Tokoh Utama
Pelataran parkir itu nampak sesak, penuh dengan berbagai macam jenis kuda besi yang telah berjajar rapi sejak pagi. Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih empat puluh lima menit, yang artinya lima belas menit lagi upacara sakral yang diadakan sekali seumur hidup ini—semoga benar begitu—akan segera dimulai. Upacara yang akan mengantarkan laki-laki berumur dua puluh lima tahun bernama Nakula, menuju gerbang dunia baru miliknya serta milik wanitanya.
Abian selalu merasa senang, ketika satu persatu pejuang hidup yang pernah berjalan bersamanya sejak duduk di bangku kuliah, kini telah menemukan labuhan hati mereka yang sesungguhnya. Terhitung sudah hampir tiga setengah tahun sejak sembilan kepala itu lulus dari kampus tercinta yang mempertemukan mereka. Lucunya, meskipun semua telah sibuk dengan kehidupan masing-masing, mereka tetap berada pada jalur yang sama dalam kisah percintaannya, ya mungkin dengan kasus yang berbeda-beda tentu saja.
Lebih jelasnya begini.
Empat di antara mereka sudah berlabuh, dengan satu orang terakhir yang kini tengah berdiri risau sembari menguatkan hatinya untuk mengucap janji suci di depan calon istri dan tamu undangannya nanti.
Sedangkan lima lainnya? Tentu saja masih setia dengan skenario percintaan yang cukup membingungkan.
Satu orang masih sibuk dengan garis batas antara hubungan pertemanan dan pacaran, antara dirinya dengan saudara tiri sahabatnya yang tidak ingin memiliki hubungan. Satu orang masih berkelana mencari sang puan, di tengah kerasnya kehidupan malam dengan banyak perempuan, hingga lupa jika ia butuh seseorang untuk dijadikan tujuan.
Satu orang lain masih bingung harus memutus bahan kehaluan, atau menggalaukan sang mantan. Satu orang selanjutnya masih sibuk mencocokkan tanggal pernikahan, berdasarkan weton dari primbon yang dia baca untuk bisa langgeng dengan gadis incaran. Sedangkan satu orang terakhir ... entahlah, sepertinya ia sudah tidak sibuk memikirkan masa lalunya yang sempat menjadi lintah dalam pikiran, dan sekarang sedang fokus untuk menata masa depan.
Iya, satu orang terakhir itu adalah Abian.
“Kita masuk sekarang apa nanti? Kayanya udah rame banget di dalem, liat deh itu.”
Abian menoleh untuk mengikuti arah pergerakan tangan Cica, menatap pintu masuk yang kini penuh dengan hiasan bunga, lengkap dengan orang-orang yang menggunakan gaun dengan warna serba ungu muda—sepertinya mereka adalah bridesmaid hari ini, karena Abian sekilas dapat melihat Atha dan anak Kanay yang lain tengah berdiri di sana dengan wajah yang ikut berbunga-bunga.
Oh iya, untuk yang belum tahu Pevita, ia adalah sahabat Atha sejak kuliah. Jadi tidak heran jika hari ini mereka datang untuk menjadi bridesmaid dalam pernikahan Pevita dengan Nakula.
Abian dengan cepat menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian membuka ponsel untuk mencari update terkini di mana posisi teman-temannya yang juga berperan sebagai groomsmen seperti dirinya. “Bentar, gue tanya Janu dulu mereka sekarang ada di mana.”
Cica mengangguk, kemudian berbalik untuk memperhatikan sekitar. Untungnya tempat parkir VIP yang disediakan untuk keluarga dan teman-teman pengantin tidak jauh dari venue, sehingga Cica tidak perlu merasa kesulitan berjalan akibat menggunakan heels yang terlalu tinggi hari ini.
Penampilan gadis itu simple, senada dengan Abian yang menggunakan kemeja berwarna hitam yang dibalut dengan sebuah jas berwarna ungu rasin, Cica pun memilih untuk menggunakan gaun panjang berwarna ungu muda, dengan belahan yang sampai pada lutut serta bahu yang terekspos sebagian karena gaun tersebut bermodel sabrina. Gadis itu juga terlihat lebih cantik dengan rambut yang digelung seluruhnya, menampakkan leher jenjangnya yang indah.
