Panti Asuhan
Pagi datang seperti biasa, menyambut manusia-manusia yang berharap datangnya matahari yang sempat bersembunyi di belahan bumi yang lain. Pagi ini Dewa melajukan mobilnya menuju jalan Tubagus Ismail, tempat kos an Feyre berdiri, dengan kecepatan sedang karena Kota Bandung pagi ini lumayan ramai, apalagi persimpangan Dago yang kini juga mulai ramai oleh angkot dan travel yang akan berangkat menecari kehidupan.
“Sampe mana?” Suara di seberang sana dengan segera mengisi kekosongan waktu Dewa beberapa saat yang lalu.
“Simpang Dago, lagi macet,” ujar Dewa membalas dengan ponsel di tangan sebelah kirinya yang kini menempel di telinga.
Pukul 09.15 dan Dewa baru berangkat, padahal menurut janji semalam, mereka akan pergi pada pukul 09.00 WIB. Bukan Dewa yang dengan sengaja terlambat berangkat—karena ia bukanlah tipe orang yang suka mengulur waktu—namun, tadi Dewa memilih untuk berhenti sejenak dan membantu seorang kakek-kakek yang terjatuh di depan mobilnya karena membawa barang yang sangat banyak menggunakan sepeda tua nya. Dan itu yang membuat ia kini terlambat 15 menit dari waktu yang ditentukan sebelumnya.
Dewa melirik jam tangannya lagi setelah menutup obrolan dengan Feyre di telepon baru saja. Tidak butuh waktu lama saat Dewa mulai berbelok ke arah jalan Tubagus Ismail yang cukup lengang, ia menemukan seorang gadis yang tengah berdiri di pinggir jalan dengan tubuh yang bersandar pada tiang, terlihat dari kejauhan.
“Lama banget,” katanya saat mobil Dewa berhenti tepat di depan Gadis itu. “Maaf.”
“Mau makan di mana?” tanyanya saat sudah duduk di atas kursi penumpang mobil Dewa seperti biasanya.
“Ikut aja.”
Tanpa menolak dan tanpa pertanyaan lanjutan, Feyre pun menurut apa yang Dewa lakukan. Ia mengamati lingkungan sekitar saat mobil Dewa menembus jalanan kecil yang cukup familiar baginya, meskipun tidak sering ia lewati. Keduanya kemudian turun dari mobil dan menuju tempat makan yang Dewa maksud dengan 'sarapan sehat' yaitu bubur ayam.
“Bubur ayam doang kenapa jauh banget kesini?”
“Ini bubur langganan gue sama temen-temen, enak.”
Pagi yang lumayan mendung ini mereka lewati dengan mengisi perut terlebih dahulu, sebelum melanjutkan kegiatan utama mereka untuk menuju panti.
Sesaat setelah keduanya selesai sarapan, mobil Dewa kembali melaju membelah Kota Bandung yang dingin dan sejuk menuju tempat tujuan mereka yang ternyata cukup jauh dari kota.
“Lo biasanya kesini sendiri? Sejauh ini?” Feyre mengangguk, tangannya sibuk mengetikkan satu dua kalimat sebelum dia mendongakan kepalanya untuk menatap Dewa yang kini sudah kembali menatap jalanan di depannya.
“Iya, biasanya naik grab mahal banget,” curhatnya.
“Ya abisnya jauh begini.”
“Hahaha, terus mau gimana lagi?” Feyre tertawa ringan menanggapi Dewa. Memang benar bahwa Feyre biasanya harus membayar lumayan mahal untuk ongkos menuju panti yang lumayan jauh dari tempatnya tinggal, untung hari ini Dewa menawarkan untuk ikut sehingga Feyre tidak harus berhujan-hujan untuk menuju panti.
Beberapa anak kecil yang berdiri di depan pintu menyambut mereka berdua turun bersama hujan pagi ini. Hujan pagi hari yang membuat suasana menjadi gloomy.
“Kakakkkkk!!!” Salah satu gadis kecil dengan rambut tergerai segera berlari menghampiri Feyre, yang disambut dengan senyuman lebar serta tangan yang terbuka lebar tanda ia diterima. “Yeyyyy kakak dateng lagi,” kata gadis kecil itu. Tak hanya gadis kecil, teman-teman sebayanya ikut berhamburan memeluk Feyre yang baru saja datang, sedikit melupakan bahwa Dewa berada di sana juga.
