Satu Orang Istimewa.

Orlando memperhatikan keberjalanan OSPEK dari kejauhan, sesekali mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya guna memastikan bahwa waktu untuk membawa kabur seseorang—maba jurusan—yang telah direncanakan sebelumnya tidak terlewat.

Skenarionya begini, satu orang yang terpilih akan diculik. Kemudian membiarkan teman-teman angkatannya untuk menyadari dan mencarinya di sekitar tempat OSPEK—entah di lapangan, kamar mandi, parkiran, kantin, atau di mana saja yang sekiranya masih berada di lingkungan kampus—dalam waktu tiga puluh menit. Kalau tidak berhasil menemukannya, mereka akan dicecar oleh Danlap—Komandan Lapangan—pada sesi evaluasi yang tentu saja sudah termasuk dalam skenario juga.

Sejujurnya, tujuan utama panitia membuat skenario seperti ini bukan semata-mata untuk menjadi sok senior yang sengaja mencari-cari kesalahan calon adik tingkatnya demi sebuah kesenangan. Tentu saja tidak, bukan itu tujuannya. Sangat jauh daripada itu, panitia ingin menggunakan skenario ini untuk menumbuhkan rasa kepedulian serta solidaritas angkatan yang sampai sekarang dirasa masih kurang terasa selama keberjalanan OSPEK yang telah lalu.

Kalau sesuai dengan briefing kemarin, Orlando sebagai Kepala Divisi Tata Disiplin yang hari ini tidak memiliki peran cukup penting akan diberikan tugas untuk menjadi penculik—bukan penculik sebenarnya melainkan orang yang bertugas untuk membawa pergi maba itu dari barisan agar tidak bisa ditemukan. Entah menyembunyikan di mana, yang pasti di suatu tempat yang tidak akan terjangkau oleh siapa saja kecuali dirinya.

###

“Duduk dulu di sini, Ze. Tunggu sampe gua kasih aba-aba buat balik ke barisan baru lu boleh pergi.” Orlando berbicara dengan cepat sebelum Zenaya sempat memproses setiap tindakan yang baru saja dilakukan oleh laki-laki itu: membawanya kabur.

Beberapa menit yang lalu ketika kelompok Zenaya diharuskan untuk berganti pos dari Divisi Internal ke Divisi Eksternal, Orlando mulai melancarkan misinya untuk menculik Zenaya tanpa sepengetahuan teman-teman satu kelompoknya. Beruntung gadis itu selalu berada di paling belakang barisan hingga tidak butuh waktu lama untuk Orlando bisa menariknya keluar dan membawanya pergi sebelum yang lain sempat menyadari.

Zenaya tidak ingin besar kepala dengan memikirkan kemungkinan tidak masuk akal seperti apakah laki-laki ini sengaja membawanya pergi di tengah kegiatan OSPEK dan menggunakan privilege yang ia miliki seperti sebelumnya—memundurkan deadline pengumpulan tugas wawancara ketika Zenaya belum selesai mengerjakannya.

Tapi sepertinya bukan itu, sebab kali ini Zenaya mulai merasa tidak sedekat itu lagi dengan Orlando setelah mengetahui hubungan laki-laki itu dengan kakak tingkatnya yang bernama Kayla beberapa hari belakangan. Lagi pula, membawanya kabur di tengah OSPEK hanya karena sebuah privilege tanpa urgensi yang jelas bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan. Untuk apa? Tidak seperti sebelumnya yang memang terdapat sebuah kendala hingga membuat Orlando terpaksa untuk menggunakan koneksinya agar Zenaya tetap dapat mengumpulkan tugasnya tanpa mendapatkan sebuah hukuman.

Gadis itu mengangguk pelan. Kepalanya berputar untuk mengenali di mana ia berpijak sekarang. Sebuah tempat asing yang sampai saat ini baru ia ketahui keberadaannya. Sekelilingnya adalah kebun—atau bisa dibilang seperti hutan—yang tidak begitu besar. Oh, Zenaya bahkan baru tahu kalau ada tempat semacam ini di dalam kampusnya.

Tempat ini sepi, benar-benar sepi sampai sepertinya hanya ada mereka berdua selain burung yang berkicau serta beberapa nyamuk yang terkadang lewat. Bagaimana bisa Orlando menemukan tempat tersembunyi lain—yang pertama ada di seberang tempat fotokopi Cecep, meskipun tempat itu tidak sepenuhnya tersembunyi—seperti laki-laki itu adalah seorang penjelajah yang berkedok sebagai mahasiswa Teknik Geologi.