Tema pernikahan Nakula dan Pevita memang unik, mereka tidak ingin menggunakan dominasi warna putih seperti upacara pernikahan pada umumnya, dan lebih memilih memakai tema serba ungu yang sebenarnya terlihat lebih gelap namun juga elegan di waktu yang bersamaan. Meskipun begitu, Deka sempat mengkritik Nakula, karena katanya pernikahan dengan tema ungu ibarat menjadi doa agar mereka berdua segera berpisah, hanya karena menurutnya warna tersebut melambangkan warna janda.
Deka memang aneh, siapa yang masih percaya dengan hal seperti itu?
Beruntungnya argumen Deka berhasil dipatahkan oleh Nakula dengan cepat, karena laki-laki itu berkata bahwa konsep pernikahannya dengan Pevita yang menggunakan tema ungu ini, lima puluh persennya adalah campur tangan ide dari Gista. Gadis yang bisa membuat Deka bungkam seketika.
Jangan kaget, Deka memang bucin akut sejak dahulu. Tidak salah jika ia menjilat ludahnya sendiri dengan mengatakan bahwa konsep pernikahan Nakula adalah yang terbaik di antara semua teman-temannya setelah mengetahui fakta tersebut.
Dasar Deka.
Namun, tentu saja pilihan itu juga jatuh karena Pevita sangat menyukai warna ungu, bahkan sejak dahulu pun ia sudah bermimpi akan menggunakan warna itu untuk tema pernihannya. Sedangkan Nakula, ia tidak memiliki preferensi apapun dan hanya bisa menuruti apapun yang Pevita minta.
Begitulah Nakula, si tsundere bucin yang tidak bisa menolak segala permintaan gadisnya.
Ralat, sepertinya seluruh anak Tinggar memang memiliki kepribadian yang hampir sama, menerapkan konsep 'Iya boleh, apa aja yang kamu mau deh sayang, aku ngikut aja asal kamu bahagia.' hanya kepada wanitanya. Perhatikan saja baik-baik semuanya.
Iya, semuanya. Termasuk Abian yang selanjutnya.
Usai mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan di grup pertemanannya, laki-laki itu membuka sabuk pengamannya dengan segera, kemudian mengambil jas yang tersampir pada sandaran jok belakang mobilnya dan mengenakannya dengan cepat.
“Ayo, mereka udah di dalem semua katanya.”
Jika kalian bertanya, mengapa Abian tidak datang bersama dengan teman-temannya yang lain dan memilih untuk datang terlambat, tepatnya lima belas menit sebelum acara dimulai, jawabannya hanya satu.
Karena ia tidak ingin meninggalkan Cica sendirian terlalu lama.
Menjadi groomsmen sebenarnya tidak terlalu berat, ia hanya perlu memastikan acara pernikahan ini berjalan dengan sempurna serta mendampingi pengantin pria hingga berdiri di altar, bersama dengan pasangan bridesmaidnya. Namun, untuk menuju hal tersebut, Abian harus meninggalkan Cica sendirian di kursi undangan, sedangkan ia harus pergi ke belakang untuk persiapan.
Maka dari itu, untuk membuat Cica merasa nyaman, ia meminta izin kepada teman-temannya untuk datang terlambat dan turun tepat ketika acara akan dimulai.
Seperti sekarang, setelah Abian mengantarkan Cica untuk duduk di kursi VIP yang berada di dekat altar, ia berjalan pergi meninggalkan gadis itu sendirian. Sebenarnya tidak benar-benar sendirian karena di meja sebelahnya ada Arin, istri Arga yang tidak ikut menjadi bridesmaid seperti Atha dan yang lainnya. Lagi pula Arin juga tidak memiliki teman duduk, mengapa ia tidak duduk bersama dengan Cica saja?
Namun, melihat Cica yang tidak pernah berinteraksi dengan Arin sekali pun, sepertinya ia harus berkenalan dulu dan beradaptasi dengan gadis itu sebelum akhirnya mereka benar-benar merasa nyaman untuk berbicara dan berteman.
“Hai? Gue boleh duduk di sini?” Cica tiba-tiba bangkit untuk mendekat ke arah Arin yang sedang bermain ponsel. Membuat gadis itu menoleh dan tersenyum kepada Cica. “Eh duduk aja,” balas Arin ramah dengan senyum yang lebar. Gadis itu segera menutup ponselnya dan menatap Cica yang telah sepenuhnya duduk di sana.
