Sadar dan Keputusan

Beberapa menit yang lalu, sosok laki-laki yang sempat terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu, kini telah sepenuhnya sadar. Matanya menatap kedua temannya dengan tatapan bingung ketika ia mendapati sebuah infus yang terpasang pada tangannya. 

Tidak biasanya ia berada di UGD ketika gejalanya kambuh, biasanya ia hanya akan duduk atau tidur di dalam apartemennya hingga gejala tersebut benar-benar menghilang beberapa saat kemudian, mungkin teman-temannya terlalu panik dan tidak mengerti bagaimana merespon hal tersebut hingga akhirnya mereka membawanya ke tempat ini.

“Di mana Feyre sekarang?” sebuah pertanyaan spontan keluar dari mulut Dewa ketika ia benar-benar sadar dan tidak melihat presensi gadis itu di sana, sebelumnya ia juga sempat mendengar sebuah percakapan kecil antara kedua temannya tentang kondisi Feyre sekarang, membuatnya merasa sangat ingin bertemu istrinya. “Gue denger tadi kalian ngomong kalo Feyre sakit juga, tolong kasih tau gue dia ada di mana? Anterin gue ke sana, gue mau ketemu sama Feyre, plis?”

Nada lirih dalam ucapan Dewa ketika ia meminta untuk bertemu istrinya, membuat Nakula dan Arjuna merasa iba. Mereka tahu, bagaimana perasaan sahabatnya saat itu. 

“Tapi Wa, lo nggak boleh banyak gerak dulu. Lo baru sadar.”

“Gue udah gak papa. Plis, Jun. Anterin gue ke tempat Feyre sekarang juga. Gue mau ketemu sama istri gue, gue mau mastiin kondisi dia gimana, gue mau nemenin dia,” pinta Dewa ulang kepada Arjuna.

Benar-benar sebuah pilihan yang sulit untuk Nakula dan Arjuna, mereka tahu, jika mereka menuruti Dewa sekarang, maka mereka akan melanggar anjuran dokter tadi untuk menjaga Dewa agar ia tidak banyak bergerak terlebih dahulu, kondisinya masih dalam peninjauan sehingga ia harus menjaga tubuhnya. Namun, Dewa juga terlihat sangat menyedihkan ketika ia memohon kepada mereka berdua untuk bertemu dengan istrinya yang saat ini sedang terbaring lemah. 

“Gue tanya dokter dulu.”

Nakula menghembuskan nafas panjang sebelum meninggalkan Arjuna dan Dewa dalam diam. “Jun … Gue amnesia lagi, ya?” tanya Dewa lirih. Hati Arjuna terasa sangat sakit ketika melihat sahabatnya menyadari apa yang terjadi kepadanya tadi. “Gue … lupa lagi sama istri gue, kan?” Arjuna tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan.

Dewa tertawa miris, bahkan di hari ulang tahunnya yang seharusnya bisa ia rayakan bersama orang-orang terdekat, berbagi kue, meniup lilin dan membuat permohonan, kemudian bermain hingga pagi datang, nyatanya harus ia lewati dengan berada di ruangan berbau alkohol dengan banyak suara alat medis di sana. 

“Gue jahat ya?”

Arjuna menggeleng. “Takdir yang jahat, Wa.”

Begitulah ketika Nakula kembali dengan membawa sebuah pesan dari dokter bahwa Dewa diizinkan untuk melihat Feyre pada akhirnya, laki-laki itu dengan segera bangkit dari tempat tidurnya kemudian mendorong Arjuna dan Nakula untuk segera memandunya menuju tempat di mana sang istri dirawat.

Dewa melangkah pelan ketika melihat sebuah tirai tertutup setelah Arjuna mengisyaratkan bahwa seseorang yang Dewa cari ada di dalam sana. Tangannya membuka tirai putih itu sedikit demi sedikit hingga menampakkan seorang gadis yang tengah tertidur lelap di sana. Hatinya mendadak sakit, melihat wajah istrinya pucat pasi dan tangannya tertancap sebuah infus yang sudah hampir habis.

Abian melangkah mundur untuk memberikan ruang kepada Dewa bersama istrinya, menutup tirai dan mengajak kedua temannya untuk menjauh dari sana. Dewa mengamati wajah cantik Feyre dalam diam, wajah yang selalu tersenyum ketika melihatnya, kini terlihat lelah dan pucat. Tangan kanannya terulur untuk mengelus kepala gadis itu, kemudian tangan kirinya memegang tangan sang gadis yang terasa sangat dingin di tangannya.

Dewa menyesal, amat sangat menyesal ketika tahu suatu fakta bahwa istrinya masuk rumah sakit karenanya, karena menyiapkan kejutannya yang bahkan tidak sempat mereka lanjutkan. Air mata perlahan turun dari kelopak matanya, hatinya terasa amat sangat sakit, mengingat seberapa sakit perasaan Feyre ketika tahu suaminya tidak mengingat siapa dirinya secara berkali-kali.

“Re, maafin aku,” bisiknya di sebelah telinga Feyre. “Maafin aku karena lupa sama kamu, maafin aku karena nggak bisa jagain kamu, maafin aku karena bikin kamu ada di posisi kaya gini, dan maafin aku karena … Aku nggak sehat kaya orang lain.”

Dewa semakin sakit hati, ia menangis karena merasa sangat dirinya sangat payah. Ia menangis karena tidak tahu bagaimana ia bisa memperbaiki semua ini. Jika bisa memilih, mungkin Dewa tidak akan pernah memilih untuk lupa dengan istrinya, tidak akan memilih untuk berada di posisi seperti sekarang. Namun, Tuhan berkehendak lain. Takdirnya adalah seperti ini, berada dalam situasi yang membuat hatinya terus dibayang-bayangi oleh rasa bersalah karena terlahir tidak sehat.

“Mulai sekarang aku akan berusaha lebih keras buat lebih sehat, Re. Supaya kamu nggak ngerasain hal kaya gini lagi nanti. Cukup sekali aja, setelah ini jangan lagi. Kalo kejadian lagi, kamu harus lari dari aku ya, Re? Tinggalin aku, jangan sama aku lagi. Karena setelah itu aku nggak akan tahu, ingatanku akan kembali atau tetap hilang sampe aku mati.”

Dewa mengecup kening Feyre lama, meluapka rasa sayang dan sesalnya telah membuat gadisnya terbaring di sana. Ia sadar, tidak ada jalan lain untuknya bisa sembuh. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan ia hidup lama sangatlah kecil, bahkan prediksi dokter hidupnya hanya akan bertahan selama beberapa bulan lagi.

Namun, tekad Dewa untuk terus berusaha melakukan segala cara guna memperpanjang masa hidupnya sangatlah kuat. Ia masih ingin melakukan banyak hal yang belum sempat ia lakukan bersama Feyre. Tidak ingin menyesal jika harus meninggalkan dunia dengan keinginan yang tidak terwujudkan.

Hingga pada akhirnya, di malam itu, ketika seorang Feyre Lyssa Damian membuka mata dan mendapati suaminya berada di sana kemudian tersenyum manis kepadanya. Dewantara menemukan kembali keputusan baru dalam hidupnya. Keputusan yang mungkin dapat mewujudkan keinginannya untuk melakukan banyak hal bersama istrinya sebelum ia menutup mata.