namericoffee_

Aroma khas bangunan ini menyeruak masuk ke indera penciuman Dewa, kakinya melangkah lebar dan cepat untuk dapat dengan segera menemui seseorang yang sangat ingin ia temui sekarang. Satu jam yang lalu, laki-laki itu mendarat bersama ratusan orang lainnya di Bandara Seokarno Hatta, kemudian melaksanakan kewajibannya untuk mengantarkan pulang gadis yang bersamanya, sampai akhirnya ia pun bisa memenuhi keinginannya untuk bertemu dengan seseorang setelahnya.

Seseorang yang Dewa pikirkan sejak beberapa waktu yang lalu, karena memegang sebuah kunci hidup dari Dewa.

“Jadi ... ada apa, Dewa? Baru saja dua hari yang lalu kamu mengatakan kalau jadwal ditunda menjadi minggu depan, tapi hari ini kamu sudah ada di sini? Apakah ada sesuatu yang kamu rasakan lagi?” ujar laki-laki berumur 60-an dengan jas putih dan stetoskop yang menggantung di lehernya itu.

“Dok ... Saya sudah memikirkan hal ini berulang kali, tapi ... saya benar-benar masih tidak bisa percaya dengan ini semua.” Dewa menyandarkan punggungnya pelan, menatap lekat sosok di depannya, kemudian menghembuskan nafas panjang sebelum melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda. Sebenarnya ia hampir tidak bisa melanjutkan kalimatnya, saat memikirkan seberapa besar rasa sakit yang ia rasakan ketika mengingat kenyataan itu. “Ini semua tidak masuk akal bagi saya, dok. Coba Anda pikirkan lagi, mungkin saja Anda salah ketika mendiagnosis saya beberapa waktu yang lalu.”

Dewa tertawa miris, mengingat beberapa minggu yang lalu ia menerima sebuah pernyataan yang membuat seluruh hidupnya tiba-tiba berhenti.

“Dewa, kalau kamu ingin mengganti dokter dan-”

“Dok, berapapun akan saya bayar, tapi tolong, sembuhkan penyakit ini.” Dewa memohon, ia benar-benar putus asa. Hidupnya benar-benar sudah hampa, sejak ia mendengar diagnosis yang dokter tersebut katakan hampir satu bulan yang lalu, bahwa hidupnya mungkin tidak akan bertahan lama.

Namun, lagi-lagi dokter pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka bukan tuhan yang bisa memberikan kehidupan kepada manusia. Mereka hanya perantara tangan tuhan untuk mengenali apa yang tuhan titipkan kepada pasien-pasiennya.

“Saya tidak mengerti, selama ini saya merasa sangat sehat, saya rajin berolahraga, saya tidak pernah lagi mengonsumsi alkohol, rokok, vape, atau apapun itu yang dapat memicu penyakit dalam diri saya, saya juga selalu makan dan tidur dengan teratur, dok. Bagaimana bisa tiba-tiba dokter mengatakan saya terkena penyakit dan hidup saya tidak akan bertahan lama?” Dokter itu hanya terdiam. Bukan karena ia tidak bisa membalas apapun ucapan Dewa, tapi justru karena ia mengerti. Emosi Dewa sedang tidak baik-baik saja, ia hanya ingin melihat Dewa mengeluarkan semua emosinya yang selama ini ia pendam, setelah mendengar kabar dari dokter beberapa waktu yang lalu.

Dewa bahkan sempat tersenyum, sebelum meninggalkan ruangan dokter pada hari itu, hari di mana ia akhirnya menangis sendirian di sebuah bioskop karena tidak ingin siapapun mendengarnya. Tangisan pilu yang tidak pernah ia keluarkan sepanjang hidupnya.

“Bagaimana jika saya mengatakan bahwa saya tidak ingin mati, dok? BAGAIMANA JIKA SAYA MENOLAK UNTUK MATI? Anda bukan Tuhan yang dapat mengetahui seberapa lama umur saya. Anda bahkan tidak memiliki kemampuan untuk melihat sebebrapa lama hidup saya, kecuali dengan ilmu yang Anda yakini benar itu, padahal kenyataannya itu tidak selalu benar.” Dewa setengah berteriak meluapkan emosinya. “Jadi ... apapun yang terjadi, saya akan dan tetap berpegang pada pendirian saya ... untuk berusaha tetap hidup di dunia.” Dewa mengakhiri dengan nada yang mulai menurun.

Dewa kemudian bangkit dari duduknya, tanpa menunggu jawaban dari sang dokter. Pikirannya kacau, ia sedang tidak ingin mendengar suara siapapun di dunia ini. Suara dalam dirinya sudah cukup membuat Dewa merasa gila sesaat, suara yang terus menghantui Dewa selama berhari-hari dan mengacaukan semua ekspetasi Dewa yang selama ini ia bangun untuk menyusun masa depannya.

Dewa ingin menangis, lagi. Hari masih sore dan tidak mungkin ia menangis di bioskop seperti saat itu. Dan ketika Dewa akhirnya memarkirkan mobilnya di suatu tempat yang ia sendiri tidak menyadari otaknya membawa ia kesana, jantungnya menyadari itu. Jantungnya berdegup sangat kencang, melihat gadis yang 30 menit lalu ia tinggalkan, sedang berdiri di depan pagar menggunakan sebuah hoodie hitam yang menutupi separuh tubuhnya. Menatap ia dari luar sana dengan tatapan bertanya.

Pada akhirnya, sekalipun mulut Dewa mengatakan ia belum jatuh cinta pada gadis itu, hatinya mengatakan hal lain. Gadis yang membuat Dewa tiba-tiba berpikir untuk ingin terus bertahan di dunia, bersamanya.

“Kak, lo harus panjang umur ya biar bisa gue ajak jalan-jalan ke Turki naik balon udara, kita lihat lebih dekat, langit yang selama ini lo suka.” Ucapan gadis itu tepat saat mereka berpisah 30 menit yang lalu, ucapan yang menuntun Dewa pergi ke tempat yang sangat ia hindari sebelumnya, dan ucapan yang membuat Dewa terus mengingat gadis itu lagi dan lagi, tanpa jeda.

Pertama kalinya dalam hidup Dewa, ia ingin melawan takdir, untuk seseorang.

Entah sudah menjadi kebiasaan, atau memang Feyre memilih untuk tidak bertanya kepada Dewa tentang tujuan mereka hari ini, gadis itu hanya menurut. Pagi tadi Dewa berkata bahwa ia akan mengajak Feyre pergi ke suatu tempat, tepat saat keduanya duduk di kursi resto hotel untuk sarapan. Tidak ada pertanyaan lanjutan dari Feyre seperti biasanya, dan Dewa merasa bahwa gadis itu akhirnya menyadari kebiasaan Dewa untuk melakukan hal impulsif, seperti tiba-tiba mengajak Feyre ke sini, ataupun hal-hal impulsif lainnya selama mereka bersama.

Bukan lagi jalanan bersandingan dengan bangunan berjajar yang menemani perjalanan mereka berdua saat ini, melainkan tebing-tebing tinggi, beberapa hamparan sawah, serta hutan-hutan yang menyajikan nuansa sejuk dan alami sepanjang perjalanan. Suara musik dari Lauv yang menyanyikan lagu berjudul Never Not ikut menemani Feyre dan Dewa menuju destinasi mereka pagi ini.

“Kak boleh di buka ga jendelanya?” Tanpa menjawab, Dewa segera menurunkan kaca mobilnya, membiarkan Feyre tersenyum senang saat tangan dan kepalanya berhasil menyembul dari dalam mobil.

“Kita mau ke pantai ya?” Akhirnya Feyre bertanya kepada Dewa, setelah kurang lebih satu setengah jam ia hanya mengamati lingkungan yang dilewati oleh mobil mereka, menebak-nebak kemana Dewa akan membawa mereka berdua pergi, dan akhirnya menemukan sebuah jawaban saat Feyre menyadari posisi mereka kini sudah tidak lagi di kota, namun berada di Gunung Kidul, pusat dari pantai-pantai indah di Yogyakarta.

“Hmm.” Dewa menjawab dengan singkat, tangan kirinya sibuk membuka ponsel untuk mengganti musik yang berputar di dalam mobil.

“Kata lo gak suka pantai kak?”

“Emang.” Lagi-lagi Dewa hanya menjawab dengan singkat.

“Terus?” tanya Feyre lagi.

“Terus apa?” Tangan kiri Dewa yang tadinya digunakan untuk membuka ponsel, kini kembali memegang kemudi karena Feyre tiba-tiba mengambil alih ponsel Dewa saat melihat laki-laki itu masih saja fokus ke ponselnya untuk mencari musik yang ingin ia putar. “Mau lagu apa?”

“Apa aja, terserah lo.” Feyre mengangkat sebelah alisnya. Berusaha mencari lagu yang kira-kira cocok dengan selera mereka berdua, dan akhirnya tangannya berhenti pada tulisan 'The Beach-The Neighbourhood' pada playlist Dewa. “Eh lo belom jawab gue kak. Terus kenapa lo ngajak gue ke pantai? Katanya lo gak suka.” Feyre meletakkan ponsel Dewa ke tempat semula kemudian kembali menatap laki-laki itu.

“Ya... emang gak suka.” Sungguh, Feyre ingin memaki Dewa karena tidak memberikan jawaban yang jelas dari pertanyaan Feyre. Namun, niat itu ia urungkan seketika saat mengingat Dewa sudah berbaik hati mengajak Feyre berlibur ke Yogyakarta di sela kesibukannya. Bahkan jika diingat pun, untuk apa Dewa repot-repot mengajak Feyre berlibur? Ia tidak memiliki satu alasan apapun yang dapat dipahami oleh Feyre. Jika dipikir-pikir, bukankah seharusnya Feyre yang mengajak Dewa untuk berlibur, dalam rangka menjalankan misi membuat Dewa jatuh cinta kepadanya dalam waktu 30 hari? Gadis itu hanya diam dan memikirkan kebingungannya sejak kemarin. Tentang alasan Dewa yang secara mendadak mengajaknya pergi ke sini. Terlebih lagi sekarang laki-laki itu mengajak Feyre ke pantai, yang notabennya adalah tempat yang Dewa tidak sukai.

“Makanya ... kenapa lo ajak gue ke pantai?”

Dewa diam sejenak, membuat suara di dalam mobil hanya terisi oleh alunan musik yan kini sudah berganti. “Karena ... iseng aja.”

Bohong. Dewa tidak se iseng itu untuk secara cuma-cuma mengajak Feyre pergi ke pantai. Pastinya, tanpa Feyre sadari lagi, Dewa telah membacanya, di buku harian Feyre. Tulisan tentang seberapa ingin gadis itu kembali lagi, ke pantai yang akan mereka kunjungi setelah ini. Pantai yang mengingatkan Feyre kepada kedua orang tuanya, pantai yang selalu Feyre dan keluarganya datangi ketika keluarga mereka berlibur di Yogyakarta, dan pantai yang menjadi saksi terakhir kali Feyre bertemu kedua orang tuanya sebelum mereka berdua pergi.

“Lo kira gue percaya, kak, kalo lo cuma iseng?” kata Feyre dengan jelas.

“Enggak.”

“Ya terus kenapa?” Feyre masih bersikeras untuk menanyakan hal tersebut. Hal yang menjadi pertanyaan Feyre sejak tadi.

“Udah si, tinggal nurut aja kenapa?” Kali ini Dewa berkata dengan sedikit nada tegas, membuat gadis yang duduk di sebelahnya mau tidak mau memilih untuk diam dan menurut, tidak ingin membuat suasana liburan mereka menjadi kacau karena pertengkaran mereka hanya karena pertanyaan singkat Feyre.

Mobil yang mereka kendarai memasuki tempat parkir, setelah kurang lebih satu setengah jam perjalanan mereka lewati. Dewa dan Feyre dengan segera turun dari mobil dan berjalan menuju bibir pantai, menikmati lembutnya pasir pantai serta deburan ombak yang mengenai kaki mereka yang telanjang. Feyre melupakan pikirannya tentang alasan Dewa membawanya kemari, saat ini ia hanya fokus kepada pantai yang sangat ia rindukan, mencoba mengenang satu persatu memori yang pernah ia buat di tempat ini.

“Dulu gue sering kesini tau kak, sama mama papa dan Ezra,” katanya yang disambut dengan senyuman dan anggukan kecil dari Dewa, seolah sudah mengerti tentang apa yang Feyre katakan. Gadis itu lantas bercerita sambil mengajak Dewa menyusuri bibir pantai dari ujung ke ujung.

