“Pacarannya Besok Aja.”
Lima belas menit lagi Zenaya harus pergi, tapi sampai sekarang gadis itu belum juga menemukan pakaian yang cocok untuk ia gunakan. Lebih tepatnya, Zenaya tidak cukup puas dengan sebelas—ralat, sebenarnya ada tiga belas—potong pakaian yang kini tergeletak begitu saja di atas tempat tidur Gia. Mulai dari pakaian casual seperti jeans dan kemeja sampai dengan dress formal sudah gadis itu coba. Sayangnya, tidak ada satupun pakaian yang dapat memuaskan harapannya.
“Lo tuh mau pergi ke mana, sih, tinggal milih satu baju doang susah banget kaya milih presiden.” Gia mencibir sembari mengambil tiga potong baju lain yang ada di walk in closet sebelah kamarnya. “Nih, tiga baju terakhir yang lumayan cocok sama badan lo.”
Mengingat tubuh Gia dan Zenaya tidak sama besarnya, gadis itu hanya bisa memberikan beberapa pakaian yang lumayan kecil untuk Zenaya. Tinggi mereka terpaut cukup jauh dengan posisi Gia jauh lebih tinggi. Kalau tidak salah, terakhir kali ia mengukur tingginya sekitar 170 atau 171 cm, sedangkan Zenaya hanya 162 cm. Begitu juga tubuh Gia yang terlihat lebih berisi membuat beberapa pakaian miliknya tampak kebesaran di tubuh Zenaya.
“Kenapa, ya, cewek kalo mau pergi tuh ribet banget?” tanya Zenaya pada Gia—dan kepada dirinya sendiri. “Padahal Kak Orlando juga nggak bakal perhatiin juga, kan?” Persis seperti apa yang sudah Orlando utarakan kemarin, laki-laki itu hendak mengajak Zenaya untuk pergi mencari kado sekaligus datang ke acara ulang tahun Sintia—adik Cecep, tukang fotokopi yang sudah dianggap seperti saudara sendiri oleh Orlando karena keakraban mereka yang terkadang melebihi teman—ke tujuh belas tahun.
Kalau boleh jujur Orlando tidak begitu mengenal Sintia, ia hanya pernah bertemu dengan gadis itu dua kali. Pertemuan pertama pun terhitung sudah lama sekali. Baru pada beberapa waktu yang lalu Orlando dan Sintia akhirnya bisa bertemu dan mengobrol lagi, itupun hanya sebentar saat laki-laki itu datang ke rumah Cecep untuk menyerahkan kunci tempat fotokopi yang ketinggalan di mobil Orlando saat mereka pergi ke Ciwalk kala itu.
Orlando memang cukup dekat dengan Cecep, bahkan terkadang kalau sahabat-sahabatnya itu tidak bisa menemaninya pergi atau sekedar merokok selepas kelas, laki-laki itu akan secara langsung menghampiri Cecep di belakang gedung.
Pernah juga pada saat itu, Ibunya Cecep rela membuatkan bekal untuk Orlando. Tentu saja karena Cecep bercerita kalau laki-laki itu sering membantunya berjaga di tempat fotokopi pada saat jam makan siang karena terlalu malas untuk makan di kantin barat yang sangat ramai. Membuat Orlando secara tidak langsung juga menjadi dekat dengan Ibu Cecep.
Setelah bergelut selama lima menit memilih pakaian mana yang hendak ia gunakan, akhirnya Zenaya menjatuhkan pilihan pada sebuah dress semi formal berwarna kuning muda hampir mendekati putih dengan panjang sedikit di bawah lutut yang lumayan pas dengan tubuhnya—meskipun sedikit kebesaran sebab dress itu milik Gia.
“Ini sepatu sama tasnya biar matching.” Gia datang membawa sebuah flat shoes berwarna coklat muda serta tas selempang berwarna senada, membuat Zenaya memandang Gia dengan tatapan penuh cinta.
“Sumpah, lo emang temen terbaik gue, Gi.”
Semenjak kejadian kos Zenaya dibobol oleh Elvira dan beberapa pakaiannya digunting, gadis itu belum menyempatkan diri untuk membeli pakaian serta mencari kosan baru. Untungnya, Gia adalah sahabat yang baik sehingga gadis itu tidak tanggung-tanggung untuk membantu dan meminjamkan seluruh hal yang dibutuhkan Zenaya. Mengingat kejadian itu juga sedikit banyak adalah buah dari keputusan Gia kala itu.
###
Setelah berkeliling cukup lama di Paris Van Java untuk mencari kado, Orlando dan Zenaya memutuskan untuk cepat beranjak ke rumah Cecep dikarenakan acara ulang tahun Sintia akan mulai lima belas menit lagi.