Buset, ini orang cantik banget, mana kalem lagi. Batin Cica dengan kagum saat melihat Arin yang duduk dengan anggun di sebelahnya. Belum tahu saja, Arin sebenarnya sebelas dua belas dengannya.
“Istrinya Arga?”
“Pacarnya Abian?”
Keduanya berbicara dengan bersamaan, kemudian tertawa setelahnya karena merasa lucu saat tiba-tiba bertanya hal yang mirip. “Lo duluan deh,” ucap Arin kepada Cica yang dihadiahi dengan sebuah gelengan kuat dari Cica. “Lo duluan.”
Setelah itu mereka berdua hanya diam. Tidak melanjutkan apa yang tadi ingin mereka katakan. Keduanya saling bertatapan, kemudian tertawa lagi seolah mereka paham dengan apa yang mereka pikirkan satu sama lain. “Ini kita nggak ngomong apa-apa kenapa tiba-tiba ketawa sih?” Arin bertanya lebih dahulu dan dihadiahi dengan sebuah gelengan lagi oleh Cica.
“Nggak tahu, gue juga bingung lo tiba-tiba ketawa gitu, padahal nggak ada yang lucu sama sekali.”
“Lah, lo juga ketawa kenapa?” Cica mengangkat kedua bahunya. “Nggak tahu, tiba-tiba pengen ketawa aja.”
Bahkan belum ada sepuluh menit mereka bersama, kini keduanya telah terlihat seperti dua orang yang sudah berteman selama sepuluh tahun lamanya. Tidak kaget, mereka seperti berbagi isi kepala yang sama.
Obrolan mereka akhirnya dapat mengalir dengan sendirinya, melupakan pembicaraan sebelumnya yang sempat terasa canggung dan digantikan dengan obrolan random yang ternyata sama-sama mereka pahami. Cica merasa beruntung, setidaknya ia tidak benar-benar duduk sendirian tanpa obrolan.
...
Lima belas menit berlalu, seluruh tamu tampak sudah memenuhi tempat duduk yang disediakan, sedangkan dari kejauhan, Nakula terlihat sedang berjalan menuju altar didampingi oleh beberapa temannya, termasuk Abian. Cica dan Arin yang sejak tadi sedang duduk lantas segera tersadar, kemudian ikut bangkit mengikuti beberapa orang yang lebih dahulu berdiri menyambut pengantin dan barisannya itu.
Alunan piano mulai terdengar, suasana semakin terasa khidmat saat lampu mulai redup dan digantikan dengan lampu lain yang berjajar di sepanjang jalanan menuju altar.
Jika bisa dideskripsikan, mungkin kejadian ini hampir sama dengan salah satu scene yang ada di sebuah Film berjudul Crazy Rich Asian, di mana orang-orang mulai berdiri dan menyambut pengantin wanita untuk masuk. Pevita tampak menawan berdiri di ujung sana, gaun putih dengan semburat ungu melekat sempurna pada tubuhnya yang ramping, ditambah iringan lima orang bridesmaid yang tak kalah cantik darinya membuat mereka tampak semakin sempurna.
Sekarang, perhatian semua orang tertuju pada dua orang yang menjadi tokoh utama dalam acara hari ini, memberikan mereka ruang hingga janji suci mereka dapat terucap dengan lantang. Pagi ini, kurang lebih lima puluh orang yang terpilih, menjadi saksi Nakula dan Pevita menghadap Tuhan untuk saling berjanji menjadi suami istri sehidup semati.
Tangis haru dan bahagia dari mereka yang merasakannya terasa menjadi satu dalam telinga. Tidak hanya itu, teman dan keluarga juga saling mengucapkan rasa syukur dan bahagia mereka atas pernikahan Nakula dan Pevita. “Selamat ya bangg! Akhirnya lo bisa nyusul punya Nakula junior abis ini.” Deka mengawali.
“Eh bentar, ngucapin selamatnya agak nantian aja. Sekarang lempar bunga dulu, biar cepet ada yang nyusul abis ini.” Nakula tertawa, mengisyaratkan kepada teman-temannya agar mereka berdiri di belakang Nakula dan Pevita untuk sesi lempar bunga.
