke kamar mandi, Mas,” balas pelayan itu dengan ramah.

Tidak butuh waktu lama, Abian segera beranjak menuju kamar mandi setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang berjaga di area luar tempat tersebut. Pikirannya tidak berpikir macam-macam, sampai ketika ia melihat kerumunan orang di depan salah satu bilik kamar mandi, perasaannya mendadak tidak enak. “Bukan Dewa, kan?” batinnya.

Tapi harapan tetaplah harapan, meskipun kenyataan tidak menunjukkan apa yang ia inginkan.

Di sana, seorang laki-laki yang sangat ia kenal, terduduk di lantai dengan kondisi setengah sadar, keringat memenuhi tubuhnya, dan wajah yang kemungkinan sudah terlihat pucat pasi.

Ketika ada beberapa orang yang terlihat berusaha untuk membantunya, Dewa memberikan tanda mengunakan tangannya bahwa ia tidak kenapa-kenapa. Namun tetap saja, semua orang tahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Dewa melarang semua orang untuk mendekat ataupun membantunya. Ia masih berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dengan tenaganya yang tersisa, meskipun percuma, semua itu sia-sia. Badannya terlalu lemah untuk sekadar digunakan mengangkat kepalanya.

“Wa, anjing, lo kenapa?” Bukan mengumpat kepada Dewa, Abian justru mengumpat kepada keadaan, keadaan di mana ia tidak menyadari dengan cepat bahwa sahabatnya sedang bertarung dengan sesuatu yang berat.

Abian dengan cepat berusaha masuk ke bilik kamar mandi tersebut, mendorong beberapa orang untuk menyingkir dari hadapannya dan mendekat ke arah Dewa yang masih menunduk dengan mata terpejam.

“Dewa! Lo kenapa?!” Lagi-lagi Abian bertanya. Alih-alih menjawab, Dewa justru mendorong Abian untuk menjauh darinya, membuat Abian bingung namun tidak menghiraukannya.

“PANGGIL AMBULANS, TOLONG!” Abian menoleh, berteriak kepada beberapa orang di sana untuk meminta tolong. Ia merutuk dalam hati, kenapa tidak ada satupun orang yang membantu Dewa? Kenapa mereka tidak memiliki inisiatif untuk memanggil petugas medis saat melihat seseorang terlihat sangat kacau di sana.

Fokus Abian kemudian beralih kembali kepada Dewa yang kini tengah mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepada sahabatnya untuk tidak benar-benar memanggil ambulans.

“Gue ... nggak kenapa-kenapa. Jangan ... panggil ambulans ... anterin ... gue ... balik aja.” Abian yang mendengarnya dengan cepat memberikan kode kepada orang di sana untuk membatalkan panggilannya.

“Lo serius? Gak mau ke rumah sakit aja? Kondisi lo nggak baik, Wa.” Dewa menggeleng pelan.

Sungguh, suasana yang cukup membingungkan bagi Abian, sesaat ia bingung harus menuruti pikirannya dengan memanggil ambulans atau menuruti Dewa untuk mengantarnya pulang. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk mengantar Dewa pulang, melihat laki-laki itu kini sudah sedikit mendongak untuk bisa menatap matanya, mengisyaratkan bahwa ia benar-benar ingin pulang saja.

Abian menghembuskan nafas panjang, mencoba untuk tidak panik saat ini. Dibantu oleh beberapa orang di sana, Dewa dibopong menuju mobil Abian yang terparkir tepat di depan pintu. Dan dengan segera, Abian melajukan mobilnya menembus jalanan Kota Bandung yang beruntungnya, cukup sepi malam ini. Laki-laki itu tidak mengatakan satu patah katapun sampai mobil mereka tiba di apartemen Dewa, membiarkan Dewa tertelap di sana dengan kondisi yang masih sama.

“Udah ... sampe?” Dewa bertanya dengan pelan dan masih setengah sadar, ketika menyadari mobil yang mereka kendarai tidak lagi berjalan. “Udah. Lo tunggu sini bentar ya, gue mau minta tolong orang buat bawa lo ke atas.”

Tangan Dewa menahan lengan Abian agar ia tidak keluar dari sana. “Nggak usah ... tunggu aja ... abis ... ini ... pasti mendingan.”

