Maju satu langkah.
5 menit berlalu dan Dewa belum juga menampakkan batang hidungnya di hadapan Feyre. Gadis itu berdiri sendirian di depan gerbang kos-kosannya, memeluk dirinya sendiri karena angin malam yang dingin datang menerpa tubuhnya. Ia lupa kalau Kota Bandung malam hari sudah pasti dingin, tapi ia juga sudah terlanjur berada di bawah dan kamarnya berada di lantai 3, yang artinya ia harus berjalan menaiki puluhan anak tangga lagi jika ingin mengambil jaketnya, sehingga yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berdiam diri dan memeluk erat dirinya seperti sekarang.
“Anjir lama banget tau gitu gue keluarnya nanti aja kalo dia udah sampe.” Seperti di dengar oleh tuhan, tidak butuh waktu lama sebuah mobil pajero hitam berhenti di depannya. Feyre memicingkan mata mencoba mengenali siapa orang yang ada di dalam mobil, dan benar saja, saat kaca turun, ia menemukan Dewa disana dengan ekspresi datar seperti biasa.
“Masuk.” Katanya.
Tidak ingin membuang tenaga dengan menjawab, Feyre dengan segera membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Dewa yang kini tengah memandang Feyre dengan tatapan bertanya. Gadis itu tidak menyadari bahwa Dewa menatapnya dalam diam hanya untuk menunggu kalimat lanjutan Feyre tentang kemana tujuan mereka hari ini.
“Kemana?” Akhirnya Dewa membuka suara lagi, karena seseorang yang ditunggu nya tidak juga peka dengan keadaan dan justru tengah sibuk dengan seatbelt yang sedari tadi susah untuk ditarik—entah kenapa.
Feyre pun bingung harus kemana, karena sebenarnya ia tidak benar-benar lapar dan sebenarnya ia juga sudah makan. Ia hanya iseng mengatakan kepada Dewa bahwa ia akan pergi keluar, memancing laki-laki itu dengan mengatakan apakah ia mau ikut atau tidak, dan berharap Dewa akan mengatakan tidak sehingga ia bisa kembali bergulung di atas kasur bersama selimut tebalnya, menonton Netflix yang belum sempat ia sentuh setelah satu minggu lamanya karena sibuk dengan tugas-tugas kuliah atau harus bekerja.
Namun siapa sangka, umpannya dimakan sempurna oleh Dewa, laki-laki itu tiba-tiba saja menyetujui tanpa bertanya—membuat Feyre sedikit merutuki keputusannya selama beberapa menit—dan berakhirlah mereka berdua ada disini sekarang, di dalam mobil dengan suara musik dari Keshi yang sedang memutarkan lagu like i need u, menjadi teman ketiga mereka.
“Ga tau, sejujurnya gue belom kepikiran.” Tangannya masih sibuk menarik-narik seatbelt yang entah kenapa menjadi alot dan susah ditarik.
“Lo mau kemana?” Karena tidak sabar, akhirnya Dewa melepaskan seatbelt nya dan mendekatkan dirinya untuk dapat membantu Feyre memasang sabuk pengamannya yang sudah hampir 5 menit tidak bisa terpasang. Feyre menahan nafasnya sebentar saat Dewa berada tepat beberapa inchi di depannya, hanya untuk menarik sabuk pengaman itu dengan mudah sampai akhirnya terkunci dengan sempurna, membuat mata Feyre membulat sempurna karena bingung mengapa Dewa bisa dengan mudahnya menarik seatbelt itu sedangkan ia harus bersusah payah dan menghabiskan sedikit tenaganya.
“Gue bukan modus, emang tadi susah ditariknya.” Feyre berucap setelah akhirnya dapat menghembuskan nafas, saat Dewa sudah duduk di kursinya dan memasang kembali sabuk pengamannya. Aroma parfum Dewa yang masih tertingal di sekitar hidung Feyre, masuk ke dalam indera penciumannya dengan sempurna. Aroma musk dan woody ditambah dengan citrus yang sedikit terasa.
