Tentangnya
Flashback saat Dewa mengantarkan Ezra pulang
Pagi hari itu, mobil Dewa yang berisi dirinya beserta seorang anak laki-laki yang lebih muda darinya, melaju sedang membelah jalanan untuk menuju perhentian mereka di kota seberang. Kota tempat anak laki-laki itu tinggal.
“Kak Dewa sejak kapan kenal sama Kak Feyre?” tanya Ezra kepada Dewa yang sedang menyetir.
“Dua bulan yang lalu, kayanya,” jawab Dewa dengan tersenyum. Mengingat pertemuannya dengan Feyre yang mungkin belum bisa dikatakan 'kenal' karena ia hanya bertemu tanpa berkenalan secara langsung dalam dua bulan sebelumnya. Lebih tepatnya, satu bulan sebelum kontrak mereka terlaksana. Ezra mengerutkan kening, sesaat setelah mendengar jawaban Dewa, karena ia tidak menyangka bahwa kakak perempuannya ternyata bisa dibilang, baru saja bertemu dengan laki-laki ini. Tidak seperti bayangannya, yang mengira bahwa Feyre telah lama mengenal Dewa seperti ia mengenal Nasya ataupun Nando.
“Tapi kok, kakak kelihatan kaya ... udah kenal baget sama Kak Feyre?”
Dewa juga bingung, mengapa ia bisa merasa sangat mengenal dan sangat nyaman berada di sekitar Feyre, seolah ia sudah mengenal gadis itu jauh lebih lama dari yang ia pikirkan. Namun, yang ia tahu, ia hanya merasa bahwa Feyre dapat membawa suasana yang nyaman kepada orang di sekitarnya, begitulah akhirnya ia menjawab pertanyaan yang ada dalam pikirannya tadi, “Kalian asalnya emang dari Sumedang?” Dewa bertanya tanpa menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Ezra tadi, karena sejujurnya, ia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.
Sesaat Ezra terdiam, bingung harus menjawab seperti apa, karena pada kenyataannya, jawaban itu tidak se-simple seperti yang orang lain pikirkan. “Kalo ga mau jawab juga gak papa kok,” ujar Dewa melihat keraguan di dalam diri Ezra. Laki-laki itu menarik napas panjang sebelum menjawab.
“Sebenernya ... aku sama Kak Feyre ... diungsikan ke sana,” Dewa yang mendengar itu tiba-tiba menahan nafasnya. Diungsikan? Ia bingung dengan pemilihan kata yang Ezra gunakan sehingga membuat kalimatnya menjadi sedikit ambigu. Pasalnya, yang Dewa tahu bahwa kata 'mengungsi' dalam KBBI berarti menyelamatkan diri ke tempat yang aman. Lantas, apakah yang dimaksud dengan mengungsi menurut Ezra sama dengan apa yang ia pikirkan?
“Kalo boleh tau, emang kalian kenapa?”
Dewa sebenarnya berat untuk menanyakan hal ini, terlebih lagi kepada Ezra yang mungkin baru ia temui pagi tadi. Namun, rasa penasarannya terlalu besar untuk akhirnya bisa ia sampaikan. Ia bukan sekedar bertanya hanya karena penasaran dan sudah begitu saja, ia bertanya karena penasaran dengan bagaimana ia harus menyikapi kehidupan yang akan mereka jalani setelah ini. Tidak ingin salah dalam mengambil langkah yang mungkin dapat membuat suatu jarak di antara keduanya jika benar terjadi.
“Pasti Kak Fey udah pernah cerita kan, kalo mama sama papa udah gak ada di dunia?” Dewa mengangguk. “Mereka pergi lima tahun yang lalu, ninggalin banyak hal. Ninggalin aku dan kakak, ninggalin kesedihan, ninggalin harta warisan, dan juga ninggalin hutang,” lanjutnya tanpa menoleh kepada Dewa.
Mengerti dengan sendu yang Ezra utarakan dalam kalimatnya, membuat Dewa merasa sangat tidak enak telah bertanya hal tersebut kepadanya. “Maaf, Zra. Kalo berat gak usah diterusin.”
Ezra justru tersenyum. Ia suka ketika diberikan ruang untuk bercerita, rasanya seperti ia tidak sendirian lagi di dunia ini. Benar jika dibilang ia tidak sendiri di dunia karena masih ada Feyre, kakaknya, tapi Feyre juga tidak selalu ada di sisinya. Ia tidak selalu bisa bercerita, terlebih kepada kakaknya yang ia rasa punya beban lebih berat dari dirinya. Di umurnya yang sekarang, Ezra membutuhkan tempat cerita untuk seluruh pikirannya, menyalurkan sebagian pikirannya kepada orang lain, dan berbagi beban agar dirinya tidak gila. Namun, kenyataan justru menuntut ia untuk bisa kuat dan akhirnya tidak memiliki tempat untuk bercerita.