Dewa memang tidak menyukai pantai, baginya, pantai hanyalah kenangan buruk. Dahulu ia pernah pergi bersama keluarganya ke pantai yang ada di Bali, saat masih berumur tujuh tahun. Seperti anak kecil pada umumnya, Dewa menikmati pantai dengan bermain bersama Atha. Sedangkan mama dan papanya berada jauh dari mereka. Dewa awalnya hanya berenang di bibir pantai bersama orang-orang lain, namun entah kenapa tiba-tiba dia seperti terseret oleh ombak sampai membuatnya hampir tenggelam. Beruntung ada penjaga pantai yang dengan sigap menolong Dewa dari sana, jika terlambat satu detik saja mungkin Dewa sudah tidak ada lagi di dunia. Sejak saat itu, Dewa paling tidak suka dengan pantai. Setiap ada yang mengajak ke pantai, ia lebih memilih untuk tidak ikut atau mengusulkan tempat lain, sehingga ia tidak pernah lagi pergi ke pantai sejak umur tujuh tahun. Anehnya, kali ini Dewa memilih untuk melawan rasa takutnya, membiarkan kakinya menuntun mereka berdua menuju tempat yang dahulunya sangat ia benci.

“Kak, gue mau serius nanya, jadi lo harus serius jawab ya?” ujar Feyre saat keduanya sudah duduk di pasir pantai untuk menikmati suara deburan ombak dan angin pantai yang sangat kencang itu.

“Kalo pertanyaan lo aneh, gue ga mau jawab.” Feyre mendengus kesal saat mendengar ucapan Dewa.

“Lo pernah baca buku diary gue, ya?”

Dewa terdiam. Sepuluh detik dirinya hanya diam dan tidak mengeluarkan satu patah kata pun untuk menanggapi Feyte di sebelahnya. “Pernah,” jawabnya kemudian, sembari menoleh kepada Feyre yang diringi dengan anggukan ringan.

Rambut Feyre yang dibiarkan tergerai kini terlihat melambai-lambai terkena terpaan angin kencang di pantai, beberapa helai rambut menutupi sebagian wajahnya, meskipun sudah berkali-kali tangannya berusaha untuk menyingkap rambut tersebut dari sana.

“Sejauh mana?” Tangannya masih sibuk membenahi rambutnya yang beratakan.

“Cuma lembar yang kebuka pas lo tinggalin di apart.” Dewa menjawab, kemudian tangannya terulur, membenahi rambut Feyre yang kini mulai menutup setengah dari wajah gadis itu. Dewa menarik karet rambut yang tadinya berada di pergelangan tangannya, meraih sedikit demi sedikit rambut Feyre sampai menjadi satu.

“Eh kak, biar gue aja.”

“Sekalian, udah terlanjur kepegang,” ucap Dewa menyelesaikan kegiatannya untuk mengikat rambut Feyre yang berantakan. Kebiasaan Dewa sejak dulu, membawa karet rambut di pergelangan tangannya. Dahulu, ia seringkali melihat Atha kesulitan makan akibat rambutnya yang panjang dan jarang dikuncir, membuat Dewa menjadi sadar untuk selalu membawa karet rambut kemanapun ia pergi. Tidak menyangka, kebiasaan tersebut akan berguna di saat-saat seperti ini, sekalipun itu bukan Atha lagi.

“Makasih kak.”

“Jadi ... karena lo, pengen ke pantai.” Suara pelan Dewa yang ia pikir tidak akan terdengar oleh Feyre akibat suara ombak yang lebih kencang, ternyata berhasil masuk ke telinga gadis itu.

“Hah? Gue?”

Dewa yang menyadari bahwa suara pelannya ternyata terdengar oleh gadis itu, mau tidak mau menoleh dan menatap mata Feyre yang juga tengah menatapnya bingung. “Iya. Tadi lo nanya, kenapa gue ngajak lo ke pantai padahal gue gak suka pantai, kan?” Feyre mengangguk. “Ya itu, jawabannya. Karena lo pengen ke pantai. Makanya gue ajak lo ke pantai, bukan ke Dufan.”

Feyre semakin bingung, alisnya bertaut, dahinya berkerut, membuat Dewa tertawa ringan. Tangannya terulur untuk mengusap kepala Feyre, menatap mata gadis itu dengan penuh makna. Gadis yang ditatapnya itu hanya diam, memproses makna dari kalimat 'karena lo pengen' yang diucapkan oleh Dewa baru saja. Feyre bingung, apakah Dewa benar-benar melakuan semua hal ini hanya untuknya? Namun kenapa? Dewa tidak memiliki alasan untuk melakukan hal ini kepadanya bukan? Kecuali jika ...

“Kak?”

“Hmm?”

“Lo udah jatuh cinta sama gue?”

“Hah?” Dewa bingung, sejujurnya. Apa yang harus ia katakan kepada gadis di depannya untuk menjawab satu bulir pertanyaan yang dilontarkannya tadi. “Lo udah jatuh cinta sama gue?” ulangnya.

Laki-laki itu menarik kembali pikirannya, menanyakan kepada diri sendiri apa jawaban dari pertanyaan itu, karena sungguh, ia sendiri pun tidak tahu.

“Gue ... belom jatuh cinta sama lo.” Satu jawaban yang membuat gadis bernama Feyre itu mengangguk dan kembali menatap air yang kini hampir mengenai kaki mereka.

“Oh, kirain udah,” balas gadis itu lirih, sampai-sampai ia sendiri tidak bisa mendengarnya. Canggung. Keduanya kini hanya diam dan menikmati ombak, tidak membiarkan satu patah kata pun meluncur dari mulut keduanya, saat ini. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, bertanya kepada perasaan tentang apa yang mendasari semua tingkah laku mereka.

Sampai saat ini, hanya tuhan yang tahu, bagaimana perasaan keduanya, karena mereka berdua pun sama, tidak memahami apa yang mereka sebut dengan cinta.

Suara koper-koper ditarik, langkah kaki orang-orang yang sedang berjalan masuk ataupun keluar dari airport, serta announcement call dari petugas bandara mulai memenuhi suasana pagi Dewa serta Feyre hari ini. Mereka berdua tengah berada di bandara untuk penerbangan kedua rute Bandung-Yogyakarta. Semalam, Dewa tidak mengatakan bahwa mereka akan 'jalan-jalan' ke Yogyakarta dan hanya mengatakan bahwa ia akan mengajak Feyre 'jalan-jalan', yang Feyre asumsikan mungkin hanya mengunjungi Gramedia di PVJ atau sekedar melihat badut di alun-alun kemudian makan di sepanjang jalan pulang.

Namun, siapa yang menyangka pagi ini, saat Feyre baru saja membuka matanya dan menatap layar ponselnya yang bertuliskan nama 'kak dewa' di sana, ia membelalakkan mata secara tiba-tiba. Bagaimana tidak, Dewa dengan amat sangat santai menuliskan kalimat “Fey bawa baju ganti ya, kita mau ke jogja 2 hari 1 malam. pesawatnya 2 jam lagi, gue jemput abis ini” tanpa rasa bersalah dan membuat Feyre dengan segera melompat dari tempat tidurnya untuk bersiap-siap dengan mata setengah mengantuk.

“Sialan,” ucapnya tadi saat masih berkesempatan untuk mengumpat Dewa karena laki-laki itu belum berada di sebelahnya, seperti sekarang.

30 menit yang lalu mereka telah melakukan check in, dan kini mereka berdua sedang menuggu untuk boarding sambil duduk di kursi Excelso dengan segelas Caffeine-Free Herbal Tea untuk Dewa dan Green Tea Latte untuk Feyre. “Gak ada kopi-kopi an ya,” ucap Dewa saat pertama kali mereka memasuki gerai yang ada di ruang tunggu bandara. Lantas segera dihadiahi dengan tatapan merajuk oleh Feyre karena minuman favoritnya kini terpaksa harus dijauhkan darinya.

Suara announcement call dari petugas bandara, mengisyaratkan bahwa penumpang pesawat rute Bandung-Yogyakarta dapat segera melakukan boarding, membuat kedua anak adam yang tadinya sibuk menikmati minuman pagi serta obrolan ringan mereka, kini ikut beranjak dan berjalan menuju antrian masuk pesawat, saat melihat sekumpulan orang-orang sudah mulai berbaris untuk menunjukkan boarding pass mereka kepada petugas bandara sebelum akhirnya dapat memasuki pesawat. Berbeda dari penumpang-penumpang lainnya, mereka berdua tidak membawa koper, hanya sebuah tas ransel sedang yang muat oleh beberapa pakaian serta kebutuhan lain seperti peralatan mandi serta peralatan makeup Feyre, tidak lupa juga kamera yang selalu Dewa bawa.

Perjalanan 2 hari 1 malam mereka memang tidak memerlukan banyak barang bawaan, sehingga tidak membutuhkan persiapan lama ataupun tempat yang besar.

Satu jam setelah mengudara, pesawat yang mereka tumpangi akhirnya landing di Bandara Adisutjipto dengan mulus dan tepat waktu seperti perkiraan. Tidak perlu menunggu antrian bagasi karena mereka tidak membawa koper, Feyre dan Dewa kemudian dengan segera berjalan keluar dari pintu kedatangan, membuka ponsel mereka yang sebelumnya berada pada airplane mode selama perjalanan, dan mulai membuka aplikasi untuk mencari kendaraan yang mengantarkan mereka menuju tempat tujuan pertama mereka, persewaan mobil. Dewa memang sengaja menyewa sebuah mobil hari ini, ia tidak ingin 'repot' karena harus memesan angkutan online setiap akan pergi ke suatu tempat, makanya ia lebih memilih untuk menyewa mobil selama 2 hari sampai esok.

“Kita abis ini mau ke mana?” tanya Feyre saat keduanya sudah berada di dalam mobil sewaan yang akan Dewa kemudikan sendiri.

“Lo pengen ke mana?” Dewa bertanya balik kepada Feyre, memastikan apakah ada tempat yang ingin dikunjungi oleh gadis itu, sebelum akhirnya ia menyarakan sebuah tempat yang ingin dikunjunginya.

“Gue penasaran sama ini sih.” Feyre menunjukkan sebuah foto tempat makan yang bertuliskan 'Warung Kopi Klotok' kepada Dewa. Sedari tadi di bandara, Feyre sudah membuka berbagai macam 'rekomendasi' tempat yang harus dikunjungi ketika mereka berada di Yogyakarta, menemukan beberapa tempat menarik yang ingin ia kunjungi, kemudian menuliskannya di buku catatan kecilnya yang selalu ia bawa. Ditambah perjalanan yang mereka lakukan dari pagi tanpa sarapan dan hanya meneguk segelas Green Tea Latte, membuat perut Feyre keroncongan saat melihat foto-foto makanan yang banyak di post oleh orang-orang pada tagar Kopi Klotok di Instagram.

“Yaudah boleh, sekalian sarapan.” Dewa melajukan mobilnya menuju Jalan Kaliurang, tempat di mana 'Warung Kopi Klotok' berada. Dewa sudah sering berkunjung ke sana sejak kuliah, apalagi bersama sahabat-sahabatnya yang suka berpetualang menjelajahi kota-kota untuk liburan. Tidak butuh waktu lama sampai mobil mereka berada di pelataran parkir yang mulai ramai oleh orang-orang yang juga ingin berkunjung ke tempat terkenal itu.

Warung Kopi Klotok Yogyakarta.


Selepas mengisi perut dengan nasi sayur dan telur khas Kopi Klotok yang rasanya sangat enak menurut Feyre dan Dewa, pisang goreng, serta segelas teh manis, Dewa dan Feyre akhirnya kembali melanjutkan perjalanan mereka untuk berjalan-jalan di Kota Yogyakarta. Berbagai tempat yang sudah Feyre lihat di sosial media untuk referensi mereka hari ini, menjadi destinasi selanjutnya. Seperti turis pada umumnya, mereka berdua memilih untuk menuju destinasi-destinasi yang sudah umum didatangi oleh para pelancong dari berbagai daerah.

Seperti sekarang, Feyre membuka ponselnya untuk mengabadikan beberapa tempat di Kampung Wisata Taman Sari Yogyakarta ini. Tidak lupa, Dewa juga mengeluarkan kamera untuk merekam beberapa spot tempat serta suasana yang tidak akan mereka dapatkan di Bandung nantinya.

“Kak mau tolong fotoin dong.” Feyre meminta tolong kepada Dewa sembari mengulurkan ponselnya. “Lo coba berdiri di sana deh kak, cepet,” ujar Feyre setelah ia mendapatkan beberapa foto dirinya. Mencoba menyuruh Dewa untuk melakukan hal yang sama.

