namericoffee_

Kota Bandung malam ini terlihat sedikit padat dari biasanya, mobil-mobil saling berbicara menggunakan klaksonnya bahkan tepat ketika lampu baru saja berubah menjadi hijau. Malam ini Feyre bersama kedua sahabatnya tengah menuju apartemen Dewa, membawa sebuah kue untuk perayaan hari jadi suaminya.

“Aduh, kalo macet gini sampe tepat waktu nggak ya?” Nando berbicara sembari melihat jam, memastikan bahwa mereka tidak akan terlambat.

“Sampe-sampe, yakin dulu aja.” Nasya yang berada di kursi penumpang sebelah Nando melirik Feyre yang sedari tadi terdiam di kursi belakang. “Fey? Lo gapapa? Pucet banget muka lo,” tanya Nasya dengan wajah khawatir saat melihat sahabatnya terlihat pucat. Gadis itu juga terlihat menggigit bibirnya dan memegang perutnya seperti seorang yang sedang kesakitan.

“Lo sakit?”

Feyre menggeleng pelan. “Nggak, dikit doang kok tar juga ilang.”

Nasya memandang Feyre lagi, memastikan bahwa sahabatnya benat tidak sakit. “Yakin?” Gadis itu mengangguk lagi dan menghembuskan nafas panjang sebelum kemudian tersenyum kepada sahabatnya, memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Sepuluh menit berlalu, kini mereka tengah berada di dalam lift yang mengantarkan ketiganya pada lantai tempat Feyre dan Dewa tinggal, Feyre memegang sebuah kotak berisi kue ulang tahun Dewa dengan gugup, sedikit tidak yakin dengan apa yang akan ia lakukan.

“Ini langsung masuk aja?” Feyre mengangguk menjawab Nasya, ia tidak bisa membuka ponselnya karena kedua tangannya memegang kue, sedangkan ia yakin bahwa Dewa dan teman-temannya sudah berada di dalam karena ia melihat mobil Abian telah terparkir di bawah sana.

Ia membuka pintu dengan hati-hati, kemudian dari dalam sana terlihat beberapa sosok laki-laki berdiri membelakangi mereka. “Surprise!!” Nasya berteriak untuk mengalihkan perhatian teman-teman Dewa. Mereka semua menoleh, memperhatikan siapa seseorang yang datang di sana.

“Happy birthday to you, happy birthday to you,” Nasya mulai bernyanyi, membuat beberapa orang saling menyenggol lengan dan akhirnya ikut bernyanyi mengikuti gadis itu. Tidak terkecuali Abian.

Di ujung sana, Feyre berjalan maju untuk mendekat ke arah Dewa, membawa kue lengkap dengan lilin yang menyala. Matanya menatap lekat Dewa yang ikut menatapnya. Selesai menyanyikan sebuah lagu, Feyre memandang Dewa dengan sebuah senyuman hangat, membuat Dewa mengerutkan keningnya. “Make a wish dulu kak sebelum tiup lilin.”

Dewa hanya diam dan menurut, kemudian ia meniup lilin tersebut sebelum kemudian mengambil kuenya dari tangan Feyre. Meletakkannya di meja dekat dengannya. Semua orang terdiam, entah bingung dengan suasana ini atau karena bingung harus memberikan reaksi seperti apa. “Selamat ulang tahun kak, semoga — ”

“Lo siapa?”

Feyre mematung seketika, tubuhnya kembali membeku dan hatinya kembali sakit. Kejadian ini datang lagi, dan Feyre tidak pernah menyangka bahwa kejadian ini akan datang tepat di hari ulang tahun Dewa. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani berbicara karena takut akan membuat suasana menjadi runyam.

Sebelumnya, mereka telah menyadari keanehan Dewa saat mereka tiba di apartemen dan Dewa mengatakan hal-hal aneh yang menurut mereka sangat tidak masuk akal. Sampai ketika Abian menjelaskan kepada mereka, baru lah mereka tahu apa yang terjadi kepada Dewa. Namun sayang, belum sempat Abian berhasil mengabari Feyre, gadis itu sudah berada di sana terlebih dahulu.

Feyre mundur beberapa langkah, mendekat ke arah Nasya dan Nando yang ikut mematung di tempatnya.

“Kalian ngapain di apartemen gue? Emang kita pernah kenal?” tanya Dewa dingin. Semua teman-temannya masih terdiam tidak ada yang berani berbicara. Abian yang menyadari suasana itu akhirnya mengambil inisiatif untuk menjelaskan kepada Dewa.

“Wa, itu — ” Feyre menaikkan tangannya memberikan tanda untuk Abian tidak berbicara, laki-laki itu terdiam tepat saat Feyre mengangkat tangannya. Menuruti apa yang gadis itu lakukan.

“Uhmm, halo kak. Kenalin aku Feyre,” gadis itu berbicara dengan tersenyum, mencoba menyembunyikan perasaan sakit hati dan sedihnya dalam senyuman yang sedang ia paksakan.

“Terus?” Dewa menjawab dengan ketus, persis seperti Dewa dahulu ketika masih kuliah.

Abian hampir frustasi, ia tidak tega melihat Feyre seperti ini, bahkan setelah segala hal yang sudah Feyre siapkan untuk Dewa hari ini. Tapi ia juga tidak bisa menyalahkan Dewa karena laki-laki itu juga tidak mengingat apapun tentang istrinya.

“Ya berhubung hari ini ulang tahun kakak, jadi aku mau nguca — ” Gadis itu tiba-tiba berhenti berbicara, tangannya seketika memegangi perutnya ketika ia merasakan rasa perih yang tidak terkira. Nasya dan Nando segera menghampiri gadis itu, dan tepat ketika gadis itu akan terjatuh, Abian dengan sigap menangkapnya, melihat Dewa yang sangat tidak mungkin melakukan itu saat ini juga.

Semua orang terkejut, Abian dengan segera membopong Feyre yang sudah tidak sadarkan diri. Wajah gadis itu pucat pasi dan tangannya sangat dingin. Ia yakin bahwa gerd-nya itu kambuh lagi. Abian menoleh kepada Dewa, melihat kembali apakah laki-laki itu akan memberikan reaksi lain atau tidak, namun tetap, Dewa hanya menatap mereka datar tanpa ekspresi.

Saat itulah Abian tahu, bahwa sekarang, ialah yang harus membawa gadis itu ke rumah sakit seperti sebelumnya. “Gue cabut dulu ke rumah sakit,” pamit Abian kepada teman-temannya.

Nakula dan semua teman-temannya mengangguk pelan, membiarkan Abian membawa Feyre menuju tempat yang seharusnya sebelum terlambat. Di sisi lain, Dewa tampak bingung dengan kondisi yang ada. Ia benar-benar tidak mengingat apapun tentang gadis itu, bahkan ketika matanya melihat kue yang ada di atas meja, kemudian matanya menangkap foto yang terpajang di dinding, menampilkan dirinya beserta gadis itu, lagi-lagi ia masih tidak bisa mengingatnya. Beberapa menit ia terdiam, mencoba memahami dengan pikirannya yang tersisa. Sampai ketika ia sudah tidak bisa menemukan satupun jawaban, ia pun akhirnya bertanya.

“Dia siapa?” tanya Dewa pada akhirnya, membuat beberapa temannya bingung harus menjawab apa. Mereka tahu bahwa Dewa saat ini pasti tidak bisa mempercayai apapun yang mereka katakan, karena ingatan Dewa tentang gadis itu benar-benar telah hilang.

“Dia istri lo, Wa.” Nakula berbicara kepada Dewa, kemudian menepuk pundak temannya pelan. Berharap laki-laki itu bisa menerima ucapannya.

Istrinya? Dewa berpikir keras, bagaimana ia bisa memiliki istri jika dalam pikirannya, ia masih berada di bangku kuliah, dan lebih jelas lagi ia merasa tidak pernah mengenal gadis itu.

Kepalanya berdenyut ketika mencoba mengingat semua hal yang terjadi, sekuat tenaga ia mencoba mengingat, namun tidak ada satupun ingatan tentang gadis itu hadir dalam hidupnya. Hingga kemudian, ketika otaknya terlalu dipaksa untuk bekerja, matanya kembali berkunang-kunang dan badannya limbung karena ia merasa lemas tiba-tiba.

“Wa, lo kenapa? Dewa?” Semua orang di sana terlihat panik ketika melihat Dewa tiba-tiba terjatuh sembari memegang kepalanya yang sakit. Badannya dingin dan ia mulai berkeringat. “Wa bangun, lo kenapa?” tanya Nakula lagi.

Namun, belum sempat Dewa menjawab, kegelapan datang menerpa tubuhnya. Pada akhirnya ia kembali tumbang dalam ingatan yang masih menghilang.

Dewa menggenggam tangan Feyre saat ia sudah berada di atas tempat tidur, tidak ingin gadisnya pergi meninggalkan dirinya sendirian di sana lagi. “Jangan pergi sampe aku tidur ya?” ucap Dewa. 

Feyre mengangguk tanpa melepaskan genggaman tangannya. Dewa menengok sekeliling ruangan sebelum menarik gadis itu hingga terjatuh di atas tubuh Dewa.

“Tidur di sini bentar aja, aku pengen peluk kamu buat yang terakhir kali. Aku nggak tahu besok bakal bisa peluk kamu lagi atau nggak.” Feyre menarik nafas panjang, tidak menyadari ada yang aneh dengan ucapan Dewa. Lagi-lagi ia menurut, tidak bisa menolak permintaan Dewa. Gadis itu naik ke atas ranjang rumah sakit yang sebenarnya hanya muat digunakan satu orang, membiarkan Dewa mendekapnya erat seolah tak ada hari esok.

Gadis itu mengelus punggung Dewa pelan, mengucapkan kalimat-kalimat sayang untuk mengantarkan suaminya terlelap dalam buaiannya. “Aku sayang kamu, Re.”

Feyre berdehem tidak menjawab. “Aku sayang kamu,” ucap Dewa lagi dan gadis itu masih tidak menjawab. Ia menjauhkan diri dari Feyre kemudian menatap wajah gadis itu yang ternyata sudah penuh dengan air mata.

“Kamu kenapa nangis?”

Air mata Feyre lagi-lagi memenuhi wajahnya bukan air mata sedih, melainkan air mata terlalu bahagia karena merasa amat sangat lega dapat berada di posisi seperti ini bersama Dewa. 

“Aku terlalu bahagia sampe ga bisa nahan air mata.” Dewa terkekeh kecil, kemudian mendekap Feyre kembali dalam pelukannya. Mereka diam, menikmati waktu yang berjalan namun sebenarnya ingin mereka hentikan. “Aku juga sayang kamu kak. Selamanya.”

Ketika Dewa sudah terlelap dalam tidurnya, Feyre perlahan bangkit, merapikan posisi tidur Dewa menjadi lebih nyaman. Tangannya menggenggam tangan Dewa kemudian mengecup bibir suaminya sekilas sebelum ia merapikan barang-barangnya. 

Ia ingin pulang ke rumah sejenak, melihat hadiah dari Dewa yang ia sebutkan tadi, namun ia bingung jika ia pergi siapa yang bisa menjaga Dewa. Kemudian otaknya berputar untuk memikirkan siapa yang bisa menjaga Dewa sejenak sebelum ia pergi. Tangannya kemudian mengetikkan beberapa pesan kepada Abian, satu-satunya orang yang ia pikirkan sekarang.

Tidak butuh waktu lama untuk Abian datang ke rumah sakit dan menggantikan gadis itu di sana. Entah kenapa Feyre sangat ingin melihat hadiah dari Dewa hari ini juga meskipun Dewa megatakan bahwa ia bisa melihatnya besok atau kapanpun itu.