Namun sebelum itu, sosok laki-laki yang sejak tadi tidak melepaskan padangannya dari seseorang tampak sangat gusar.
“Kenapa, Bi?” tanya Arjuna ketika melihat Abian sesekali menengok ke arah tempat duduk Cica, takut jika dirinya terlalu asyik dengan teman-temannya dan melupakan Cica yang menunggunya.
Kenyataannya, gadis itu terlihat sangat asyik berbincang dengan Arin tanpa memperhatikan Abian yang sejak tadi menatapnya.
“Oalaaaahhh,” ucap Januar panjang ketika matanya menangkap sosok yang sejak tadi Abian perhatikan dari kejauhan. “Nggak usah diliatin terus kali ah, nggak bakal ilang kok Cica-nya.”
Semua orang kini ikut menoleh ketika mendengar ucapan Januar yang cukup keras—sengaja agar yang lain dapat mendengarnya juga—tak terkecuali Deka, yang dengan cepat merespon ketika mendengar nama Cica disebutkan.
“Mana Cicaaaa?” tanya Deka antusias. Sorot matanya menampakkan kebahagiaan yang terlihat jelas, meskipun sebelumnya laki-laki itu pernah bertemu dengan Cica di Sun in The Summer Festival sebelumnya, namun ia masih tetap terlihat antusias seperti sekarang. Sudah jelas mengapa, karena Cica adalah idolanya. “Eh mau ke mana lo Dekaaaa?”
Nakula memperingatkan Deka yang hendak pergi menemui Cica, lupa jika agenda mereka sekarang adalah sesi lempar bunga yang sangat Deka nantikan sebelumnya. “Katanya lo mau cepet nyusul gue? Ini bunganya ambil dulu.”
Deka segera berhenti, kemudian menoleh ke kanan untuk menatap Cica dan berbalik menghadap Nakula lagi secara bergantian. Sepertinya laki-laki itu sedang bingung.
“Cica gue panggil ke sini aja, biar sekalian ikut lempar bunganya. Nggak papa kan?” Abian menoleh kepada Nakula dan Pevita, meminta persetujuan atas apa yang akan ia lakukan. “Panggil aja, siapa tahu lo juga mau cepet nyusul abis ini, sama Cica.”
Candaan Nakula menjadi keputusan untuk Abian yang akhirnya berjalan mendekat ke arah Cica. Di belakangnya, Arga memilih berjalan pergi mengikuti Abian untuk menemui istrinya yang duduk bersama Cica, setelah berpamitan untuk meninggalkan teman-temannya yang masih menunggu rangkaian acara selanjutnya.
Lagi pula Arga juga tidak akan mengikuti proses lempar bunga, statusnya yang sudah bukan lajang seperti teman-temannya membuat ia tidak diperbolehkan untuk mengikutinya, takut kesempatan mereka yang masih lajang menjadi lebih sedikit jika mereka yang sudah menikah ikut berpartsipasi.
Selain Arga, ada juga Atha dan Mahesa yang kini ikut menyusul mereka untuk duduk di sana. “Kalian nggak ikut?” tanya Abian santai, melupakan fakta bahwa kedua temannya itu sudah memiliki istri yang kini duduk tepat di sebelahnya.
“Menurut lo aja gimana?” Mahesa menjawab dengan memiringkan kepalanya kepada Atha, sedangkan Arga hanya tertawa ringan tanpa menanggapi apa-apa. “Kali aja kalian mau istri dua.”
Sepertinya nyawa Abian ada dua puluh dua, berani-beraninya ia mengatakan hal tersebut tepat di depan istri Arga dan Mahesa.
“Ampun, gue bercanda.” Abian segera meralat ucapannya ketika melihat Atha dan Arin kini ikut menatapnya tidak percaya. “Santai, gue cuma mau ngajak Cica ke sana. Bukan ngehasut Mahesa sama Arga buat punya istri dua.”
Cica ikut tertawa ketika melihat Abian yang saat ini terlihat seperti sedang dihakimi oleh dua wanita ganas di depannya.
Laki-laki itu kemudian mengulurkan tangannya tepat di depan wajah Cica, seperti apa yang ia lakukan pagi tadi ketika hendak pergi dari warung bubur ayam. Cica menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa canggung ketika menyadari Abian ingin menggandengnya di depan semua teman-temannya.