“Ngapain?” Dewa mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti.

“Ya mau gue fotoin, sayang udah jauh-jauh ke Jogja, lo cuma fotoin orang.”

Awalnya, Dewa menolak dengan keras, karena merasa tidak perlu untuk mengabadikan hal tersebut, namun setelah lima menit Feyre membujuknya seperti seorang pedagang yang membujuk calon pembeli untuk akhirnya mau membeli barang dagangannya, Dewa pun akhirnya mau, laki-laki itu menyerah dan memilih untuk mengikuti apa yang Feyre katakan, berdiri di spot iconic yang hampir ramai karena pengunjung mulai berebut tempat untuk berfoto di sana. Dewa menyunggingkan senyum kecil, berdiri santai dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, kemudian menunggu Feyre selesai mengucapkan aba-aba sampai ia bisa kembali ke tempatnya lagi dan mengambil kamera yang sempat ia titipkan kepada gadis itu.

Suasana Taman Sari hari ini terlihat cukup ramai, terlihat pengunjung di dominasi oleh keluarga yang sedang berlibur bersama. Faktor weekend mungkin menjadi yang utama mengapa situs-yang dahulunya menjadi kebun istana Keraton Ngayogyakarta Hadinigtrat-ini terlihat lumayan sesak oleh pengunjung. Hanya beberapa dari pengunjung yang terlihat sebagai pasangan, selain itu mereka semua berupa rombongan kantor, sekolah, ataupun keluarga besar. Anak-anak berlarian bersama sebayanya, para ibu-ibu sibuk berfoto menggunakan kaca mata serta topi yang berbentuk lingkaran sangat lebar, serta bapak-bapak hanya menuruti ibu-ibu yang menyuruh mereka untuk berpose saat aba-aba mulai terdengar.

Setelah puas berkeliling Taman Sari selama berjam-jam, Dewa dan Feyre memutuskan untuk pergi makan siang di Gudeg Yu Djum yang ada di Jalan Wijilan No. 167. Tidak lengkap memang rasanya, jika berkunjung ke Yogyakarta namun tidak merasakan makanan khas daerahnya, apa lagi kalau bukan Gudeg. Setelah menunggu beberapa orang—karena tempatnya juga lumayan ramai pengunjung—akhirnya mereka berdua mendapatkan satu piring nasi gudeng yang ditambah dengan gori atau nangka muda, ayam kampung, telur semur, tempe, tahu, dan krecek yang pedas. Sangat menggoda selera mereka yang sedari tadi kelaparan karena sibuk berkeliling.

“Tau gak sih kak? Tahun lalu gue mikir pengen makan gudeg asli Jogja, taunya tahun ini lo ngajak gue ke sini dan makan gudeg asli Jogja beneran. Lo bisa baca pikiran gue ya-Uhukk uhuk,” ucap Feyre di sela makannya membuat ia tiba-tiba tersedak. Dewa dengan segera meletakkan piringnya dan mengambil air mineral di dalam tas Feyre, yang tadi sempat mereka beli di supermarket, kemudian membuka tutupnya dan memberikannya kepada Feyre, agar Feyre dapat minum secara langsung.

“Makanya kalo mau ngomong itu kelarin dulu makannya.” Tangan Dewa menepuk-nepuk punggung Feyre ringan, mencoba melakukan upaya untuk membantu Feyre yang mash tersedak karena makan sambil berbicara. Air mata Feyre sedikit keluar karena rasa pedas yang masuk ke tenggorokannya ikut terasa sampai ke hidung saat ia tersedak tadi.

“Biasanya gue bisa aja makan sambil ngomong.”

“Ya kebiasaan buruk jangan dilakuin terus, lo tuh ya, udah tau buruk malah tetep diterusin. Udah abisin dulu baru ngomong nanti.” Dewa kini kembali mengambil piringnya dan meneruskan makannya yang sempat tertunda tadi. Menikmati satu persatu rasa yang ada di mulutnya karena perpaduan asin, manis, dan gurih dari makanan yang ia sendok baru saja.

Selepas keduanya menyelesaikan makan, Dewa membayar kemudian beranjak menuju mobil dan disusul oleh Feyre yang mengekor di belakangnya.

“Kita ke hotel dulu aja ya, udah bisa check in, sekalian istirahat. Nanti malem baru keluar lagi, lo mau ke Malioboro kan?”

Feyre mengangguk kemudian menjawab pelan. “Iya, gue juga ngantuk pengen tidur dulu bentar.”

Hari ini, Feyre dan Dewa sudah cukup merasa bahagia, mereka menjelajah Kota Yogyakarta sejak pagi sampai menjelang sore, menikmati suasana unik Yogyakarta yang tidak bisa mereka dapatkan di Bandung ataupun tempat lain. Benar, saat orang mengatakan bahwa Yogyakarta memiliki nuansa yang berbeda dari kota lain karena keunikannya, membuat semua orang yang datang kesana menjadi nyaman dengan atmosfernya, Dewa dan Feyre menyetujuinya. Terlebih lagi untuk Feyre, yang memang sangat ingin pergi ke Yogyakarta sejak tahun lalu, namun belum pernah terlaksana karena kesibukannya kuliah serta kerja, juga pilihannya untuk menabung uangnya dari pada ia gunakan untuk berlibur. Beruntung, waktu itu Dewa tidak sengaja melihat buku harian Feyre yang terbuka lebar saat gadis itu mampir ke apartemennya, memperlihatkan beberapa hal yang ingin gadis itu lakukan, namun belum bisa terealisasikan. Kalau tadi Feyre bertanya apa Dewa bisa membaca pikirannya karena mengetahui bahwa gadis itu ingin makan gudeg asli Jogja, jawabannya, tentu saja tidak. Dewa tidak bisa membaca pikiran, ia hanya bisa membaca tulisan, di buku harian Feyre.

Pagi datang seperti biasa, menyambut manusia-manusia yang berharap datangnya matahari yang sempat bersembunyi di belahan bumi yang lain. Pagi ini Dewa melajukan mobilnya menuju jalan Tubagus Ismail, tempat kos an Feyre berdiri, dengan kecepatan sedang karena Kota Bandung pagi ini lumayan ramai, apalagi persimpangan Dago yang kini juga mulai ramai oleh angkot dan travel yang akan berangkat menecari kehidupan.

“Sampe mana?” Suara di seberang sana dengan segera mengisi kekosongan waktu Dewa beberapa saat yang lalu.

“Simpang Dago, lagi macet,” ujar Dewa membalas dengan ponsel di tangan sebelah kirinya yang kini menempel di telinga.

Pukul 09.15 dan Dewa baru berangkat, padahal menurut janji semalam, mereka akan pergi pada pukul 09.00 WIB. Bukan Dewa yang dengan sengaja terlambat berangkat—karena ia bukanlah tipe orang yang suka mengulur waktu—namun, tadi Dewa memilih untuk berhenti sejenak dan membantu seorang kakek-kakek yang terjatuh di depan mobilnya karena membawa barang yang sangat banyak menggunakan sepeda tua nya. Dan itu yang membuat ia kini terlambat 15 menit dari waktu yang ditentukan sebelumnya.

Dewa melirik jam tangannya lagi setelah menutup obrolan dengan Feyre di telepon baru saja. Tidak butuh waktu lama saat Dewa mulai berbelok ke arah jalan Tubagus Ismail yang cukup lengang, ia menemukan seorang gadis yang tengah berdiri di pinggir jalan dengan tubuh yang bersandar pada tiang, terlihat dari kejauhan.

“Lama banget,” katanya saat mobil Dewa berhenti tepat di depan Gadis itu. “Maaf.”

“Mau makan di mana?” tanyanya saat sudah duduk di atas kursi penumpang mobil Dewa seperti biasanya.

“Ikut aja.”

Tanpa menolak dan tanpa pertanyaan lanjutan, Feyre pun menurut apa yang Dewa lakukan. Ia mengamati lingkungan sekitar saat mobil Dewa menembus jalanan kecil yang cukup familiar baginya, meskipun tidak sering ia lewati. Keduanya kemudian turun dari mobil dan menuju tempat makan yang Dewa maksud dengan 'sarapan sehat' yaitu bubur ayam.

“Bubur ayam doang kenapa jauh banget kesini?”

“Ini bubur langganan gue sama temen-temen, enak.”

Pagi yang lumayan mendung ini mereka lewati dengan mengisi perut terlebih dahulu, sebelum melanjutkan kegiatan utama mereka untuk menuju panti.

Sesaat setelah keduanya selesai sarapan, mobil Dewa kembali melaju membelah Kota Bandung yang dingin dan sejuk menuju tempat tujuan mereka yang ternyata cukup jauh dari kota.

“Lo biasanya kesini sendiri? Sejauh ini?” Feyre mengangguk, tangannya sibuk mengetikkan satu dua kalimat sebelum dia mendongakan kepalanya untuk menatap Dewa yang kini sudah kembali menatap jalanan di depannya.

“Iya, biasanya naik grab mahal banget,” curhatnya.

“Ya abisnya jauh begini.”

“Hahaha, terus mau gimana lagi?” Feyre tertawa ringan menanggapi Dewa. Memang benar bahwa Feyre biasanya harus membayar lumayan mahal untuk ongkos menuju panti yang lumayan jauh dari tempatnya tinggal, untung hari ini Dewa menawarkan untuk ikut sehingga Feyre tidak harus berhujan-hujan untuk menuju panti.

Beberapa anak kecil yang berdiri di depan pintu menyambut mereka berdua turun bersama hujan pagi ini. Hujan pagi hari yang membuat suasana menjadi gloomy.

“Kakakkkkk!!!” Salah satu gadis kecil dengan rambut tergerai segera berlari menghampiri Feyre, yang disambut dengan senyuman lebar serta tangan yang terbuka lebar tanda ia diterima. “Yeyyyy kakak dateng lagi,” kata gadis kecil itu. Tak hanya gadis kecil, teman-teman sebayanya ikut berhamburan memeluk Feyre yang baru saja datang, sedikit melupakan bahwa Dewa berada di sana juga.

“Eh kak, kakak ini siapa? Pacar kakak?” tanya salah seorang anak laki-laki kecil yang kira-kira berumur sembilan tahun. Dewa yang ditunjuknya kemudian menyusul Feyre untuk berlutut agar dapat menyejajarkan wajahnya dengan wajah anak kecil itu.

“Bukan, kakak temennya Kak Feyre. Kenalin, nama kakak, Dewa.”

Anak laki-laki tersebut mengangguk dan menerima uluran tangan Dewa. “Halo Kak Dewa temennya Kak Feyre, aku Iqbal, calon pacarnya Kak Feyre.” Dewa tertawa kecil mendengar ucapan anak-kecil tersebut. Tidak menyangka bahwa ia akan mendengar ucapan seperti itu dari anak kecil yang berumur jauh di bawahnya. Sepertinya ia suka sekali dengan Feyre sampai mengatakan bahwa ia adalah calon pacar gadis itu, di umurnya yang masih sembilan tahun ini.

“Eh, nak Feyre udah dateng? Pantesan tadi anak-anak pada lari ke depan kirain ada apa. Eh ini siapa?” Feyre dan Dewa bangkit dari duduknya, menyambut Bu Rita, si ibu penjaga panti yang kini datang menghampiri mereka.

“Selamat pagi bu, saya Dewa, temennya Feyre.”

“Oh nak Dewa? lya-iya tadi nak Feyre sudah bilang ke ibu kalau mau membawa teman. Ganteng-ganteng gini masa cuma teman?” Feyre membalas candaan tersebut dengan sebuah tawa kecil dan anggukan.

“Iya bu, cuma teman kok.”

“Yaudah kalo gitu, kaya biasanya kan? Langsung masuk aja ya? Ibu tinggal ke belakang dulu.” Wanita setengah baya tersebut kemudian pergi meninggalkan Feyre dan Dewa bersama beberapa anak kecil yang tadi menghampiri mereka, menyambut mereka dengan senyum bahagia seperti bertemu dengan sosok kakak yang selama ini mereka tidak miliki. Feyre kemudian menggandeng tangan anak-anak kecil tersebut untuk berjalan menuju aula, tempat mereka melakukan kegiatan pada hari ini.

Dewa mengekor di belakang Feyre dengan ikut menggandeng beberapa anak laki-laki yang tadi ikut menghampiri mereka. Tidak disangka mereka akan cepat akrab dengan Dewa saat pertama kali bertemu.

Feyre mendudukkan mereka semua di kursi yang sudah tersusun rapi di aula, kemudian memanggil beberapa anak lain yang masih berada di sekitar aula atau di dalam kamar untuk segera masuk ke aula. Hari ini, Feyre akan mengajarkan mereka untuk melukis dengan tiga cat warna primer.