Entahlah, yang pasti Zenaya sekarang hanya sedang kebingungan.

Gazebo kecil yang berdiri di hadapannya sekarang membuatnya berpikir bahwa mungkin saja dahulu tempat ini ada yang menjamah, atau sebenarnya sampai sekarang pun masih ada hanya ia saja yang tidak pernah tahu. Dari tempatnya berdiri, ia juga bisa melihat hanya ada satu jalan yang tadi ia lewati bersama laki-laki itu.

Jalan di sana bersih dan rapi, meskipun kanan kirinya bukan ditumbuhi oleh bunga melainkan semak-semak, Zenaya bisa yakin kalau tempat ini pasti sering dikunjungi oleh petugas kebersihan atau siapapun yang merawatnya.

Matanya kembali berpencar, kemudian melihat sebuah gedung yang berdiri tepat lima meter di hadapannya. Bangunan itu tampak seperti pagar yang menutupi tempat ini. Menjulang dengan jumlah lantai yang Zenaya perkirakan ada enam atau tujuh hingga tampak sangat tinggi dari bawah sana. Mungkin ini juga menjadi salah satu alasan mengapa tempat nyaman—yang bisa Zenaya rasakan—ini tidak banyak yang mengunjungi. Zenaya juga ingat kalau tidak salah gedung di hadapannya ini adalah gedung milik Fakultas MIPA yang lumayan jauh dari fakultasnya. Lagi-lagi kepalanya masih berputar untuk memikirkan jawaban bagaimana Orlando bisa menemukan tempat ini.

“Nih, pake dulu.” Gadis itu mendongak setelah mendudukkan diri di gazebo, melihat Orlando mengulurkan sebuah bungkusan kecil yang bertuliskan ‘Autan’ dari tangannya. “Di sini banyak nyamuk, biar lu nggak demam berdarah balik dari sini.” Zenaya bahkan tidak menyangka kalau Orlando sudah menyiapkan amunisi sebelum datang kemari.

Sebetulnya gadis itu pun masih ragu, haruskah ia bertanya tentang apa yang terjadi sekarang atau lebih baik menunggu sampai laki-laki itu bersedia untuk menjelaskannya? Tapi yang pasti, Zenaya lebih memilih untuk mengambil dan menggunakan benda pemberian Orlando itu terlebih dahulu sebelum ia benar-benar kehabisan darah lantaran nyamuk-nyamuk yang tadi hanya lewat kini mulai mengerubungi dirinya seolah mereka sedang kehausan.

“Lo nggak pake, Kak? Nanti digigit nyamuk juga,” tanya Zenaya saat melihat laki-laki di hadapannya hanya diam sembari mengamati pergerakannya mengoleskan Autan itu pada tangan dan kakinya.

“Nggak.”

Ia bisa melihat raut wajah Orlando yang kini terlihat sangat serius sampai-sampai Zenaya sempat ragu untuk bertanya lagi dan lebih memilih untuk diam, kembali fokus pada kegiatannya. Tapi sepertinya hati dan pikiran gadis itu tidak bisa selaras, matanya menolak untuk diam dan sesekali melirik Orlando, menemukan bahwa laki-laki itu masih saja menatapnya dengan wajah serius.

Apa yang sedang laki-laki itu pikirkan? Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu atau sebenarnya hendak mengatakan sesuatu kepada Zenaya namun tidak bisa dikatakan. Atau justru ini hanyalah topeng yang sengaja ia pasang lantaran saat ini mereka berdua bukan sedang bertemu sebagai ‘Orlando dan Zenaya’ melainkan sebagai ‘Panitia dan Maba’.

Benar juga, Zenaya baru menyadari hal itu sekarang.

“Lu haus nggak?” tanya Orlando dengan ragu. Zenaya hanya menggelengkan kepala, meletakkan Autan yang tadi ia pakai ke sebelahnya, kemudian mulai mengayunkan kedua kakinya yang menggantung lantaran bingung harus berbuat apa.

Oke, sekarang mereka hanya saling terdiam dalam kecanggungan. Kalau saja batu-batuan serta rumput di sana bisa berbicara, mungkin mereka akan protes lantaran membuatnya terjebak dalam kondisi yang tidak nyaman. Orlando bersandar pada tiang gazebo di sebelah Zenaya. Membiarkan gadis itu untuk meraup udara yang bercampur dengan aroma parfum yang sengaja ia pakai sebelumnya.