Untungnya, hari ini tamu undangan untuk acara pagi hanya sedikit, sehingga Cica tidak perlu khawatir akan menjadi bahan tontonan dan omongan oleh orang-orang yang mengenalnya. Toh orang-orang yang diundang ini hanyalah teman Nakula dan Pevita serta keluarganya saja, tidak ada orang luar yang harus Cica dan Abian khawatirkan karena hubungan yang mereka lakukan saat ini. Hanya saja, ia lupa jika menjadi bahan tontonan teman-teman Abian akan lebih memalukan.
Memalukan karena mereka semua tahu bahwa apa yang Cica dan Abian lakukan sebelumnya hanyalah settingan dan bukan pacaran sungguhan.
“Nggak papa, mereka udah pada tahu.” Sadar dengan apa yang Cica pikirkan, Abian meyakinkan gadis itu untuk menerima uluran tangannya. Cica menoleh lagi, kali ini Arin dan Arga mengangguk bersamaan, kemudian disusul oleh Atha dan Mahesa yang ikut mengangguk seolah paham dengan kekhawatiran Cica pada mereka.
Setidaknya Abian dapat merasa bersyukur karena seluruh teman-temannya sangat peka dengan keadaan dan membuat Cica perlahan mulai merasa nyaman.
...
Mereka duduk melingkar, dengan dua buah meja yang digabungkan menjadi satu agar terasa lebih luas untuk enam belas kepala yang hadir di sana.
“Sukurin lo kalah sama Bian, tadi harusnya lo terbang aja kaya burung biar bisa nangkep bunganya sebelum jatuh ke belakang.” Arjuna berbicara kepada Deka yang duduk tepat di seberangnya, bersebelahan dengan Cica tentu saja, setelah perdebatan panjangnya dengan Abian.
“Emang bukan rezeki lo nikah abis ini, Dek. Udah jangan ngambek, calon lo juga masih asyik sama cowok lain tuh.”
Abian mengingatkan Deka, menunjuk Gista yang sedang asyik berbicara dengan Januar sembari sesekali tertawa, melupakan keberadaan Deka yang sedang cemberut menatapnya.
Dalam hati Deka sudah tidak ingin kalah, “Lihat aja gue juga bisa akrab-akraban sama Cica.”
“Cica, abis ini mau nikah sama siapa?” tanya Deka tiba-tiba, membuat Cica kaget dan bingung dengan pertanyaan mendadak darilaki-laki itu. “Eh itu maksudnya, kan lo abis dapet bunganya Pevita, biasanya yang dapet bunga kan cepet nyusul nikahnya. Nah lo mau nikah sama siapa?” Deka kembali menjelaskan.
Atensi seluruh orang kini ada pada Cica, tentu saja semua orang juga penasaran dengan jawaban apa yang akan gadis itu lontarkan. “Sama siapa lagi, Dek, ya sama sebelahnya dong.” Arga tertawa kecil sembari menopang kepalanya.
“Lah, sebelahnya kan gue? Sama gue maksudnya?”
Mungkin jika Deka bukan sahabat Abian, laki-laki itu sudah memukul kepala Deka. Untungnya Abian paham jika Deka memang hobi halu seperti ini. “Tanya dulu tuh, emang Cica mau sama lo? Modelan Badut Ancol begitu.”
Kali ini semua orang tertawa dengan balasan yang Mahesa lemparkan, termasuk Cica. “Jangan salah lo, dia bukan Badut Ancol,” komentar Arjuna cepat karena tidak terima jika Deka dibilang Badut Ancol. “Terus gue apaan?”
“Dilan Bekasi. Ngopi bang, lu orangnya asik bangeeet,” balas Arjuna sembali memperagakan gerakan ngopi asik ala Dilan Bekasi yang sering mereka lihat sliweran di FYP Tiktok.
Semua orang kembali tertawa, jelas merasa lucu ketika Arjuna berhasil mempergakan gerakan Dilan Bekasi sembari membawa gelas berisi kopi. Selalu dan tidak pernah ketinggalan, Deka yang selalu dibully oleh teman-temannya.
“Laper nggak?” Abian berbisik di telinga Cica, mencoba mengambil atensi gadis itu ketika teman-temannya mulai sibuk berbincang dan bercanda. Cica menoleh, mendapati wajah Abian berada sangat dekat dengan wajahnya, sontak membuatnya kaget dan memundurkan wajahnya.