Tadinya mereka masih ingin berjalan-jalan, menikmati setiap langkah dengan canda gurau sembari sesekali mampir ke toko yang berjajar di sepanjang lorong. Hanya saja urung mereka lakukan lantaran menyadari kalau waktu sudah mepet dan mereka tidak ingin terlambat datang ke acara, meskipun acaranya juga tidak se-formal itu untuk mengharuskan semua orang datang tepat waktu.
Tapi bagi keduanya, janji tetap harus ditepati.
“Hey, Bro, makasih, ya, udah dateng!” seru Cecep ketika melihat Orlando dan Zenaya turun dari mobil, setelah dua puluh menit terjebak dalam padatnya lalu lintas Kota Bandung di Hari Minggu.
Cecep tampak rapi dengan kemeja putih yang dilengkapi dasi kupu-kupu berwarna biru dongker. Jauh berbeda dari penampilan sehari-harinya yang lebih sering menggunakan kaos polos hitam hasil membeli di pasar baru. Padahal bukan Cecep tokoh utama hari ini, tapi laki-laki itu terlihat cukup keren hingga membuat orang berpikir kalau ialah si pemilik acara. “Gokil, cakep juga lu, Cep.”
“Dipaksa sama Sintia, euy.” Orlando menepuk pundak Cecep dan mengangguk paham sebelum laki-laki di hadapannya itu melanjutkan kalimatnya. “Katanya sekali-sekali disuruh dandan cakep, jangan kaya babu.”
Di sisi lain Cecep yang sadar kalau Orlando tidak datang sendiri, kini mulai mengalihkan fokusnya pada Zenaya yang berdiri canggung di balik Orlando. “Akhirnya, Teh Zenaya dibawa juga, ya. Nggak cuma—”
Zenaya bisa melihat Orlando tiba-tiba menyikut perut Cecep hingga membuat laki-laki itu mengaduh dan segera memutus kalimatnya. “Mana adek lu?” tanya Orlando mengalihkan perhatian sekaligus mencegah Cecep berbicara yang tidak-tidak. Riuh yang terdengar dari dalam rumah membuat mereka sadar kalau sepertinya acara memang sudah dimulai.
“Di dalem, Bro, kayaknya udah mulai acaranya. Tadi lo dicariin sama dia. ‘Kak Orlando mana ih nggak dateng-dateng apa dia lupa ya, A’?’ gitu ceunah.”
Cecep menirukan kalimat adiknya dengan nada yang diperkirakan hampir sama, membuat Orlando pun kembali tertawa. “Si ibu juga udah nanyain lo, tuh. Heran deh, ini keluarga gue, kenapa yang dicariin malah lo mulu, ya?” lanjut Cecep diiringi tawa kecil sebelum berjalan masuk memimpin dua orang yang membuntutinya.
Rumah ini sederhana, tidak begitu besar namun tidak bisa dibilang kecil juga. Anehnya, Zenaya bisa merasakan kehangatan yang memancar dari setiap hal yang ada di rumah ini. Furniture di dalamnya antik, seperti barang lama namun masih terawat dengan baik. Ada kursi yang terbuat dari kayu, bukan sofa selayaknya rumah Zenaya atau Gia, di sebelahnya ada lemari kaca kecil berisi banyak piala—yang sepertinya milik Sintia. Di sisi kanan tembok ada sebuah foto keluarga yang dibingkai lumayan besar, menampilkan lima orang yang sedang tersenyum bahagia.
“Cecep punya kakak?” bisik Zenaya kepada Orlando ketika mereka melewati foto tersebut. Hendak berjalan menuju bagian dalam rumah, tempat di mana acara berlangsung.
“Iya, tapi sekarang jadi TKI di China.” Orlando menjelaskan seolah sudah sangat paham dengan kehidupan temannya. “Kakaknya jadi TKI dari lima tahun yang lalu, tapi nggak pernah sekalipun ngirim duit atau sekedar ngasih kabar ke keluarganya sampe sekarang.”
Zenaya meringis getir. Merasa sedih dengan cerita kehidupan Cecep. “Kalo bapaknya udah meninggal pas Cecep masih SD. Makanya pas lulus SMP Cecep langsung kerja dan nggak lanjut SMA, buat biayain sekolah adiknya. Puji syukur bisa lumayan sukses kaya sekarang.”