Maka ketika Dewa bertanya tentang hal tersebut, Ezra merasa sangat bahagia. Akhirnya ada orang yang bisa dijadikan tempat untuk bercerita, serta orang yang peduli dengan kehidupan mereka, pikirnya.
“Gak papa kak, gue malah seneng kalo bisa cerita, apalagi ke lo. Meskipun gue baru ketemu sama lo hari ini, tapi gue ngerasa kalo lo orang baik kak,” ucapnya yang membuat hati Dewa terasa menghangat. Sungguh, kedua saudara ini telah tumbuh dengan sangat baik meskipun tanpa orang tua.
“Dulu gue sama kakak tinggal di Bandung dari kecil, sampe mama sama papa meninggal karna kecelakaan. Karena tepat seminggu setelah mereka pergi, gue sama kakak didatengin banyak orang yang nagih hutang papa, kita berdua gak pernah tau kalo papa punya hutang sebanyak itu,” Ezra mengambil jeda, “Kita berdua cuma bingung harus mulai dari mana. Bayangin aja kita masih berduka karena kehilangan orang tua, tiba-tiba didatengin sama orang yang gak pernah kita kenal untuk nagih hutang, dan jumlahnya banyak. Beberapa hari kemudian, om sama tante dateng ke rumah, mereka bilang ke kita berdua kalo rumah warisan mama sama papa harus dijual buat bayar hutang, dan kita akhirnya disuruh pindah ke Sumedang, ke rumah nenek sama kakek. Diungsikan ke sana, menghindari penagih hutang itu dateng lagi.”
Dewa masih terdiam, mendengarkan dengan seksama cerita dari Ezra. Tangannya terulur untuk mengecilkan volume musik dalam mobil agar suara Ezra bisa terdengar dengan jelas.
“Karena masih remaja dan gak tau apa-apa, aku sama kakak nurut aja. Kita gak pernah mikir apapun karena percaya sama om dan tante, keluarga kita satu-satunya yang kita punya. Setelah pindah ke Sumedang, om dan tante dateng ke sana dan bilang kalo mereka udah berhasil jual rumah warisan juga semua uang warisan udah dipindahkan ke rekening mereka untuk bayar hutang mama dan papa. Mereka bilang uang warisan yang masih tersisa nanti ditransfer ke rekening baru karena kita berdua masih di bawah umur dan belum punya rekening. Aku sama Kak Fey masih tetep percaya, tanpa ada satupun rasa curiga. Seminggu kemudian, Kak Fey dihubungi lagi sama pihak penagih hutang, katanya hutang belum dibayar sepeser pun. Kita kaget, padahal udah seminggu om dan tante pergi bawa semua harta warisan yang katanya untuk membayar hutang orang tua kami, tapi mereka malah pergi dan gak bisa dihubungi sejak saat itu.”
Sungguh, Dewa tidak habis pikir dengan kelakuan om dan tante Feyre yang memanfaatkan uang anak yatim piatu, untuk mereka gunakan secara pribadi. Dewa tidak bisa membayangkan seberapa takut kedua anak itu, ketika mereka diteror oleh orang-orang yang datang untuk menagih hutang, bahkan yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya.
“Penderitaan gak sampe di situ. Setelah kita disuruh pindah ke rumah kakek dan nenek, ternyata rumah itu udah dijual. Jadi selama itu, aku dan kakak tinggal di rumah kontrakan yang katanya adalah rumah nenek sama kakek. Om dan tante gak pernah bilang kalo kita harus kontrak, dan bukan tinggal secara cuma-cuma karena itu rumah nenek dan kakek kita,” suara Ezra menurun. Menandakan bahwa ia sedang kesulitan untuk berbicara.
Tangan Dewa mencengkeram setir kemudi semakin erat. Dadanya terasa sangat sakit, karena mendengar cerita pilu kehidupan Feyre dan Ezra yang sangat jauh dari kehidupannya. Ia merasa malu, hidupnya tidak seberat mereka, namun keluh kesah yang ia keluarkan jauh lebih banyak dari keduanya. Hampir saja ia memukul kemudi, sebelum ia tersadar bahwa di dalam mobil bukan hanya ada dirinya, melainkan ada Ezra juga.