Ia memesan sebuah angkutan online untuk bisa sampai ke rumah, memilih untuk menggunakan motor daripada mobil karena merasa ingin cepat sampai dan menghindari kemacetan Bandung.

Sesampainya di sana, di depan rumah yang sudah dua bulan tidak pernah ia kunjungi, ia melihat banyaknya tanaman anyelir putih tertanam di sana. Bunga yang selalu ia sukai sejak dahulu, ia berpikir apakah ini hadiah yang dimaksud oleh Dewa? Sebuah taman bunga anyelir putih dengan ratusan bunga yang tumbuh indah di sana. 

Hatinya terasa hangat, tidak pernah menyangka bahwa ucapan Dewa tentang keinginannya memberikan ratusan tangkai bunga anyelir kini benar-benar terwujud, bahkan bukan hanya beberapa tangkai melainkan satu taman bunga.

Feyre duduk di taman bunga tersebut, merasakan tetesan air hujan perlahan turun mengenai tubuhnya. Namun ia tidak menghiraukan itu, ia masih tetap duduk di sana melihat satu persatu bunga yang mengingatkan ia dengan laki-laki yang paling ia cinta. Ia menangis lagi, entah sudah berapa kali ia menangis hari ini tapi yang pasti, tangisannya semua adalah tangisan haru yang bahagia.

Di sisi lain, Abian melihat Dewa bergerak dengan tidak pasti seolah seperti sedang berada dalam kondisi yang tidak baik. Dengan cepat ia menekan tombol untuk memanggil perawat dan dokter karena Dewa tiba-tiba kejang. Pikiran Abian kacau, sejak tadi ia menunggu kabar dari Feyre karena gadis itu tidak memberikan kabar apapun kepadanya, di luar sedang hujan deras disertai angin dan dia tidak bisa tenang sebelum memastikan bahwa Feyre baik-baik saja.

Ia menelfon gadis itu berkali-kali dan menghubungi Ezra untuk memastikan apakah Feyre baik-baik saja namun Ezra juga tidak menemukan Feyre. Dengan cepat Abian menghubungi sahabatnya yang lain untuk bisa menjaga Dewa sejenak karena ia harus mencari Feyre di luar sana.

Setelah Nakula dan Arjuna datang, dengan cepat ia melajukan mobilnya menuju rumah Feyre dan Ezra, keadaan sedikit lebih sulit karena hujan sangat deras hingga membuat dirinya tidak bisa melihat jalanan dengan baik dan harus berjalan dengan sangat perlahan. Abian mengumpat dalam hati, merutuki dirinya karena tidak mengantarkan Feyre dan mebiarkan gadis itu pergi sendirian. Ia merasa sangat bersalah jika sesuatu terjadi kepada Feyre.

“Fey plis, lo di mana?” Abian terus mengucapkan kalimat itu ketika ia tidak melihat Feyre di rumah, ia hanya melihat jejak kaki di taman yang menandakan bahwa gadis itu tadi benar-benar datang ke sini. Abian tidak peduli pada dirinya yan sudah basah kuyup dan hanya mempedulikan bagaimana ia bisa segera menemukan Feyre.

Ia menelusuri Kota Bandung yang basah karena hujan deras, menuju apartemen Dewa dan tidak menemukan tanda-tanda Feyre mampir di sana. Ia semakin kalut memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi karena sejak tadi perasaanya terasa sangat tidak enak. Tidak biasanya ia merasa seperti ini.

Nakula dan Arjuna masih tetap setia menunggu perkembangan Dewa yang secara tiba-tiba juga menunjukan perubahan yang drastis, entah kenapa laki-laki itu mendadak drop terlebih lagi dengan kejang yang jarang menyerangnya. Mereka menunggu dokter yang tengah berusaha untuk membuat Dewa bangun atau setidaknya kembali normal seperti sebelumnya. Segala cara sudah dokter lakukan untuk bisa membuat Dewa lebih baik dari sebelumnya.

Nakula mengepalkan tangannya, mencoba untuk menenangkan diri dan berpikir positif karena tidak ingin ada hal yang buruk terjadi pada sahabatnya. Sudah hampir dua jam tidak ada perubahan dari Dewa justru kondisinya semakin memburuk, semua orang sudah berkumpul di rumah sakit menunggu keajaiban tuhan datang untuk Dewa, kecuali Feyre dan Abian.

Semua orang tahu, Abian pergi karena sedang mencari Feyre. Namun sampai dua jam mereka tidak kunjung datang. “Abian udah ada kabar?” tanya Putra kepada Nakula dan Arjuna, namun mereka hanya menggeleng pelan. 

“Gue tadi udah nyuruh Abian balik tapi dia ngotot mau tetep nyari Feyre.” Nakula menarik nafas panjang, ia merasa ada yang aneh dengan Feyre. Pun ketika ia melihat notifikasi chat yang belum terbaca dari gadis itu pada ponsel Dewa yang ia pegang, ia benar-benar merasa sangat aneh.

Ia melihat ruangan yang penuh dengan dokter itu, menunjukkan alat detak jantung Dewa yang masih berdetak setidaknya membuat dirinya berpikir positif untuk sejenak. Beberapa detik kemudian suara ponsel terdengar memenuhi lorong ruangan, membuat semua orang memandang Nakula yang tengah memegang ponsel tersebut. 

“Feyre nelfon.”

Semua orang tiba-tiba berdiri, menunggu Nakula yang tengah mengangkat panggilan tersebut. Namun sampai panggilan itu berakhir, Nakula tidak berkedip sama sekali dan tidak mengatakan satu patah kata kepada mereka yang telah menunggunya. “Gimana? Feyre ada di mana sekarang?”

Nakula diam, semua orang juga terdiam, yang terdengar hanya bunyi alat detak jantung dari dalam ruangan Dewa serta beberapa suara dokter yang ada di dalam sana. 

“Gimana?” Arjuna menyenggol Nakula yang terdiam di tempatnya.

Tangannya bergetar, mulutnya mendadak terasa berat untuk digunakan berbicara.

“Feyre… kecelakaan. Meninggal dalam perjalanan menuju ke rumah sakit.” Tepat ketika Nakula mengucapkan kalimat itu, suara alat detak jantung Dewa mendadak berbunyi nyaring, membuat semua orang menoleh dan berlari menuju asal suara. Jantung Nakula terasa sangat sakit seperti ditusuk oleh pisau berkali-kali.

Mengapa dari semua waktu, Tuhan harus mengambil keduanya secara bersamaan?

Tidakkah Tuhan kasihan dengan mereka yang ditinggalkan jika harus kehilangan dua orang sekaligus dalam waktu yang bersamaan? Otak Nakula dipaksa untuk kembali ke kesadaran yang ada, ia tidak bisa larut dalam semua ini, ia harus kuat, Dewa dan Feyre telah melalui banyak hal penuh luka.

Tangannya dengan cepat mengetikkan suatu pesan kepada seseorang. Seseorang yang sejak tadi kehilangan akal karena mencari gadis yang hilang.

Mereka semua menangis, mengantarkan kepergian dua orang sahabat, saudara, dan anak yang amat sangat mereka sayangi. Ingin rasanya mereka bertanya kepada Tuhan, mengapa ia mengambil keduanya? Bukankah lebih kejam jika Tuhan mengambil dua orang sekaligus daripada meninggalkan salah satunya?

Tapi Tuhan tahu, mereka berdua tidak akan bisa hidup tanpa yang lainnya. Sampai akhirnya, Tuhan memilih untuk mengambil keduanya secara bersama-sama. Tidak ingin membuat hidup salah satunya semakin terluka karena kehilangan jantung mereka satu-satunya. Hingga akhirnya, malam ini, malaikat telah datang.

Menjemput Feyre dan Dewa untuk pulang.

Sore itu berwarna jingga keunguan lengkap dengan burung-burung yang pulang dari perantauan. Udara sore nampaknya dapat membuat beberapa orang merasa tenang. Tak terkecuali untuk seorang gadis yang tengah berjalan menyusuri taman bunga yang terletak beberapa meter jauh dari keramaian.

Hari ini seperti biasa, ia menjalankan aktivitas hariannya menemani seseorang untuk berjalan-jalan sore menikmati indahnya langit dan hamparan tanaman di taman belakang. 

“Sus, lo suka bunga?” tanya laki-laki itu kepada Feyre yang sedang berjalan di belakangnya. Feyre mengangguk pelan dengan tersenyum namun tetap tanpa mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya. Laki-laki itu kemudian hanya mengangguk pelan menanggapinya.

Dari ujung sana terlihat dua sosok laki-laki lain yang Feyre kenali berjalan mendekat menuju ke arahnya. Laki-laki tinggi dengan jaket kulit hitam serta satu lagi dengan kemeja cokelat andalannya. “Fey!” panggil Abian dari jarak beberapa meter membuat beberapa orang menoleh kepadanya. Feyre hanya membalas dengan lambaian tangan tanpa menjawab.

“Siapa?” bisik laki-laki yang tengah ia temani berjalan-jalan tadi ketika melihat ada seseorang yang memanggil teman jalan-jalannya. 

“Hanya teman.”

Beberapa waktu kemudian, Abian dan Ezra telah berdiri di depannya, kemudian mereka memandang Feyre dengan tatapan lelah. Tidak percaya gadis itu telah melakukan hal ini setiap hari tanpa sekalipun mengeluh. 

“Lo temennya suster gue?” tanyanya kepada Abian.

Mendengar pertanyaan laki-laki itu, Abian dengan segera memandang Feyre dengan tatapan tidak percaya. “Dia masih nggak inget sama lo?” Feyre hanya mengangkat bahu. 

“Dia juga nggak inget sama lo, kak.”

Benar, laki-laki itu tidak mengingat siapa gadis yang ia panggil dengan sebutan 'suster' itu, ia juga tidak mengingat siapa laki-laki yang berdiri di hadapannya, bahkan sekarang ia juga tidak mengingat siapa dirinya.

“Kadang dia bangun terus inget semuanya, kadang dia lupa beberapa orang, kadang dia juga lupa siapa namanya, kaya sekarang. Coba tanya aja.” Abian dan Ezra memandang Dewa dengan tatapan tidak percaya. 

Mereka hanya mengira bahwa Dewa hanya akan melupakan beberapa orang atau beberapa kejadian saja, namun ternyata ia bahkan sudah berada di tahap lupa dengan dirinya sendiri. “Dewa, lo nggak inget gue?”

Laki-laki yang dipanggil dengan nama Dewa itu mengerutkan kening, merasa asing karena tiba-tiba Abian terlihat sangat akrab dengannya. “Lo panggil gue Dewa?“ 

Abian mengangguk. “Nama lo Dewa. Lo nggak inget?“  Dewa menggeleng pelan kemudian menatap Feyre meminta validasi apakah yang dikatakan oleh laki-laki di depannya benar adanya. Gadis itu hanya mengangguk pelan.

Sudah dua bulan Feyre menemani Dewa di rumah sakit, tepat ketika ia keluar dari ruang operasi dan dokter menyatakan bahwa Dewa kemungkinan tidak akan bangun dari tidurnya atau kalaupun Dewa terbangun ia akan tetap amnesia seperti sebelumnya karena operasi yang dilakukan tidak bisa memberikan apa yang Dewa inginkan. 

Feyre tidak peduli itu, ia tidak peduli jika Dewa terbangun dan melupakan dirinya, karena yang ia inginkan hanya dapat melihat Dewa membuka mata lagi meskipun kemungkinannya kecil atau disertai dengan kemungkinan-kemungkinan lain.

Selama dua bulan, hanya satu kali Dewa mengingat semuanya, selebihnya ia lupa, lupa dengan orang-orang di sekitarnya, dan bahkan lupa dengan siapa dirinya.