Gadis itu kini terdiam, tidak menyangka rumah yang terasa begitu hangat ini ternyata memiliki celah besar yang menyebabkan udara dingin masuk dan membuat pemiliknya sempat merasa tidak nyaman. “Terus ibunya kerja ap—”
“Kak Orlandooooo!” seru Sintia dari kejauhan, membuat kerumunan teman-temannya menoleh untuk memandang laki-laki yang dipanggilnya. “Akhirnya kamu dateng juga, Kak. Ih, repot-repot banget bawa hadiah.” Sintia melirik bingkisan yang dibawa oleh Orlando sebelum laki-laki itu menyerahkannya.
“Cuma hadiah kecil, Sin.” Ia tersenyum. “Selamat ulang tahun, ya. Jangan main mulu, belajar yang bener biar Cecep nggak cepet ubanan mikirin lu.”
Zenaya menangkap raut bahagia dari Sintia. Padahal kalau mengingat penjelasan Orlando mengenai kedekatannya dengan Sintia, ia tidak sedekat itu hingga membuat Sintia bisa merasa sesenang ini hanya karena Orlando benar-benar datang ke sana. Untungnya Orlando bisa cepat akrab dengan gadis itu karena sering mendengar Cecep menceritakan tentang kehidupannya. Sedikit merasa seperti telah mengenalnya dari lama.
“Eh, ini siapa, Kak?” Cepat-cepat Zenaya mengulurkan tangan, menyambut Sintia yang lebih dahulu menyunggingkan senyuman.
“Selamat ulang tahun, Sintia. Kenalin aku Zenaya, temennya Kak Orlando sama Cecep.” Orlando malah terkekeh mendengar perkenalan formal gadis itu. Sangat tidak terlihat seperti Zenaya. Sedangkan yang menjadi sumber utama kekehannya mulai menatap dengan bingung.
“Sin, temen lu banyak banget. Satu sekolah lu undang, ya?”
“Kamu sarkas, ya, Kak?” Sintia memicingkan mata. Ia tahu Orlando hanya bercanda, di dalam sana tidak banyak orang yang datang. Mungkin hanya dua puluh sampai tiga puluh orang yang memang akrab dengan Sintia. Meskipun begitu acara hari ini tampak ramai lantaran ada MC yang turut meramaikan dan beberapa teman ikut menyumbangkan nyanyian.
“By the way, duduk dulu di sana, Kak. Aku potongin kuenya dulu nanti aku kasih buat kalian.” Sintia menunjuk ujung ruangan yang masih menyisakan space untuk mereka—Zenaya dan Orlando. Tempat yang terlihat lumayan penuh dengan teman-teman Sintia.
“Kita di sini aja, Sin. Nggak enak kalo gabung sama temen-temen lo.” Cecep menyahut sembari mengambil dua buah minuman yang ada di meja sebelahnya, kemudian menyerahkannya kepada Zenaya dan Orlando. Begitu Sintia menyetujui, mereka pun mengambil tempat di ujung lain ruangan. Duduk di atas kursi plastik yang tersedia di sebelah meja hidangan.
“Aduh anak ibu dateng juga.” Orlando dengan cepat menyerahkan gelas yang ia bawa kepada Zenaya untuk bisa mengambil tangan wanita paruh baya yang tiba-tiba menghampirinya.
“Dateng dong, Bu, kan diundang. Nanti kalo Orlando nggak dateng ibu jadi nangis, gimana?” canda Orlando membuat Zenaya dan Cecep sesekali ikut tertawa. “Lihat, Bu, siapa yang Orlando bawa.”
Wanita paruh baya itu menoleh mengikuti arah pandangan Orlando, membuat Zenaya dengan cepat bangkit dari duduknya dan meletakkan dua gelas yang ia bawa pada kursi.
Sebelum menjabat tangan, Zenaya mengusapkan kedua telapak tangannya pada pakaiannya agar air yang tadi mengenai tangannya tidak mengganggu wanita tersebut. “Selamat siang, Bu. Kenalin, saya Zenaya.”
Tawa kecil lagi-lagi terdengar dari sebelahnya. Gadis itu secepat kilat menatap Orlando seperti sedang bertanya ‘Kenapa?’ hingga membuat lawan bicaranya menggeleng sebelum menutup tawanya. Sejujurnya Orlando merasa lucu ketika melihat Zenaya tiba-tiba berubah menjadi gadis yang pendiam seperti sekarang, jauh dari image-nya yang pecicilan dan terkadang membuat orang keheranan.
“Bukan, Bu, ini beda orang.” Cecep menjelaskan kepada ibunya seolah mengerti dengan apa yang sedang ibunya pikirkan. Mengenai gadis yang sedang bersama dengan Orlando. “Udah putus yang itu.”
Oalah, sepertinya Zenaya paham siapa yang sedang mereka bicarakan.
