See You After Concert.
Riuh suara ribuan penonton mulai memenuhi landasan udara Husein Sastranegara siang itu. Lebih dari dua puluh ribu pecinta musik hadir dalam festival tahunan yang diadakan oleh salah satu promotor terbesar musik Indonesia yang membawa Sun In The Summer Festival ini. Adanya perubahan strategi serta perubahan jadwal dari dua hari menjadi satu hari pun semakin membuat lautan manusia itu semakin bertambah banyak. Tidak hanya konser, Sun In The Summer Festival juga turut mengadakan festival kuliner yang kini telah berjajar di sepanjang tempat konser.
Tepat pukul 14.00 WIB seluruh penonton mulai merapatkan posisi mereka, beberapa orang yang tadinya sedang duduk-duduk kini sudah mulai berdiri, mengambil posisi yang kosong dan berebut untuk maju ke depan agar lebih dekat dengan panggung.
Berbeda dari ribuan orang lainnya yang rela berdesak-desakan demi mendapatkan spot berdiri yang paling dekat dengan idola mereka, Abian dan teman-temannya justru lebih memilih untuk duduk dengan tenang di sayap kiri kerumunan, jauh dari panggung. Di bawah tenda salah satu sponsor terbesar acara musik tersebut, yang tidak lain adalah Paramayoga Group milik keluarga Abian.
Tidak heran, Paramayoga Group adalah perusahaan properti terkemuka di Indonesia.
Sebenarnya teman Abian tidak banyak yang ikut hari ini, tentu saja karena beberapa dari mereka sibuk bekerja di luar kota dan tidak bisa datang ke Bandung, seperti Arga dan Mahesa. Serta Nakula yang tidak jadi datang karena mendadak harus mengurus persiapan pernikahannya yang akan diselenggaarkan seminggu lagi, meskipun kenyataannya Pevita—calon istrinya—ingin sekali menonton festival tahunan ini. Namun apa daya, pernikahannya lebih penting dari pada konser. Ditambah Sarah dan teman-temannya juga ikut bergabung dengan mereka, membuat tenda itu terlihat penuh.
“Lo nggak ke backstage?” tanya Arjuna kepada Abian yang sedang fokus pada ponselnya. Mengingat laki-laki itu adalah sosok yang saat ini sedang 'dekat' dengan Cica—penyanyi yang akan tampil beberapa saat lagi karena memiliki urutan di awal perform—masih berada di lapangan bersama mereka.
Arjuna berpikir bukankah seharusnya Abian sekarang menjadi support system untuk Cica dan berusaha memberikannya semangat sebelum gadis itu tampil sebentar lagi? Mengapa ia justru ada di sini bersama mereka?
“Abis ini, Cica masih siap-siap dulu katanya.” Seolah paham akan pertanyaan Arjuna, Abian menjawabnya santai sebelum kemudian menutup ponselnya dan kembali bergabung dengan obrolan teman-temannya. Arjuna hanya mengangguk pelan setelah pertanyaan dalam kepalanya terjawab.
“Ini mulai jam berapa sih? Udah jam dua lebih lima menit tapi belum naik panggung tuh artisnya.” Deka yang sedang kepanasan mulai menunjukkan gelagat tidak sabar, wajahnya sudah memerah karena udara Kota Bandung hari ini terasa lebih panas dan sesak dari biasanya. Jelas saja, mereka harus berebut oksigen dengan puluhan ribu orang. “Katanya ada delay bentar sih gara-gara artisnya telat dateng, palingan sepuluh menit lagi,” jawab Abian singkat.
Semua tidak terkejut, laki-laki itu seolah memiliki orang dalam yang berada di balik layar sehingga bisa dengan mudah mengetahui apa yang terjadi di dalam sana. Pasalnya Abian memang memilikinya.
“Siapa emang yang pertama manggung hari ini?” Putra ikut bertanya.
“Kalo di main stage sih Kunto Aji, abis itu Aruna Nafisa—eh Cica abis ini manggung kok lo masih di sini?” Abian terkekeh kecil ketika mendapati Mody baru saja menyadari dirinya belum berada di belakang panggung ketika matanya selesai membaca list artis yang akan tampil di main stage, bahkan pertanyaannya sama persis dengan Arjuna beberapa menit yang lalu.