Dahulu Feyre merasa bahwa ia tidak masalah jika melihat Dewa terbangun tanpa ingatan itu, namun setelah ia menjalani beberapa waktu bersama Dewa yang kehilangan ingatannya, semua terasa berat.

Karena seseorang bukan lagi menjadi orang itu sendiri tanpa ingatan mereka.

Raganya memanglah Dewa yang Feyre kenal, namun ingatannya bukan. Tapi Feyre tidak pernah mengeluh, ia merasa harus tetap bersyukur setidaknya ia masih bisa melihat tawa Dewa atau mendengar suara laki-laki itu lagi sekarang. Ia tidak ingin menjadi serakah kepada Tuhan karena meminta sesuatu yang lebih lagi. Sudah cukup Tuhan mengabulkan doanya untuk membuat Dewa bangun, ia tidak ingin ketika ia meminta yang lebih, Tuhan akan murka dan justru mengambil semuanya dari hidupnya.

Ia belum siap.

Hingga langit menjadi hitam, Dewa terus berbincang bersama Abian sedangkan Feyre dan Ezra menatap mereka dari kejauhan. Mendengarkan laki-laki di depannya menceritakan tentang dirinya yang selama ini ia lupakan. 

“Fey, gue balik dulu ya sama Ezra. Lo masih mau di sini kan?” tanya Abian kepada Feyre tepat ketika ia melihat langit sudah berubah menjadi hitam dan merasa sudah waktunya Dewa untuk istirahat. Tujuan utama Abian datang ke sini sebenarnya hanya untuk memastikan apakah Feyre baik-baik saja. Lantas ketika melihat Feyre terlihat baik-baik saja, ia bisa pulang dengan tenang.

“Iya, abis Kak Dewa tidur nanti gue balik.”

Abian mengangguk pelan kemudian pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan Feyre dan Dewa berdua dalam diam. 

“Nama lo … Feyre?” Gadis itu mengangguk untuk mengiyakan, menatap Dewa dengan senyum sangat lebar karena jantungnya berdegup kencang ketika mendengar laki-laki itu mengucapkan namanya kembali setelah dua bulan laki-laki itu tidak pernah mengcapkannya. “Lo mau ikut ke atap nggak? Gue pengen lihat langit dari atap.“ 

Dewa memandang Feyre dengan tatapan bertanya sekaligus memohon karena sebenarnya ini sudah melewati batas waktu Dewa di luar dan harus segera istirahat. “Tapi kamu udah waktunya harus istirahat.”

Bukannya membalas, Dewa malah bangkit dan mengambil tangan Feyre pelan kemudian menarik gadis itu untuk berjalan mengikutinya. Feyre bingung, ia tidak ingin Dewa sakit karena terlalu lama terkena udara luar, namun otak dan hatinya tidak sejalan, terlebih lagi ketika ia melihat tangannya kini berada dalam genggaman tangan Dewa yang selama ini ia rindukan.

Perasaannya menghangat, ia merasakan detak jantungnya kembali berdetak melebihi biasanya ketika tangannya bergesekan dengan tangan hangat milik Dewa. Ia tidak memiliki kemampuan untuk menolak permintaan Dewa sampai akhirnya mereka berdua telah berada di atap rumah sakit itu. 

“Dingin tau di sini, kamu nggak bawa jaket double tadi.” Feyre berucap ketika melihat Dewa yang hanya mengenakan pakaian rumah sakit yang dilapisi sweater tipis tanpa memakai jaket lebih tebal.

Udara Kota Bandung memang sangat dingin, terlebih lagi angin kini berhembus sangat kencang karena hujan terlihat akan turun membasahi bumi. Dewa memandang Feyre yang hanya menggunakan kemeja lengan pendek tipis, jauh lebih tipis dari baju rumah sakit miliknya. 

“Ngapain?” Feyre bertanya saat melihat Dewa melepaskan jaket miliknya dan memasangkan kepada pundak gadis itu. 

“Biar kamu nggak kedinginan.” Jantung Feyre seperti ingin keluar dari rongganya. Ia tidak pernah menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini lagi dari Dewa setelah dua bulan laki-laki itu tidak mengenalinya sebagai istri dan hanya melihat dirinya sebagai perawat yang bertugas untuk membantunya. 

“Kamu nanti sakit. Pake aja aku nggak papa.” Feyre hendak melepaskan jaket itu namun Dewa dengan segera memegangi kedua pundak Feyre.  “Jangan dilepas, biarin aja.” Feyre tidak bisa menolak lagi. Seolah semua indera miliknya tidak dapat berfungsi dengan baik ketika ia berhadapan dengan Dewa.

Mereka berdua kini berdiri bersebelahan dan menghadap jalanan yang ramai, diam tanpa mengatakan sepatah kata dan hanya membiarkan hambusan angin malam menemani mereka di sana. Feyre menarik nafas panjang, melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangannya. 

Ia bingung, berapa lama lagi ia harus menahan Dewa untuk berada di sini. Ia khawatir angin malam akan membuat kesehatan Dewa semakin memburuk. Namun saat ia hendak membuka mulut guna mengajak Dewa turun dari sana, laki-laki itu berbalik menghadapnya.

“Rere.”

Rere. Panggilan yang hanya Dewa ucapkan untukya. Benarkah ia mendengar Dewa mengucapkan itu kepadanya?

Saat itu juga, seluruh hidup Feyre seolah berhenti. Hanya mendengarkan satu kata dari Dewa dapat membuat pertahanan air matanya mendadak hilang seketika. Tangan Dewa terulur untuk menggengam tangan Feyre, kemudian menarik gadis itu dalam pelukannya yang hangat. 

“Maafin aku.” Air mata Feyre tidak kuasa untuk ditahan, ia meloloskan butiran air bening itu dari mata cantiknya. “Kamu udah nunggu lama ya?” tanya Dewa di puncak kepala Feyre. 

Gadis itu menggeleng keras untuk mengatakan bahwa ia tidak masalah jika menunggu selama apapun itu. Kepalanya diusap dengan lembut oleh Dewa, laki-laki itu kemudian mengecup puncak kepala Feyre, memberikan semua perasaan sayangnya kepada Feyre yang selama ini ia lupakan. 

“Maafin aku udah bikin kamu nunggu selama ini, Re. Maafin aku karena butuh waktu lama buat inget kamu.”

Dewa ingat, mendadak ia teringat dengan semua hal tentang gadis di sebelahnya ketika tangan mereka bersatu. Merasakan kehangatan yang terasa familiar dalam ingatannya hingga dapat membawa kembali memori yang sempat hilang terbawa kenyataan.

Mereka saling memeluk, menyalurkan perasaan melalui detak jantung yang saling berdetak seirama. “Selamat ulang tahun ya, sayang.” Feyre melepaskan pelukannya seketika, ia tidak percaya, benar-benar tidak percaya bahwa Dewa yang berada di depannya kini telah mengingat dirinya bahkan hari ulang tahunnya. 

“Kamu inget?” tanya Feyre ragu.

“Tentu aja, aku bahkan udah nyiapin hadiah paling spesial buat kamu.” Gadis itu hampir menangis lagi, merasa amat sangat bahagia karena Tuhan memberikan hadiah paling indah di hari ulang tahunnya.

“Tapi hadiahnya ada di rumah kamu, di halaman rumah, gede banget jadi nggak bisa di bawa ke sini,” bisik Dewa di depan wajah Feyre. Tangan Dewa mengusap air mata yang tersisa di sana, mengelus wajah istrinya yang sangat ia rindukan. “Jadi kamu harus lihat sendiri nanti, nggak harus nanti sih, bisa kapan aja.”

Feyre mengangguk, ia merasa tidak bisa membalas ucapan Dewa saat ini dan hanya bisa mengatakan syukur berkali-kali dalam hatinya. 

“Re,” panggil Dewa dengan nada rendah tepat di depan wajah gadis itu. Feyre mendongak untuk menatap wajah Dewa yang berada sangat dekat di depannya. “Mulai sekarang jangan nunggu aku lagi, ya?“ 

Gadis itu menatap Dewa bingung, tidak memahami apa maksud dari ucapannya. Namun Feyre tetaplah Feyre, ia akan selalu menjadi gadis yang keras kepala dan tidak akan menuruti perkataan orang lain jika tidak sesuai dengan kemauannya. 

“Aku nggak akan nunggu lagi, karena mulai sekarang aku nggak akan biarin kamu pergi sendiri jadi aku nggak perlu nunggu kamu kembali.”

Feyre berjinjit untuk mengecup bibir Dewa cepat sebelum menjauhkan diri darinya, merasakan suhu tubuh laki-laki itu sudah mulai dingin karena angin yang menerpa mereka. 

Dewa tidak melepaskan tubuh Feyre, justru ia menarik lebih dekat gadis itu untuk berada dalam jangkauannya, mengikis jarak diantara keduanya untuk bisa saling beradu nafas yang hangat dalam wajahnya. Dewa mencium bibir Feyre pelan, memberikan semua kasih sayang miliknya pada Feyre melalui bahasa tubuhnya. Mereka menikmati momen tersebut beberapa saat sebelum kenyataan kembali datang menghantam kehidupan mereka.

Malam itu, untuk pertama kalinya dalam dua bulan, Dewa dan Feyre merasa hidupnya terasa amat sangat bahagia. Feyre bersyukur, di hari ulang tahunnya, ia mendapatkan hadiah paling berharga dari Tuhan.

Beberapa menit yang lalu, sosok laki-laki yang sempat terbaring lemah di ranjang rumah sakit itu, kini telah sepenuhnya sadar. Matanya menatap kedua temannya dengan tatapan bingung ketika ia mendapati sebuah infus yang terpasang pada tangannya. 

Tidak biasanya ia berada di UGD ketika gejalanya kambuh, biasanya ia hanya akan duduk atau tidur di dalam apartemennya hingga gejala tersebut benar-benar menghilang beberapa saat kemudian, mungkin teman-temannya terlalu panik dan tidak mengerti bagaimana merespon hal tersebut hingga akhirnya mereka membawanya ke tempat ini.

“Di mana Feyre sekarang?” sebuah pertanyaan spontan keluar dari mulut Dewa ketika ia benar-benar sadar dan tidak melihat presensi gadis itu di sana, sebelumnya ia juga sempat mendengar sebuah percakapan kecil antara kedua temannya tentang kondisi Feyre sekarang, membuatnya merasa sangat ingin bertemu istrinya. “Gue denger tadi kalian ngomong kalo Feyre sakit juga, tolong kasih tau gue dia ada di mana? Anterin gue ke sana, gue mau ketemu sama Feyre, plis?”

Nada lirih dalam ucapan Dewa ketika ia meminta untuk bertemu istrinya, membuat Nakula dan Arjuna merasa iba. Mereka tahu, bagaimana perasaan sahabatnya saat itu. 

“Tapi Wa, lo nggak boleh banyak gerak dulu. Lo baru sadar.”

“Gue udah gak papa. Plis, Jun. Anterin gue ke tempat Feyre sekarang juga. Gue mau ketemu sama istri gue, gue mau mastiin kondisi dia gimana, gue mau nemenin dia,” pinta Dewa ulang kepada Arjuna.

Benar-benar sebuah pilihan yang sulit untuk Nakula dan Arjuna, mereka tahu, jika mereka menuruti Dewa sekarang, maka mereka akan melanggar anjuran dokter tadi untuk menjaga Dewa agar ia tidak banyak bergerak terlebih dahulu, kondisinya masih dalam peninjauan sehingga ia harus menjaga tubuhnya. Namun, Dewa juga terlihat sangat menyedihkan ketika ia memohon kepada mereka berdua untuk bertemu dengan istrinya yang saat ini sedang terbaring lemah. 

“Gue tanya dokter dulu.”