“Eh kak, kakak ini siapa? Pacar kakak?” tanya salah seorang anak laki-laki kecil yang kira-kira berumur sembilan tahun. Dewa yang ditunjuknya kemudian menyusul Feyre untuk berlutut agar dapat menyejajarkan wajahnya dengan wajah anak kecil itu.
“Bukan, kakak temennya Kak Feyre. Kenalin, nama kakak, Dewa.”
Anak laki-laki tersebut mengangguk dan menerima uluran tangan Dewa. “Halo Kak Dewa temennya Kak Feyre, aku Iqbal, calon pacarnya Kak Feyre.” Dewa tertawa kecil mendengar ucapan anak-kecil tersebut. Tidak menyangka bahwa ia akan mendengar ucapan seperti itu dari anak kecil yang berumur jauh di bawahnya. Sepertinya ia suka sekali dengan Feyre sampai mengatakan bahwa ia adalah calon pacar gadis itu, di umurnya yang masih sembilan tahun ini.
“Eh, nak Feyre udah dateng? Pantesan tadi anak-anak pada lari ke depan kirain ada apa. Eh ini siapa?” Feyre dan Dewa bangkit dari duduknya, menyambut Bu Rita, si ibu penjaga panti yang kini datang menghampiri mereka.
“Selamat pagi bu, saya Dewa, temennya Feyre.”
“Oh nak Dewa? lya-iya tadi nak Feyre sudah bilang ke ibu kalau mau membawa teman. Ganteng-ganteng gini masa cuma teman?” Feyre membalas candaan tersebut dengan sebuah tawa kecil dan anggukan.
“Iya bu, cuma teman kok.”
“Yaudah kalo gitu, kaya biasanya kan? Langsung masuk aja ya? Ibu tinggal ke belakang dulu.” Wanita setengah baya tersebut kemudian pergi meninggalkan Feyre dan Dewa bersama beberapa anak kecil yang tadi menghampiri mereka, menyambut mereka dengan senyum bahagia seperti bertemu dengan sosok kakak yang selama ini mereka tidak miliki. Feyre kemudian menggandeng tangan anak-anak kecil tersebut untuk berjalan menuju aula, tempat mereka melakukan kegiatan pada hari ini.
Dewa mengekor di belakang Feyre dengan ikut menggandeng beberapa anak laki-laki yang tadi ikut menghampiri mereka. Tidak disangka mereka akan cepat akrab dengan Dewa saat pertama kali bertemu.
Feyre mendudukkan mereka semua di kursi yang sudah tersusun rapi di aula, kemudian memanggil beberapa anak lain yang masih berada di sekitar aula atau di dalam kamar untuk segera masuk ke aula. Hari ini, Feyre akan mengajarkan mereka untuk melukis dengan tiga cat warna primer.
“Ayo udah pada ambil buku gambarnya apa belum?” Dewa mengamati Feyre dari kursi belakang, melihat gadis yang biasanya ia lihat berbalutkan raut datar dan tajam kini berubah menjadi sosok hangat yang sangat disayang oleh banyak orang disini. Dewa mengetahui hal tersebut dari saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, Feyre disambut dengan sangat hangat mulai dari penjaga pos satpam, ibu penjaga panti, bahkan anak-anak di sini juga. Melihat hal ini, Dewa menyadari bahwa wajar saja gadis itu sangat disayang, perlakuannya kepada semua orang sangat tulus, melebihi saudara mereka sendiri yang mungkin 'tidak mereka tau keberadaannya'.
“Kak ayo ikutan!” Suara Feyre membuat semua orang menoleh kepada Dewa. Seisi ruangan yang penuh dengan anak-anak sedang menggambar kini mulai riuh karena ajakan Feyre membuat mereka ikut mengajak Dewa untuk bergabung. Dewa berdiri dari duduknya dan menghampiri Feyre dengan langkah pelan.
“Gue harus ngapain?”
“Coba bikin lukisan apapun dari tiga warna ini. Tadi gue udah ngajarin ke anak-anak beberapa warna bisa dicampur buat bikin warna baru, kalo lo tadi nyimak, pasti lo tau caranya,” balas Feyre.
“Ga nyimak pun gue tau Fey, gue bukan anak kecil.” Feyre tertawa kecil kemudian menyerahkan buku gambar dan tiga cat primer-merah, kuning, biru-kepada Dewa. Setelah buku dan warna tersebut diterima oleh Dewa, Feyre berjinjit kecil, tangannya terulur untuk menepuk puncak kepala Dewa ringan.