Abian menghembuskan nafas panjang, kemudian menatap Dewa dengan penuh pertanyaan, ia benar-benar tidak mengerti dengan kondisi yang sedang terjadi sekarang. Puluhan pertanyaan sudah menggantung di kepala Abian sejak tadi, namun ia mengerti jika tidak memungkinkan bertanya kepada Dewa sekarang juga. Berbicara dengan jelas saja ia masih belum bisa.

30 menit mereka diam tanpa suara. Mesin mobil masih menyala, hanya saja tidak ada suara sedikitpun dari mereka, sekalipun suara radio atau musik yang biasa mereka dengarkan. Abian sengaja mematikannya, tidak ingin mengganggu tidur Dewa yang terlihat sangat pulas.

Sejujurnya, Abian takut. Takut kalau apa yang ia pikirkan selama beberapa waktu lalu adalah suatu kebenaran yang membuat dirinya ikut merasakan sakit dalam dadanya.

Pernahkah kalian membayangkannya ada sesuatu buruk yang terjadi kepada orang yang kalian anggap seperti saudara sendiri, dan ketika kalian benar-benar melihatnya, perasaan kalian akan ikut merasakan rasa sakit itu.

Itulah yang Abian rasakan ketika melihat Dewa tadi. Laki-laki itu ikut merasakan rasa sakit, yang dialami sahabatnya.

Dewa adalah sahabat dekatnya, sangat dekat, sampai-sampai kalau ada orang yang bertanya siapa orang yang Abian sayang selain keluarganya, maka dengan lantang ia akan menjawab sahabat-sahabatnya, terutama Dewa. Baginya, Dewa bukan hanya sosok sahabat, melainkan sudah seperti saudara.

“Lo udah mendingan?” Abian bertanya saat melihat Dewa sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya. Matanya kini sudah terbuka dan ia sudah duduk dengan tegap, tidak terlihat lemas seperti sebelumnya.

“Udah.” Dewa mengatur nafasnya perlahan, kemudian melanjutkan ucapannya. “Thanks ya, Bi.” Satu kalimat tambahan yang sangat ingin Dewa ucapkan saat ini.

Abian mengangguk untuk menjawab. Masih tidak ingin menanyakan apapun tentang apa yang ia lihat hari ini. “It's okay, Wa. Lo mau naik sekarang?” tanya Abian kemudian.

Dewa menggeleng. Saat ini, apa yang ingin Dewa lakukan hanyalah diam di sana, menetralkan tubuh dan pikirannya, dan menyudahi segala kebingungan yang ada di kepala sahabatnya. Abian masih diam, memandang lurus ke depan dengan pikiran yang melayang.

“Bi?”

“Hmm? Kenapa, Wa? Lo butuh sesuatu?” tanya Abian dengan cepat, kembali fokusnya mengarah kepada Dewa, namun lagi-lagi laki-laki itu menggeleng pelan.

“Maaf,” ungkap Dewa.

“Maaf buat apa?” Abian tidak yakin mengapa Dewa secara tiba-tiba mengatakan maaf kepadanya, padahal ia merasa laki-laki itu tidak melakukan suatu kesalahan apapun.

“Maaf karena gue ngerepotin lo,” Dewa menggantung kalimatnya, memikirkan apakah ia benar-benar akan mengatakan ini atau tidak. “Maaf ... karena gue nggak bilang ke lo, kalo gue ... gue.” Suaranya terhenti di tenggorokan. Ia tidak sanggup mengatakan hal ini kepada Abian, tapi ia harus melakukannya.

Dewa berhenti sesaat. Mengatur kembali nafasnya dan mengumpulkan seluruh keyakinan untuk memberitahukan suatu kenyataan pahit kepada seseorang di sebelahnya. Kenyataan pahit yang terasa seperti mengunyah puluhan obat secara bersamaan tanpa sedikitpun minum untuk menetralkannya. Kenyataan yang sesungguhnya sangat tidak ingin ia beritahukan kepada siapapun.

Abian semakin takut, jantungnya kini berdetak cepat menunggu kalimat lanjutan yang diucapkan oleh Dewa. Sejak awal Dewa mengatakan kata 'maaf', perasaan Abian sudah terasa tidak enak.