“Ayo udah pada ambil buku gambarnya apa belum?” Dewa mengamati Feyre dari kursi belakang, melihat gadis yang biasanya ia lihat berbalutkan raut datar dan tajam kini berubah menjadi sosok hangat yang sangat disayang oleh banyak orang disini. Dewa mengetahui hal tersebut dari saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, Feyre disambut dengan sangat hangat mulai dari penjaga pos satpam, ibu penjaga panti, bahkan anak-anak di sini juga. Melihat hal ini, Dewa menyadari bahwa wajar saja gadis itu sangat disayang, perlakuannya kepada semua orang sangat tulus, melebihi saudara mereka sendiri yang mungkin 'tidak mereka tau keberadaannya'.

“Kak ayo ikutan!” Suara Feyre membuat semua orang menoleh kepada Dewa. Seisi ruangan yang penuh dengan anak-anak sedang menggambar kini mulai riuh karena ajakan Feyre membuat mereka ikut mengajak Dewa untuk bergabung. Dewa berdiri dari duduknya dan menghampiri Feyre dengan langkah pelan.

“Gue harus ngapain?”

“Coba bikin lukisan apapun dari tiga warna ini. Tadi gue udah ngajarin ke anak-anak beberapa warna bisa dicampur buat bikin warna baru, kalo lo tadi nyimak, pasti lo tau caranya,” balas Feyre.

“Ga nyimak pun gue tau Fey, gue bukan anak kecil.” Feyre tertawa kecil kemudian menyerahkan buku gambar dan tiga cat primer-merah, kuning, biru-kepada Dewa. Setelah buku dan warna tersebut diterima oleh Dewa, Feyre berjinjit kecil, tangannya terulur untuk menepuk puncak kepala Dewa ringan.

“Semangat ya kak! Bikin lukisan yang bagus, kalo bisa yang menggambarkan isi hati lo.”

Dewa terdiam sesaat setelah Feyre beranjak pergi, sedari tadi Dewa memang memperhatikan Feyre, bagaimana gadis itu menepuk ringan pucak kepala anak-anak di sini saat mereka mengambil buku serta cat dari Feyre. Namun, Dewa tidak menyangka gadis itu akan melakukan hal yang sama kepadanya, menepuk puncak kepala Dewa ringan dan memberikan semangat sebelum ia beranjak untuk menghampiri anak-anak lainnya.

Anehnya, jantung Dewa mendadak berpacu melebihi biasanya.

Saat sesi melukis telah usai, Feyre menyuruh satu persatu dari anak-anak tersebut untuk bercerita tentang apa yang mereka lukis. Satu persatu anak-anak maju untuk bercerita, Feyre sangat terharu karena hampir semua dari mereka memiliki lukisan yang cantik untuk ukuran anak-anak, terlebih lagi cerita di balik lukisan mereka yang membuat hati Feyre terasa sangat hangat. Ada yang melukis tentang cita-cita, ada yang melukis tentang alam, dan banyak hal lain yang membuat Feyre tidak bisa berhenti menyunggingkan senyumnya. Tidak terasa kegiatan Feyre dan Dewa di panti sudah hampir selesai, keduanya kini duduk di atas ayunan yang berada di depan taman bermain panti.

Mengamati anak-anak yang berlarian kesana kemari bermain bola ataupun bermain lompat tali bersama teman-temannya. Dewa bahagia, hari ini dia menemukan hal baru yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, berbagi rasa bersama orang-orang yang mungkin memiliki perasaan yang hampir sama dengan mereka berdua.

“Fey? Apa latar belakang lo milih kegiatan melukis dengan tiga warna hari ini?” tanya Dewa masih dengan mata yang fokus kepada anak-anak di depannya. Gadis yang ia tanya hanya tersenyum kecil, memahami apa maksud 'latar belakang' dari pertanyaan laki-laki di sebelahnya itu.

“Dari hal sederhana bisa membuat sebuah cerita,” jawabnya. “Lo sadar gak kak? Kenapa gue cuma milih tiga warna primer diantara banyak warna?” sambung Feyre.

“Karena dari 3 warna itu lo bisa bikin warna lain.” Dewa menjawab dengan menoleh kepada Feyre, gadis itu terlihat mengangguk kecil dan masih tersenyum.

“Bener.”

“Gue pengen kenalin ke mereka semua, kalo hal sederhana itu bukan jadi sebuah masalah. Mereka ga perlu jumlah cat warna yang banyak dan lengkap buat bikin suatu yang berharga. Buktinya, dengan 3 warna itu mereka bisa bikin sesuatu yang berharga juga, mirip sama kondisi kalo mereka punya warna yang lengkap, meskipun ga sempurna, setidaknya mereka udah bisa.” Dewa mengangguk, ia menyetujui apa yang Feyre ucapkan, dan ia takjub dengan pikiran Feyre.

“Gue tau, mereka semua di sini pasti punya kondisi yang 'gak sempurna' dan mungkin 'hanya sederhana', mereka bahkan gak tau siapa orang tua mereka, mereka gak tau siapa kakek nenek mereka, atau saudara-saudara mereka. Mereka hidup dalam kesederhanaan, tapi dari situ gue pengen mereka tau dan tetep bersyukur, karena kesederhanaan yang mereka punya, itu semua berharga.”

“Lo keren,” puji Dewa lagi dan lagi. Sudah berapa kali Dewa mengatakan hal tersebut, tidak di pesan whatsapp saja Dewa sudah mengatakan hal tersebut berkali-kali dalam pikirannya. Feyre memang keren, sangat keren.

“Lo juga keren kak, berhenti bilang gue keren deh.” Feyre tertawa keil dan menepuk paha Dewa yang ada di sebelahnya.

“Gue ga bisa berhenti bilang lo keren deh, kayanya.”

“HAHAHA yaudah kalo gitu gue juga terus bilang lo keren.”

“Lo tau gak Fey, ini pertama kalinya gue ke panti, seumur hidup gue,” ucap Dewa. Feyre tidak menjawab, hanya terdiam dan mengamati Dewa dari posisinya. Menunggu laki-laki itu untuk melanjutkan kalimat yang belu sempat ia selesaikan tadi. “Hari ini gue sadar satu hal, satu hal yang bikin gue bersyukur setengah mati.”

“Apa itu?”

“Gue bersyukur bisa ketemu sama lo, mungkin kalo gue ga ketemu lo, gue sekarang ga sadar kalo hidup gue masih sangat berharga.” Dewa memberi jeda ucapannya. “Gue lihat semua anak-anak di sini bahagia, meskipun mereka tanpa orang tua, tanpa keluarga, mungkin ada juga beberapa yang gue tau, pasti lagi kangen sama orang tuanya, dilihat dari mereka tadi banyak yang lukis tentang keluarga, abis itu gue ngerasa jadi orang jahat.”

“Kenapa gitu?” Feyre kini memposisikan tubuhnya untuk sedikit menghadap Dewa, mencoba membuat fokusnya utuh pada laki-laki itu karena merasa ia sedang berbicara dengan serius.

“Gue masih punya bokap, tapi gue gak pernah anggep dia sebagai keluarga, rasanya gue kaya ga bersyukur masih dikasih orang tua, setidaknya.”

“Tapi lo punya alasan kenapa lo kaya gitu kan kak.” Dewa mengangguk.

“Apapun alasannya, itu ga membenarkan gue buat gak nganggep bokap gue sebagai keluarga lagi, di saat masih banyak orang yang 'butuh' sosok orang tua dalam keluarganya. Menurut lo, gue jahat gak sih Fey?” Feyre mengerutkan kening, tidak paham dengan kata 'jahat' yang dimaksud oleh Dewa.

“Jahat gimana?”

“Ya... gak nganggep bokap sebagai orang tua, gak bersyukur sama apa yang udah di kasih tuhan, dan... menganggap diri gue paling gak beruntung di dunia.”

“Lo gak jahat kak. Lo berhak ngerasa kaya gitu kok. Semua perasaan itu valid kak, lo jangan klaim diri lo sebagai orang jahat hanya karena lo ngelihat orang lain 'ga seberuntung' lo. Ini udah jalan dari tuhan, once again gue bilang semua pasti ada alasannya Tuhan ngasih kondisi kaya gitu.” Dewa menutup matanya, menghembuskan nafas lega seolah ada sesuatu yang sempat mengganjal dalam rongga dadanya, tadi.

“Gue pernah ngerasain kaya gitu juga, bedanya orang tua gue udah gak ada. Gue pernah ngerasa jadi orang jahat karena bersyukur sama apa yang gue dapetin, dengan mikir 'setidaknya gue tau orang tua gue siapa dan gue pernah ngerasain kasih sayang dari mereka.' gue membandingkan diri gue dengan orang lain yang rasanya kaya 'lebih gak beruntung' daripada gue. Padahal aslinya belum tentu begitu, belum tentu ketika mereka ketemu orang tua, mereka akan lebih beruntung.”

Dewa membuka matanya saat mendengar ucapan Feyre, menoleh untuk mendapati gadis itu kini masih menatapnya. la tersenyum, senyuman yang sering ia perlihatkan beberapa waktu yang lalu, saat Dewa bertemu dengannya beberapa kali.

“Karena, kita gak bisa membandingkan hidup kita dengan orang lain. Hidup bukan suatu perlombaan 'siapa yang lebih' dan 'siapa yang kurang' kita semua sama, hanya dengan alasan yang berbeda.” Feyre menutup ucapannya. Dewa mengamati Feyre dengan tatapan yang dalam, berusaha menyelami pikiran gadis di depannya.

Dewa takjub, sangat takjub dengan pikiran-pikiran Feyre. la tidak menyangka akan bertemu dengan seseorang yang memberikan banyak pelajaran kepadanya, hanya dalam waktu kurang dari dua minggu mereka bertemu. Dewa benar-benar bersyukur ketika bertemu Feyre, ia mulai bisa menceritakan hal-hal yang selama ini ia pendam sendiri dan tidak pernah seorang pun mendengarnya. Hal-hal berat yang selama ini mengganggu pikirannya. Ibarat sebuah hadiah, Feyre adalah hadiah terbaik yang tuhan kasih kepada Dewa, setelah apa yang sudah Dewa lewati selama ini, begitupun sebaliknya. Karena pada akhirnya, tuhan akan dan selalu memberikan anugerah kepada seseorang, dengan apa yang mereka butuhkan, bukan yang mereka inginkan. Dewa membutuhkan Feyre, dan Feyre membutuhkan Dewa.

Dewa tidak berbohong, hari ini mereka berdua sedang berada di Bukit Bintang untuk benar-benar menikmati langit, yang ditambah dengan bonus pemandangan lautan kota di hadapan mereka. Perjalanan yang mereka habiskan selama kurang lebih 45 menit untuk menuju tempat tersebut tidak mereka sia-siakan hanya dengan melihat sekilas apa yang ingin mereka lihat.

“Ini masih jauh kak? Sumpah kaki gue udah mulai capek.” Feyre mengeluh beberapa waktu yang lalu, saat Dewa terus berjalan santai ditengah rindangnya pepohonan sambil menikmati hembusan angin yang segar, sedangkan gadis itu sudah berkeringat hanya karena berjalan beberapa puluh meter saja.

Jalanan menuju puncak bukit bintang memang tidak dapat dijangkau oleh mobil, sehingga mengharuskan mereka untuk menyusuri jalan setapak yang disediakan, bersama beberapa orang yang juga ingin menikmati pesona dari tempat tersebut. Dewa dan Feyre akhirnya disuguhi oleh pemandangan yang sangat indah saat keduanya berhasil mencapai titik puncak, setelah berjalan beberapa puluh atau mungkin ratus meter yang disertai banyak keluh kesah dari Feyre sepanjang jalan.

Kurang lebih sudah lima jam mereka ada di sana, sejak langit berwarna biru dan dihiasi oleh banyak awan serta burung-burung, kemudian berubah menjadi jingga, hingga sekarang menjadi hitam dan dipenuhi oleh bintang-bintang malam, yang tidak kalah cantik dengan lampu kota yang ada di depan mereka.

“Kak, kenapa lo suka langit?” tanya Feyre kemudian, setelah kurang lebih 30 menit mereka hanya berdiam diri dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Dewa masih diam tidak menjawab, matanya menatap nyalang atap dunia yang terbuka sangat lebar di atasnya. Saat ini, keduanya berada di atas tikar yang lima jam lalu mereka gelar, Dewa dengan posisi terlentang, kedua tangannya terlipat untuk menjadi bantalan kepala, dan matanya menatap langit dalam-dalam. Sedangkan Feyre? Ia hanya duduk bersila, matanya menatap hamparan lampu kota yang terlihat menakjubkan dari tempatnya. “Kak? lo ga tidur kan?”