“Tadi gue udah nanya ke dia, Mod.” Arjuna menimpali. “Gue nggak tau, baru dateng abis beli minum nih,” balas Mody sembari menunjukkan sebuah kantong plastik berisi banyak minuman untuknya dan untuk temannya—sudah termasuk teman Abian juga. Semenjak pertemuan mereka di Southbank beberapa waktu yang lalu, Mody, Syeha, dan teman-teman Cica yang lain menjadi lebih akrab dengan teman Abian. Kecualikan Sherin dan Cica yang tidak dihitung karena sibuk dengan pekerjaan mereka.
“Abis ini, nunggu di telfon sama—nah ini dia nelfon.” Abian menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan nama Sherin di sana, jelas alasan gadis itu menghubungi Abian karena membutuhkan laki-laki itu di belakang sana.
“Enaknya bisa ke backstage,” keluh Deka yang tiba-tiba merasa iri kepada Abian. Dengan ekspresi murungnya ia menunduk, namun masih sempat melirik Abian seolah membujuk laki-laki itu agar bisa membawanya juga ke belakang panggung dan bertemu dengan idolanya.
“Sok sedih lo,” ledek Januar dengan memukul ringan punggung Deka. Laki-laki itu tidak bereaksi apapun atas perlakuan Januar, ia hanya fokus menatap Abian penuh harap.
Setelah menutup panggilan, Abian mengambil sebuah kantong kecil yang ia letakkan di bawah kursinya, kemudian bangkit dari sana untuk dapat pergi menuju belakang panggung menemui Cica. “Lo mau ketemu Cica?” tanyanya tiba-tiba kepada Deka dengan senyum kecil.
“MAUUU MAUU!!” Laki-laki itu menjawab dengan penuh antusias bahkan sampai menyusul Abian untuk berdiri, membuat Abian dan beberapa orang di sekelilingnya tertawa kecil. “Nanti abis dia manggung lo ke backstage aja, Sherin bakal jemput lo di sana. Kalo sekarang nggak bisa soalnya agak keos takutnya.”
Sedikit rasa kecewa muncul di wajah Deka, ia merasa sedih karena tidak bisa melihat Cica saat ini juga, padahal ia ingin memberikan Cica semangat sebelum naik ke panggung mengingat Deka paham atas kejadian dua hari yang lalu, namun buru-buru Arjuna menimpali mereka.
“Kalo lo ke sana sekarang malah nonton orang pacaran terus jadi nyamuk, emang lo mau?”
Seolah kata 'pacaran' memang sudah tidak mengherankan bagi mereka semua di saat kenyataannya hubungan Abian dan Cica masih sebatas teman.
Deka tampak berpikir sejenak. Benar juga, ia baru menyadari itu ketika matanya melirik Abian yang kini sedang tersenyum geli melihatnya. Laki-laki itu pasti sedang menertawakan tingkah laku Deka dalam hatinya. “Ya udah, nanti abis Cica manggung gue ke sana.”
Usai berpamitan dengan teman-temannya, Abian segera berlari membelah lautan manusia yang menghalangi jalannya, beruntung ia segera menemukan jalur lain untuk bisa mencapai backstage secepatnya sebelum konser di mulai. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, memastikan ia masih memiliki banyak waktu untuk bertemu dengan Cica sebelum gadis itu naik ke panggung utama.
Dari kejauhan matanya mulai menangkap sosok gadis tinggi dengan pakaian putih yang dapat ia kenali, dengan segera ia melangkah lebih cepat menuju gadis itu. “Itu apaan?” tanya Sherin setelah Abian berhasil menghampirinya.
“Titipan Cica,” ujar Abian singkat yang sebenarnya hanya untuk membuat Sherin tidak bertanya lagi, karena kenyataannya itu bukanlah titipan Cica melainkan pemberian darinya.
Sherin hanya mengangguk pelan kemudian berjalan mendahului Abian untuk masuk ke dalam backstage, melewati kerumunan panitia yang sibuk mempersiapkan segala hal sebelum acara mulai. Abian menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan ramainya kondisi backstage sebelum matanya menemukan sosok yang ia cari sejak tadi sedang duduk di kursi sebuah ruangan sembari memainkan rubik kecil.
Gadis itu mendongak seketika saat menyadari Sherin kini berdiri di depannya, kemudian beralih menatap Abian yang menyusul untuk berdiri di sana. “Gue tinggal dulu ya, Ca. Kalian nggak papa kan berdua?” Cica mengangguk untuk menanggapi.