“Dikit, tapi lagi mager jalan, heels gue patah,” bisik Cica dengan wajah yang memelas, menyayangkan heels kesukaannya menjadi korban hari ini.
Beberapa menit yang lalu menjadi waktu yang cukup menyulitkan untuk Cica, karena ia harus berjalan dengan sangat hati-hati akibat heels miliknya tiba-tiba patah ketika ia berusaha untuk mengambil bunga yang dilemparkan oleh Pevita dan Nakula saat sesi lempar bunga tadi. Maka dari itu saat semua orang sibuk berkelana mencari hidangan makanan di sana, ia lebih memilih untuk duduk dan tidak berpindah dari tempatnya.
“Lo mau apa, gue ambilin.” Seakan peka dengan keadaan, Abian segera berdiri dan menunggu gadis itu mengucapkan permintaannya sebelum ia pergi untuk mengambil makanan.
Abian dan act of service-nya memang tidak pernah terpisahkan.
“Apa aja deh, lo mau makan juga?” tanya Cica pelan dan Abian mengangguk untuk mengiyakan. Sekarang sudah hampir pukul dua belas siang dan perutnya sudah berteriak minta diisi makanan. “Ya udah, tunggu di sini bentar ya.”
Sebelum pergi, Abian sempat melepaskan jas miliknya karena mulai merasa gerah, kemudian menyerahkan jas itu kepada Cica untuk dibawa. “Nitip bentar, itu HP gue ada di dalem saku jas kalo lo butuh buat liat TikTok.”
Abian ingat itu, sejak tadi sebelum berangkat Cica sudah mewanti-wanti Abian jika dirinya tidak memiliki paket data sehingga ia tidak akan bisa dihubungi jika sewaktu-waktu dirinya menghilang. Syukurlah laki-laki itu sadar dan memberikan HP-nya kepada Cica untuk dijadikan hiburan ketika gadis itu duduk sendirian.
“Makasihhhh. Eh passwordnya ap—oh nggak di password ternyata.”
Setelah perbincangan singkat tadi, anak Tinggar dan anak Kanay memang mulai berpencar untuk berburu makanan. Mencari makanan yang jarang mereka temukan jika tidak di acara pernikahan, dan mengisi perut mereka hingga tidak ada ruang kosong yang tersisa.
Meninggalkan Cica yang duduk sendirian di sana, setelah menjawab semua pertanyaan orang-orang tentang apakah ia ingin ikut berkeliling juga atau tidak, dan dibalas dengan gelengan kecil serta sebuah kalimat yang dapat membuat mereka tersenyum bahagia. “Udah diambilin Bian, kalian duluan aja.”
Jelas mereka bahagia, karena menyadari hubungan Cica dan Abian mulai terlihat hilal keseriusannya.
Mengapa mereka berpikir begitu? Karena mereka semua tahu, jika Abian tidak akan melakukan itu ke sembarang gadis, berbeda dengan Januar dan Arga yang memang sering membantu secara cuma-cuma hingga membuat banyak orang salah sangka kepada mereka, Abian hanya melakukan itu kepada gadis yang ia suka. Meskipun ia dikenal sebagai orang yang friendly kepada semua orang termasuk kepada para gadis, namun untuk melakukan effort yang lebih, ia tidak pernah.
Abian adalah perpaduan antara Arga dan Mahesa.
Cica membuka ponsel Abian dengan hati-hati, kemudian menemukan sebuah wallpaper yang terlihat familiar di matanya. Foto mereka di eskalator, saat pertama kali pergi berdua. Foto yang pernah Cica jadikan lockscreen dan menjadi penghuni archive instagram close friend miliknya.
Senyum manis tiba-tiba merekah pada wajahnya, hatinya mendadak terasa hangat ketika melihat Abian bisa menjadikan foto biasa itu menjadi luar biasa.
Bukan Cica jika tangannya tidak iseng. Mumpung sedang membuka ponsel Abian, ia pun berpikir untuk membuka kontak dan mencari namanya di sana. Penasaran dengan nama yang Abian berikan kepadanya. Meskipun sebelumnya ia sudah tahu karena sempat bertukar foto kontak, tetap saja, ia ingin melihat secara langsung. Tangannya dengan cepat membuka kontak, dan mengetikkan namanya di search bar.