“Semangat ya kak! Bikin lukisan yang bagus, kalo bisa yang menggambarkan isi hati lo.”
Dewa terdiam sesaat setelah Feyre beranjak pergi, sedari tadi Dewa memang memperhatikan Feyre, bagaimana gadis itu menepuk ringan pucak kepala anak-anak di sini saat mereka mengambil buku serta cat dari Feyre. Namun, Dewa tidak menyangka gadis itu akan melakukan hal yang sama kepadanya, menepuk puncak kepala Dewa ringan dan memberikan semangat sebelum ia beranjak untuk menghampiri anak-anak lainnya.
Anehnya, jantung Dewa mendadak berpacu melebihi biasanya.
Saat sesi melukis telah usai, Feyre menyuruh satu persatu dari anak-anak tersebut untuk bercerita tentang apa yang mereka lukis. Satu persatu anak-anak maju untuk bercerita, Feyre sangat terharu karena hampir semua dari mereka memiliki lukisan yang cantik untuk ukuran anak-anak, terlebih lagi cerita di balik lukisan mereka yang membuat hati Feyre terasa sangat hangat. Ada yang melukis tentang cita-cita, ada yang melukis tentang alam, dan banyak hal lain yang membuat Feyre tidak bisa berhenti menyunggingkan senyumnya. Tidak terasa kegiatan Feyre dan Dewa di panti sudah hampir selesai, keduanya kini duduk di atas ayunan yang berada di depan taman bermain panti.
Mengamati anak-anak yang berlarian kesana kemari bermain bola ataupun bermain lompat tali bersama teman-temannya. Dewa bahagia, hari ini dia menemukan hal baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, berbagi rasa bersama orang-orang yang mungkin memiliki perasaan yang hampir sama dengan mereka berdua.
“Fey? Apa latar belakang lo milih kegiatan melukis dengan tiga warna hari ini?” tanya Dewa masih dengan mata yang fokus kepada anak-anak di depannya. Gadis yang ia tanya hanya tersenyum kecil, memahami apa maksud 'latar belakang' dari pertanyaan laki-laki di sebelahnya itu.
“Dari hal sederhana bisa membuat sebuah cerita,” jawabnya. “Lo sadar gak kak? Kenapa gue cuma milih tiga warna primer diantara banyak warna?” sambung Feyre.
“Karena dari 3 warna itu lo bisa bikin warna lain.” Dewa menjawab dengan menoleh kepada Feyre, gadis itu terlihat mengangguk kecil dan masih tersenyum.
“Bener.”
“Gue pengen kenalin ke mereka semua, kalo hal sederhana itu bukan jadi sebuah masalah. Mereka ga perlu jumlah cat warna yang banyak dan lengkap buat bikin suatu yang berharga. Buktinya, dengan 3 warna itu mereka bisa bikin sesuatu yang berharga juga, mirip sama kondisi kalo mereka punya warna yang lengkap, meskipun ga sempurna, setidaknya mereka udah bisa.” Dewa mengangguk, ia menyetujui apa yang Feyre ucapkan, dan ia takjub dengan pikiran Feyre.
“Gue tau, mereka semua di sini pasti punya kondisi yang 'gak sempurna' dan mungkin 'hanya sederhana', mereka bahkan gak tau siapa orang tua mereka, mereka gak tau siapa kakek nenek mereka, atau saudara-saudara mereka. Mereka hidup dalam kesederhanaan, tapi dari situ gue pengen mereka tau dan tetep bersyukur, karena kesederhanaan yang mereka punya, itu semua berharga.”
“Lo keren,” puji Dewa lagi dan lagi. Sudah berapa kali Dewa mengatakan hal tersebut, tidak di pesan whatsapp saja Dewa sudah mengatakan hal tersebut berkali-kali dalam pikirannya. Feyre memang keren, sangat keren.
“Lo juga keren kak, berhenti bilang gue keren deh.” Feyre tertawa keil dan menepuk paha Dewa yang ada di sebelahnya.
“Gue ga bisa berhenti bilang lo keren deh, kayanya.”
“HAHAHA yaudah kalo gitu gue juga terus bilang lo keren.”
“Lo tau gak Fey, ini pertama kalinya gue ke panti, seumur hidup gue,” ucap Dewa. Feyre tidak menjawab, hanya terdiam dan mengamati Dewa dari posisinya. Menunggu laki-laki itu untuk melanjutkan kalimat yang belu sempat ia selesaikan tadi. “Hari ini gue sadar satu hal, satu hal yang bikin gue bersyukur setengah mati.”