“Nanti kalo udah mau naik gue kabarin. Pintunya gue tutup ya biar nggak ganggu kalian.” Cica mengangguk kecil lagi sembari menatap Sherin, namun tetap tanpa mengucapkan sepatah kata hingga manager-nya benar-benar menghilang di balik pintu cokelat itu.
Sekarang fokus gadis itu kembali pada laki-laki di depannya. Rubik yang tadinya ia pegang kini berpindah pada meja di sebelahnya. “Nih,” ucap Abian dengan tangan terlur untuk memberikan bingkisan yang ia bawa sejak tadi. Sebelah alis Cica terangkat seolah bingung sekaligus bertanya-tanya apa isi dari kantong tersebut.
“Kesukaan lo.”
Mata Cica seketika berbinar, seolah dirinya sangat mengetahui apa yang sedang dibawa oleh Abian tepat setelah ia mengenali kantong itu. “Kok dapet? Dari mana?”
Tangannya kini sibuk membuka kantong yang ternyata berisi sebuah makanan kesukaan Cica. Makanan yang hanya bisa didapatkan ketika malam hari karena toko itu hanya buka mulai dari pukul 18.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB, namun bisa Abian dapatkan saat ini dengan keadaan yang masih hangat, tanda bahwa itu baru saja ia beli. Entah bagaimana caranya laki-laki itu bisa mendapatkannya, Cica juga bertanya-tanya.
“Bisa lah, Abian gitu, apa sih yang nggak gue bisa dan nggak gue tahu,” jawab Abian congkak yang justru membuat Cica memutar bola matanya jengah. Gadis itu tidak lagi mempedulikan Abian yang kini mengambil posisi duduk di sebelahnya, yang ia pedulikan sekarang hanyalah sebuah ubi cilembu hangat di dalam sebuah kantong bertuliskan 'OOBIEKU' itu.
Makanan kesukaannya.
Cica sangat menyukai makanan manis, namun dari sekian banyak makanan manis di dunia ini, hanya ubi cilembu hangat milik 'OOBIEKU' yang bisa membuat Cica merasa benar-benar tenang seolah itu adalah obat penawar gugupnya selama ini.
“Eh, kok lo tahu kalo gue suka banget sama ubi cilembu ini?” tanya Cica tiba-tiba ketika dirinya tersadar jika selama ini ia tidak pernah menceritakan itu kepada Abian. Maka dari itu ia tampak bingung karenanya.
“Udah gue bilang, apa sih yang nggak gue tahu.” Abian menjawab dengan kekehan kecil lagi, kini tangannya ikut meraih sebuah ubi kecil di dalam kantong tersebut, kemudian mulai mengupas setengahnya dan memberikannya pada Cica. “Nih, makan aja nggak usah banyak nanya kaya Dora.”
Gadis itu hanya mendengus kecil namun menerima ubi itu dengan bahagia dan mulai memakannya sedikit demi sedikit. “Dulu ya, gue tuh kalo sebelum manggung harus banget makan ini tau. Bahkan pas gue ke luar kota aja gue minta dibawain ubi saking gue sukanya.” Cica bercerita sembari mengunyah, sedangkan Abian mendengarkan Cica dengan tangan yang sibuk mengupas ubi lain untuk gadis itu.
“Terus, mulai kapan udah nggak makan ini sebelum manggung?” Abian mengambil setengah ubi yang Cica bawa kemudian menukarnya dengan ubi utuh yang telah ia kupas. “Mulai kapan ya? Kayanya tahun lalu? Eh ini kenapa dituker?” Gadis itu bertanya ketika menyadari apa yang Abian lakukan padanya.
“Ini kulitnya belum gue kupasin, nanti tangan lo kotor kalo ngupas sendiri,” jawab Abian kemudian.
Cica baru menyadari jika sejak tadi laki-laki itu hanya mengupasnya tanpa memakan sedikitpun, lantas ketika gadis itu sadar, buru-buru ia menyodorkan ubi yang ia pegang kepada Abian agar laki-laki itu bisa ikut mencobanya. “Buka mulut, cepet,” pinta Cica.
Laki-laki itu nampak kebingungan ketika melihat Cica menyodorkan makanan manis itu kepadanya. “Kenapa?”
“Lo makan juga, cobain deh, ini enak banget.” Tadinya Abian ingin menolak suapan yang diberikan oleh Cica kepadanya, namun setelah melihat raut wajah antusias dari Cica seketika ia membuka mulutnya dengan lebar. Memakan ubi manis itu dan merasakan apa yang Cica rasakan juga. “Gimana? Enak kan?”