Setelah berbincang sebentar dan membahas beberapa hal bersama wanita paruh baya tersebut, Orlando dan Zenaya kembali duduk dalam diam. Mengamati keberjalanan acara dari ujung ruangan selagi mulutnya mengunyah kue atau menyeruput minuman yang disediakan.
Dari perbincangan tadi Zenaya bisa menyimpulkan kalau Orlando adalah sosok yang mudah akrab dengan orang tua. Terlihat dari setiap kalimat yang Bu Mila—Ibunya Cecep—katakan, Orlando selalu saja bisa merespon dengan jawaban yang memuaskan.
“Ini acaranya sampe jam berapa, Kak?” tanya Zenaya namun tidak didengar oleh Orlando lantaran suara MC dan musik yang mengalahkan suaranya. “Kak?” Tangan Zenaya sampai harus meraih Orlando agar laki-laki itu menoleh. “Hey, kenapa?” “Ini acaranya sampe jam berapa?” ulang Zenaya.
“APA? NGGAK KEDENGER.” Orlando sedikit berteriak membuat gadis di sebelahnya terkekeh. Ia menarik tubuh laki-laki itu sampai mendekat sebelum memosisikan diri di depan telinga Orlando. Dari jarak sedekat ini Zenaya bisa mencium aroma parfum yang sama dengan yang ia cium kemarin saat di gazebo, juga bisa melihat side profil laki-laki itu yang sanggup membuat Zenaya menahan napasnya sekian detik sebelum berbicara.
“INI SAMPE JAM BERAPA?” Barulah Orlando mengerti. Ia mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelum menarik kembali Zenaya untuk berbisik di telinga gadis itu seperti apa yang ia lakukan sebelumnya.
“Satu jam lagi, mau pulang sekarang?” bisik Orlando dan dijawab dengan gelengan kecil dari Zenaya. “Kalo mau pulang bilang aja, ya?”
Zenaya bertanya bukan karena ingin cepat pulang, ia hanya penasaran dengan rangkaian acara hari ini. Masih satu jam lagi, cukup lama untuk melakukan games dari MC yang sejak tadi tidak pernah berhenti. Mulai dari tebak lagu, sambung lagu, games menari, dan masih banyak lagi games yang menarik untuk dilakukan.
“COBA AJAK KE DEPAN SINI SATU ORANG YANG KALIAN RASA PALING GANTENG DAN PALING PENGEN DIJADIIN PACAR!”
Suara MC tiba-tiba menggelegar, diiringi dengan dua orang gadis yang tiba-tiba berlari menuju Orlando hingga membuat semua orang ikut melarikan pandangannya pada ujung ruangan—tempat di aman Orlando duduk bersama Zenaya. Cecep sudah pergi sejak tadi, membantu ibunya yang sesekali kewalahan menyiapkan makanan.
Dari kejauhan tadi, Zenaya sudah yakin kalau MC akan melibatkan laki-laki di sampingnya ini dalam sebuah permainan. Terbukti dari lirikan mata MC yang sejak tadi jatuh padanya—pada Orlando lebih tepatnya.
Orlando kaget dengan dua orang gadis yang secara tiba-tiba berebut untuk menariknya, apalagi ditambah riuh dari penonton dan MC yang menambah heboh suasana. Cecep yang tadi ada di belakang pun kembali ke depan dan tertawa saat merasa ruang tengah tiba-tiba ramai. Sayangnya mereka berdua tidak bisa membawa Orlando ke depan lantaran laki-laki itu terus menolak.
“Wah ternyata kakak ganteng yang di ujung itu populer banget, ya? Gimana kalo kita undang naik aja langsung daripada nunggu mbak-mbak itu berantem di depannya?” canda MC sembari berjalan menuju Orlando. Mengajak laki-laki itu untuk ikut ke dalam permainan.
Memang sepertinya target MC adalah Orlando.
Zenaya melihat laki-laki di sebelahnya sedang memasang wajah seperti meminta bantuan, tapi gadis itu hanya bisa tertawa sembari mendukung Orlando. “Semangat, Kak!!”
Melihat Zenaya yang tertawa puas, Orlando pun menyerah. Mengikuti MC untuk berjalan ke depan semua orang.
“Perkenalan dulu, dong, Kak. Namanya siapa, nih?” tanya MC dengan girang sebab berhasil menempatkan Orlando di sana. Riuh tawa dan siulan mulai memenuhi ruangan.
“Nama saya Cecep.” Zenaya tertawa puas di ujung ruangan, sedangkan Orlando malah cengengesan dan terus melirik pada gadis itu. Seperti tidak rela meninggalkannya sendirian.