“Apa itu?”
“Gue bersyukur bisa ketemu sama lo, mungkin kalo gue ga ketemu lo, gue sekarang ga sadar kalo hidup gue masih sangat berharga.” Dewa memberi jeda ucapannya. “Gue lihat semua anak-anak di sini bahagia, meskipun mereka tanpa orang tua, tanpa keluarga, mungkin ada juga beberapa yang gue tau, pasti lagi kangen sama orang tuanya, dilihat dari mereka tadi banyak yang lukis tentang keluarga, abis itu gue ngerasa jadi orang jahat.”
“Kenapa gitu?” Feyre kini memposisikan tubuhnya untuk sedikit menghadap Dewa, mencoba membuat fokusnya utuh pada laki-laki itu karena merasa ia sedang berbicara dengan serius.
“Gue masih punya bokap, tapi gue gak pernah anggep dia sebagai keluarga, rasanya gue kaya ga bersyukur masih dikasih orang tua, setidaknya.”
“Tapi lo punya alasan kenapa lo kaya gitu kan kak.” Dewa mengangguk.
“Apapun alasannya, itu ga membenarkan gue buat gak nganggep bokap gue sebagai keluarga lagi, di saat masih banyak orang yang 'butuh' sosok orang tua dalam keluarganya. Menurut lo, gue jahat gak sih Fey?” Feyre mengerutkan kening, tidak paham dengan kata 'jahat' yang dimaksud oleh Dewa.
“Jahat gimana?”
“Ya... gak nganggep bokap sebagai orang tua, gak bersyukur sama apa yang udah di kasih tuhan, dan... menganggap diri gue paling gak beruntung di dunia.”
“Lo gak jahat kak. Lo berhak ngerasa kaya gitu kok. Semua perasaan itu valid kak, lo jangan klaim diri lo sebagai orang jahat hanya karena lo ngelihat orang lain 'ga seberuntung' lo. Ini udah jalan dari tuhan, once again gue bilang semua pasti ada alasannya Tuhan ngasih kondisi kaya gitu.” Dewa menutup matanya, menghembuskan nafas lega seolah ada sesuatu yang sempat mengganjal dalam rongga dadanya, tadi.
“Gue pernah ngerasain kaya gitu juga, bedanya orang tua gue udah gak ada. Gue pernah ngerasa jadi orang jahat karena bersyukur sama apa yang gue dapetin, dengan mikir 'setidaknya gue tau orang tua gue siapa dan gue pernah ngerasain kasih sayang dari mereka.' gue membandingkan diri gue dengan orang lain yang rasanya kaya 'lebih gak beruntung' daripada gue. Padahal aslinya belum tentu begitu, belum tentu ketika mereka ketemu orang tua, mereka akan lebih beruntung.”
Dewa membuka matanya saat mendengar ucapan Feyre, menoleh untuk mendapati gadis itu kini masih menatapnya. la tersenyum, senyuman yang sering ia perlihatkan beberapa waktu yang lalu, saat Dewa bertemu dengannya beberapa kali.
“Karena, kita gak bisa membandingkan hidup kita dengan orang lain. Hidup bukan suatu perlombaan 'siapa yang lebih' dan 'siapa yang kurang' kita semua sama, hanya dengan alasan yang berbeda.” Feyre menutup ucapannya. Dewa mengamati Feyre dengan tatapan yang dalam, berusaha menyelami pikiran gadis di depannya.
Dewa takjub, sangat takjub dengan pikiran-pikiran Feyre. la tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang memberikan banyak pelajaran kepadanya, hanya dalam waktu kurang dari dua minggu mereka bertemu. Dewa benar-benar bersyukur ketika bertemu Feyre, ia mulai bisa menceritakan hal-hal yang selama ini ia pendam sendiri dan tidak pernah seorang pun mendengarnya. Hal-hal berat yang selama ini mengganggu pikirannya. Ibarat sebuah hadiah, Feyre adalah hadiah terbaik yang tuhan kasih kepada Dewa, setelah apa yang sudah Dewa lewati selama ini, begitupun sebaliknya. Karena pada akhirnya, tuhan akan dan selalu memberikan anugerah kepada seseorang, dengan apa yang mereka butuhkan, bukan yang mereka inginkan. Dewa membutuhkan Feyre, dan Feyre membutuhkan Dewa.