Abian mengangguk cepat membuat Cica semakin kegirangan, seolah seperti ia telah membagi makanan kepada orang yang tepat.
Hampir sepuluh menit mereka berdua di dalam sana, belum ada satupun interupsi dari orang lain yang mengabarkan bahwa Cica harus bersiap-siap naik. Membuat gadis itu bertanya-tanya kembali. “Ini agak molor ya?”
“Iya tadi Sherin bilang artis pertama agak telat, makanya belum mulai.” Cica mengangguk-angguk tanda mengerti. “Pantesan dari tadi belum ada aba-aba mulai.”
Hening sesaat, keduanya kini sibuk dengan kegiatan masing-masing. Abian sibuk mengupas sedangkan Cica sibuk berdiam diri, lebih tepatnya sibuk menghentikan sesuatu yang sejak tadi memenuhi kepalanya.
Sejak tadi, sejak kemarin, dan sejak dua hari yang lalu sempat menghantuinya.
“Tadi rame banget ya di luar?” tanya Cica kepada Abian. Laki-laki itu menoleh kepada Cica sebelum kemudian menjawab dengan jawaban singkat. “Banget.”
Gadis itu menghela nafas panjang, merasa sesak tiba-tiba ketika menyadari ketakutannya tiba-tiba datang. Biasanya ia tidak merasa gugup ataupun takut, panggung seolah sudah menjadi medan perangnya sejak dahulu, bahkan ia juga sudah dikenal sebagai penakluk panggung yang hebat setiap berada di atas sana. Namun hari ini semua terasa beda.
“Kenapa?” bisik Abian kepada Cica. Laki-laki itu nampak telah berhenti dari kegiatannya tadi dan meletakkan semuanya di kursi sebelah.
Sejak tadi Abian memang merasakan ada perasaan aneh dalam diri Cica. Perasaan yang tidak pernah ia temukan ada di dalam diri gadis itu. “Nggak papa.”
Bohong, sebenarnya Cica ingin kabur sekarang juga. Bukan karena ia tidak ingin tampil di panggung utama itu lagi. Namun karena ia masih merasa bersalah kepada The Zorro karena telah mengacaukan persiapan mereka dua hari yang lalu, merasa malu untuk berhadapan dengan ribuan penonton setelah mereka mengetahui kesalahannya, dan merasa tidak pantas untuk tampil bersama The Zorro hari ini, meskipun semua hal itu sudah dapat diselesaikan dengan baik kemarin, tetap saja, perasaan Cica masih terasa sedikit tidak nyaman.
“You're not okay.” Cica menoleh, menatap Abian yang kini menatapnya sendu. “Kelihatan?” tanya Cica lirih dan Abian mengangguk sebagai jawabannya.
Lagi-lagi Cica selalu terbaca, ia memang tipe orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan dan ekspresinya. Senang, sedih, marah, atau apapun itu, Cica selalu mengeluarkannya secara langsung di depan semua orang. Maka dari itu, saat melihat Cica pertama kali, Abian dapat melihat jelas jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
“Ah sial, padahal gue harus manggung beberapa menit lagi.”
Cica mulai panik, menyadari bahwa perasaannya sekarang mungkin akan sangat berpengaruh pada penampilannya nanti, membuat dirinya semakin merasa kacau. Ia tidak bisa berpura-pura tenang di saat pikirannya benar-benar kacau. “Tenang, Ca. Jangan panik.” Abian menenangkan. Hanya saja kalimat itu tidak mempan bagi Cica saat ini.
Laki-laki itu bangkit dari duduknya, berjalan pelan ke meja lain dan mengambil sebuah botol kecil berwarna ungu berisi minuman kesukaan Cica. Pororo.
Cica hanya melihat pergerakan Abian dengan bingung, bahkan sampai Abian berdiri di hadapannya sembari menyodorkan sebuah botol kecil itu, Cica masih merasa bingung. “Minum dulu, biar nggak panik.” Abian menyodorkan minuman yang telah ia buka agar bisa Cica minum dengan segera.
“Nggak haus.” Jawaban Cica seolah tidak didengar oleh Abian, tangannya masih menggantung di hadapan Cica hingga gadis itu mau tidak mau menerimanya dengan pasrah. “Minum aja dikit.”
Cica menurut, ia mulai meneguk minuman itu sedikit demi sedikit, kemudian menyodorkannya kembali pada Abian. Setelah meletakkan botol itu pada meja, Abian kini memposisikan tubuhnya untuk berjongkok di hadapan Cica. Sedangkan gadis itu menatap pergerakan Abian dengan bingung.