Lagi-lagi gadis itu tersenyum, bahkan sepertinya sekarang senyumnya semakin lebar hingga gigi putihnya dapat terlihat dengan jelas. Padahal itu terjadi hanya karena melihat sebuah simbol '<3' di akhir nama miliknya. Simbol yang berbentuk hati. Simbol yang membuat jantung Cica terasa berdetak lebih cepat hanya karena melihatnya.
“Sejak kapan Bian ganti nama kontak gue pake love gini, anjir lucu banget aaaaaa Bian.” Cica menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari keberadaan Abian yang masih sibuk berjalan mencari makanan.
Sejenak pandangannya mulai kembali pada ponsel itu, tersadar akan apa yang ia lakukan, Cica segera menutup aplikasi tersebut. “Jangan diliatin terus ih, Ca, bikin salting,” racaunya pada diri sendiri.
Puas dengan apa yang ia lihat, sekarang ia benar-benar beralih ke aplikasi Tiktok, membuka profil Abian yang tampak sepi karena tidak memiliki satupun video yang di post. Tadinya Cica ingin membuka galeri atau Whatsapp, tapi sadar jika itu akan melanggar privacy Abian, maka ia mengurungkan niatnya.
“Kalo gue buka saved video, lancang nggak ya?” tanya Cica kepada dirinya sendiri, menimbang-nimbang apakah ia boleh membuka itu atau tidak. Setelah beberapa detik berpikir, tangannya dengan tidak sengaja membuka saved video. Entah kenapa rasanya ia juga penasaran dengan hal itu.
Tidak ada yang aneh dari sana, laki-laki itu banyak menyimpan video-video lucu yang sempat Cica kirimkan kepadanya. Kemudian tangannya bergeser ke tulisan lain dan matanya menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat, karena bersifat rahasia—sepertinya.
Cica membuka folder 'collection' itu pada akun Abian, kemudian membuka satu persatu isinya dengan jantung yang berdetak semakin kencang. Sejujurnya ia merasa takut ketika membukanya, namun rasa penasaran yang ia punya tidak bisa dibendung lagi. Hingga yang bisa ia lakukan sekarang adalah menahan nafas ketika matanya melihat video-video yang ada di dalam sana. “Liatin apa, Ca?”
“Hah? Bukan apa-apa, liatin tiktok aja tadi.” Cica segera menutup TikToknya dan meletakkan ponsel Abian kembali ke atas meja. Laki-laki itu telah kembali, membawa sebuah piring yang berisi makanan serta sebuah gelas berisi jus jeruk. “Lo nggak makan?” tanya Cica ketika melihat piring yang dibawa Abian hanya satu, artinya ia hanya mengambil untuk satu orang.
“Abis ini, makan dulu nih. Gue mau ambil sesuatu di mobil.” Abian mengulurkan piring yang berisi makanan, jelas makanan itu terdiri dari beberapa makanan yang sekiranya Cica suka. Hanya saja melihat Abian yang segera pergi meninggalkan dirinya di sana, membuat Cica berpikir ulang untuk makan sekarang.
Lima menit menunggu, laki-laki itu terlihat datang menghampiri Cica lagi dengan sapasang sepatu yang ia bawa di tangan kanannya. “Sepatu siapa?”
Cica melihat Abian tiba-tiba berjongkok di depannya, kemudian mengambil kaki kanan Cica dengan segera tanpa menjawab. “Ih, Bian, jawab gue dulu.” Tangan Cica berusaha mengehentikan pergerakan Abian, membuat laki-laki itu mendongak.
“Pake dulu, nanya nanti aja. Heels lo udah nggak bisa dipake itu.”
Benar juga, Cica baru ingat jika ia tidak bisa pergi dari sana karena heels miliknya rusak. Tapi tetap saja, Abian mendapatkan sepatu itu dari mana?
“Gue pasang sendiri aja,” ucap Cica yang langsung dicegah oleh Abian dengan tangannya. “Ssssstt, diem aja di situ. Tangan lo mau dipake buat makan, nanti kotor kalo kena sepatu.”