“Gue ga ngomong apa-apa kenapa lo klarifikasi?”
“Biar lo ga mikir aneh-aneh aja.” Dewa tersenyum tipis, tipis sekali sampai siapapun tidak bisa melihatnya. Benar juga, kenapa Feyre harus repot-repot klarifikasi suatu hal yang bahkan tidak perlu diucapkan. Ia kemudian merutuki kebodohannya di depan Dewa.
Beberapa menit tidak mendapatkan jawaban, mobil Dewa akhirnya melaju membelah Kota Bandung untuk menyusuri setiap jalan yang mereka lewati, berputar dari arah Dipati Ukur menuju pusat kota untuk mencari apa saja yang sekiranya bisa mereka dapatkan. Namun, dari sekian banyak pedagang yang mereka lihat di pinggir jalan, tidak ada satupun yang mereka datangi karena sedari tadi, Feyre hanya mengatakan “yang lain aja.” sampai tidak sadar mereka sudah berputar selama 2 jam.
“Kak balik aja apa? gue ga tau mau makan apa.”
“Gue laper.”
Feyre menatap Dewa dengan cepat mengingat obrolan mereka di chat tadi yang mengatakan bahwa ia sudah makan. “Kan tadi lo udah makan.”
“Siapa yang ga laper lagi kalo diajak ngomong 2 jam nonstop?”
Benar juga, sedari tadi mereka berdua tidak berhenti berbincang. Feyre merasa sedikit bangga karena akhirnya ia bisa membuat Dewa berbicara lebih dari 10 kata, hanya dengan menanyakan alasan kenapa ia menangis di bioskop pada malam itu. Malam di mana Dewa kehilangan dompetnya dan Feyre menemukannya. Mungkin jika hari itu mereka tidak pergi ke bioskop, hari ini tidak akan ada mereka berdua yang sedang berkeliling Kota Bandung di malam hari.
Feyre bingung kenapa seseorang seperti Dewa bisa menangis saat menonton film komedi? Ia masih ingat dengan jelas suara Dewa menangis di belakangnya, karena sedikit mengganggu dirinya untuk menonton dan bahkan hampir saja ingin Feyre protes. Tapi mendengar Dewa menangis membuat hati Feyre sedikit iba. 'Apa yang membuat laki-laki itu menangis sampai seperti itu?' batin Feyre. Sudah pasti jawabannya bukan film yang mereka tonton. Feyre tau Dewa menonton film sendirian pada tengah malam hanya untuk mencari 'tempat persembunyian' untuk ia bisa menangis. Bioskop pada dini hari memang sebuah tempat yang paling nyaman untuk menjadi tempat menangis, Feyre tahu karena ia pun pernah mengalaminya. Benar saja, tadi Dewa mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak menangis karena film pada hari itu, melainkan karena hal lain yang saat ini tidak bisa ia ceritakan kepada Feyre.
Gadis itu juga tidak mengambil pusing dan tidak bertanya lebih jauh, karena tau bahwa Dewa pasti punya alasan kenapa ia tidak mengatakannya, terlebih kepada gadis yang baru ia temui 2 hari yang lalu.
“Yauda mau makan apa?” Tanya Feyre lagi kepada Dewa yang masih fokus dengan jalanan tanpa menoleh sedikitpun pada Feyre. Ia sudah menyerah karena benar-benar tidak kepikiran tentang makanan apapun, kecuali makanan pada satu tempat ini.
“Apa aja.”
Begitu Dewa mengatakannya, otak Feyre dengan cepat mengarahkan mereka menuju warung penyetan di pinggir jalan yang letaknya tepat di depan kampus. Warung yang sudah sering ia kunjungi sendiri ataupun bersama teman-temannya, sampai-sampai penjual makannya hafal dengan pesanan Feyre, tepat saat ia berdiri di depan meja pesanan. “Kaya baisanya kan teh rere?”
