Selamat Tinggal
Merdu musik yang mengalun, masuk dengan bebas menembus rungu setiap insan yang mengisi ruangan terbuka ini, ruangan yang dibalutkan sebuah selimut tak kasat mata bertajuk peringatan bertambah umurnya seseorang. Tak hanya menyuguhkan sebuah musik, ruangan ini menyuguhkan pesona megah bak sebuah perayaan besar sejenis pernikahan atau pertunangan, yang pada kenyataannya acara ini jauh dari itu.
Sepasang mata gadis bergaun putih selutut, yang ditemani oleh seorang laki-laki jangkung berpakaian tuxedo hitam itu, menangkap sosok laki-laki paruh baya yang menjadi tuan rumah acara ini. Kakinya melangkah beriringan dengan pasangannya, menyusul laki-laki yang sedang menjadi fokusnya kala itu.
“Om Wira, selamat ulang tahun,” ucap gadis itu dengan senyum manis semanis gula-gula.
“Terima kasih banyak sudah datang, Ravika, om sangat senang melihat kalian berdua di sini,” balas laki-laki paruh baya itu dengan senyum kecil.
“Iya sama-sama om, aku juga seneng udah diundang di acara ini.” Gadis itu kemudian menoleh pada laki-laki di sebelahnya yang masih terdiam tanpa suara. “Dewa?” panggilnya.
Sikunya menyenggol ringan perut Dewa membuat laki-laki itu menyadari satu hal dan dengan segera mengambil tangan yang telah dahulu menggantung di depannya dengan kikuk. Tangan dinginnya bergesekan dengan tangan hangat sang papa untuk pertama kalinya setelah sekian lama.
“Selamat ulang tahun, pa,” katanya singkat. Laki-laki itu tersenyum canggung, menunggu sosok di depannya menjawab ucapan tersebut.
“Terima kasih, Dewa. Papa senang kamu bisa datang hari ini. Papa sengaja membuat acara di Bandung agar kamu bisa datang,” jawab laki-laki yang dipanggil papa oleh Dewa baru saja.
Dewa hanya mengangguk pelan dan tersenyum, memilih untuk menyembunyikan suaranya di balik kerongkongan yang kering karena terlalu canggung. Ia tahu, acara ulang tahun keluarganya tidak hanya akan menjadi acara biasa, melainkan menjadi sebuah ajang lelang besar untuk berdonasi yang tentu saja dihadiri banyak kolega papanya. Mengingat juga hari ini ia akan mengumumkan sebuah keputusannya untuk bertunangan dengan gadis di sebelahnya, tiba-tiba saja perutnya terasa mual.
“Mau duduk di sana aja nggak?” tanya Ravika dengan menunjuk sebuah kursi kosong di ujung ruangan terbuka itu, Dewa mengangguk ringan untuk membalas. Langkah demi langkah mereka tapaki dengan menyunggingkan sebuah senyuman, merasa menjadi pusat perhatian secara tiba-tiba setelah mereka menyadari bahwa Benjamin Nataprawira, selalu menunjuk mereka berdua ketika tengah mengobrol dengan beberapa koleganya, membuat beberapa pasang mata selalu melihat mereka secara langsung.
Saat keduanya telah mendaratkan diri di kursi paling ujung yang menghadap sebuah pintu masuk tidak jauh dari mereka, mata Dewa secara tiba-tiba menangkap sosok yang ia kenal namun sudah tidak pernah ia temui selama satu bulan terakhir ini. Sosok yang sedang berjalan bersama kedua orang laki-laki di sebelahnya, sosok yang membuat hati dan pikiran Dewa mendadak ditarik menuju ketidaksesuaian, dan sosok yang sempat hadir dalam kehidupannya kemarin.
Feyre Lyssa Damian. Cinta pertamanya.
Netranya menangkap sebuah lengan yang mengapit lengan gadis itu dengan erat, serta sebuah senyuman yang tidak pernah luntur dari wajah cantik gadis itu.
“Rav, gue haus, mau gue ambilin minum sekalian?” Merasa sesak secara tiba-tiba, Dewa bangkit dari kursi dan menuju meja minuman untuk mengambil dua gelas orange juice setelah Ravika mengiyakan tawarannya.
Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis itu lagi di sini, hari ini, terlebih lagi dengan Abian, yang berjalan bersama gadis itu di sebelahnya. Perasaan Dewa mendadak bercampur aduk, ia tahu bahwa kondisi perpisahan dirinya dengan Feyre sebelumnya terbilang tidak bagus, bahkan jauh dari kata bagus, sehingga ketika ia melihat kembali gadis itu di hadapannya, seketika ia tidak mengerti harus bersikap bagaimana.