“Sekarang tarik nafas selama empat detik,” titah Abian dan Cica hanya menurut. “Terus buang lagi pelan-pelan selama empat detik.” Gadis itu menghembuskan nafasnya panjang. “Lakuin terus sampe sepuluh kali.”
“Jangan protes,” lanjut Abian sesaat setelah melihat Cica ingin protes kepadanya. Namun lagi-lagi pada akhirnya Cica akan menuruti semua ucapan Abian dengan baik. Laki-laki itu terkekeh kecil melihat Cica yang sedang mengatur nafasnya seperti seseorang yang akan melahirkan, menuruti ucapannya.
Setelah hembusan ke sepuluh—sesuai dengan hitungan Cica—gadis itu tambak sedikit lebih baik dari sebelumnya. “Gimana? Masih panik?” tanya Abian lembut, kali ini diiringi dengan sebuah senyum manis miliknya.
Jika saja Cica tidak sedang dalam mode senyap seperti sekarang mungkin dirinya akan berubah menjadi barongsai hanya karena melihat betapa manisnya senyum milik Abian.
Gadis itu menggeleng pelan, merasa benar-benar lebih baik dari sebelumnya hanya karena mengatur pernapasannya sesuai dengan arahan yang diberikan oleh Abian.
“Lo tau nggak kalo mengatur pernapasan itu baik buat orang yang lagi panik?” tanya Abian pelan dan Cica hanya menggeleng.
Benar memang, mengatur pernapasan memiliki peran yang sangat baik untuk orang yang sedang dilanda panik. Hal itu dapat membuat seseorang menjadi lebih rileks daripada sebelumnya.
Ketika panik datang, saraf simpatik akan terstimulasi untuk mendorong produksi hormon stress kortisol dalam merespon tubuh kita yang disebut dengan 'fight or fight' dan membuat napas menjadi sesak. Untuk melawannya ada sebuah sistem saraf bernama parasimpatik dan bisa terpicu ketika seseorang menarik napas panjang. Dengan mengatur napas, seseorang juga bisa mengendalikan secara tak langsung fungsi tubuh yang lain seperti area kardiovaskular, pencernaan, hormon, bahkan sistem imun. Maka dari itu ketika seseorang dilanda sebuah kepanikan maka sangat dianjurkan untuk mengatur pernapasan.
“Mulai sekarang kalo lo lagi panik cobain buat atur pernapasan, pasti kerasa lebih mendingan.” Cica mengangguk lagi, kemudian mengulang untuk mengatur pernapasannya selama dua kali.
Cica merasakannya, memang betul jika perasaannya terasa lebih baik dari sebelumnya dan ia tidak sepanik tadi, meskipun kenyataannya ia masih saja panik sedikit.
“Sekarang jam berapa?” tanya Cica setelah ia sadar bahwa mereka telah berada di dalam sana cukup lama. Abian lantas melirik jam di pergelangan tangannya. “Jam dua lebih dua puluh menit, lo naik abis ini kan?”
“Iya, tapi Sherin belum ngabarin.” Baru saja Cica mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan Sherin tengah berdiri di ambang pintu sembari menjawab seseorang yang sedang berbicara dengannya. “Ca, lo naik sepuluh menit lagi ya.”
Sherin berjalan mendekat ke arah Cica, memperhatikan posisi Abian yang kini masih duduk di hadapan gadis itu. “Aman kan?” tanya Sherin memastikan.
“Aman,” jawab Cica yakin. Tentu saja bukan yakin seratus persen, hanya saja ia harus terlihat professional di hadapan Sherin. “Oke, gue mau cek panggung lagi, lima menit lagi gue samperin lo harus udah siap ya.”
Tanpa menunggu jawaban Cica, Sherin kembali menghilang di balik pintu. Menyisakan Cica dan Abian dalam keheningan.
“Beneran aman?” Cica menggeleng, sedangkan Abian terkekeh lagi. Ia bangkit dari duduknya, kemudian mengulurkan tangan kepada Cica agar gadis itu ikut bangkit bersamanya. Cica menerima uluran tangan Abian dengan ragu, namun tetap ia terima dan ikut bangkit bersamanya.
Kedua tangan Abian diletakkan pada kedua sisi lengan Cica dengan lembut, menarik gadis itu untuk semakin mendekat ke arahnya. “Listen to me,” bisik Abian rendah membuat Cica mendongak agar dapat menatap mata legam milik Abian.