Nakula menghembuskan nafas panjang sebelum meninggalkan Arjuna dan Dewa dalam diam. “Jun … Gue amnesia lagi, ya?” tanya Dewa lirih. Hati Arjuna terasa sangat sakit ketika melihat sahabatnya menyadari apa yang terjadi kepadanya tadi. “Gue … lupa lagi sama istri gue, kan?” Arjuna tidak menjawab dan hanya mengangguk pelan.

Dewa tertawa miris, bahkan di hari ulang tahunnya yang seharusnya bisa ia rayakan bersama orang-orang terdekat, berbagi kue, meniup lilin dan membuat permohonan, kemudian bermain hingga pagi datang, nyatanya harus ia lewati dengan berada di ruangan berbau alkohol dengan banyak suara alat medis di sana. 

“Gue jahat ya?”

Arjuna menggeleng. “Takdir yang jahat, Wa.”

Begitulah ketika Nakula kembali dengan membawa sebuah pesan dari dokter bahwa Dewa diizinkan untuk melihat Feyre pada akhirnya, laki-laki itu dengan segera bangkit dari tempat tidurnya kemudian mendorong Arjuna dan Nakula untuk segera memandunya menuju tempat di mana sang istri dirawat.

Dewa melangkah pelan ketika melihat sebuah tirai tertutup setelah Arjuna mengisyaratkan bahwa seseorang yang Dewa cari ada di dalam sana. Tangannya membuka tirai putih itu sedikit demi sedikit hingga menampakkan seorang gadis yang tengah tertidur lelap di sana. Hatinya mendadak sakit, melihat wajah istrinya pucat pasi dan tangannya tertancap sebuah infus yang sudah hampir habis.

Abian melangkah mundur untuk memberikan ruang kepada Dewa bersama istrinya, menutup tirai dan mengajak kedua temannya untuk menjauh dari sana. Dewa mengamati wajah cantik Feyre dalam diam, wajah yang selalu tersenyum ketika melihatnya, kini terlihat lelah dan pucat. Tangan kanannya terulur untuk mengelus kepala gadis itu, kemudian tangan kirinya memegang tangan sang gadis yang terasa sangat dingin di tangannya.

Dewa menyesal, amat sangat menyesal ketika tahu suatu fakta bahwa istrinya masuk rumah sakit karenanya, karena menyiapkan kejutannya yang bahkan tidak sempat mereka lanjutkan. Air mata perlahan turun dari kelopak matanya, hatinya terasa amat sangat sakit, mengingat seberapa sakit perasaan Feyre ketika tahu suaminya tidak mengingat siapa dirinya secara berkali-kali.

“Re, maafin aku,” bisiknya di sebelah telinga Feyre. “Maafin aku karena lupa sama kamu, maafin aku karena nggak bisa jagain kamu, maafin aku karena bikin kamu ada di posisi kaya gini, dan maafin aku karena … Aku nggak sehat kaya orang lain.”

Dewa semakin sakit hati, ia menangis karena merasa sangat dirinya sangat payah. Ia menangis karena tidak tahu bagaimana ia bisa memperbaiki semua ini. Jika bisa memilih, mungkin Dewa tidak akan pernah memilih untuk lupa dengan istrinya, tidak akan memilih untuk berada di posisi seperti sekarang. Namun, Tuhan berkehendak lain. Takdirnya adalah seperti ini, berada dalam situasi yang membuat hatinya terus dibayang-bayangi oleh rasa bersalah karena terlahir tidak sehat.

“Mulai sekarang aku akan berusaha lebih keras buat lebih sehat, Re. Supaya kamu nggak ngerasain hal kaya gini lagi nanti. Cukup sekali aja, setelah ini jangan lagi. Kalo kejadian lagi, kamu harus lari dari aku ya, Re? Tinggalin aku, jangan sama aku lagi. Karena setelah itu aku nggak akan tahu, ingatanku akan kembali atau tetap hilang sampe aku mati.”

Dewa mengecup kening Feyre lama, meluapka rasa sayang dan sesalnya telah membuat gadisnya terbaring di sana. Ia sadar, tidak ada jalan lain untuknya bisa sembuh. Dokter mengatakan bahwa kemungkinan ia hidup lama sangatlah kecil, bahkan prediksi dokter hidupnya hanya akan bertahan selama beberapa bulan lagi.

Namun, tekad Dewa untuk terus berusaha melakukan segala cara guna memperpanjang masa hidupnya sangatlah kuat. Ia masih ingin melakukan banyak hal yang belum sempat ia lakukan bersama Feyre. Tidak ingin menyesal jika harus meninggalkan dunia dengan keinginan yang tidak terwujudkan.

Hingga pada akhirnya, di malam itu, ketika seorang Feyre Lyssa Damian membuka mata dan mendapati suaminya berada di sana kemudian tersenyum manis kepadanya. Dewantara menemukan kembali keputusan baru dalam hidupnya. Keputusan yang mungkin dapat mewujudkan keinginannya untuk melakukan banyak hal bersama istrinya sebelum ia menutup mata.

Hari ulang tahun merupakan hari yang bahagia menurut sebagian orang, tidak terkecuali menurut laki-laki yang sedang mondar mandir di depan jendela sembari memegang ponselnya itu. Sudah hampir pukul 12 malam dan ia belum mendapati istrinya pulang. Berbagai macam pikiran sudah ada di dalam otaknya ketika gadis itu tidak membalas satupun panggilan Dewa.

Ia ingin berlari keluar dan mencari, namun ia takut kalau ia keluar justru Feyre akan pulang, maka ia memutuskan untuk menunggu gadis itu di dalam apartemen.

“Rere kamu ke mana sih?” batinnya. Sesekali ia mengecek ponselnya untuk melihat apakah ada pesan atau telepon masuk dari Feyre, namun tetap, tidak ada.

Bel apartemen berbunyi, membuat ia dengan segera menoleh dan berpikir siapakah yang datang tengah malam begini? Tidak mungkin jika istrinya yang datang karena sudah pasti gadis itu akan masuk tanpa membunyikan bel. Namun karena penasaran, akhirnya Dewa melangkah menuju pintu untuk melihat siapakah yang ada di sana.

Tepat ketika pintu di buka, ia melihat seorang gadis menggunakan dress berwarna putih dengan sepotong kue di tangannnya, tersenyum lebar ketika melihat laki-laki itu membuka pintu tepat pada bunyi kedua bel ditekan. “Happy birthday!!!!” teriaknya girang dengan sebuah senyuman lebar. Dewa ikut tersenyum, tidak menyangka bahwa Feyre akan memberikannya sebuah kejutan ulang tahun seperti ini. “Kamu dari mana aja sih sayang? Aku nungguin kamu dari tadi tau, kirain kamu kenapa-kenapa.”

Feyre tidak membalas dan hanya tersenyum, ia berjalan masuk ke dalam apartemen, diikuti oleh Dewa yang berjalan di belakangnya. Mereka berdua duduk di kursi yang ada di ruang tengah, kemudian Feyre menyalakan lilin untuk melanjutkan kegiatan perayaan ulang tahun Dewa hari ini.

“Sebelum di tiup coba kamu bikin permohonan dulu kak.”

Kedua tangan Dewa terlipat tanda bahwa ia sedang membuat suatu permohonan, kemudian ketika ia selesai, tangannya mengambil alih kue yang ada di tangan Feyre.

“Giliran kamu yang bikin permohonan coba,” ucap Dewa. Feyre hanya terkekeh kecil tidak menduga bahwa ia juga harus memberikan sebuah permohonan di hari yang bukan ulang tahunnya. Setelah keduanya selesai membuat permohonan Feyre menyanyikan lagu dan menyuruh Dewa untuk meniup lilin, namun lagi-lagi Dewa memotongnya. “Kita tiup bareng-bareng aja,” ucapnya memerintah dan bukan bertanya.

“Kamu mah kenapa semuanya bareng-bareng sih? Kan ini ulang tahun kamu kak bukan aku.” Gadis itu mengerucutkan bibirnya membuat Dewa gemas, ia kemudian menyolek sebuah krim dan mengusapkannya pada hidung Feyre hingga gadis itu menjerit karena terkejut. “Ih kakkkk kan aku udah dandan cantik tadi kenapa di coret-coret pake krim sih?”

“Kamu tetep cantik, Re. Tenang aja aku nggak akan lirik cewek lain kok,” canda Dewa. “Udah ayo tiup bareng-bareng ini keburu abis lilinnya.” Menyadari itu, Feyre akhirnya menuruti apa yang diinginkan Dewa meskipun ia sendiri tidak tahu kenapa Dewa ingin meniup lilin secara bersama.

Keduanya kini tengah bersantai di kursi, mendengarkan musik yang mereka putar sembari saling berpelukan, menyalurkan perasaan dan kehangatan kepada satu sama lain. “Kak, tadi make a wish apa?” tanya Feyre iseng. Dewa tampak tengah berpikir sebelum menjawab.

“Uhmm … rahasia.”

“Nanti kalo aku bilang jadi nggak terkabul,” lanjut Dewa. Feyre memandang laki-laki itu seketika, mengerutkan keningnya tanda tidak yakin.

“Ih emang iya gitu?” Dewa mengangguk.

“Emang kamu mau ngasih tau aku, apa wish kamu?” Anggukan Feyre dengan segera membuat Dewa terkekeh. Sungguh sepertinya gadis itu benar-benar ingin mendengar permohonan yang Dewa ucapkan.

“Tadi aku cuma mohon semoga semua permohonan kamu semua terkabul.” Dewa tertawa, gadis di depannya segera bangkit karena merasa tidak percaya dengan apa yang ia dengarkan.

“Ihhhh kenapa mohonnya gitu???? Yang serius dong harusnya.”

“Lah emang kenapa? Aku kan serius.”

Feyre tidak mengerti dengan jalan pikiran Dewa, apa yang ia maksud dengan serius jika permohonan Dewa hanyalah agar semua permohonan Feyre terkabul? “Terus apa permohonan kamu? Kamu mohon biar dikasih umur yang panjang?” tanya Dewa akhirnya.

Merasa penasaran dengan apa yang gadis itu mohonkan kepada Tuhan. Mereka kemudian diam tanpa suara, Feyre masih belum menjawab pertanyaan Dewa selama beberapa menit. Gadis itu tengah merenungi permohonannya tadi.

“Re?”

“Eh? Apa? Bentar aku lagi inget-inget tadi aku ngomong apa ya?” Gadis itu tertawa, kemudian Dewa menariknya dalam pelukannya kembali.

“Jadi apa? Kamu beneran mohon biar dikasih umur panjang?” bisik Dewa. Namun gadis itu menggeleng.

Tidak, Feyre tidak memohonkan itu kepada Tuhan. Ia memohon sesuatu yang lebih dari itu. “Aku mohon ke Tuhan supaya waktu kita panjang, bukan cuma umur aku yang panjang.”

Dewa terdiam, ia paham dengan maksud permohonan gadis itu. Hati Dewa terasa berdesir seketika, ia tidak menyangka pikiran Feyre sejauh itu.

Alih-alih menggunakan kata ‘umur’, Feyre lebih memilih menggunakan kata ‘waktu’ karena ia tahu mungkin umur hanya akan merujuk kepadanya, sedangkan waktu akan merujuk kepada mereka, Feyre dan Dewa.

“Re?” bisik Dewa lembut, gadis itu hanya berdehem untuk menjawabnya.

“Hm?”

“Tujuan hidup kamu tuh apa?” tanya Dewa. Tangannya menggenggam tangan Feyre, memainkan jari-jarinya pada jari mungil milik gadis itu. Feyre mengambil nafas panjang, memikirkan apa yang menjadi tujuan hidupnya.