Mereka memandang sekitar, ke arah pohon, kucing yang tiba-tiba melewati mereka, burung yang sedang mematuk cacing, atau apa saja yang bisa mengalihkan perhatian. Sepertinya memang tidak ada niatan untuk membuka suara sampai lima menit pun terasa begitu lama.

“Kak,” panggil Zenaya pada akhirnya. Mulutnya sudah tidak sanggup lagi untuk mengatup apalagi merasakan kecanggungan yang entah sampai kapan akan melingkupi mereka. Orlando menoleh, mendapati raut wajah Zenaya yang penuh akan tanda tanya.

“Lu lagi diculik, skenario panitia,” jawab Orlando cepat seolah sebuah pertanyaan sudah tertulis jelas di dahi Zenaya. Gadis itu mengangguk, mulai memahami mengapa tiba-tiba ia ada di sini.

“Mau tanya apa lagi, Ze?” lanjut Orlando ketika Zenaya belum kunjung melontarkan pertanyaan lainnya dan malah menatapnya dengan lekat. Satu detik kemudian gadis itu menunduk dengan cepat, merasa salah tingkah ketika menyadari bahwa sosok yang sejak tadi ia tatap mulai mengubah posisinya. Tubuhnya masih bersandar pada tiang, namun kini ia menggunakan pundak kirinya sebagai tumpuan serta menghadap Zenaya dengan senyum miring yang menyebalkan.

“Ze?” panggil Orlando lagi, namun Zenaya mendadak tuli dan bisu.

Kepalanya riuh, memikirkan segala macam hal termasuk apakah ia harus bertanya mengenai ‘hubungan’ mereka—yang sejujurnya belum pantas disebut sebagai hubungan—setelah ini, pasca memikirkan kemungkinan bahwa Orlando memang sedang dekat dengan Kayla.

Kalau boleh jujur, ini bukan masalah besar bagi Zenaya kalaupun ia mengetahui fakta bahwa ternyata kakak tingkat yang tadinya dekat dengannya itu bermaksud untuk membangun kembali hubungannya dengan Kayla—yang katanya sempat tertunda. Terlebih lagi kepalanya kini ikut mengingatkan perihal pengakuan kakak tingkatnya itu beberapa waktu yang lalu terkait kedekatannya dengan Orlando serta bagaimana laki-laki itu bersikap kepada orang lain. Membuat Zenaya sedikit banyak mulai paham bahwa mungkin saja apa yang dilakukan Orlando kepadanya sekadar basic manner dan bukanlah sebuah hal yang istimewa.

Mengantarkannya pulang, meminjamkan jaket kepadanya, membantunya mengerjakan tugas OSPEK dan tugas kuliah, membelikannya makan, atau hal-hal lain yang sempat Zenaya terima kemarin-kemarin.

Ia pun juga banyak mendengar bagaimana sosok laki-laki yang dikenal cukup galak saat OSPEK itu berbanding terbalik dan menjadi sangat baik hingga terkadang menimbulkan banyak kesalahpahaman ketika berada di luar kegiatan. Sosok laki-laki yang mudah untuk disukai sebab segala sifat baiknya yang membuat banyak orang—termasuk Zenaya—seketika terhipnotis dan berpikir bahwa mereka adalah orang yang istimewa sebab Orlando memberikan banyak perhatian kepadanya.

Namun katanya, laki-laki itu memang berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang siapa saja.

Kemarin, Zenaya juga sempat menguping—sebenarnya tidak sengaja mendengar—kakak tingkat yang diperkirakan satu angkatan dengan Orlando, bergosip dengan temannya ketika berada di dalam toilet wanita. Di sisi lain, Zenaya yang tadinya hendak menggedor pintu untuk meminta tolong sebab kunci pintu bilik kamar mandinya tiba-tiba rusak—bilik tersebut sebenarnya memang sedang rusak, tapi dengan cerobohnya Zenaya masuk tanpa melihat pengumuman yang menempel di pintu sehingga ia harus berakhir dengan terjebak di dalam sana—dan seketika mengurungkan niatnya untuk mencari bantuan dari mereka. Memilih untuk berdiam diri lantaran tidak ingin menginterupsi obrolan yang mungkin bisa memberikannya informasi penting yang entah bisa dipercaya atau tidak.