Nafasnya yang terasa berat dan mencekat dihembuskan secara kasar sebelum ia berbalik untuk kembali menuju kursi yang sempat ia tinggalkan. Namun, belum sempat ia melangkah dari posisinya, keadaan kembali membuatnya seperti berada di atas jurang kehidupan.
“Dewa?” Tubuhnya membeku tepat ketika mendengar suara laki-laki yang sangat ia kenal selama ini. Abian Paramayoga, sahabatnya. Telinganya memang mendengar suara seorang laki-laki, tapi matanya justru melihat ke arah seorang perempuan.
Dewa mengamati dari ujung kepala hingga ujung kaki, tidak ada yang berubah dari gadis itu, hanya saja tubuhnya terlihat semakin kurus dan matanya terlihat sedikit lelah.
“Halo, Bi, Zra,” ucapannya berhenti saat melihat gadis yang tadinya menunduk, kini mulai mendongak dan menatapnya tajam ke arahnya. “Halo, Re,” sambungnya kemudian dengan nada lirih dan hampir tak dapat bersuara.
“Kalian ke sini juga ya, uhmm by the way ... gue duluan ya, udah ditunggu sama Ravika di sana.” Dewa tersenyum canggung sebelum berlalu mendahului ketiganya tanpa menunggu sepercik jawaban dari mereka.
Feyre tahu, laki-laki itu masih menghindarinya. Bagaimana tidak, jika Feyre memutuskan hubungan mereka secara sepihak dengan keadaan yang sangat tidak baik dan tanpa penjelasan apapun. Ia tahu, sangat tahu, bahwa tindakannya sangatlah jahat dan jauh dari kata benar, tindakannya bukan hanya membuat laki-laki itu sakit hati, melainkan membuat dirinya juga harus menanggung resiko yang tidak kalah berat atas apa yang akhirnya ia pilih.
“Lo mau minum apa?” Abian dengan segera menyadari keadaan Feyre dan mencoba untuk membuat gadis itu kembali kepada kenyataan setelah kurang lebih 5 menit ia terdiam.
“Lagi ga haus, lo aja sama Ezra,” jawabnya singkat dengan mata yang menatap lekat gelas orange juice di hadapannya.
...
Acara hari ini berjalan cukup meriah dan lancar, waktu sudah menunjukkan pukul 21.45 WIB dan situasi sudah menandakan bahwa mereka sudah hampir berada di penghujung acara. Namun, seolah ada sebuah kejutan yang selalu terselip di setiap akhir, acara ini juga memilikinya.
Malam itu, di bawah langit malam yang ditaburi banyak bintang, Benjamin Nataprawira memanggil seseorang laki-laki yang sedari tadi terlihat tidak tenang. Laki-laki yang mendadak dihantui oleh keputusan apakah ia benar-benar akan melakukan ini atau ia lebih baik memilih untuk kabur dari sana dan menolak semuanya kembali seperti sebelumnya.
Sedangkan di ujung lain, seorang gadis secara tidak langsung mengamati gerak-gerik laki-laki itu melalui ekor matanya, tidak ingin terlihat memperhatikan secara langsung apa yang menjadi pusat perhatian semua orang saat ini.
Lantas ketika akhirnya Dewa memutuskan untuk menaiki panggung bersama gadis di sebelahnya, Feyre memejamkan mata secara tidak sadar, karena pada akhirnya, keputusan Dewa sudah final.
Tangan gadis itu mengepal, menahan perasaan sakit yang harus ia terima karena menjadi konsekuensi atas keputusannya. Jauh dalam hatinya, ia masih merasakan desiran halus yang menggelitik perutnya ketika ia mengingat tentang laki-laki itu. Bagaimana ia bersikap, bagaimana ia berbicara, dan bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama-sama seperti sebelumnya. Saling menjadi yang pertama atas apa yang selalu mereka lakukan.
Ingin rasanya ia menolak keputusan tersebut sekarang juga, membantah kenyataan bahwa bukan Dewantara yang ia kenal yang sedang berdiri di sana, hanya saja ia sadar diri untuk mengingat bahwa ia juga lah penyebab semua ini terjadi. Ia juga penyebab Dewa akhirnya memilih untuk berada di sana saat ini. Sehingga pada akhirnya ia hanya bisa kembali berusaha untuk melapangkan perasaannya. Mencoba menerima kenyataan yang membuat ia merasakan sakit yang tak tertahan.
Gadis itu masih mengepalkan tangannya sampai buku jarinya memutih, matanya pun masih terpejam, dan telinganya masih berusaha untuk ditutupi oleh pikirannya karena tidak ingin suara dari kenyataan itu masuk ke dalam telinganya, kemudian menusuk kembali jantungnya. Namun, sampai suara riuh tepuk tangan itu datang, gadis itu masih mendengar setiap detail kalimat yang terlontarkan.