“Tujuan hidup aku? Ngasih Ezra hidup yang enak dan nyaman.” Ada perasaan sayang dalam ucapan Feyre. Ia benar-benar memiliki tujuan hidup untuk memberikan hidup enak dan nyaman kepada adiknya.

Baginya, tujuan hidup adalah apa yang seseorang rencanakan untuk kehidupannya pada hari ini, esok, dan seterusnya.

Tujuan hidup seseorang akan selalu berbeda, tergantung apa yang orang itu inginkan dalam menjalani hidupnya. Mungkin bagi sebagian orang, tujuan hidup mereka berupa harta, atau bisa juga berupa hal lain. Tujuan hidup tidak bergantung pada seberapa besar atau kecil hal itu, selama itu dapat membuat seseorang bersemangat untuk hidup, maka itu sudah menjadi suatu tujuan hidup.

“Kenapa emangnya kak?” Dewa menggeleng untuk menjawab, ia tidak ada maksud lain menanyakan itu dan hanya merasa ingin tahu saja. “Kalo kamu, tujuan hidupnya apa?” tanya Feyre balik kepada Dewa.

Dewa berpikir, ia sebenarnya tidak memiliki tujuan hidup yang besar dan tujuan hidupnya hampir sama dengan Feyre, memberikan kehidupan yang enak dan nyaman kepada adiknya, menjaganya, dan memastikan bahwa Atha dapat hidup dengan baik sampai ada orang yang bisa menggantikan Dewa untuk melakukannya.

“Tujuan hidupku dulu, hampir sama kaya kamu. Ngasih Atha hidup yang enak dan nyaman juga, jagain dia, dan mastiin kalo dia akhirnya bisa dapet orang yang ngasih kehidupan itu ke dia, gantiin aku. Tapi kemaren tujuan hidup aku nambah satu, kamu.”

Bagi mereka berdua, tujuan hidup memang bukan selalu tentang hal besar. Sama seperti mereka yang bertujuan untuk memberikan kehidupan yang enak dan nyaman kepada adiknya.

Namun mereka berdua lupa, ketika mereka bertujuan untuk memberikan hidup enak dan nyaman kepada orang lain, mereka lupa akan hidup mereka sendiri. Ini tentang mereka, si anak sulung yang selalu lupa akan dirinya.

Kota Bandung malam ini terlihat sedikit padat dari biasanya, mobil-mobil saling berbicara menggunakan klaksonnya bahkan tepat ketika lampu baru saja berubah menjadi hijau. Malam ini Feyre bersama kedua sahabatnya tengah menuju apartemen Dewa, membawa sebuah kue untuk perayaan hari jadi suaminya.

“Aduh, kalo macet gini sampe tepat waktu nggak ya?” Nando berbicara sembari melihat jam, memastikan bahwa mereka tidak akan terlambat. 

“Sampe-sampe, yakin dulu aja.” Nasya yang berada di kursi penumpang sebelah Nando melirik Feyre yang sedari tadi terdiam di kursi belakang. “Fey? Lo gapapa? Pucet banget muka lo,” tanya Nasya dengan wajah khawatir saat melihat sahabatnya terlihat pucat. Gadis itu juga terlihat menggigit bibirnya dan memegang perutnya seperti seorang yang sedang kesakitan.

“Lo sakit?“ 

Feyre menggeleng pelan. “Nggak, dikit doang kok tar juga ilang.”

Nasya memandang Feyre lagi, memastikan bahwa sahabatnya benat tidak sakit. “Yakin?” Gadis itu mengangguk lagi dan menghembuskan nafas panjang sebelum kemudian tersenyum kepada sahabatnya, memperlihatkan bahwa dirinya baik-baik saja.

Sepuluh menit berlalu, kini mereka tengah berada di dalam lift yang mengantarkan ketiganya pada lantai tempat Feyre dan Dewa tinggal, Feyre memegang sebuah kotak berisi kue ulang tahun Dewa dengan gugup, sedikit tidak yakin dengan apa yang akan ia lakukan.

“Ini langsung masuk aja?” Feyre mengangguk menjawab Nasya, ia tidak bisa membuka ponselnya karena kedua tangannya memegang kue, sedangkan ia yakin bahwa Dewa dan teman-temannya sudah berada di dalam karena ia melihat mobil Abian telah terparkir di bawah sana.

Ia membuka pintu dengan hati-hati, kemudian dari dalam sana terlihat beberapa sosok laki-laki berdiri membelakangi mereka. “Surprise!!” Nasya berteriak untuk mengalihkan perhatian teman-teman Dewa. Mereka semua menoleh, memperhatikan siapa seseorang yang datang di sana.

“Happy birthday to you, happy birthday to you,” Nasya mulai bernyanyi, membuat beberapa orang saling menyenggol lengan dan akhirnya ikut bernyanyi mengikuti gadis itu. Tidak terkecuali Abian.

Di ujung sana, Feyre berjalan maju untuk mendekat ke arah Dewa, membawa kue lengkap dengan lilin yang menyala. Matanya menatap lekat Dewa yang ikut menatapnya. Selesai menyanyikan sebuah lagu, Feyre memandang Dewa dengan sebuah senyuman hangat, membuat Dewa mengerutkan keningnya. “Make a wish dulu kak sebelum tiup lilin.”

Dewa hanya diam dan menurut, kemudian ia meniup lilin tersebut sebelum kemudian mengambil kuenya dari tangan Feyre. Meletakkannya di meja dekat dengannya. Semua orang terdiam, entah bingung dengan suasana ini atau karena bingung harus memberikan reaksi seperti apa. “Selamat ulang tahun kak, semoga - ”

“Lo siapa?”

Feyre mematung seketika, tubuhnya kembali membeku dan hatinya kembali sakit. Kejadian ini datang lagi, dan Feyre tidak pernah menyangka bahwa kejadian ini akan datang tepat di hari ulang tahun Dewa. Semua orang terdiam, tidak ada yang berani berbicara karena takut akan membuat suasana menjadi runyam.

Sebelumnya, mereka telah menyadari keanehan Dewa saat mereka tiba di apartemen dan Dewa mengatakan hal-hal aneh yang menurut mereka sangat tidak masuk akal. Sampai ketika Abian menjelaskan kepada mereka, baru lah mereka tahu apa yang terjadi kepada Dewa. Namun sayang, belum sempat Abian berhasil mengabari Feyre, gadis itu sudah berada di sana terlebih dahulu.

Feyre mundur beberapa langkah, mendekat ke arah Nasya dan Nando yang ikut mematung di tempatnya. 

“Kalian ngapain di apartemen gue? Emang kita pernah kenal?” tanya Dewa dingin. Semua teman-temannya masih terdiam tidak ada yang berani berbicara. Abian yang menyadari suasana itu akhirnya mengambil inisiatif untuk menjelaskan kepada Dewa.

“Wa, itu - ” Feyre menaikkan tangannya memberikan tanda untuk Abian tidak berbicara, laki-laki itu terdiam tepat saat Feyre mengangkat tangannya. Menuruti apa yang gadis itu lakukan. 

“Uhmm, halo kak. Kenalin aku Feyre,” gadis itu berbicara dengan tersenyum, mencoba menyembunyikan perasaan sakit hati dan sedihnya dalam senyuman yang sedang ia paksakan.

“Terus?” Dewa menjawab dengan ketus, persis seperti Dewa dahulu ketika masih kuliah.

Abian hampir frustasi, ia tidak tega melihat Feyre seperti ini, bahkan setelah segala hal yang sudah Feyre siapkan untuk Dewa hari ini. Tapi ia juga tidak bisa menyalahkan Dewa karena laki-laki itu juga tidak mengingat apapun tentang istrinya.

“Ya berhubung hari ini ulang tahun kakak, jadi aku mau nguca - ” Gadis itu tiba-tiba berhenti berbicara, tangannya seketika memegangi perutnya ketika ia merasakan rasa perih yang tidak terkira. Nasya dan Nando segera menghampiri gadis itu, dan tepat ketika gadis itu akan terjatuh, Abian dengan sigap menangkapnya, melihat Dewa yang sangat tidak mungkin melakukan itu saat ini juga.

Semua orang terkejut, Abian dengan segera membopong Feyre yang sudah tidak sadarkan diri. Wajah gadis itu pucat pasi dan tangannya sangat dingin. Ia yakin bahwa gerd-nya itu kambuh lagi. Abian menoleh kepada Dewa, melihat kembali apakah laki-laki itu akan memberikan reaksi lain atau tidak, namun tetap, Dewa hanya menatap mereka datar tanpa ekspresi.

Saat itulah Abian tahu, bahwa sekarang, ialah yang harus membawa gadis itu ke rumah sakit seperti sebelumnya. “Gue cabut dulu ke rumah sakit,” pamit Abian kepada teman-temannya.

Nakula dan semua teman-temannya mengangguk pelan, membiarkan Abian membawa Feyre menuju tempat yang seharusnya sebelum terlambat. Di sisi lain, Dewa tampak bingung dengan kondisi yang ada. Ia benar-benar tidak mengingat apapun tentang gadis itu, bahkan ketika matanya melihat kue yang ada di atas meja, kemudian matanya menangkap foto yang terpajang di dinding, menampilkan dirinya beserta gadis itu, lagi-lagi ia masih tidak bisa mengingatnya. Beberapa menit ia terdiam, mencoba memahami dengan pikirannya yang tersisa. Sampai ketika ia sudah tidak bisa menemukan satupun jawaban, ia pun akhirnya bertanya.

“Dia siapa?” tanya Dewa pada akhirnya, membuat beberapa temannya bingung harus menjawab apa. Mereka tahu bahwa Dewa saat ini pasti tidak bisa mempercayai apapun yang mereka katakan, karena ingatan Dewa tentang gadis itu benar-benar telah hilang. 

“Dia istri lo, Wa.” Nakula berbicara kepada Dewa, kemudian menepuk pundak temannya pelan. Berharap laki-laki itu bisa menerima ucapannya. Istrinya? Dewa berpikir keras, bagaimana ia bisa memiliki istri jika dalam pikirannya, ia masih berada di bangku kuliah, dan lebih jelas lagi ia merasa tidak pernah mengenal gadis itu. 

Kepalanya berdenyut ketika mencoba mengingat semua hal yang terjadi, sekuat tenaga ia mencoba mengingat, namun tidak ada satupun ingatan tentang gadis itu hadir dalam hidupnya. Hingga kemudian, ketika otaknya terlalu dipaksa untuk bekerja, matanya kembali berkunang-kunang dan badannya limbung karena ia merasa lemas tiba-tiba.

“Wa, lo kenapa? Dewa?” Semua orang di sana terlihat panik ketika melihat Dewa tiba-tiba terjatuh sembari memegang kepalanya yang sakit. Badannya dingin dan ia mulai berkeringat. “Wa bangun, lo kenapa?” tanya Nakula lagi.

Namun, belum sempat Dewa menjawab, kegelapan datang menerpa tubuhnya. Pada akhirnya ia kembali tumbang dalam ingatan yang masih menghilang.

Ruangan itu terasa semakin nyaman tatkala dua anak adam itu saling merengkuh dalam buaian perasaan. Mereka berbaring dalam pelukan, menghilangkan jarak yang ada ketika malam semakin datang membawa sebuah harapan yang belum pernah tersampaikan. Dewa menarik Feyre dalam pelukannya, menenggelamkan kepala gadis itu dalam dekapan tubuhnya yang hangat.

“Kamu jadi mau ke panti kan?” bisik Dewa dalam pelukannya, ia hanya merasakan kepala Feyre naik turun tanda bahwa gadis itu menjawab ‘iya’ tanpa suara.

“Kenapa? Kamu nggak jadi bisa izin?” Kepala Feyre mendongak, melihat wajah Dewa yang berada sangat dekat dengannya. Laki-laki itu terlihat tengah terpejam, menikmati keadaan yang seperti sekarang.