Bagi mereka, kata 'maaf' adalah suatu hal yang diucapkan ketika mereka menyadari bahwa kenyataan tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Seperti kalimat 'Maaf sudah membuat kamu menunggu.' karena menyadari bahwa kenyataannya mereka tidak bisa datang tepat waktu seperti yang diharapkan.

Seperti kalimat 'Maaf masakannya tidak enak.' karena menyadari bahwa kenyataannya mereka tidak bisa membuat masakan yang sesuai dengan apa yang diharapkan.

Dan seperti kalimat 'Maaf gue gak bisa dateng.' karena menyadari bahwa kenyataannya mereka tidak bisa memenuhi undangan seperti apa yang diharapkan.

Lantas ketika Abian mendengar bahwa Dewa mengatakan 'maaf' untuk memulai percakapan mereka, Abian sadar, bahwa ada suatu kenyataan yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

“Gue ... sakit, Bi.” Kalimat itu akhirnya lolos dari mulut Dewa.

“Maksud lo?” Abian menoleh kepada Dewa karena tidak mengerti, Dewa hanya mengatakan satu kalimat singkat, sangat singkat untuk bisa dipahami oleh Abian yang masih bingung dengan kondisi sekarang.

“Gue sakit, Kanker otak ... Stadium 4.”

Seolah dunia mendadak berhenti, Abian hanya terdiam, karena terkejut, tentu saja, sangat terkejut sampai ia tidak bisa memproses ucapan Dewa yang ada setelahnya. Saat ini, yang bisa Abian rasakan hanyalah seluruh dunianya mendadak berhenti, semua benda di sekelilingnya mendadak hilang dari pandangannya, pikirannya tidak bisa memproses apapun, dan jantungnya terasa amat perih, seperti terkena goresan pedang yang sangat tajam secara tiba-tiba.

“Wa sumpah, bercanda lo gak lucu, anjing.” Abian tertawa miris.

Tapi mau bagaimana lagi, Dewa pun berharap ini semua hanya bercanda. Ia berharap apa yang ia dengar dari dokternya hanya suatu candaan atau bahkan suatu mimpi, yang ketika ia bangun, semua akan kembali pada kenyataannya.

Tapi tidak. Semua ini nyata.

“Dokter bilang hidup gue cuma bertahan 12 bulan lagi, maksimal.”

Satu lagi kenyataan pahit yang menghantamnya. Masih belum selesai dengan kalimat sebelumnya, ia kini semakin dibuat bingung dengan kalimat terakhir Dewa. Ia benar-benar merasa bahwa ini semua masih terasa tidak nyata.

“Wa, ini mimpi kan? Gue ikut ketiduran di mobil terus gue mimpi lo bilang kaya gini, kan? Wa, bangunin gue sekarang, tolong,” pinta Abian lirih, penuh dengan harapan yang semu.

Dewa diam. Tidak mengatakan satu patah katapun, sampai akhirnya Abian menyadarinya.

“Jadi ... ini semua beneran nyata?” Dewa masih diam, membuat Abian semakin takut untuk menghadapi kenyataan.

Pasalnya, ia masih tidak bisa memahaminya, mengapa dari sekian juta manusia di dunia, harus Dewa? Sahabat dekatnya? Tapi kenyataan tetap tidak bisa menjawabnya.

Abian meremas kasar rambutnya, kemudian mengacak-acaknya karena pikirannya sangat kacau saat ini. “Wa... Maaf. Maaf gue gak peka jadi sahabat lo. Maaf gue gak pernah sadar kalo selama ini lo lagi gak baik-baik aja.” Dewa menepuk punggung Abian pelan, saat laki-laki itu tengah menunduk dan menenggelamkan kepalanya di setir kemudi.

“Lo gak perlu minta maaf buat hal yang gak lo lakuin, Bi. Semua ini udah takdir gue.” Ucapan yang membuat Abian merasa hatinya semakin sakit. Abian tahu, takdir memang tidak bisa disalahkan. Tapi... ia hanya terus berpikir, kenapa takdir begitu jahat kepadanya, terutama kepada Dewa.

Sampai ketika Abian menyadari kembali tentang apa yang terjadi kepada laki-laki di sebelahnya, ia tidak sadar, air mata berhasil lolos dari kedua bola matanya.

Air mata yang tidak pernah keluar untuk siapapun di dunia. Dan untuk pertama kalinya, laki-laki itu menangis untuk sahabatnya.