Mau tidak mau Cica menyerah, membiarkan Abian memasangkan sepatu bertali itu di kakinya. Nyaman, itu yang pertama kali Cica rasakan ketika mengenakan sepatu yang dibawa oleh Abian, seolah sepatu itu memang khusus untuknya.
“Udah, sekarang lo bisa jalan-jalan lagi.” Abian bangkit dari jongkoknya dan kini duduk di sebelah Cica. Sedangkan gadis itu masih terkejut denganapa yang Abian lakukan kepadanya. Tidak biasa diperlakukan seperti ini, terlebih lagi oleh laki-laki seperti Abian. “Kenapa nggak dimakan? Katanya laper?”
Cica menoleh, memandang makanannya yang masih utuh. “Nunggu lo, hehehe.”
Alis Abian terangkat sebelah, bingung dengan apa yang gadis itu maksudkan. “Makan dulu aja, tuh ada Deka sama yang lain juga udah balik, jadi ada temen makan sekarang. Gue makan nanti.”
“Kenapa?” tanya Cica lagi, kali ini wajahnya mengisyaratkan bahwa ia benar-benar bingung mengapa Abian tidak makan bersamanya. Apakah ia malah merepotkan laki-laki itu tadi karena memintanya mengambil makanan serta mencari sepatu untuknya?
“Gue makan kalo lo nggak abis,” jawab Abian yang berhasil membuat Cica bungkam. Sepertinya ia sedikit hafal dengan tabiat Cica yang sering tidak menghabiskan makanan. Makanya Abian lebih memilih untuk makan nanti, siapatau Cica tidak bisa menghabiskan makanannya.
Setelahnya Cica benar-benar makan seperti apa yang Abian katakan, sesekali gadis itu juga tampak mengobrol dengan Deka hingga tawanya meledak di sela makan. “Ohhh gue tau, itu kemaren lewat FYP gue juga ta—uhuk uhuk.”
Benar kan, gadis itu tersedak di sela-sela tawanya bersama Deka. Abian yang sejak tadi menopang dagu untuk mengamati setiap pergerakan Cica dengan segera mengambil minum yang ada di sebelah Cica, memberikannya kepada gadis itu dan mengambil piring yang dibawa oleh Cica agar gadis itu dapat fokus kepada minumannya.
“Kalo makan jangan sambil bercanda, abisin dulu makanannya biar nggak kesedak.” Abian meletakkan piringnya pada meja, kemudian menepuk punggung Cica dengan pelan, agar gadis itu dapat merasa lebih baik dari sebelumnya. Memberikan minuman lain untuk menetralkan diri. Tapi tetap, batuknya tidak segera reda.
“Dek, lo jangan ajak ngobrol cewek gue pas lagi makan dong. Nanti aja ngobrolnya kan masih bisa. Dia tuh nggak bisa nolak kalo lo ajak ngomong terus gitu.” Abian berkata dengan nada yang sedikit naik karena panik yang tiba-tiba melanda dirinya.
Semua orang kini memandang Abian, tidak terkecuali Cica yang sekarang sudah sepenuhnya berhenti dari batuknya. “Lo ... tadi ngomong apa?” tanya Januar tiba-tiba.
Abian yang tidak sadar dengan ucapannya segera menoleh, kemudian matanya mengedar untuk melihat semua temannya kini tengah memandang Abian dengan pandangan yang tidak percaya. “Kenapa lo semua liatin gue sih? Emang ada yang aneh?”
Tanpa menghiraukan pandangan teman-temannya, Abian kembali menepuk punggung Cica, kali ini disertai dengan usapan lembut hingga gadis itu membeku di tempatnya. “Lo udah nggak papa?” Cica mengangguk untuk menjawab laki-laki itu.
“Gue nggak salah denger kan?” Di sisi lain, Putra berbisik kepada Arjuna yang masih memandang Abian dengan bingung. Laki-laki itu menggeleng, kemudian menjawab Putra dengan senyum yang sangat lebar.
“Kayanya temen lo yang itu udah bener-bener jatuh cinta deh, Put.”
Semua mata melihatnya, bagaimana Abian memperlakukan Cica dengan sangat istimewa sejak pertama kali mereka tiba. Tidak ada yang bisa dibohongi, bahkan Cica selaku gadis yang berhubungan dengan Abian, pun merasakan hal yang sama.
Bahwa tokoh utama mereka telah benar-benar jatuh cinta.