“Jadi kok, cuma mau mastiin aja.”

Feyre mengangguk sebelum kepalanya kembali ia daratkan pada dada bidang Dewa, tempat ternyaman ia bersembunyi. Ia merasa sangat bersyukur ketika hatinya berkata bahwa laki-laki itu benar-benar ada dalam dekapannya sekarang.

“Rere,” panggil Dewa lirih dengan mata yang masih terpejam.

“Hmm?” jawab Feyre singkat namun penuh perasaan.

“Kamu tahu nggak, setiap orang itu punya detak jantung yang berbeda-beda, sama kaya wajah kita yang selalu berbeda-beda.” Dewa berbicara, tangannya merengkuh lebih erat tubuh istrinya agar gadis itu dapat merasakan detak jantung Dewa. “Coba dengerin, detak jantung kita sama.”

Feyre mendekap Dewa lebih erat, sampai akhirnya ia bisa merasakan detak jantung Dewa yang berdetak seirama dengan detak jantungnya. “Itu sebabnya kita saling ditakdirkan, karena jantung kita berdetak bersama-sama.”

Gadis itu tersenyum kecil dalam pejaman matanya, nafasnya teratur, dan telinganya masih setia mendengar setiap detak jantung Dewa. Detak jantung yang selalu ingin ia dengar setiap hari.

“Kak,” panggil Feyre kemudian. Laki-laki itu bergumam kecil tanpa melepaskan pelukannya sedetikpun. “Kamu punya harapan nggak?”

Dewa mengernyit sesaat setelah mendengar pertanyaan istrinya, tentu saja, semua orang memiliki harapan dalam hidupnya. Namun ia bingung, harapan seperti apa yang gadis itu maksudkan.

“Harapan kaya gimana maksud kamu, Re?”

“Ya harapan, apa yang kamu inginkan buat ke depannya.” Laki-laki itu melepaskan pelukannya dengan lembut, kemudian menatap mata istrinya dengan penuh kasih sayang.

“Harapan aku cuma mau lihat kamu bahagia setiap hari, apalagi coba?” Feyre tertawa kecil, ia sudah menduga bahwa tentu saja jawaban klise yang akan ia dengarkan. Ia tidak menyalahkan itu karena ia tahu bahwa harapan itu tentu selalu ada dalam kehidupan Dewa, tentu saja kehidupannya juga, ia juga berharap bahwa ia bisa melihat Dewa bahagia setiap hari, terlebih jika bahagia itu berasal darinya.

“Tapi bukan itu yang aku maksud, uhmmm apa ya … maksud aku tuh harapan jangka pendek, kaya semacam wish list gitu deh.” Dewa berpkir sejenak sebelum menjawab, ia merasa bahwa ia tidak memiliki satupun wish list dalam hidupnya kecuali benar-benar membuat Feyre bahagia.

“Kayanya nggak ada sih, emang kamu gimana?” Feyre segera bangkit dari tidurnya membuat Dewa kebingungan sesaat. “Kamu mau ngapain?”

Gadis itu tidak menjawab, ia kemudian beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju meja belajarnya, mengambil sebuah buku yang tentu saja sangat Dewa kenali. Buku diary milik Feyre.

“Aku punya banyak banget wish list, kakak kan udah pernah lihat juga sebelumnya.”

Dewa ikut bangkit dari tidurnya kemudian menyusul Feyre untuk duduk dengan kaki terlipat. Ia melihat gadis itu tersenyum sangat lebar ketika membuka lembaran diary dan berhenti pada sebuah halaman yang berisi coretan-coretan milik gadis itu. “Lihat ini deh kak.”

Tangan kecilnya menunjuk kata demi kata yang tertulis di sana, melihat sudah ada beberapa coretan tanda bahwa harapan itu sudah terkabul. “Banyak juga ya harapan kamu.” Dewa terkekeh kecil dan mengacak rambut Feyre pelan karena gemas dengan istrinya.

“Kamu beneran nggak punya harapan gitu?” tanya Feyre lagi memastikan, ia yakin bahwa sebenarnya Dewa memiliki itu, tidak mungkin seorang manusia tidak memiliki harapan.

Sesederhana apapun itu, harapan tetaplah sebuah harapan yang akan selalu mereka semogakan. “Nggak, atau belum sih.”

Feyre bangkit kembali, mengambil sebuah spidol berwarna merah yang ada di meja belajarnya. “Kalo gitu ayo kita tulis harapan kita berdua di sini. Kita doain sambil kita realisasiin bareng-bareng.” ucap Feyre bersemangat, membuat Dewa hanya bisa mengangguk dan tertawa karenanya.

Gadis itu yakin, ketika dirinya menulis sebuah harapan, maka hidupnya akan terasa lebih bersemangat, karena ada sesuatu yang membuat dirinya bertahan demi mewujudkan suatu harapan itu.

Harapan merupakan suatu keinginan dalam diri seseorang yang mendorong dirinya untuk bisa mencapai tujuannya di masa depan, mendorong seseorang untuk bergerak, dan mendorong seseorang untuk bisa terus bertahan.

“Sejak dulu aku selalu nulis harapan, karena buat aku, harapan itu jadi salah satu motivasi hidup buat aku.” Dewa menoleh memperhatikan Feyre yang tengah berbicara dengan menatapnya. “Aku selalu mikir begini tau kak, ‘ayo feyre kamu harus bisa, masih banyak harapan kamu yang belum terwujud, jadi jangan sampe nyerah ya cuma karena dunia sedang gak baik sama kamu.’ … gitu.”

Feyre mengucapkan dengan tersenyum, membayangkan seberapa berat hidupnya dahulu, membayangkan ketika dirinya menjadi satu-satunya orang yang bisa menyemangati dirinya ketika tidak ada orang lain yang ada di sisinya. “Dulu aku cuma hidup sendirian, tapi aku selalu ngerasa aku gak sendirian karena aku punya harapan.”

Dewa masih menatap gadis itu dengan penuh kasih sayang, tidak memotong sedikitpun ucapan yang keluar dari mulut istrinya.

“Aku ngerasa, ada aku yang lain di amsa depan, yang lagi liat aku di masa sekarang. Ngasih aku semangat buat bisa ketemu sama dia di masa depan. Dan ternyata bener, sekarang aku ngerasain itu.” Feyre tersenyum di setiap ucapannya, matanya memancarkan sebuah kesungguhan. Dewa tahu itu, gadisnya telah bertahan sejauh ini karena ‘harapan’ nya, karena ‘mimpi’ nya.

“Aku nggak pernah nyangka kalo aku bisa ada di titik ini sekarang karena — ” Ucapan itu terputus, tepat ketika Dewa merengkuh kembali gadis itu dalam pelukannya.

“Kamu hebat, Re. Hebat banget. Aku bangga sama kamu,” bisik Dewa, tangannya mengelus kepala Feyre dengan lembut, menyalurkan semua perasaannya kepada gadis itu. “Makasih ya, karena nggak pernah menyerah.”

Feyre melingkarkan tangannya pada tubuh Dewa, ia tersenyum, merasakan hangatnya pelukan Dewa pada tubuh mungilnya. Ia juga merasa bangga kepada dirinya sendiri karena telah bertahan sejauh ini. Tidak menyangka bahwa harapan-harapan kecilnya dapat membawa dirinya pada titik paling bahagi dalam hidupnya. “Makasih juga kak, karena nggak pernah menyerah sampe detik ini.”

Malam itu, mereka berbagi setiap harapan yang mereka punya. Menuliskannya pada selembar kertas yang akan selalu mereka bawa kemana-mana. Menjadikan coretan itu sebuah sumber kekuatan yang dapat membawa mereka menuju masa depan yang lebih bahagia.

Harapan terbesar mereka, terus bersama selamanya.

Banyak orang yang bilang bahwa tahun baru adalah waktu yang baik untuk memulai hidup baru, meninggalkan segala kesedihan dan kepahitan hidup yang sempat hadir dan menggantinya dengan kebahagiaan. Mungkin hal ini akan menjadi hal yang dapat menggambarkan kehidupan mereka.

Setelah hampir tujuh tahun sendiri, Benjamin Nataprawira akhirnya merayakan tahun baru bersama keluarganya lagi. Keluarga yang selama ini seolah hilang ditelan suatu keegoisan dalam dirinya. Matanya menatap sendu anak kembarnya, hatinya terasa seperti diiris ketika mengingat kejadian-kejadian yang membuat ia menyesal selama bertahun-tahun lamanya, kejadian yang meninggalkan luka untuk istri serta kedua anak kembarnya.

Penyesalan demi penyesalan selalu menghantui pikirannya, merasa bersalah akan apa yang telah ia perbuat untuk memuaskan pikiran dan egonya sebagai orang tua. Menurutnya sebagai orang tua, pasti akan selalu ingin melihat anak-anaknya mendapatkan apa yang terbaik bagi mereka, mengusahaan segala hal agar keinginan mereka terwujud, memberikan segala hal kepada mereka, ya, orang tua memang begitu.

Tapi satu hal yang sering terlewatkan oleh mereka.

Mereka terkadang lupa, bahwa apa yang terbaik bagi seseorang tidak bisa dinilai dari sudut pandang orang lain dan hanya orang yang melakukannya yang bisa menilai apakah itu akan menjadi yang terbaik untuk mereka atau tidak. Mereka selalu berpikir bahwa hidup lebih lama akan membuat mereka seakan lebih tau akan cara kerja dunia, mereka memberikan segala hal yang menurut mereka baik untuk anaknya, namun tidak pernah bertanya atau bahkan membiarkan anak-anaknya memilih sendiri apa yang sesungguhnya mereka inginkan dan butuhkan.

Seringkali orang tua merasa bahwa mereka adalah orang yang paling tau tentang apapun, di saat kenyataannya mereka terkadang menjadi orang yang paling tidak tahu tentang apapun dari anaknya. Hingga pada akhirnya, anak-anak mereka menjadi orang pertama yang membenci mereka karena merasa bahwa hidup mereka seakan ditekan oleh segala hal yang orang tuanya inginkan.

Wira selalu berpikir bahwa kebaikan Dewa dan Atha adalah semua hal yang ia pilihkan, semua hal yang ia pikirkan akan menjadi terbaik untuk mereka. Tapi Wira tidak tahu bahwa segala hal yang ia pikir akan menjadi terbaik untuk Dewa dan Atha adalah segala hal yang paling mereka benci di dunia.

Lantas ketika pada akhirnya Wira mengetahui semua tentang itu, tentang alasan kedua anaknya membenci dirinya, dan tentang apa yang selalu membuat dirinya menyesal selama ini, Wira berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi orang yang lebih baik di kemudian hari. Untuk dirinya, untuk anaknya, untuk menantunya, dan untuk semua orang di sekitarnya.

“Selamat tahun baru!!!!!!”

Suara teriakan riang dari Feyre membuat semua orang tertawa ringan, menyadari bahwa tahun ini mereka telah melakukan banyak hal berat yang pada akhirnya bisa mereka lewati hingga mencapai titik ini.

“Selamat tahun baru Kak Dewa,” bisik Feyre kepada Dewa yang memeluknya erat dari belakang. Mereka sedang berada di Villa keluarga, merayakan pergantian malam tahun baru dengan suasana baru dan haru, tentu saja.

“Selamat tahun baru, sayang,” balas Dewa dengan membisikkan kalimat itu rendah tepat di telinga Feyre, membuat gadis itu bergidik geli merasakan hembusan nafas Dewa.

“Selamat tahun baru semuanya, maafkan papa belum bisa jadi orang tua yang baik untuk kalian.” Ucapan singkat itu, seakan menjadi mantra yang membuat semua orang merasa terharu akan momen ini. Momen yang tidak akan pernah mereka lupakan nantinya. Bukan hanya bagi Dewa, Atha, dan Wira, namun juga Feyre, Ezra, dan Mahesa.