“Kak Feyre gak pernah cerita apapun tentang ini ke gue, dia selalu sembunyiin semua ini sendirian, nyari solusi sendirian, selalu berusaha terlihat kuat dan baik-baik aja di depan gue. Tapi gue tahu, kalo dia sering nangis, dia sering pusing sendiri, tapi setiap gue tanya dia selalu bilang gak papa. Sampe akhirnya gue tau ini semua dari buku diary dia. Gue sedih, gue marah, gue ngerasa gak berguna jadi seorang adek. Tapi gue sadar kalo gue emosi, masalah akan semakin besar bukan semakin berkurang. Akhirnya gue tetep selalu diem, terlihat seperti gak tahu apapun padahal sebenernya gue tahu semuanya. Mencoba bantu Kak Feyre dari belakang tanpa sepengetahuan dia.”
Dewa membeku di tempat. Otaknya melayang kepada pernyataan Ezra tentang Feyre yang selalu terlihat kuat. Ia menyadari itu, selama ia mengenal Feyre, tidak pernah sekalipun gadis itu menunjukkan sisi lemahnya kepada Dewa. Ia terbiasa memasang sebuah topeng untuk menutupi kesedihan dan ketakutannya.
“Jadi rumah yang lo tinggali sekarang...”
Ezra mengangguk. “Iya, itu rumah nenek kakek yang udah dikontrakkan sama pemilik barunya.”
Hampir saja Dewa menghentikan mobilnya dan memutar balik untuk membawa Ezra kembali ke Bandung, memberikannya tempat yang layak ia tinggali selain rumah kontrakan itu, namun ia mengurungkannya. Sangat tidak memungkinkan jika Dewa secara tiba-tiba melakukan hal itu, yang ada Ezra ataupun Feyre akan merasa aneh atau justru marah karena Dewa akan terlihat seperti mengasihani mereka, kenyataannya mereka pasti tidak menyukai hal itu.
“Lo kenapa gak langsung pindah ke Bandung aja, Zra?”
Laki-laki itu menggeleng. “Enggak kak, biaya pindah sekolah mahal, lagian kontrakan juga udah dibayar sampe tahun depan, pas banget sampe gue lulus nanti. Sayang aja duitnya kalo dipake pindah sama nyewa kosan lagi di Bandung, mahal juga,”
Sekeras apapun Dewa berpikir, ia tidak menemukan suatu keraguan di dalam kalimat Ezra, yang menandakan bahwa laki-laki itu bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Ezra merelakan hal yang sangat ia inginkan—untuk hidup bahagia bersama kakaknya di Bandung—karena suatu alasan. Alasan yang muncul karena kenyataan yang belum mendukungnya.
“Mama sama papa, dulu kerja apa, Zra?” tanya Dewa lagi, masih mencoba menggali lebih dalam tentang kehidupan Ezra.
“Mama dulu dokter kak, terus papa kerja kantoran sih, di Jakarta. Jadi kita sering gak ketemu papa, soalnya papa pulang seminggu sekali. Tapi gak masalah sih, karena sekalinya pulang, papa selalu ngajak kita semua buat jalan-jalan, gantiin waktunya yang hilang karena pekerjan, katanya,” balas Ezra dengan senyuman. Dewa tahu, menceritakan orang yang sangat dicintai memang begitu, secara tidak sadar akan membuat senyum muncul dalam ceritanya. Dewa merasa sedikit iri, karena ia tidak merasakan hal itu lagi bersama keluarganya, meskipun dulu pernah, sebelum mereka pindah ke Jakarta karena suatu alasan.
Sepanjang jalan, Ezra menceritakan seluruh kehidupannya dan kehidupan Feyre sejak kecil, cerita ketika mereka susah maupun senang, menjadikan cerita itu pengantar perjalanan mereka yang secara tidak sadar sudah berjalan selama satu jam lebih. Bagi Dewa, bercerita merupakan suatu tahap lanjutan dari perkenalan, ketika mereka akhirnya mau untuk bercerita, maka orang tersebut telah merasa nyaman dan dapat membuka diri. Menjadikan itu suatu langkah awal untuk dapat berjalan lebih jauh, masuk ke dalam kehidupan mereka selanjutnya.
Ezra tahu itu, Dewa sangatlah mirip dengan Feyre, bagaimana laki-laki itu mendengarkan semua cerita Ezra, bagaimana ia menanggapi setiap ucapan Ezra, bagaimana ia menasehati Ezra, dan bagaimana ia memberikan suatu solusi atas kebingungan Ezra. Maka dari itu, Ezra pun mulai menyadari, bahwa sekarang, ia mulai bisa melihat Dewa sebagai kakak laki-laki keduanya, setelah Abian.