Feyre menoleh untuk memastikan, karena tidak mendapat jawaban satu kata pun, dari laki-laki yang ditanyainya.

“Enggak.”

“Abisnya lo diem aja gue kira ketiduran.” Feyre kembali memandang ke depan, sesaat setelah memastikan bahwa Dewa masih dalam keadaan sadar, dan tidak meninggalkannya sendirian dalam keheningan.

Sekitar mereka sudah sepi, para pengunjung yang bersama mereka tadi sudah kembali ke rumah atau tempat asal mereka masing-masing karena malam yang semakin larut, dan kini menyisakan mereka berdua, yang masih nyaman dengan posisinya.

“Gue ngerasa lagi dijagain sama mama, kalo liat langit,” jawab Dewa kemudian, setelah kurang lebih lima menit laki-laki itu terdiam, memikirkan jawaban seperti apa yang harus ia katakan kepada Feyre. Haruskah ia menjawab itu dengan serius dan penuh makna dalam setiap ucapannya, ataukah perlu memberikan sedikit candaan agar tidak terlihat seperti seorang pujangga malam yang hanyut dalam perasaan.

“Dijagain mama?”

“Coba deh lo tiduran disini.” Dewa menepuk tempat kosong di sebelahnya, mengisyaratkan kepada Feyre untuk ikut berbaring bersamanya, merasakan sensasi melihat langit dengan mata kepalanya sendiri, untuk dapat merasakan secara langsung apa yang Dewa maksudkan tadi. “Gue ga akan macem-macem.” lanjut Dewa, saat mendapati Feyre hanya memandang tempat di sebelah Dewa dengan ragu-apakah ia harus benar-benar menuruti perkataan Dewa, atau laki-laki itu hanya mencari kesempatan di saat seperti ini saja.

Feyre akhirnya menyerah, tidak menemukan suatu kejanggalan dari tatapan Dewa. Gadis itu menghembuskan napas pelan, sebelum kemudian mengikuti Dewa untuk berbaring dan melihat langit seperti apa yang sedang Dewa lakukan. Berusaha mempercayai ucapan Dewa dan mencoba untuk memahaminya sendiri.

“Liat langitnya, lagi banyak bintang.” Dewa menunjuk dengan tangan kirinya. “Itu kumpulan orang-orang baik yang udah pergi dari dunia.” sambungnya.

“Maksudnya?” Feyre bertanya kembali, karena masih tidak paham dengan ucapan Dewa baru saja. Tangan Dewa kembali menunjuk langit—lebih tepatnya menunjuk satu persatu bintang yang dapat mereka lihat dari bawah sana.

“Dari gue kecil, nyokap selalu bilang, kalo orang-orang baik yang udah pergi dari dunia, sama tuhan dikasih tempat yang baik di sana, dan mereka akhirnya dijadiin bintang di langit malam. Jadi, ketika lo ditinggal sama orang yang lo sayang, lo ga perlu ngerasa sendiri. Lo tinggal lihat langit aja, dan cari satu bintang disana. Itu pasti mereka, orang yang lo sayang, lagi liatin lo, lagi jagain lo, dari atas sana.” Feyre tertawa kecil. Tidak menyangka bahwa seorang seperti Dewa, masih mempercayai omongan yang ia dengar sejak dia kecil. Kenyataannya, mana ada manusia yang menjadi bintang? Itu semua hanya khayalan dan bualan yang diberikan kepada anak kecil, hanya untuk membuat mereka merasa aman saat ditinggalkan oleh orang-orang yang mereka sayang.

“Lo percaya itu kak?” Dewa menoleh kepada Feyre, yang masih memandang langit.

“Enggak, gue cuma membayangkan aja, kalo nyokap gue bener-bener lagi ngejagain gue dari atas sana. Biar gue bisa ngerasa tenang, hidup sendirian di dunia.”

Dewa memang tidak mempercayainya, siapa juga yang mau mempercayai hal seperti itu. Itu hanya sebuah kiasan, untuk menggambarkan bahwa mereka yang telah pergi dari dunia, belum benar-benar pergi dan masih bersama mereka, dari tempatnya. Seperti kata Dewa tadi, ia pun hanya membayangkan jika orang yang paling ia sayang, yang telah lebih dahulu pergi dari dunia ini-mamanya-sedang menjaganya dari atas sana.

Sama seperti Feyre, Dewa juga sudah tidak memiliki mama. Bedanya, Dewa masih memiliki seorang papa, yang mungkin sudah tidak Dewa anggap sebagai orang tua lagi, sejak beberapa tahun yang lalu. Saat Dewa dan Atha memutuskan untuk pergi ke Bandung-melarikan diri dari nerakanya di dunia. Membawa seluruh amarah dan perasaannya, untuk lepas dari bayang-bayang orang yang membuat mereka menjadi sengsara. Dewa kehilangan sosok mama-orang yang paling menyayanginya-saat duduk di bangku kuliah, awal semester satu.

Mamanya meninggal karena sakit, tepat satu bulan setelah dipindahkan dari rumah sakit di Jakarta menuju rumah sakit di Bandung, karena harus mengikuti Dewa dan Atha yang memutuskan untuk pindah ke Bandung karena kuliah. Setelah kepergian mamanya, Dewa merasa bahwa keluarga dia satu-satunya hanyalah adik kembarnya, Atha. Oleh karena itu, ia merasa bahwa di dunia ini, hanya Atha lah keluarganya, orang yang paling ia sayang di dunia ini. Dewa akan melakukan segala cara untuk menjaga Atha, karena ia tidak ingin kehilangan orang tersayangnya untuk yang kedua kalinya.

Sejak Atha menikah dan pindah ke Bali, Dewa jarang bertemu dengannya. Dahulu, saat mereka masih duduk di bangku kuliah, Dewa terkenal seperti malaikat penjaganya, kemanapun Atha pergi, selalu ada Dewa. Sampai-sampai semua laki-laki yang ingin mendekati Atha, harus mendapatkan ospek terlebih dahulu dari Dewa. Semua itu Dewa lakukan karena ia tidak ingin kejadian seperti keluarganya, terulang kembali. Dahulu, papanya suka memukul mamanya, memukul Atha, dan memukul Dewa, hanya karena keegoisan laki-laki itu. Mereka selalu menjadi sasaran papanya ketika marah, mendapatkan banyak hal menakutkan, sampai mendapatkan trauma dan harus melarikan diri dari rumahnya. Lantas sejak mamanya meninggal, Dewa akhirnya menjadi figur orang tua untuk Atha. Menjadi mama sekaligus papa, karena Dewa mengemban tanggung jawab sebagai anak pertama.

“Lo sering kesini sendirian?” tanya Feyre dan dijawab dengan sebuah anggukan kecil dari Dewa, yang sebenarnya tidak bisa Feyre lihat.

“Sering, karena ga ada orang yang bisa gue ajak kesini... selain lo... sekarang.”

Feyre terdiam, tidak menjawab. Pikirannya kini sibuk berkelana, membayangkan apa yang sedang Dewa rasakan, mencoba memahami bagaimana rasanya menganggap si 'bintang' itu sebagai orang yang ia sayang, sedang meliat dan menjaganya dari sana. Dan saat Feyre dapat merasakan itu, sebuah senyuman terukir indah di wajahnya.

“Kayanya sekarang gue tau deh kak, maksud lo dijagain sama Mama,” ucapnya lirih. “Gue barusan juga ngerasain, kalo sekarang, Mama sama Papa gue lagi senyum dan ngelus kepala gue, bilang kalo gue hebat udah bertahan sejauh ini sampe bisa ada di titik ini. Bertahan dari apa yang mungkin ga pernah gue bayangin—bisa gue lewatin dengan baik.”

Ada kesedihan di dalam ucapan gadis itu. Perasaan sedih yang ia rasakan selama bertahun-tahun, sendirian. Dewa menyadari itu. Dewa menyadari kalau saat ini Feyre sedang bersedih, merindukan kedua orang tuanya yang katanya 'mungkin' sedang tersenyum dari atas sana, karena anak pertama mereka sudah melakukan suatu hal yang luar biasa, di dunia.

Dewa kemudian memiringkan tubuhnya untuk dapat menghadap Feyre. Mengulurkan tangan kanannya, namun langung dibalas dengan tepisan ringan dari gadis itu.

“Mau ngapain lo?” Feyre yang sudah mengantisipasi Dewa akan melakukan hal aneh, langsung beranjak dari tidurnya dan kembali duduk. Dewa hanya tertawa kecil dan akhirnya ikut beranjak dari tidurnya, menyusul Feyre untuk duduk di sebelahnya.

“Lo hebat, Fey, makasih banyak ya udah bertahan sejauh ini.” Dewa tersenyum, tangannya terulur untuk mengsap puncak kepala Feyre dengan lembut, dan penuh kasih sayang, persis seperti apa yang Feyre katakan sebelumnya.

Untuk pertama kalinya dalam hidup Feyre, ia merasakannya, puncak kepalanya diusap dengan penuh rasa sayang, dan ia bisa mendengarkan kalimat itu. Kalimat yang setiap hari ia ucapkan kepada dirinya sendiri, kalimat yang menjadi semangatnya untuk terus bertahan hari demi hari. Bedanya, kini ia mendengar ucapan itu dari orang lain, dan hatinya mendadak terasa hangat. Pertama kali dalam hidupnya, Feyre merasakan kupu-kupu berkeliaran di dalam perutnya karena seorang laki-laki. Laki-laki yang kini kembali memposisikan dirinya untuk tidur di atas tikar itu.

“Sini deh, gue belom selesai ngomongnya.” Feyre masih diam membeku dengan posisi duduk seperti tadi. Dewa kemudian memegang pundak Feyre dan menariknya agar dapat kembali tertidur di posisi seperti tadi, namun kali ini tangan kiri Dewa terulur dan menjadi bantal untuk kepala Feyre.

“Eh, ini tangan lo pindahin kak, masih nyangkut tuh.”

“Sengaja, pake aja buat bantal.” Dewa sungguh-sungguh. Ia memberikan tangannya untuk dijadikan bantal oleh Feyre, dengan senang hati.

Tadi, Dewa melihat postur tidur Feyre yang sedikit tidak nyaman karena tidak ada bantalan di kepalanya, lantas kemudian Dewa memutuskan untuk memberikan tangannya menjadi bantalan kepala Feyre. Gadis itu hanya menurut, ia sedang tidak bisa merespon apapun yang Dewa lakukan, perasaannya takut. Takut kalau-kalau bukan Dewa yang jatuh cinta, melainkan dirinya.

“Fey?” Panggil Dewa lirih.

“Hmm?”

“Kalo lo kangen sama orang yang lo sayang, dan dia udah ga ada di dunia ini, lo lihat aja bintang. Anggep mereka disana lagi liat dan jagain lo. Percaya sama gue, mereka bener-bener lagi jagain lo dari atas sana.” Feyre mengangguk kecil di atas lengan Dewa, membuat laki-laki itu tersenyum kembali.

Malam itu, mereka berdua menghabiskan sisa malamnya dengan menikmati indahnya langit yang dipenuhi oleh 'orang-orang baik', bercerita tentang kehidupan satu sama lain, cerita yang tidak pernah mereka sangka akan keluar dari mulut mereka. Menceritakan pahit dan manisnya hidup yang telah mereka jalani selama ini. Menjadikan hubungan keduanya semakin erat, karena merasa sedang berbagi kisah dengan orang yang benar-benar merasakannya. Karena pada akhirnya, mereka memiliki cerita yang hampir sama.

Lima belas menit lagi Zenaya harus pergi, tapi sampai sekarang gadis itu belum juga menemukan pakaian yang cocok untuk ia gunakan. Lebih tepatnya, Zenaya tidak cukup puas dengan sebelas—ralat, sebenarnya ada tiga belas—potong pakaian yang kini tergeletak begitu saja di atas tempat tidur Gia. Mulai dari pakaian casual seperti jeans dan kemeja sampai dengan dress formal sudah gadis itu coba. Sayangnya, tidak ada satupun pakaian yang dapat memuaskan harapannya.

“Lo tuh mau pergi ke mana, sih, tinggal milih satu baju doang susah banget kaya milih presiden.” Gia mencibir sembari mengambil tiga potong baju lain yang ada di walk in closet sebelah kamarnya. “Nih, tiga baju terakhir yang lumayan cocok sama badan lo.”