“Selamat tahun baru Pa, maaf juga Atha belum bisa jadi anak yang baik untuk papa. Maaf untuk semua kesalahan yang pernah Atha lakukan, dan maaf atas semu kesalahpahaman yang pernah terjadi.”

Wira membeku mendengar itu, seumur hidupnya ia tidak pernah mendengar ucapan seperti ini keluar dari mulut anak perempuannya, ia juga tidak pernah bermimpi bahwa ia akan berdiri di sini bersama mereka semua. Bagi Wira, kehadiran Mahesa dan Feyre seakan menjadi suatu keajaiban dalam hidupnya. Bukan hanya untuk kedua anaknya, mereka juga membuat Wira tersadar akan banyak hal yang selama ini tidak pernah ia sadari.

Kebahagiaan kedua anaknya. Momen haru tersebut berlanjut ketika kata demi kata terlontar dari masing-masing mereka. Saling meminta maaf dan berjanji akan menjadi orang yang terbaik di kemudian hari.

Sudah hampir satu jam gadis ini bergelut dengan pakaian di dalam lemarinya. Memilah-milah jenis pakaian apa yang harus ia kenakan pada hari ini. Ia tidak ingin salah kostum karena menggunakan pakaian formal, namun tidak ingin terlihat terlalu santai juga jika menggunakan celana jeans biasa. Janji temunya dengan Dewa 30 menit lagi dan ia masih belum menemukan satu potong pakaian yang menjadi pilihannya.

Lama ia bergelut dengan pikirannya, matanya menatap sebuah dress berwarna cokelat yang menggantung di ujung lemarinya. Tangannya dengan cepat mengambil dress tersebut dan mencoba mencari pakaian lain yang ia rasa cocok menemani dress tersebut. Pilihannya kemudian jatuh kepada jaket berwarna putih, ia berpikir mungkin memakai dress dan jaket akan terlihat cukup casual namun tidak terlalu santai juga.

Setelah lama bersiap diri, akhirnya ia berjalan keluar saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 18.54 WIB. Feyre tahu, mungkin saja Dewa sudah berada di bawah karena laki-laki itu pasti akan lebih memilih untuk datang lebih awal daripada terlambat.

Benar saja, mobil Pajero hitam sudah terparkir rapi di depan pagar kos Feyre, lengkap dengan laki-laki yang memakai jaket putih juga, persis seperti apa yang Feyre kenakan.

“Lahh? Kok sama?” Dewa melirik jaket Feyre dan jaketnya bergantian, menyadari bahwa mereka terlihat seperti sepasang kekasih yang berencana menggunakan pakaian couple padahal kenyataannya mereka tidak sengaja.

Tidak menunggu lama untuk keduanya kemudian masuk ke dalam mobil dan bergegas menuju lokasi yang sudah Dewa siapkan sejak semalam bersama Abian. Laki-laki itu dengan sangat bersemangat membantu Dewa menyiapkan segala hal yang akan digunakan pada hari ini. Feyre memandang bangunan tinggi berwarna putih itu dengan sangat takjub. Eksteriornya terlihat sangat minimalis dengan kesan segar karena banyak tumbuh-tumbuhan serta bunga yang menghiasi halamannya.

Tidak hanya eksteriornya yang bagus, interiornya juga terlihat sangat menawan, memberikan kesan sebuah tempat yang akan menyambut orang dengan hangat sekaligus perasaan bahagia. Mereka berjalan ke luar untuk menuju 'tempat' yang telah Dewa persiapkan.

Tempat di ujung halaman yang sudah dihiasi oleh lampu-lampu serta bangku yang berisi lilin dan bunga di atasnya. Jantung Feyre berdegup kencang, merasakan nuansa bahagia yang tempat ini berikan padanya. Dewa menarik sebuah kursi dan mempersilahkan Feyre untuk duduk di sana. Laki-laki itu kemudian mengambil tempat di seberang Feyre dan mulai melambaikan tangan kepada pelayan di sana.

“Lo mau makan apa?” tanya Dewa. Mata Feyre masih menatap lekat buku menu di depannya, bergantian dari kanan ke kiri untuk menemukan makanan yang ia kenali.

“Lo makan apa kak?” Bukannya menjawab ia justru balik bertanya kepada Dewa karena merasa bingung harus memesan apa.

“Chicken Mushroom Casserole. Lo mau juga?”

“Boleh deh. Samain aja semuanya.” Dewa kemudian mengangguk dan mengucapkan pesanan mereka kepada pelayan di sebelahnya.

Malam ini, Dewa akan mengatakan semuanya kepada Feyre, tentang perasaannya. Dewa telah berpikir sepanjang hari, mencoba mengenali perasaannya, apakah yang ia rasakan memang benar-benar perasaan jatuh cinta, atau hanya sekedar perasaan peduli seperti yang ia pikirkan selama ini. Namun, beruntung Dewa memiliki sahabat seperti Abian yang sangat mengerti tentang suatu hubungan, sehingga kini, akhirnya ia bisa menyadari semua perasaannya terhadap gadis itu dan ingin segera mengatakannya sebelum terlambat.

Dahulu, ia berpikir bahwa sebuah ketidakmungkinan ia akan jatuh cinta hanya dalam waktu 30 hari, dengan seorang stranger yang baru saja ia kenal.

Kenyataannya, ketika waktu menunjukkan hari ini adalah hari ke-25 sejak mereka memulai perjanjian itu, Dewa benar-benar sudah jatuh cinta kepadanya.

“Fey.” Suara pelan Dewa terdengar di telinga Feyre yang sedang mendengarkan alunan musik di tempat itu.

“Kenapa kak?”

Dewa bingung, bagaimana ia memulai semua percakapannya. Tidak mungkin dengan tiba-tiba ia mengatakan ia telah jatuh cinta kepada gadis itu tanpa bridging sedikitpun. Ketika otaknya sibuk dengan apa yang harus ia katakan, matanya mendadak berkunang-kunang dan kepalanya sedikit pusing.

“Sial, jangan sekarang, plis,” pinta Dewa dalam hati.

Ia merasa bahwa tubuhnya mendadak menjadi tidak seimbang sehingga ia harus berpegang pada meja dan menutup matanya sejenak untuk membuat dirinya bisa normal kembali.

“Kak? Lo gak papa?” Menyadari hal tersebut, Feyre bertanya dengan nada khawatir. Takut sesuatu telah terjadi kepada Dewa. Setelah berhasil menetralkan kembali badannya, Dewa membuka mata dan melihat raut wajah Feyre yang berubah menjadi khawatir.

“Gak papa, tadi kaya pusing sebentar. Kurang tidur kayanya.”

Pada saat seperti ini, satu-satunya harapan Dewa adalah ia tidak bertemu dengan gejala itu lagi. Gejala yang sering menyerang Dewa secara tiba-tiba sampai nembuat dirinya tidak bisa bangun dari tempatnya seperti dahulu, saat Feyre menemukan dirinya tergeletak di lantai apartemen seorang diri tanpa bisa beranjak.

Beberapa menit kemudian pelayan datang membawa pesanan mereka, Dewa merasa bersyukur karena setelah makanan datang, suasana kembali seperti semula dengan Feyre yang sudah tidak menyadari adanya perubahan dalam diri Dewa. Sepuluh menit mereka makan dalam diam, menikmati satu persatu potongan makanan yang tersajikan dengan sangat indah dan lezat.

“Gimana makanannya, enak gak?” Feyre mengangguk antusias. Mulutnya masih mengunyah suapan terakhir, kemudian menelannya sebelum ia menjawab Dewa dengan sebuah suara.

“Enak banget, apa karena gue laper ya kak?”

Tawa Dewa datang bersamaan dengan Feyre yang tiba-tiba bersendawa dengan lumayan keras. “KAAAKKK MAAFIN, GAK SENGAJA.”

“Kenyang banget ya pasti?” Gadis itu mengangguk lagi.

Memang benar bahwa ia merasa sangat kenyang, selain karena masakan di sini memang terasa sangat lezat, ia juga sudah menghabiskan seluruh minumannya sehingga ruang yang tersisa dalam perutnya hanyalah udara. “Syukur deh kalo gitu, gak sia-sia kan makanannya berarti.”

“Semua makanan mah gak pernah sia-sia kak.”

Baru saja Dewa ingin menanggapi serta memulai kalimatnya yang telah ia susun sejak tadi, tiba-tiba ponsel Feyre berbunyi dan fokus mereka yang tadinya ada pada satu sama lain, kini beralih menuju suara tersebut. Dewa akhirnya menutup kembali mulutnya yang sudah hampir mengucapkan sepatah kata namun tidak sempat.

“Bentar ya kak, gue angkat dulu, dari Ezra.”

Laki-laki itu mengangguk, membiarkan Feyre bangkit untuk mengangkat telfonnya dan menjauh dari meja mereka. Nafas Dewa berhembus panjang, ia mulai mengatur detak jantungnya yang sudah mulai tidak teratur dan tangannya yang sudah mulai dingin.

Namun, lagi-lagi hal itu datang lagi. Kali ini Dewa tiba-tiba merasakan pusing yang amat sangat terasa sampai dirinya harus memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Ia merasa gejala yang lebih besar telah datang, gejala yang sejak kemarin ia takutkan akan muncul di saat yang tidak tepat.

Benar saja, seolah suatu yang buruk selalu datang di saat yang tidak tepat, hal ini pun sama. Dewa bangkit dari duduknya dengan sedikit sempoyongan, matanya ikut berkunang-kunang kembali dan rasanya seperti ia akan pingsan.

Sebelum Feyre sempat menoleh, dengan segera ia berjalan cepat menuju kamar mandi dan mengunci dirinya di dalam sana. Meninggalkan Feyre yang masih berada dalam panggilan dengan adiknya.

Tubuh Dewa mulai berkeringat, kepalanya pusing seperti ingin pecah, dan matanya terpejam karena menahan rasa sakit yang amat sangat serta datang dengan tiba-tiba itu.

Menyadari bahwa ia meninggalkan seorang gadis di luar sana, tangannya dengan bersusah payah merogoh ponsel dalam saku celananya, berusaha mencari nama seseorang yang ia rasa bisa membantunya sekarang.

Abian.

Tidak berhenti di sana, Dewa tidak hanya merasa pusing dan berkunang-kunang, kini ia merasakan mual yang amat sangat terasa. Jemarinya dengan segera memencet tombol telfon saat matanya menemukan nama yang ia cari, menunggu seseorang menjawabnya dari seberang sana. “Halo wa, gimana?”

“Dateng ke sini bi ... tolong ... jagain ... Feyre ... sebentar.” Suara Dewa terbata-bata karena menahan mual dan pusing di saat yang bersamaan. Abian yang mendengar itu dengan bingung dan sedikit panik karena merasa ada yang tidak beres dengan Dewa, segera melangkahkan kaki menuju mobil dan melajukannya ke tempat Dewa berada.

Beruntung jalanan Kota Bandung tidak begitu ramai, sehingga Abian dapat dengan segera mendaratkan dirinya di kursi tempat ini, berhadapan dengan gadis yang sering Dewa ceritakan.

“Maaf? Anda siapa ya?”

Sejujurnya Abian juga sedang kebingungan dengan situasi ini, ia tidak menemukan Dewa di mana-mana, namun ia menemukan mobil laki-laki itu masih terparkir di depan sana, tanda bahwa Dewa pasti mash berada di sini. Tapi di mana laki-laki itu sekarang?

