Rumah Sakit
Aroma khas bangunan ini menyeruak masuk ke indera penciuman Dewa, kakinya melangkah lebar dan cepat untuk dapat dengan segera menemui seseorang yang sangat ingin ia temui sekarang. Satu jam yang lalu, laki-laki itu mendarat bersama ratusan orang lainnya di Bandara Seokarno Hatta, kemudian melaksanakan kewajibannya untuk mengantarkan pulang gadis yang bersamanya, sampai akhirnya ia pun bisa memenuhi keinginannya untuk bertemu dengan seseorang setelahnya.
Seseorang yang Dewa pikirkan sejak beberapa waktu yang lalu, karena memegang sebuah kunci hidup dari Dewa.
“Jadi ... ada apa, Dewa? Baru saja dua hari yang lalu kamu mengatakan kalau jadwal ditunda menjadi minggu depan, tapi hari ini kamu sudah ada di sini? Apakah ada sesuatu yang kamu rasakan lagi?” ujar laki-laki berumur 60-an dengan jas putih dan stetoskop yang menggantung di lehernya itu.
“Dok ... Saya sudah memikirkan hal ini berulang kali, tapi ... saya benar-benar masih tidak bisa percaya dengan ini semua.” Dewa menyandarkan punggungnya pelan, menatap lekat sosok di depannya, kemudian menghembuskan nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda. Sebenarnya ia hampir tidak bisa melanjutkan kalimatnya, saat memikirkan seberapa besar rasa sakit yang ia rasakan ketika mengingat kenyataan itu. “Ini semua tidak masuk akal bagi saya, dok. Coba Anda pikirkan lagi, mungkin saja Anda salah ketika mendiagnosis saya beberapa waktu yang lalu.”
Dewa tertawa miris, mengingat beberapa minggu yang lalu ia menerima sebuah pernyataan yang membuat seluruh hidupnya tiba-tiba berhenti.
“Dewa, kalau kamu ingin mengganti dokter dan-”
“Dok, berapapun akan saya bayar, tapi tolong, sembuhkan penyakit ini.” Dewa memohon, ia benar-benar putus asa. Hidupnya benar-benar sudah hampa, sejak ia mendengar diagnosis yang dokter tersebut katakan hampir satu bulan yang lalu, bahwa hidupnya mungkin tidak akan bertahan lama.
Namun, lagi-lagi dokter pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka bukan tuhan yang bisa memberikan kehidupan kepada manusia. Mereka hanya perantara tangan tuhan untuk mengenali apa yang tuhan titipkan kepada pasien-pasiennya.
“Saya tidak mengerti, selama ini saya merasa sangat sehat, saya rajin berolahraga, saya tidak pernah lagi mengonsumsi alkohol, rokok, vape, atau apapun itu yang dapat memicu penyakit dalam diri saya, saya juga selalu makan dan tidur dengan teratur, dok. Bagaimana bisa tiba-tiba dokter mengatakan saya terkena penyakit dan hidup saya tidak akan bertahan lama?” Dokter itu hanya terdiam. Bukan karena ia tidak bisa membalas apapun ucapan Dewa, tapi justru karena ia mengerti. Emosi Dewa sedang tidak baik-baik saja, ia hanya ingin melihat Dewa mengeluarkan semua emosinya yang selama ini ia pendam, setelah mendengar kabar dari dokter beberapa waktu yang lalu.
Dewa bahkan sempat tersenyum, sebelum meninggalkan ruangan dokter pada hari itu, hari di mana ia akhirnya menangis sendirian di sebuah bioskop karena tidak ingin siapapun mendengarnya. Tangisan pilu yang tidak pernah ia keluarkan sepanjang hidupnya.
“Bagaimana jika saya mengatakan bahwa saya tidak ingin mati, dok? BAGAIMANA JIKA SAYA MENOLAK UNTUK MATI? Anda bukan Tuhan yang dapat mengetahui seberapa lama umur saya. Anda bahkan tidak memiliki kemampuan untuk melihat sebebrapa lama hidup saya, kecuali dengan ilmu yang Anda yakini benar itu, padahal kenyataannya itu tidak selalu benar.” Dewa setengah berteriak meluapkan emosinya. “Jadi ... apapun yang terjadi, saya akan dan tetap berpegang pada pendirian saya ... untuk berusaha tetap hidup di dunia.” Dewa mengakhiri dengan nada yang mulai menurun.
Dewa kemudian bangkit dari duduknya, tanpa menunggu jawaban dari sang dokter. Pikirannya kacau, ia sedang tidak ingin mendengar suara siapapun di dunia ini. Suara dalam dirinya sudah cukup membuat Dewa merasa gila sesaat, suara yang terus menghantui Dewa selama berhari-hari dan mengacaukan semua ekspetasi Dewa yang selama ini ia bangun untuk menyusun masa depannya.
Dewa ingin menangis, lagi. Hari masih sore dan tidak mungkin ia menangis di bioskop seperti saat itu. Dan ketika Dewa akhirnya memarkirkan mobilnya di suatu tempat yang ia sendiri tidak menyadari otaknya membawa ia kesana, jantungnya menyadari itu. Jantungnya berdegup sangat kencang, melihat gadis yang 30 menit lalu ia tinggalkan, sedang berdiri di depan pagar menggunakan sebuah hoodie hitam yang menutupi separuh tubuhnya. Menatap ia dari luar sana dengan tatapan bertanya.
Pada akhirnya, sekalipun mulut Dewa mengatakan ia belum jatuh cinta pada gadis itu, hatinya mengatakan hal lain. Gadis yang membuat Dewa tiba-tiba berpikir untuk ingin terus bertahan di dunia, bersamanya.
“Kak, lo harus panjang umur ya biar bisa gue ajak jalan-jalan ke Turki naik balon udara, kita lihat lebih dekat, langit yang selama ini lo suka.” Ucapan gadis itu tepat saat mereka berpisah 30 menit yang lalu, ucapan yang menuntun Dewa pergi ke tempat yang sangat ia hindari sebelumnya, dan ucapan yang membuat Dewa terus mengingat gadis itu lagi dan lagi, tanpa jeda.
Pertama kalinya dalam hidup Dewa, ia ingin melawan takdir, untuk seseorang.