Mengingat tubuh Gia dan Zenaya tidak sama besarnya, gadis itu hanya bisa memberikan beberapa pakaian yang lumayan kecil untuk Zenaya. Tinggi mereka terpaut cukup jauh dengan posisi Gia jauh lebih tinggi. Kalau tidak salah, terakhir kali ia mengukur tingginya sekitar 170 atau 171 cm, sedangkan Zenaya hanya 162 cm. Begitu juga tubuh Gia yang terlihat lebih berisi membuat beberapa pakaian miliknya tampak kebesaran di tubuh Zenaya.

“Kenapa, ya, cewek kalo mau pergi tuh ribet banget?” tanya Zenaya pada Gia—dan kepada dirinya sendiri. “Padahal Kak Orlando juga nggak bakal perhatiin juga, kan?” Persis seperti apa yang sudah Orlando utarakan kemarin, laki-laki itu hendak mengajak Zenaya untuk pergi mencari kado sekaligus datang ke acara ulang tahun Sintia—adik Cecep, tukang fotokopi yang sudah dianggap seperti saudara sendiri oleh Orlando karena keakraban mereka yang terkadang melebihi teman—ke tujuh belas tahun.

Kalau boleh jujur Orlando tidak begitu mengenal Sintia, ia hanya pernah bertemu dengan gadis itu dua kali. Pertemuan pertama pun terhitung sudah lama sekali. Baru pada beberapa waktu yang lalu Orlando dan Sintia akhirnya bisa bertemu dan mengobrol lagi, itupun hanya sebentar saat laki-laki itu datang ke rumah Cecep untuk menyerahkan kunci tempat fotokopi yang ketinggalan di mobil Orlando saat mereka pergi ke Ciwalk kala itu.

Orlando memang cukup dekat dengan Cecep, bahkan terkadang kalau sahabat-sahabatnya itu tidak bisa menemaninya pergi atau sekedar merokok selepas kelas, laki-laki itu akan secara langsung menghampiri Cecep di belakang gedung.

Pernah juga pada saat itu, Ibunya Cecep rela membuatkan bekal untuk Orlando. Tentu saja karena Cecep bercerita kalau laki-laki itu sering membantunya berjaga di tempat fotokopi pada saat jam makan siang karena terlalu malas untuk makan di kantin barat yang sangat ramai. Membuat Orlando secara tidak langsung juga menjadi dekat dengan Ibu Cecep.

Setelah bergelut selama lima menit memilih pakaian mana yang hendak ia gunakan, akhirnya Zenaya menjatuhkan pilihan pada sebuah dress semi formal berwarna kuning muda hampir mendekati putih dengan panjang sedikit di bawah lutut yang lumayan pas dengan tubuhnya—meskipun sedikit kebesaran sebab dress itu milik Gia.

“Ini sepatu sama tasnya biar matching.” Gia datang membawa sebuah flat shoes berwarna coklat muda serta tas selempang berwarna senada, membuat Zenaya memandang Gia dengan tatapan penuh cinta.

“Sumpah, lo emang temen terbaik gue, Gi.”

Semenjak kejadian kos Zenaya dibobol oleh Elvira dan beberapa pakaiannya digunting, gadis itu belum menyempatkan diri untuk membeli pakaian serta mencari kosan baru. Untungnya, Gia adalah sahabat yang baik sehingga gadis itu tidak tanggung-tanggung untuk membantu dan meminjamkan seluruh hal yang dibutuhkan Zenaya. Mengingat kejadian itu juga sedikit banyak adalah buah dari keputusan Gia kala itu.

###

Setelah berkeliling cukup lama di Paris Van Java untuk mencari kado, Orlando dan Zenaya memutuskan untuk cepat beranjak ke rumah Cecep dikarenakan acara ulang tahun Sintia akan mulai lima belas menit lagi.

Tadinya mereka masih ingin berjalan-jalan, menikmati setiap langkah dengan canda gurau sembari sesekali mampir ke toko yang berjajar di sepanjang lorong. Hanya saja urung mereka lakukan lantaran menyadari kalau waktu sudah mepet dan mereka tidak ingin terlambat datang ke acara, meskipun acaranya juga tidak se-formal itu untuk mengharuskan semua orang datang tepat waktu.

Tapi bagi keduanya, janji tetap harus ditepati.

“Hey, Bro, makasih, ya, udah dateng!” seru Cecep ketika melihat Orlando dan Zenaya turun dari mobil, setelah dua puluh menit terjebak dalam padatnya lalu lintas Kota Bandung di Hari Minggu.

Cecep tampak rapi dengan kemeja putih yang dilengkapi dasi kupu-kupu berwarna biru dongker. Jauh berbeda dari penampilan sehari-harinya yang lebih sering menggunakan kaos polos hitam hasil membeli di pasar baru. Padahal bukan Cecep tokoh utama hari ini, tapi laki-laki itu terlihat cukup keren hingga membuat orang berpikir kalau ialah si pemilik acara. “Gokil, cakep juga lu, Cep.”

“Dipaksa sama Sintia, euy.” Orlando menepuk pundak Cecep dan mengangguk paham sebelum laki-laki di hadapannya itu melanjutkan kalimatnya. “Katanya sekali-sekali disuruh dandan cakep, jangan kaya babu.”

Di sisi lain Cecep yang sadar kalau Orlando tidak datang sendiri, kini mulai mengalihkan fokusnya pada Zenaya yang berdiri canggung di balik Orlando. “Akhirnya, Teh Zenaya dibawa juga, ya. Nggak cuma—”

Zenaya bisa melihat Orlando tiba-tiba menyikut perut Cecep hingga membuat laki-laki itu mengaduh dan segera memutus kalimatnya. “Mana adek lu?” tanya Orlando mengalihkan perhatian sekaligus mencegah Cecep berbicara yang tidak-tidak. Riuh yang terdengar dari dalam rumah membuat mereka sadar kalau sepertinya acara memang sudah dimulai.

“Di dalem, Bro, kayaknya udah mulai acaranya. Tadi lo dicariin sama dia. ‘Kak Orlando mana ih nggak dateng-dateng apa dia lupa ya, A’?’ gitu ceunah.”

Cecep menirukan kalimat adiknya dengan nada yang diperkirakan hampir sama, membuat Orlando pun kembali tertawa. “Si ibu juga udah nanyain lo, tuh. Heran deh, ini keluarga gue, kenapa yang dicariin malah lo mulu, ya?” lanjut Cecep diiringi tawa kecil sebelum berjalan masuk memimpin dua orang yang membuntutinya.

Rumah ini sederhana, tidak begitu besar namun tidak bisa dibilang kecil juga. Anehnya, Zenaya bisa merasakan kehangatan yang memancar dari setiap hal yang ada di rumah ini. Furniture di dalamnya antik, seperti barang lama namun masih terawat dengan baik. Ada kursi yang terbuat dari kayu, bukan sofa selayaknya rumah Zenaya atau Gia, di sebelahnya ada lemari kaca kecil berisi banyak piala—yang sepertinya milik Sintia. Di sisi kanan tembok ada sebuah foto keluarga yang dibingkai lumayan besar, menampilkan lima orang yang sedang tersenyum bahagia.

“Cecep punya kakak?” bisik Zenaya kepada Orlando ketika mereka melewati foto tersebut. Hendak berjalan menuju bagian dalam rumah, tempat di mana acara berlangsung.

“Iya, tapi sekarang jadi TKI di China.” Orlando menjelaskan seolah sudah sangat paham dengan kehidupan temannya. “Kakaknya jadi TKI dari lima tahun yang lalu, tapi nggak pernah sekalipun ngirim duit atau sekedar ngasih kabar ke keluarganya sampe sekarang.”

Zenaya meringis getir. Merasa sedih dengan cerita kehidupan Cecep. “Kalo bapaknya udah meninggal pas Cecep masih SD. Makanya pas lulus SMP Cecep langsung kerja dan nggak lanjut SMA, buat biayain sekolah adiknya. Puji syukur bisa lumayan sukses kaya sekarang.”

Gadis itu kini terdiam, tidak menyangka rumah yang terasa begitu hangat ini ternyata memiliki celah besar yang menyebabkan udara dingin masuk dan membuat pemiliknya sempat merasa tidak nyaman. “Terus ibunya kerja ap—”

“Kak Orlandooooo!” seru Sintia dari kejauhan, membuat kerumunan teman-temannya menoleh untuk memandang laki-laki yang dipanggilnya. “Akhirnya kamu dateng juga, Kak. Ih, repot-repot banget bawa hadiah.” Sintia melirik bingkisan yang dibawa oleh Orlando sebelum laki-laki itu menyerahkannya.

“Cuma hadiah kecil, Sin.” Ia tersenyum. “Selamat ulang tahun, ya. Jangan main mulu, belajar yang bener biar Cecep nggak cepet ubanan mikirin lu.”

Zenaya menangkap raut bahagia dari Sintia. Padahal kalau mengingat penjelasan Orlando mengenai kedekatannya dengan Sintia, ia tidak sedekat itu hingga membuat Sintia bisa merasa sesenang ini hanya karena Orlando benar-benar datang ke sana. Untungnya Orlando bisa cepat akrab dengan gadis itu karena sering mendengar Cecep menceritakan tentang kehidupannya. Sedikit merasa seperti telah mengenalnya dari lama.

“Eh, ini siapa, Kak?” Cepat-cepat Zenaya mengulurkan tangan, menyambut Sintia yang lebih dahulu menyunggingkan senyuman.

“Selamat ulang tahun, Sintia. Kenalin aku Zenaya, temennya Kak Orlando sama Cecep.” Orlando malah terkekeh mendengar perkenalan formal gadis itu. Sangat tidak terlihat seperti Zenaya. Sedangkan yang menjadi sumber utama kekehannya mulai menatap dengan bingung.

“Sin, temen lu banyak banget. Satu sekolah lu undang, ya?”

“Kamu sarkas, ya, Kak?” Sintia memicingkan mata. Ia tahu Orlando hanya bercanda, di dalam sana tidak banyak orang yang datang. Mungkin hanya dua puluh sampai tiga puluh orang yang memang akrab dengan Sintia. Meskipun begitu acara hari ini tampak ramai lantaran ada MC yang turut meramaikan dan beberapa teman ikut menyumbangkan nyanyian.

“By the way, duduk dulu di sana, Kak. Aku potongin kuenya dulu nanti aku kasih buat kalian.” Sintia menunjuk ujung ruangan yang masih menyisakan space untuk mereka—Zenaya dan Orlando. Tempat yang terlihat lumayan penuh dengan teman-teman Sintia.

“Kita di sini aja, Sin. Nggak enak kalo gabung sama temen-temen lo.” Cecep menyahut sembari mengambil dua buah minuman yang ada di meja sebelahnya, kemudian menyerahkannya kepada Zenaya dan Orlando. Begitu Sintia menyetujui, mereka pun mengambil tempat di ujung lain ruangan. Duduk di atas kursi plastik yang tersedia di sebelah meja hidangan.

“Aduh anak ibu dateng juga.” Orlando dengan cepat menyerahkan gelas yang ia bawa kepada Zenaya untuk bisa mengambil tangan wanita paruh baya yang tiba-tiba menghampirinya.

“Dateng dong, Bu, kan diundang. Nanti kalo Orlando nggak dateng ibu jadi nangis, gimana?” canda Orlando membuat Zenaya dan Cecep sesekali ikut tertawa. “Lihat, Bu, siapa yang Orlando bawa.”

Wanita paruh baya itu menoleh mengikuti arah pandangan Orlando, membuat Zenaya dengan cepat bangkit dari duduknya dan meletakkan dua gelas yang ia bawa pada kursi.

Sebelum menjabat tangan, Zenaya mengusapkan kedua telapak tangannya pada pakaiannya agar air yang tadi mengenai tangannya tidak mengganggu wanita tersebut. “Selamat siang, Bu. Kenalin, saya Zenaya.”

Tawa kecil lagi-lagi terdengar dari sebelahnya. Gadis itu secepat kilat menatap Orlando seperti sedang bertanya ‘Kenapa?’ hingga membuat lawan bicaranya menggeleng sebelum menutup tawanya. Sejujurnya Orlando merasa lucu ketika melihat Zenaya tiba-tiba berubah menjadi gadis yang pendiam seperti sekarang, jauh dari image-nya yang pecicilan dan terkadang membuat orang keheranan.

“Bukan, Bu, ini beda orang.” Cecep menjelaskan kepada ibunya seolah mengerti dengan apa yang sedang ibunya pikirkan. Mengenai gadis yang sedang bersama dengan Orlando. “Udah putus yang itu.”