“Perkenalkan, saya Dewantara Nataprawira, berdiri di sini bersama seorang gadis bernama Ravika Astara, yang akan menjadi calon istri saya. Kami akan mengumumkan kepada semua orang di sini bahwa, kami berdua akan menggelar sebuah acara pertunangan yang akan dilaksanakan minggu depan. Kami mohon kepada semua yang ada di sini untuk memberikan sebuah dukungan kepada kami agar acara yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana.”
Tubuh Feyre melemas, benar-benar tidak ada lagi harapan baginya untuk masuk kembali dalam kehidupan Dewa yang masih sempat ia pikirkan sebelumnya.
Berat baginya untuk memilih jalan ini, seluruh rencana dan upaya untuk membuatnya ada di sini sekarang sudah terlaksana. Ia tidak ingin membuat semua usahanya itu sia-sia hanya karena keegoisannya, sehingga pada akhirnya, ia berusaha untuk tetap terlihat ikut bahagia.
Untuk cinta pertamanya.
“Mau kemana, Fey?” tanya Abian kemudian saat melihat Feyre yang tengah bangkit dari duduknya. “Ke belakang, kak.”
Tanpa menunggu jawaban dari Abian, kaki Feyre melangkah cepat menuju taman yang terletak jauh di belakang venue, tempat di mana orang-orang tidak bisa melihatnya, saat ini yang ingin ia lakukan hanya mengeluarkan air matanya yang telah tertahan sejak tadi.
“Lo mau nangis di sini?” Abian bertanya, sesaat setelah Feyre menyandarkan punggungnya di tembok dan menutup matanya. “Ngapain lo ikut ke sini?” tanya gadis itu masih dengan mata tertutup.
Abian menghembuskan nafas panjang. “Mau nyebat.” Padahal sudah jelas Abian di sana karena ia mengkhawatirkan gadis itu.
Laki-laki itu tahu, sejak pertama datang ke sini Feyre tidak bisa berhenti menggigit bibirnya, tanda ketika gadis itu sedang menahan tangisannya. Sehingga ketika ia menyadari bahwa gadis itu dengan segera berlari ke arah belakang venue setelah mendengar pengumuman bahwa Dewa akan bertunangan dengan Ravika, sudah jelas ia tahu bahwa Feyre akan menangis saat itu juga.
Abian tahu, semua alasan Feyre, semua alasan tentang keputusanya melakukan hal besar yang membuat Abian sendiri tidak habis pikir dengan pilihan gadis itu, tapi ia juga tidak bisa memaksanya. Gadis itu tahu dan pasti sudah mempertimbangkan dengan matang, resiko ketika ia memilih jalan seperti ini dan membuat hatinya hancur berkali-kali lipat, bukan hanya hatinya, namun hati sahabatnya juga.
“Gue tahu, pasti berat buat lo pas lihat semua ini, jadi Fey, nangis aja gapapa,” bisik Abian tepat satu jengkal di depan Feyre, kakinya melangkah maju untuk menutupi wajah gadis itu dengan tubuhnya. “Gak akan ada yang lihat lo nangis i sini, udah gue tutupin.”
Tangan Abian terulur untuk membuat Feyre mendekat, mengelus puncak kepala Feyre, kemudian menepuk ringan punggung gadis itu. “Nangis aja, Fey, gue bawa baju ganti kok.” Abian terkekeh kecil.
Merasa benar-benar sudah tidak kuat, gadis itu akhirnya tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang selama satu bulan ini ia tahan. Tangisannya pecah, dan ia menangis sampai tak bersuara. Tangisan tanpa suara, tangisan paling pilu yang membuat seseorang yang melihatnya akan ikut merasakan sakit meskipun tanpa mendengar suaranya.
Sayangnya, di ujung lain jauh dari keramaian sebelumnya, kedua mata tajam milik Dewa melihat kedua sosok itu dengan tangan yang mengepal. Menahan sisa perasaannya yan hampir meledak ketika matanya tidak sengaja menatap mereka dari ujung sana. Dewa tidak melepaskan pandangannya barang satu detikpun, sampai kedua tangan halus dan hangat milik seorang gadis menyentuh kulitnya. “Lepasin aja, Wa,” bisik Ravika tepat di telinga Dewa.
Pada akhirnya, kedua anak adam itu hanya saling melihat dari kejauhan tanpa bisa berbicara. Menyembunyikan luka mereka yang masih menganga dalam keheningan malam yang sudah tak terbalut asa.
Benar, lepasin aja, Wa. Katanya dalam hati.
.