“Tau nggak, Ji, Orlando sama Elvira putus katanya gara-gara Orlando masih sering deket sama cewek-cewek tau. Kok nggak ada tobatnya ya dia, padahal udah dapet Elvira, tapi masih aja lirik sana sini.”

“Lah, bukannya karena Elvira selingkuh, ya? Gue denger dari Kayla katanya gitu, makanya sekarang Elvira jadian sama si Novan.”

“Lo percaya? Kayla aja deket sama Orlando, dari dulu kan mereka—Kayla dan Elvira—emang agak musuhan. Si Kay gagal pacaran sama Orlando juga gara-gara keduluan sama Elvira.”

“Tapi masa iya, sih? Gue diceritain sama Kayla malahan katanya si Elvira yang agak toxic pas pacaran. Nggak bolehin Orlando main sama siapa-siapa, terus agak posesif juga. Waktu itu Nadya pernah satu kelompok sama Orlando, terus disuruh pindah kelompok sama Elvira gara-gara nggak mau Orlando satu kelompok sama cewek. Pokoknya tuh, Elvira nggak suka banget liat Orlando deket sama cewek.”

“Ya gimana… Orang Orlandonya kan juga gitu. Kalo nggak ada api nggak mungkin ada asap, kan, Ji? Lo pikir aja kenapa Elvira posesif banget sama Orlando? Ya karena dia gitu, nempel sana sini, baik ke semua orang sampe bikin anak orang baper, gue tanya deh, siapa yang mau cowoknya kaya gitu? Kalo gue jadi Elvira juga gue posesif kaya gitu.”

“Tapi denger-denger Orlando lagi gebet adik tingkat, tuh. Anak 2019, maba masih ospek. Heboh banget kemaren sampe disamperin ke kelasnya.”

“Oalah si itu, siapa sih namanya? Zendaya apa Zenaya?”

“Zenaya, anjir. Zendaya mah artis.”

“Alah palingan juga nggak lama, Orlando kan suka ganti-ganti gebetan. Waktu itu deketnya sama Kayla, jadiannya sama Elvira. Lihat aja ntar, deketnya sama siapa jadiannya sama siapa.”

“HAHAHAHA, kata gue sih sama Kayla. Diliat-liat mereka makin nempel gara-gara ngospek bareng.”

“Feeling gue juga gitu.”

Saat itu, Zenaya tidak menyiapkan apapun. Hati, mental, atau hal lain yang membuatnya bisa menahan rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Ia bahkan tidak menyangka akan mendengarkan sebuah percakapan yang lumayan rahasia sampai menyebutkan namanya seperti itu. Tapi bagaikan takdir, Zenaya jadi paham mengapa Tuhan menempatkannya dalam bilik kamar mandi rusak itu hingga empat puluh lima menit lamanya sampai seorang petugas kebersihan membantunya keluar dari sana. Mendengarkan cerita tentang Orlando dari mulut orang lain selain Gia dan Kayla.

Kembali pada Zenaya di masa sekarang yang sedang menghembuskan nafas panjang di balik kepalanya yang masih menunduk serta kaki yang terayun. Perlahan gadis itu menyadari bahwa posisinya sangat membingungkan.

Zenaya tidak mungkin menyalahkan Orlando.

Ia harusnya malah berterima kasih karena laki-laki itu bersedia membantunya selama ini. Bukan malah bersembunyi di balik rasa sakit hati atau menyalahkan Orlando dengan alasan merasa dibohongi akibat perlakuan yang diberikan kepadanya serta perasaan yang ia miliki tidak mendapat balasan seperti apa yang ia inginkan.

Menyalahkan Orlando hanya karena laki-laki itu berbuat baik sedangkan otaknya sendiri lah yang berpikir bahwa hal tersebut merupakan perlakuan spesial yang dilandasi oleh perasaan hingga menimbulkan kesalahpahaman, adalah hal yang tidak pantas menurut Zenaya.

Bukan salah Orlando menjadi orang baik. Mungkin ekspektasinya saja yang berlebihan, menganggap semua orang memiliki batas kebaikan yang sama dengannya.

Mungkin, Orlando berbeda.