Oalah, sepertinya Zenaya paham siapa yang sedang mereka bicarakan.

Setelah berbincang sebentar dan membahas beberapa hal bersama wanita paruh baya tersebut, Orlando dan Zenaya kembali duduk dalam diam. Mengamati keberjalanan acara dari ujung ruangan selagi mulutnya mengunyah kue atau menyeruput minuman yang disediakan.

Dari perbincangan tadi Zenaya bisa menyimpulkan kalau Orlando adalah sosok yang mudah akrab dengan orang tua. Terlihat dari setiap kalimat yang Bu Mila—Ibunya Cecep—katakan, Orlando selalu saja bisa merespon dengan jawaban yang memuaskan.

“Ini acaranya sampe jam berapa, Kak?” tanya Zenaya namun tidak didengar oleh Orlando lantaran suara MC dan musik yang mengalahkan suaranya. “Kak?” Tangan Zenaya sampai harus meraih Orlando agar laki-laki itu menoleh. “Hey, kenapa?” “Ini acaranya sampe jam berapa?” ulang Zenaya.

“APA? NGGAK KEDENGER.” Orlando sedikit berteriak membuat gadis di sebelahnya terkekeh. Ia menarik tubuh laki-laki itu sampai mendekat sebelum memosisikan diri di depan telinga Orlando. Dari jarak sedekat ini Zenaya bisa mencium aroma parfum yang sama dengan yang ia cium kemarin saat di gazebo, juga bisa melihat side profil laki-laki itu yang sanggup membuat Zenaya menahan napasnya sekian detik sebelum berbicara.

“INI SAMPE JAM BERAPA?” Barulah Orlando mengerti. Ia mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelum menarik kembali Zenaya untuk berbisik di telinga gadis itu seperti apa yang ia lakukan sebelumnya.

“Satu jam lagi, mau pulang sekarang?” bisik Orlando dan dijawab dengan gelengan kecil dari Zenaya. “Kalo mau pulang bilang aja, ya?”

Zenaya bertanya bukan karena ingin cepat pulang, ia hanya penasaran dengan rangkaian acara hari ini. Masih satu jam lagi, cukup lama untuk melakukan games dari MC yang sejak tadi tidak pernah berhenti. Mulai dari tebak lagu, sambung lagu, games menari, dan masih banyak lagi games yang menarik untuk dilakukan.

“COBA AJAK KE DEPAN SINI SATU ORANG YANG KALIAN RASA PALING GANTENG DAN PALING PENGEN DIJADIIN PACAR!”

Suara MC tiba-tiba menggelegar, diiringi dengan dua orang gadis yang tiba-tiba berlari menuju Orlando hingga membuat semua orang ikut melarikan pandangannya pada ujung ruangan—tempat di aman Orlando duduk bersama Zenaya. Cecep sudah pergi sejak tadi, membantu ibunya yang sesekali kewalahan menyiapkan makanan.

Dari kejauhan tadi, Zenaya sudah yakin kalau MC akan melibatkan laki-laki di sampingnya ini dalam sebuah permainan. Terbukti dari lirikan mata MC yang sejak tadi jatuh padanya—pada Orlando lebih tepatnya.

Orlando kaget dengan dua orang gadis yang secara tiba-tiba berebut untuk menariknya, apalagi ditambah riuh dari penonton dan MC yang menambah heboh suasana. Cecep yang tadi ada di belakang pun kembali ke depan dan tertawa saat merasa ruang tengah tiba-tiba ramai. Sayangnya mereka berdua tidak bisa membawa Orlando ke depan lantaran laki-laki itu terus menolak.

“Wah ternyata kakak ganteng yang di ujung itu populer banget, ya? Gimana kalo kita undang naik aja langsung daripada nunggu mbak-mbak itu berantem di depannya?” canda MC sembari berjalan menuju Orlando. Mengajak laki-laki itu untuk ikut ke dalam permainan.

Memang sepertinya target MC adalah Orlando.

Zenaya melihat laki-laki di sebelahnya sedang memasang wajah seperti meminta bantuan, tapi gadis itu hanya bisa tertawa sembari mendukung Orlando. “Semangat, Kak!!”

Melihat Zenaya yang tertawa puas, Orlando pun menyerah. Mengikuti MC untuk berjalan ke depan semua orang.

“Perkenalan dulu, dong, Kak. Namanya siapa, nih?” tanya MC dengan girang sebab berhasil menempatkan Orlando di sana. Riuh tawa dan siulan mulai memenuhi ruangan.

“Nama saya Cecep.” Zenaya tertawa puas di ujung ruangan, sedangkan Orlando malah cengengesan dan terus melirik pada gadis itu. Seperti tidak rela meninggalkannya sendirian.

“Ganteng begini namanya beneran Cecep?” Orlando hanya mengangguk. “Oke Kak Cecep, karena udah ada di depan sini, jadi sekarang waktunya kita main pocky pocky!” Semua orang berteriak, entah mengapa menjadi heboh saat melihat MC menyebutkan nama permainan.

“Permainannya gampang banget, nih.” MC tersebut mengambil sekotak makanan Pocky dari meja dan menarik isinya satu untuk dijadikan contoh. “Jadi, nanti Kak Cecep harus makan ini—”

“Yaelah gampang.” Belum sempat MC menyelesaikan instruksi, Orlando menyahutnya. Tapi sayang, tidak segampang itu ternyata.

“Tapi makannya berdua … SAMA SAYA!!” Semua orang makin bersorak. Ada yang bersorak geli lantaran MC tersebut adalah laki-laki, ada yang bersorak kecewa karena menginginkan posisi tersebut, ada juga yang malah menyemangati, seperti Zenaya yang ada di ujung ruangan.

Orlando bergidik ngeri.

“Bercanda, Kak. Makannya sama orang lain, kok!” Hampir saja Orlando membubarkan permainan kalau saja ia benar harus makan Pocky itu dengan sang MC. “Satu orang paling berani ayo angkat tangan buat main games makan Pocky sama Kak Cecep!” Tawaran MC bagaikan tawaran lelang, beberapa gadis yang tadi sempat menaruh kecewa tiba-tiba memiliki semangat yang semakin membara. Tangannya terangkat, saling berebut untuk modus dengan kakak ganteng yang ada di depan.

“Waduh, banyak banget, nih. Tamara jadi bingung milihnya!” Tamara—nama MC tadi—bersorak kegirangan seolah mendapatkan hadiah Super Deal 2 Milyar. Di sebelahnya, Orlando sedang mencari cara untuk keluar dari permainan secepat mungkin. Ia segera menghampiri sang MC kemudian membisikkan sebuah kalimat yang tiba-tiba membuat laki-laki itu tertawa.

“Maaf ya saudara-saudara harus mematahkan harapan kalian buat modus-modusan sama Kak Cecep. Ternyata, Kak Cecep punya syarat buat permainannya.” Semua orang mendesah kecewa.

Berbeda dari sebelumnya, Orlando kini malah tersenyum lebar membuat Zenaya memandangnya dengan curiga.

“Kak Cecep udah punya pacar, guys. Kalian-kalian yang udah nyiapin rencana wedding indoor apa outdoor sama Kak Cecep ayo mundur dulu. Malu tuh dilihatin sama pacarnya di belakang.”

Semua orang menoleh ke ujung ruangan, membuat Zenaya tiba-tiba salah tingkah. Ia tidak akan mengira laki-laki itu akan memperkenalkan dirinya sebagai pacar—padahal sudah jelas mereka hanya teman.

“Suruh maju sekalian pacarnya!” Cecep—yang asli—berteriak dari belakang, mendukung MC dan semua orang untuk mendorong Zenaya ke dalam jurang. Zenaya yang mendengar sorakan semakin ramai mau tidak mau melangkahkan kaki dengan malu ke depan semua orang.

Senyum Orlando tidak kuasa tertahan saat melihat gadis itu berjalan dengan malu-malu ke arahnya, apalagi sekarang dari jarak dekat ia bisa melihat Zenaya memelototinya sembari mengatakan, “Maksudnya apa?” dengan mimik mulut saja. Tapi Orlando tidak menggubris dan malah menambah drama dengan menarik Zenaya semakin mendekatinya. Bagaikan bahan bakar yang membuat api sorakan semakin besar.

Tangan kanan Orlando kini melingkar di pinggang Zenaya, sayangnya gadis itu sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk membalikkan keadaan. Bagaikan melihat sebuah adegan dalam film percintaan, semua orang semakin berteriak heboh saat melihat dua orang itu saling mendekatkan wajah untuk berbisik dengan posisi yang cukup mendebarkan.

“Kak, maksud lo apa?” Kali ini Zenaya benar-benar bisa mengucapkan kalimat itu di telinga Orlando.

Kekehan muncul sangat dekat dengan telinganya. Bahkan wajah mereka hanya berjarak beberapa centi saja sebab adegan bisik-bisikan yang sedang mereka lakukan. Wajah Zenaya sudah mulai panas, kakinya hampir lemas, pun jantungnya semakin berdetak tak karuan.

Tapi Orlando malah tersenyum tanpa dosa, kemudian menarik Zenaya semakin mendekat dan berbisik di telinganya, “Kan kemaren gua udah bilang, pacarannya besok aja.”

Orlando memperhatikan keberjalanan OSPEK dari kejauhan, sesekali mengecek jam yang melingkar di pergelangan tangannya guna memastikan bahwa waktu untuk membawa kabur seseorang—maba jurusan—yang telah direncanakan sebelumnya tidak terlewat.

Skenarionya begini, satu orang yang terpilih akan diculik. Kemudian membiarkan teman-teman angkatannya untuk menyadari dan mencarinya di sekitar tempat OSPEK—entah di lapangan, kamar mandi, parkiran, kantin, atau di mana saja yang sekiranya masih berada di lingkungan kampus—dalam waktu tiga puluh menit. Kalau tidak berhasil menemukannya, mereka akan dicecar oleh Danlap—Komandan Lapangan—pada sesi evaluasi yang tentu saja sudah termasuk dalam skenario juga.

Sejujurnya, tujuan utama panitia membuat skenario seperti ini bukan semata-mata untuk menjadi sok senior yang sengaja mencari-cari kesalahan calon adik tingkatnya demi sebuah kesenangan. Tentu saja tidak, bukan itu tujuannya. Sangat jauh daripada itu, panitia ingin menggunakan skenario ini untuk menumbuhkan rasa kepedulian serta solidaritas angkatan yang sampai sekarang dirasa masih kurang terasa selama keberjalanan OSPEK yang telah lalu.

Kalau sesuai dengan briefing kemarin, Orlando sebagai Kepala Divisi Tata Disiplin yang hari ini tidak memiliki peran cukup penting akan diberikan tugas untuk menjadi penculik—bukan penculik sebenarnya melainkan orang yang bertugas untuk membawa pergi maba itu dari barisan agar tidak bisa ditemukan. Entah menyembunyikan di mana, yang pasti di suatu tempat yang tidak akan terjangkau oleh siapa saja kecuali dirinya.

###

“Duduk dulu di sini, Ze. Tunggu sampe gua kasih aba-aba buat balik ke barisan baru lu boleh pergi.” Orlando berbicara dengan cepat sebelum Zenaya sempat memproses setiap tindakan yang baru saja dilakukan oleh laki-laki itu: membawanya kabur.

Beberapa menit yang lalu ketika kelompok Zenaya diharuskan untuk berganti pos dari Divisi Internal ke Divisi Eksternal, Orlando mulai melancarkan misinya untuk menculik Zenaya tanpa sepengetahuan teman-teman satu kelompoknya. Beruntung gadis itu selalu berada di paling belakang barisan hingga tidak butuh waktu lama untuk Orlando bisa menariknya keluar dan membawanya pergi sebelum yang lain sempat menyadari.

Zenaya tidak ingin besar kepala dengan memikirkan kemungkinan tidak masuk akal seperti apakah laki-laki ini sengaja membawanya pergi di tengah kegiatan OSPEK dan menggunakan privilege yang ia miliki seperti sebelumnya—memundurkan deadline pengumpulan tugas wawancara ketika Zenaya belum selesai mengerjakannya.

Tapi sepertinya bukan itu, sebab kali ini Zenaya mulai merasa tidak sedekat itu lagi dengan Orlando setelah mengetahui hubungan laki-laki itu dengan kakak tingkatnya yang bernama Kayla beberapa hari belakangan. Lagi pula, membawanya kabur di tengah OSPEK hanya karena sebuah privilege tanpa urgensi yang jelas bukanlah hal yang patut untuk dibanggakan. Untuk apa? Tidak seperti sebelumnya yang memang terdapat sebuah kendala hingga membuat Orlando terpaksa untuk menggunakan koneksinya agar Zenaya tetap dapat mengumpulkan tugasnya tanpa mendapatkan sebuah hukuman.