“Jangan terlalu mikirin banyak hal pake kepala kecil lo itu, Ca.” Abian menyentil ringan dahi Cica. “Lagian sekarang semua orang juga udah lupa sama kejadian dua hari yang lalu, sekarang mereka semua lagi fokus buat nikmatin musik kalian, nikmatin perform yang bakal kalian kasih buat mereka, udah nggak bakal ada yang mikirin itu lagi kalo misal lo masih takut sama hal itu, salah itu wajar, semua orang pernah salah. Yang paling penting sekarang lo fokus ke hari ini, fokus buat kasih mereka penampilan terbaik lo, kalo lo semangat mereka juga bakal lebih semangat lagi.”
Cica terdiam, mendengarkan satu persatu kalimat afirmasi yang Abian ucapkan untuknya. “Lo nggak punya banyak waktu buat mikirin hal nggak penting itu.” Abian melirik jam tangannya lagi. “Waktu lo sebelum naik sisa tujuh menit lagi, nggak mungkin lo naik dengan kondisi begini kan?” Cica mengangguk mengiyakan.
Benar memang, tidak mungkin Cica tampil dengan kondisi pikiran yang tidak karuan.
“Makanya, sekarang jangan mikir apa-apa selain perform lo, tunjukin hasil lo latihan selama ini, tunjukin kehebatan lo ke semua orang biar mereka tahu, Aruna Nafisa nggak cuma modal cantik tapi juga punya bakat yang super keren.” Abian berbicara panjang lebar sembari tersenyum, seolah menghipnotis Cica untuk berpikir positif sebelum ia benar-benar naik ke atas panggung.
Beruntungnya segala ucapan Abian dapat diterima Cica dengan pikiran yang jernih, membuat gadis itu kini merasa jauh lebih baik bahkan mungkin semangatnya kini telah membara kembali.
Cica tersenyum lebar dan mengangguk yakin. Membuktikan kepada Abian bahwa semangatnya kini telah kembali seperti sedia kala. “Doain gue, ya,” ucap Cica kepada Abian, laki-laki itu membalas dengan senyuman lebar dan anggukan yakin persis seperti apa yang Cica lakukan sebelumnya.
“Pasti. Gue selalu doain dan dukung lo apapun yang terjadi.” Perlahan Abian menarik Cica lebih dekat, menempatkan gadis itu pada pada pelukan hangatnya, memberikan gadis itu kekuatan sebelum pergi menuju medan perang. “Gue transfer energi gue ke lo, siapa tau lo butuh.” Abian berbicara dalam pelukannya, membuat Cica terkekeh kecil dan balas memeluk laki-laki itu lebih erat.
Tangan Cica melingkar sempurna pada tubuh Abian, wajahnya tenggelam dalam ceruk leher laki-laki itu hingga ia bisa merasakan aroma tubuh Abian masuk dalam indera penciumannya. Cica memejamkan mata, menarik nafas panjang seolah mengambil banyak energi yang ia butuhkan dari Abian.
“Maaf gue mengganggu acara berpelukan kalian, but it's time to go, Ca.” Suara interupsi Sherin disertai tawa kecilnya membuat kedua orang itu melepaskan pelukan mereka seketika. Keduanya saling berpandangan sebelum kemudian tertawa.
“Sorry,” ucap Cica pada Sherin membuat gadis itu mengangkat bahu pelan. “No problem, you need a lot of energy.” Seolah paham akan kondisi, Sherin hanya tertawa kecil tanpa protes sedikitpun.
Cica buru-buru membereskan dirinya sebelum kemudian menatap Abian kembali. Laki-laki itu menatap Cica dan mengangguk yakin, membuat Cica ikut merasa semakin yakin karenanya. Selepas itu ia melangkah pergi untuk menyusul Sherin yang masih berdiri di ambang pintu ruangan. Meninggalkan Abian yang berada di dalam ruangan itu sendirian.
“Cica?” panggil Abian lagi sebelum Cica meninggalkan dirinya. Gadis itu menoleh, menatap Abian yang tersenyum lembut kepadanya.
“See you after concert.” Cica tersenyum dengan sangat lebar, kemudian mengangguk cepat sebelum menjawab Abian. “See you after concert, Bian.”
Siapapun yang ada di sana pasti sadar, mereka berdua benar-benar sedang di mabuk asmara yang nyata.