“Iya mang. Sama satu lagi—eh lo apa kak?” Feyre memandang Dewa yang kini tengah sibuk melihat menu yang disodorkan oleh Feyre. “Biasanya lo apa?”
“Lele goreng sama nasi uduk, minumnya es teh manis.”
“Yaudah itu aja.” Dewa sebenarnya juga sering kesini, dahulu, saat ia masih kuliah. Namun mungkin tidak se-sering Feyre yang sampai dihafal oleh mamang penjual penyetan atau sampai bisa bercanda bersama menanyakan hal-hal pribadi seperti—”Teh lagi gak ada acara himpunan ya? Kok tumben jam segini udah pulang.” atau “Teh pacarnya baru ya? ieu kasep pisan atuh, perasaan mamang gak pernah lihat ada yang teteh ajak kesini selain teh Nanas sama a' Nanan.“—kepada gadis itu.
“Mang jadinya 2 ya, samain aja.” Mamang penjual penyetan kemudian menjawab dengan anggukan dan memberikan tanda 'oke' kepada Feyre menggunakan tangannya.
Teh Nanas adalah panggilan untuk Nasya, sahabat Feyre yang beberapa hari lalu Dewa temui di kafe saat mengambil dompetnya, dan a' Nanan adalah Nando, pacar Nasya, yang ternyata sering diajak kesini juga oleh Feyre. Sedangkan Teh Rere adalah panggilan yang diberikan para penjual makanan yang ada di depan kampus kepada Feyre. Kenapa bisa Feyre akrab dengan mereka? Feyre sering ikut dalam kegiatan kampus yang berfokus pada pengembangan usaha khususnya pedagang yang ada di depan kampus, makanya ia jadi banyak kenal dengan sebagian dari mereka karena sering mengobrol saat kegiatan berlangsung. Selain kuliah dan kerja, Feyre juga aktif dalam kegiatan dan organisasi di kampus, ia juga tipikal mahasiswa yang pandai dalam bersosialisasi dengan sekitarnya, makanya ia bisa dikenal oleh sebagian orang di kampus seperti pedagang makanan, penjaga fotokopian, bahkan sampai satpam-satpam di kampus.
“Lo kuliah di NCIT?” Tanya Dewa yang dijawab dengan anggukan oleh Feyre yang kini tengah mengaduk minumannya. “Lo dulu kuliah di mana kak?”
“Sama, gue di sini juga.” Feyre sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa ia akan menemukan seseorang dengan almamater yang sama dengannya, dunia ternyata sekecil ini.
“Jurusan?”
“Teknik Perminyakan.” Jawab Dewa singkat. “Lo jurusan apa?”
“Tebak.” Bukannya menjawab dengan langsung, Feyre justru mengajak Dewa bermain tebak-tebakan yang membuat Dewa menoleh untuk mengisyaratkan bahwa ia sedang malas bermain tebak-tebakan. “Ih tinggal tebak doang padahal.”
“Tinggal ngomong doang padahal.” lagi-lagi Feyre tidak bisa berkata-kata lagi. Sebenarnya Feyre juga ingin langsung mengatakannya, namun ia memilih untuk bermain-main sebentar yang ternyata justru tidak ditanggapi dengan sempurna oleh lawan bicaranya.
“Ish, gak asik lo kak. Gue jurusan Planologi.”
Dewa hanya mengangguk untuk menjawab, tidak melanjutkan kalimat apapun—persis seperti apa yang Feyre bayangkan—sampai mereka berdua menghabiskan makanannya.
Malam ini, setidaknya mereka sudah mencoba untuk maju satu langkah, berbagi sedikit cerita yang bisa mereka ingat sampai hari tua. Feyre merasa ia melakukan hal yang benar dengan mengajak pergi Dewa hari ini, karena setidaknya ia jadi bisa sedikit memahami sebagian kecil dari hidup Dewa. Bagian kecil yang bisa menjadi kunci untuk membuat laki-laki itu jatuh cinta kepadanya, selama satu bulan kedepan.
Semoga bisa, batinnya.
—