Mungkin saja laki-laki itu bukan dengan sengaja melakukan semua kebaikan hanya untuk menarik perhatian atau hendak membuat Zenaya menaruh perasaan, melainkan karena ia memang selalu berbuat baik kepada siapa saja tidak memandang siapa orangnya dan seberapa dekat ia dengan orang tersebut. Karena baginya, berbuat baik itu adalah kewajiban.

Semua serba mungkin, sebab Zenaya juga tidak tahu bagaimana pastinya. “Ze?” panggilan dari Orlando membuyarkan seluruh pikiran panjang Zenaya. Menariknya kembali pada kenyataan bahwa ia harus berhadapan dengan laki-laki ini lagi dan lagi. “Lima menit lagi kita balik ke lapangan, ya.”

Gadis itu mengangguk namun masih enggan untuk berbicara. Tidak menyadari bahwa dua puluh menit telah mereka habiskan dalam keheningan.

“Kak, gue boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Zenaya setelah menimang bagaimana ia menghabiskan waktu lima menit kedepan tanpa merasa canggung atau tertekan. “Kalo lo nggak keberatan, sih.”

“Tanya aja,” balas Orlando santai.

Gadis itu menarik nafas dalam. “Lo lagi deket sama Kak Kayla, ya?”

Orlando terkekeh membuat Zenaya semakin bertarung dengan degup jantungnya yang semakin tak terkendali. Sekejap merasa malu serta menyesali perbuatannya yang bisa saja membuat Orlando tidak nyaman akan pertanyaannya. “Emang keliatannya gimana, Ze?”

“Iya.” Jawaban spontan Zenaya akhirnya mengundang gelak tawa dari Orlando. “Kenapa ketawa, Kak?” tanya Zenaya cepat seiring dengan matanya mengikuti pergerakan Orlando yang mendadak bangkit dari posisinya sejak dua puluh menit lalu dan mulai memposisikan diri di hadapan gadis itu.

“Kepala lu ini isinya pasti banyak banget, ya?” tanpa sadar Zenaya mengangguk pelan ketika Orlando menepuk pelan puncak kepalanya. Bagaikan dihipnotis oleh pesulap handal dengan satu jentikan jari dan orang tersebut akan melupakan segala hal yang terjadi sebelumnya.

Lagi-lagi Orlando hanya tertawa. “Ketawa mulu dari tadi kenapa, sih?”

“Simpen pertanyaannya buat besok aja, ya.” Orlando melirik jam tangannya, sebelum kemudian melanjutkan. “Kita harus jalan ke lapangan tiga menit lagi, nggak cukup kalo gua jelasin semuanya sekarang.”

Zenaya pasrah, lagi pula, kalau dipikir-pikir lagi Orlando juga tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan apapun kepadanya.

“Besok Minggu, Kak. Kuliahnya libur.” Laki-laki itu mengangguk, tanpa Zenaya jelaskan pun ia juga tahu kalau besok adalah hari Minggu dan kuliah sedang libur.

“Besok lu ada acara?” tanya Orlando membuat gadis itu dengan cepat menggeleng. Entah kenapa masih sedikit berharap ada sesuatu di balik pertanyaan itu meskipun sejak semalam pikirannya sibuk mencari cara untuk menghindari Orlando kalau semua asumsinya terbukti benar.

“Mau ikut gua, nggak?”

“Ke mana?” Zenaya sedikit ragu untuk bertanya, takut kalau laki-laki itu menangkap sebuah harapan yang tersemat dalam pertanyaannya.

“Nyari kado sekalian ke acara ulang tahun adiknya si Cecep. Kan gue udah bilang ke lo.”

Mata Zenaya melebar, tiba-tiba merasa bingung sekaligus kaget dengan ucapan laki-laki itu. “Bentar, jadi yang semalem lo tanyain tuh kado buat—”

“Adiknya Cecep.” Laki-laki itu menjawab santai. Sepertinya sadar bahwa Zenaya mungkin sempat berpikiran hal lain maka cepat-cepat ia jelaskan. “Bukan kado buat Kayla, Ze.”

Gadis itu bahkan langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan saat mendengar Orlando menjawab pertanyaan dalam pikirannya, padahal sudah jelas pertanyaan itu tidak pernah keluar dari mulutnya.