“Ganteng begini namanya beneran Cecep?” Orlando hanya mengangguk. “Oke Kak Cecep, karena udah ada di depan sini, jadi sekarang waktunya kita main pocky pocky!” Semua orang berteriak, entah mengapa menjadi heboh saat melihat MC menyebutkan nama permainan.
“Permainannya gampang banget, nih.” MC tersebut mengambil sekotak makanan Pocky dari meja dan menarik isinya satu untuk dijadikan contoh. “Jadi, nanti Kak Cecep harus makan ini—”
“Yaelah gampang.” Belum sempat MC menyelesaikan instruksi, Orlando menyahutnya. Tapi sayang, tidak segampang itu ternyata.
“Tapi makannya berdua … SAMA SAYA!!” Semua orang makin bersorak. Ada yang bersorak geli lantaran MC tersebut adalah laki-laki, ada yang bersorak kecewa karena menginginkan posisi tersebut, ada juga yang malah menyemangati, seperti Zenaya yang ada di ujung ruangan.
Orlando bergidik ngeri.
“Bercanda, Kak. Makannya sama orang lain, kok!” Hampir saja Orlando membubarkan permainan kalau saja ia benar harus makan Pocky itu dengan sang MC. “Satu orang paling berani ayo angkat tangan buat main games makan Pocky sama Kak Cecep!” Tawaran MC bagaikan tawaran lelang, beberapa gadis yang tadi sempat menaruh kecewa tiba-tiba memiliki semangat yang semakin membara. Tangannya terangkat, saling berebut untuk modus dengan kakak ganteng yang ada di depan.
“Waduh, banyak banget, nih. Tamara jadi bingung milihnya!” Tamara—nama MC tadi—bersorak kegirangan seolah mendapatkan hadiah Super Deal 2 Milyar. Di sebelahnya, Orlando sedang mencari cara untuk keluar dari permainan secepat mungkin. Ia segera menghampiri sang MC kemudian membisikkan sebuah kalimat yang tiba-tiba membuat laki-laki itu tertawa.
“Maaf ya saudara-saudara harus mematahkan harapan kalian buat modus-modusan sama Kak Cecep. Ternyata, Kak Cecep punya syarat buat permainannya.” Semua orang mendesah kecewa.
Berbeda dari sebelumnya, Orlando kini malah tersenyum lebar membuat Zenaya memandangnya dengan curiga.
“Kak Cecep udah punya pacar, guys. Kalian-kalian yang udah nyiapin rencana wedding indoor apa outdoor sama Kak Cecep ayo mundur dulu. Malu tuh dilihatin sama pacarnya di belakang.”
Semua orang menoleh ke ujung ruangan, membuat Zenaya tiba-tiba salah tingkah. Ia tidak akan mengira laki-laki itu akan memperkenalkan dirinya sebagai pacar—padahal sudah jelas mereka hanya teman.
“Suruh maju sekalian pacarnya!” Cecep—yang asli—berteriak dari belakang, mendukung MC dan semua orang untuk mendorong Zenaya ke dalam jurang. Zenaya yang mendengar sorakan semakin ramai mau tidak mau melangkahkan kaki dengan malu ke depan semua orang.
Senyum Orlando tidak kuasa tertahan saat melihat gadis itu berjalan dengan malu-malu ke arahnya, apalagi sekarang dari jarak dekat ia bisa melihat Zenaya memelototinya sembari mengatakan, “Maksudnya apa?” dengan mimik mulut saja. Tapi Orlando tidak menggubris dan malah menambah drama dengan menarik Zenaya semakin mendekatinya. Bagaikan bahan bakar yang membuat api sorakan semakin besar.
Tangan kanan Orlando kini melingkar di pinggang Zenaya, sayangnya gadis itu sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk membalikkan keadaan. Bagaikan melihat sebuah adegan dalam film percintaan, semua orang semakin berteriak heboh saat melihat dua orang itu saling mendekatkan wajah untuk berbisik dengan posisi yang cukup mendebarkan.
“Kak, maksud lo apa?” Kali ini Zenaya benar-benar bisa mengucapkan kalimat itu di telinga Orlando.
Kekehan muncul sangat dekat dengan telinganya. Bahkan wajah mereka hanya berjarak beberapa centi saja sebab adegan bisik-bisikan yang sedang mereka lakukan. Wajah Zenaya sudah mulai panas, kakinya hampir lemas, pun jantungnya semakin berdetak tak karuan.
Tapi Orlando malah tersenyum tanpa dosa, kemudian menarik Zenaya semakin mendekat dan berbisik di telinganya, “Kan kemaren gua udah bilang, pacarannya besok aja.”