“Gue ... temennya Dewa.” Dahi Feyre berkerut, ia bingung mengapa bukan Dewa yang ada di depannya melainkan laki-laki yang menyebut dirinya sebagai 'temannya Dewa' ini?

“Kak Dewa ke mana?” Sial. Abian bahkan tidak tahu juga di mana laki-laki itu berada.

“Uhm ... dia lagi ada urusan sebentar, jadi ... gue di suruh nemenin lo dulu sambil nunggu dia.”

Feyre tidak mengerti, mengapa laki-laki itu meninggalkannya di sini dengan orang asing yang bahkan Feyre sendiri tidak bisa 100% mempercayai bahwa ia adalah teman Dewa. Sejenak gadis itu berpikir, mungkin laki-laki di depannya ini yang kemarin diceritakan oleh Dewa, orang yang memberitahu bahwa Feyre sedang mengalami hal buruk di tempat kerjanya kemarin.

Abian dan Feyre hanya diam selama beberapa menit, dan ketika Abian menerima sebuah pesan lagi dari Dewa. la benar-benar merasa ada yang janggal dari laki-laki itu.

Dewa berjalan gusar, setelah turun dari mobil yang ia parkir di sembarang tempat baru saja. Pikirannya fokus kepada Feyre yang berada di dalam sana. Entah gadis itu sudah melakukan hal apa, sampai-sampai ia harus mendapatkan sebuah tamparan—menurut Abian di percakapan Whatsapp mereka tadi—seperti itu.

Dewa berjalan masuk dengan cepat, melangkahkan kaki dengan lebar untuk dapat segera sampai di tempat kejadian. Melihat Abian yang tengah berdiri di ambang pintu, kaki Dewa melangkah dengan semakin cepat.

“Di mana dia?”

“Tuh di arah jam 11.” Pandangan keduanya mengarah ke sana, ke tempat banyak orang mengerumuni seseorang.

“Saya ga mau tau ya! Pokoknya dia harus di pecat dari sini.” Suara wanita paruh baya—yang Abian maksud telah menampar Feyre tadi—masuk ke telinga Dewa dengan segera. Matanya menangkap sosok gadis yang ia cari, sedang menunduk, dengan tubuh yang sudah basah terkena air atau mungkin minuman lain, karena warna dan bentuknya yang menyerupai jus alpukat berada di atas rambutnya.

Perasaan Dewa tiba-tiba menjadi penuh dengan amarah, melihat seseorang memperlakukan Feyre seperti itu, meskipun ia sendiri tidak tahu separah apa kesalahan yang Feyre buat sampai ia diperlakukan seperti itu.

“Panggil manajernya kesini, cepat, saya mau ngom—Eh, siapa kamu?” tanya ibu tersebut saat melihat Dewa dengan tiba-tiba memberikan jaketnya kepada Feyre. Melewati orang-orang yang mengerumuninya sejak tadi, tanpa berani membantu sedikitpun.

“Lo gak papa?” tanya Dewa langsung, tidak memedulikan ibu-ibu yang sedang menatapnya. Feyre mengangguk pelan. Tubuhnya bergetar, yang Dewa yakini, gadis ini pasti sedang merasa ketakutan, dan malu, tentu saja. “Gue anterin balik sekarang ya.” Kalimat Dewa lebih seperti ajakan, bukan pertanyaan. Feyre lantas segera menggeleng.

“Ga usah .. kak ... gue masih kerja,” balas Feyre sangat pelan dan sedikit bergetar. Dewa tahu itu, Feyre pasti akan menolaknya. Sebenarnya Dewa cukup dibuat kebingungan dengan gadis ini, ia bukan tipe orang yang dengan mudah diam saja saat ada orang lain memperlakukannya dengan tidak baik, namun entah kenapa, hari ini seakan dia hanya menerima apapun itu tanpa penolakan sedikitpun.

“Hey anak muda! Kamu denger gak sih saya ngomong apa?” Dewa akhirnya menoleh, mulai merasa muak dengan wanita paruh baya di depannya yang berlagak sangat sombong dan arogan.

“Apa yang dia lakukan sampai ibu merasa harus untuk melakukan hal seperti ini?”

“Dia gak sopan sama saya! Dasar pelayan gak tahu diri.” Feyre masih menunduk, tidak mampu untuk mendongak sedikitpun walau hanya satu detik.

“Di mana letak tidak sopannya, bu? Coba ibu jelaskan dengan baik agar kami semua bisa mengerti.” Dewa kembali bertanya. Sungguh sebenarnya ia tidak ingin memperbesar masalah ini, namun, melihat kembali Feyre yang berada di kondisi seperti itu, membuat hati Dewa menjadi semakin tidak karuan.

“Saya tadi minta refill minum tapi dia gak mau. Terus saya minta ganti jus saya yang udah gak dingin biar dingin lagi, tapi dia malah sok nasehatin saya. Saya ini Food Vlogger, saya bisa kasih rating dan ulasan jelek di web kalo saya mau. Kalian mau restoran terkenal kaya gini dapet ulasan jelek hah?” Dewa menghembuskan nafas kasar, sungguh ia tidak menyangka hanya karena masalah sepele yang sudah jelas kesalahan wanita tersebut, Feyre harus menerima hal yang sangat tidak mengenakkan ini.

“Ya sudah silahkan saja, kalau berani. Saya juga bisa membuat ibu tidak bisa menulis ulasan lagi setelah ini.” Dewa tersenyum miring. Kening wanita paruh baya itu berkerut, ia tidak paham dengan ucapan Dewa baru saja. Memangnya siapa laki-laki itu sehingga ikut campur dengan urusannya dan mengancam membuat ia tidak bisa menulis ulasan lagi?

“Memangnya kamu siapa sih, dateng-dateng ikut campur urusan orang? Panggil saja manajernya kesini, saya mau ngomong sama dia, bukan sama kamu.”

Semua orang di sana terdiam, tidak ada yang berani berbicara untuk menanggapi wanita itu. Sekalipun Abian yang sedari tadi berdiri di sana, mengamati apa yang akan Dewa lakukan untuk mengatasi kekacauan ini.

“Saya pemilik tempat ini.” Feyre mendongak seketika, tubuhnya membeku sesaat setelah mendengar ucapan Dewa. Ia benar-benar tidak mengetahui bahwa tempat terkenal ini adalah milik seseorang yang sangat ia kenal, Dewa. Sungguh, ia hanya berpikir bahwa selama ini Dewa adalah pekerja kantoran biasa seperti orang lain pada umumnya, melupakan sebuah fakta bahwa Dewa adalah keturunan pemilik konsultan pertambangan terkenal yang memiliki banyak usaha lain selain usaha tersebut.

“HAHAHA, bagus deh kalo gitu. Saya kasih tau ya, pegawai kamu ini mending di pecat saja, daripada membuat orang seperti saya marah suatu saat kalo kesini lagi.”

Dewa tersenyum. “Oh ibu mau datang lagi nanti?”

“Tentu saja, restoran ini terkenal dan makanannya enak. Hanya PEGAWAI RENDAHANNYA saja yang membuat suasana menjadi tidak nyaman,” kata wanita itu lagi dengan menekan kata pegawai rendahannya' yang dapat membuat emosi Dewa semakin terpancing.

Senyum Dewa semakin lebar, ia memajukan badannya untuk dapat mendekat ke arah wanita tersebut, dan kemudian berbisik pelan. “Saya pastikan seluruh pegawai saya tidak menerima orang seperti Anda lagi di sini. Satu lagi, saya punya CCTV yang bisa dengan segera mengungkap tingkah laku Anda terhadap pacar saya—yang Anda sebut dengan pegawai rendahan itu—kepada media, dan dengan sekejap, karir Anda di dunia Food Vlogger akan terancam. Sekarang pilihan Anda ada dua, memilih untuk meneruskan ini dan membuat karir Anda hancur, atau memilih pergi dengan tenang dan tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi di restoran ini? Your choice, saya sudah mulai habis kesabaran.”

Tanpa menunggu lagi, wanita itu berbalik untuk mengambil tas dan barang-barangnya, kemudian pergi meninggalkan restoran ini dengan amarah yang tersisa.

Dewa mengisyaratkan kepada semua orang untuk kembali pada aktivitasnya masing-masing. Meninggalkan Feyre dan Dewa berdua di ujung ruangan.

“Ga usah nolak lagi, gue anterin lo pulang pokoknya, sekarang.”

Tanpa menunggu jawaban, Dewa menggandeng tangan Feyre yang masih menunduk untuk dapat barjalan mengikutinya. Di dalam mobil, mereka berdua hanya diam tanpa ada satupun yang berbicara, hanya ada suara dari radio Prambors yang menyelamatkan mereka dari canggungnya keadaan.

“Kak.” Feyre akhirnya mengeluarkan suara, setelah kurang lebih lima menit mereka berada di dalam mobil dalam keheningan yang dalam.

“Gue ga bakal nanya apapun.”

“Makasih.”

Feyre bersyukur, amat sangat bersyukur, karena saat ini Dewa tidak menghujaninya berbagai pertanyaan yang sudah pasti ada di dalam kepala laki-laki itu. Pasalnya, beberapa waktu yang lalu Feyre membuat janji kepada Dewa untuk tidak menambah kerja part- timenya karena harus fokus dengan kuliahnya.

Selain itu, Dewa juga tidak ingin melihat Feyre memforsir dirinya dengan sekuat tenaga untuk kuliah dan bekerja di waktu yang bersamaan. Namun, hari ini Feyre mengingkarinya, bahkan ia tidak tahu bahwa tempat yang ia datangi untuk melaksanakan kerja part-time adalah tempat milik laki-laki itu.

Gadis itu melangkah keluar dengan kondisi yang sudah cukup tenang, dari sebelumnya. Jaket Dewa masih tersampir di bahunya untuk menutupi pakaian putihnya yang basah terkena tumpahan minuman tadi.

“Maaf ya, Fey.”

Perkataan maaf dari Dewa membuat Feyre bingung. Feyre merasa laki-laki itu tidak berbuat salah sedikitpun kepadanya, justru ia yang harusnya berterima kasih karena berkat laki-laki itu, ia terbebas dari wanita aneh di restoran tadi.

“Maaf buat?” Dewa menatap manik mata Feyre lekat, ada perasaan tulus di dalam mata Dewa yang dapat Feyre rasakan. Gadis itu tahu, bahwa Dewa benar-benar sedang meminta maaf dengan sungguh-sungguh. Namun, yang gadis itu tidak pahami adalah, untuk apa?

“Maaf karena gue dateng terlambat. Maaf karena gue gak bisa lindungin lo dari mereka.”

Jika waktu bisa berputar kembali, mungkin Dewa akan memutarnya untuk mencegah semua hal ini terjadi.

Terlebih lagi, mencegah semua hal buruk yang harus menimpa seseorang yang sangat ia khawatirkan saat ini. Dan ketika Dewa selesai berbicara, Feyre tersenyum untuk membalasnya.

“Makasih ya, kak. Makasih, karena lo udah hadir di dunia.”

Gadis itu masih menatap manik mata Dewa lekat, begitupun sebaliknya. Senyuman yang ada di wajah Feyre mulai menular ke wajah Dewa, hingga tak sadar, laki-laki itu kini juga ikut tersenyum bersamanya.

“Makasih juga, Fey, udah hadir di dunia.”

Bagi mereka yang tak pernah merasakannya, sungguh sangat bahagia ketika pertama kali mendengar kalimat tersebut. Baginya, perasaan sayang dan cinta bukan selalu tentang 'aku mencintaimu' atau 'aku menyayangimu', tapi lebih simpel dari itu. Ini tentang mereka, yang selalu bersyukur saat keduanya sama-sama hadir di dunia. Siapapun yang ada di sana, pasti bisa merasakannya.

Kedua anak adam tersebut akhirnya telah saling jatuh cinta.