Sejak semalam Zenaya memang sedang memikirkan hal tersebut. Siapa sosok yang dimaksud oleh Orlando? Apakah itu Kayla? Melihat bagaimana Kayla mengunggah sebuah status berisi foto seorang lelaki membawa bunga untuk hadiah ulang tahunnya, lengkap dengan caption yang menyebutkan nama Orlando, jelas membuat Zenaya berpikir kalau laki-laki di foto itu adalah Orlando dan sosok yang dimaksud olehnya hendak diberikan kado ulang tahun adalah Kayla.

Tapi, hari ini semuanya menjadi jelas. “Semalem Kayla ulang tahun. Gua tau lu juga lihat status dia dan pasti sempet mikir kalo cowok itu gua, kan? Agak kepedean, sih, tapi kayanya isi kepala lu ini begitu.”

Skakmat.

“Jidat gue ada tulisannya, ya, Kak?” Laki-laki itu terkekeh sebelum mengulurkan tangan kanannya pada Zenaya. Merasa tembok yang tadi berdiri kokoh di antara mereka perlahan mulai runtuh.

“Iya, tulisannya gede banget kaya plang selamat datang di Kota Bandung.” Orlando bergurau sembari menunggu Zenaya menerima uluran tangannya. “Itu gebetannya Kayla, tetangga gue.”

“Hah jadi bukan lo, Kak? Terus kenapa Kak Kayla nyebut nama lo segala di statusnya?” tanya Zenaya lagi masih mengabaikan uluran tangan Orlando.

“Ayo berdiri, udah waktunya balik ke lapangan.” Laki-laki itu tidak menjawab dan malah menarik tangan Zenaya agar bangkit sebelum membawa gadis itu kembali ke lapangan tempat di mana mereka seharusnya berada.

“Kak, ih, jawab dulu gue penasaran!” Gadis itu bersikeras mencari jawaban lantaran kepalang penasaran dengan segala hal yang terjadi kemarin dan sebelum-sebelumnya.

Jadi selama ini ia salah sangka? Lalu bagaimana dua orang penyebar gosip itu bisa sangat yakin kalau Orlando dan Kayla dekat setelah laki-laki itu putus dari Elvira? Apakah mereka semua tidak tahu kalau Kayla memiliki gebetan lain dan bukan Orlando? Tapi, mengapa Kayla mengirimkan foto Orlando kepada Zenaya? Apa tujuannya? Banyak hal yang berputar di kepala Zenaya sekarang.

Sejujurnya, semua pikiran Zenaya serta tuduhan dari dua orang yang tidak Zenaya ketahui identitasnya perihal Orlando yang memiliki sifat baik kepada semua orang hingga terkadang membuat orang lain salah paham akan kebaikannya, adalah salah besar. Mungkin ada sebagian yang benar, seperti saat mereka tahu kalau Orlando selalu berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang siapa orangnya. Tapi satu hal yang tidak mereka tahu. Orlando tidak pernah menaruh perhatian lebih kepada satu orang kalau ia tidak memiliki ketertarikan pada orang tersebut. Ada batasan yang Orlando bangun di antara baik dan perhatian yang tidak pernah mereka tahu.

Begini jelasnya: Orlando yang ‘baik’ akan menolong orang lain untuk membelikan mereka makan. Sedangkan Orlando yang ‘perhatian’ akan mencarikan makanan yang diinginkan seseorang agar ia mau untuk makan.

Orlando yang ‘baik’ akan menolong orang lain untuk mengecek tugas yang telah mereka kerjakan. Sedangkan Orlando yang ‘perhatian’ akan mengerjakan tugas seseorang karena orang itu ketiduran.

Ada perbedaan antara baik dan perhatian yang Orlando berikan kepada seseorang. Menunjukkan bahwa ada tempat istimewa yang tidak ia berikan secara cuma-cuma dan tidak bisa dilihat oleh orang lain. Hanya bisa dirasakan oleh pemilik tempat tersebut. Sebab sebaik-baiknya Orlando, ia masih tahu di mana batas wajar kebaikannya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman untuk orang lain.

Beruntungnya, Zenaya berhasil mendapatkan perhatian, bukan sekedar kebaikan.

“Kalo jelasin sekarang kelamaan. Keburu dicariin sama panitia, Ze, ntar dikira kita keasyikan pacaran,” balas Orlando santai masih dengan menggandeng tangan Zenaya sampai keluar dari tempat itu, tentu saja sebelum mereka tiba di lapangan. “Pacarannya besok aja.”

Jangan salahkan Zenaya kalau pulang dari sini ia menjadi gila.