Gadis itu mengangguk pelan. Kepalanya berputar untuk mengenali di mana ia berpijak sekarang. Sebuah tempat asing yang sampai saat ini baru ia ketahui keberadaannya. Sekelilingnya adalah kebun—atau bisa dibilang seperti hutan—yang tidak begitu besar. Oh, Zenaya bahkan baru tahu kalau ada tempat semacam ini di dalam kampusnya.

Tempat ini sepi, benar-benar sepi sampai sepertinya hanya ada mereka berdua selain burung yang berkicau serta beberapa nyamuk yang terkadang lewat. Bagaimana bisa Orlando menemukan tempat tersembunyi lain—yang pertama ada di seberang tempat fotokopi Cecep, meskipun tempat itu tidak sepenuhnya tersembunyi—seperti laki-laki itu adalah seorang penjelajah yang berkedok sebagai mahasiswa Teknik Geologi.

Entahlah, yang pasti Zenaya sekarang hanya sedang kebingungan.

Gazebo kecil yang berdiri di hadapannya sekarang membuatnya berpikir bahwa mungkin saja dahulu tempat ini ada yang menjamah, atau sebenarnya sampai sekarang pun masih ada hanya ia saja yang tidak pernah tahu. Dari tempatnya berdiri, ia juga bisa melihat hanya ada satu jalan yang tadi ia lewati bersama laki-laki itu.

Jalan di sana bersih dan rapi, meskipun kanan kirinya bukan ditumbuhi oleh bunga melainkan semak-semak, Zenaya bisa yakin kalau tempat ini pasti sering dikunjungi oleh petugas kebersihan atau siapapun yang merawatnya.

Matanya kembali berpencar, kemudian melihat sebuah gedung yang berdiri tepat lima meter di hadapannya. Bangunan itu tampak seperti pagar yang menutupi tempat ini. Menjulang dengan jumlah lantai yang Zenaya perkirakan ada enam atau tujuh hingga tampak sangat tinggi dari bawah sana. Mungkin ini juga menjadi salah satu alasan mengapa tempat nyaman—yang bisa Zenaya rasakan—ini tidak banyak yang mengunjungi. Zenaya juga ingat kalau tidak salah gedung di hadapannya ini adalah gedung milik Fakultas MIPA yang lumayan jauh dari fakultasnya. Lagi-lagi kepalanya masih berputar untuk memikirkan jawaban bagaimana Orlando bisa menemukan tempat ini.

“Nih, pake dulu.” Gadis itu mendongak setelah mendudukkan diri di gazebo, melihat Orlando mengulurkan sebuah bungkusan kecil yang bertuliskan ‘Autan’ dari tangannya. “Di sini banyak nyamuk, biar lu nggak demam berdarah balik dari sini.” Zenaya bahkan tidak menyangka kalau Orlando sudah menyiapkan amunisi sebelum datang kemari.

Sebetulnya gadis itu pun masih ragu, haruskah ia bertanya tentang apa yang terjadi sekarang atau lebih baik menunggu sampai laki-laki itu bersedia untuk menjelaskannya? Tapi yang pasti, Zenaya lebih memilih untuk mengambil dan menggunakan benda pemberian Orlando itu terlebih dahulu sebelum ia benar-benar kehabisan darah lantaran nyamuk-nyamuk yang tadi hanya lewat kini mulai mengerubungi dirinya seolah mereka sedang kehausan.

“Lo nggak pake, Kak? Nanti digigit nyamuk juga,” tanya Zenaya saat melihat laki-laki di hadapannya hanya diam sembari mengamati pergerakannya mengoleskan Autan itu pada tangan dan kakinya.

“Nggak.”

Ia bisa melihat raut wajah Orlando yang kini terlihat sangat serius sampai-sampai Zenaya sempat ragu untuk bertanya lagi dan lebih memilih untuk diam, kembali fokus pada kegiatannya. Tapi sepertinya hati dan pikiran gadis itu tidak bisa selaras, matanya menolak untuk diam dan sesekali melirik Orlando, menemukan bahwa laki-laki itu masih saja menatapnya dengan wajah serius.

Apa yang sedang laki-laki itu pikirkan? Sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu atau sebenarnya hendak mengatakan sesuatu kepada Zenaya namun tidak bisa dikatakan. Atau justru ini hanyalah topeng yang sengaja ia pasang lantaran saat ini mereka berdua bukan sedang bertemu sebagai ‘Orlando dan Zenaya’ melainkan sebagai ‘Panitia dan Maba’.

Benar juga, Zenaya baru menyadari hal itu sekarang.

“Lu haus nggak?” tanya Orlando dengan ragu. Zenaya hanya menggelengkan kepala, meletakkan Autan yang tadi ia pakai ke sebelahnya, kemudian mulai mengayunkan kedua kakinya yang menggantung lantaran bingung harus berbuat apa.

Oke, sekarang mereka hanya saling terdiam dalam kecanggungan. Kalau saja batu-batuan serta rumput di sana bisa berbicara, mungkin mereka akan protes lantaran membuatnya terjebak dalam kondisi yang tidak nyaman. Orlando bersandar pada tiang gazebo di sebelah Zenaya. Membiarkan gadis itu untuk meraup udara yang bercampur dengan aroma parfum yang sengaja ia pakai sebelumnya.

Mereka memandang sekitar, ke arah pohon, kucing yang tiba-tiba melewati mereka, burung yang sedang mematuk cacing, atau apa saja yang bisa mengalihkan perhatian. Sepertinya memang tidak ada niatan untuk membuka suara sampai lima menit pun terasa begitu lama.

“Kak,” panggil Zenaya pada akhirnya. Mulutnya sudah tidak sanggup lagi untuk mengatup apalagi merasakan kecanggungan yang entah sampai kapan akan melingkupi mereka. Orlando menoleh, mendapati raut wajah Zenaya yang penuh akan tanda tanya.

“Lu lagi diculik, skenario panitia,” jawab Orlando cepat seolah sebuah pertanyaan sudah tertulis jelas di dahi Zenaya. Gadis itu mengangguk, mulai memahami mengapa tiba-tiba ia ada di sini.

“Mau tanya apa lagi, Ze?” lanjut Orlando ketika Zenaya belum kunjung melontarkan pertanyaan lainnya dan malah menatapnya dengan lekat. Satu detik kemudian gadis itu menunduk dengan cepat, merasa salah tingkah ketika menyadari bahwa sosok yang sejak tadi ia tatap mulai mengubah posisinya. Tubuhnya masih bersandar pada tiang, namun kini ia menggunakan pundak kirinya sebagai tumpuan serta menghadap Zenaya dengan senyum miring yang menyebalkan.

“Ze?” panggil Orlando lagi, namun Zenaya mendadak tuli dan bisu.

Kepalanya riuh, memikirkan segala macam hal termasuk apakah ia harus bertanya mengenai ‘hubungan’ mereka—yang sejujurnya belum pantas disebut sebagai hubungan—setelah ini, pasca memikirkan kemungkinan bahwa Orlando memang sedang dekat dengan Kayla.

Kalau boleh jujur, ini bukan masalah besar bagi Zenaya kalaupun ia mengetahui fakta bahwa ternyata kakak tingkat yang tadinya dekat dengannya itu bermaksud untuk membangun kembali hubungannya dengan Kayla—yang katanya sempat tertunda. Terlebih lagi kepalanya kini ikut mengingatkan perihal pengakuan kakak tingkatnya itu beberapa waktu yang lalu terkait kedekatannya dengan Orlando serta bagaimana laki-laki itu bersikap kepada orang lain. Membuat Zenaya sedikit banyak mulai paham bahwa mungkin saja apa yang dilakukan Orlando kepadanya sekadar basic manner dan bukanlah sebuah hal yang istimewa.

Mengantarkannya pulang, meminjamkan jaket kepadanya, membantunya mengerjakan tugas OSPEK dan tugas kuliah, membelikannya makan, atau hal-hal lain yang sempat Zenaya terima kemarin-kemarin.

Ia pun juga banyak mendengar bagaimana sosok laki-laki yang dikenal cukup galak saat OSPEK itu berbanding terbalik dan menjadi sangat baik hingga terkadang menimbulkan banyak kesalahpahaman ketika berada di luar kegiatan. Sosok laki-laki yang mudah untuk disukai sebab segala sifat baiknya yang membuat banyak orang—termasuk Zenaya—seketika terhipnotis dan berpikir bahwa mereka adalah orang yang istimewa sebab Orlando memberikan banyak perhatian kepadanya.

Namun katanya, laki-laki itu memang berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang siapa saja.

Kemarin, Zenaya juga sempat menguping—sebenarnya tidak sengaja mendengar—kakak tingkat yang diperkirakan satu angkatan dengan Orlando, bergosip dengan temannya ketika berada di dalam toilet wanita. Di sisi lain, Zenaya yang tadinya hendak menggedor pintu untuk meminta tolong sebab kunci pintu bilik kamar mandinya tiba-tiba rusak—bilik tersebut sebenarnya memang sedang rusak, tapi dengan cerobohnya Zenaya masuk tanpa melihat pengumuman yang menempel di pintu sehingga ia harus berakhir dengan terjebak di dalam sana—dan seketika mengurungkan niatnya untuk mencari bantuan dari mereka. Memilih untuk berdiam diri lantaran tidak ingin menginterupsi obrolan yang mungkin bisa memberikannya informasi penting yang entah bisa dipercaya atau tidak.

“Tau nggak, Ji, Orlando sama Elvira putus katanya gara-gara Orlando masih sering deket sama cewek-cewek tau. Kok nggak ada tobatnya ya dia, padahal udah dapet Elvira, tapi masih aja lirik sana sini.”

“Lah, bukannya karena Elvira selingkuh, ya? Gue denger dari Kayla katanya gitu, makanya sekarang Elvira jadian sama si Novan.”

“Lo percaya? Kayla aja deket sama Orlando, dari dulu kan mereka—Kayla dan Elvira—emang agak musuhan. Si Kay gagal pacaran sama Orlando juga gara-gara keduluan sama Elvira.”

“Tapi masa iya, sih? Gue diceritain sama Kayla malahan katanya si Elvira yang agak toxic pas pacaran. Nggak bolehin Orlando main sama siapa-siapa, terus agak posesif juga. Waktu itu Nadya pernah satu kelompok sama Orlando, terus disuruh pindah kelompok sama Elvira gara-gara nggak mau Orlando satu kelompok sama cewek. Pokoknya tuh, Elvira nggak suka banget liat Orlando deket sama cewek.”

“Ya gimana… Orang Orlandonya kan juga gitu. Kalo nggak ada api nggak mungkin ada asap, kan, Ji? Lo pikir aja kenapa Elvira posesif banget sama Orlando? Ya karena dia gitu, nempel sana sini, baik ke semua orang sampe bikin anak orang baper, gue tanya deh, siapa yang mau cowoknya kaya gitu? Kalo gue jadi Elvira juga gue posesif kaya gitu.”

“Tapi denger-denger Orlando lagi gebet adik tingkat, tuh. Anak 2019, maba masih ospek. Heboh banget kemaren sampe disamperin ke kelasnya.”

“Oalah si itu, siapa sih namanya? Zendaya apa Zenaya?”

“Zenaya, anjir. Zendaya mah artis.”

“Alah palingan juga nggak lama, Orlando kan suka ganti-ganti gebetan. Waktu itu deketnya sama Kayla, jadiannya sama Elvira. Lihat aja ntar, deketnya sama siapa jadiannya sama siapa.”

“HAHAHAHA, kata gue sih sama Kayla. Diliat-liat mereka makin nempel gara-gara ngospek bareng.”

“Feeling gue juga gitu.”

Saat itu, Zenaya tidak menyiapkan apapun. Hati, mental, atau hal lain yang membuatnya bisa menahan rasa sakit yang ada di dalam dirinya. Ia bahkan tidak menyangka akan mendengarkan sebuah percakapan yang lumayan rahasia sampai menyebutkan namanya seperti itu. Tapi bagaikan takdir, Zenaya jadi paham mengapa Tuhan menempatkannya dalam bilik kamar mandi rusak itu hingga empat puluh lima menit lamanya sampai seorang petugas kebersihan membantunya keluar dari sana. Mendengarkan cerita tentang Orlando dari mulut orang lain selain Gia dan Kayla.

Kembali pada Zenaya di masa sekarang yang sedang menghembuskan nafas panjang di balik kepalanya yang masih menunduk serta kaki yang terayun. Perlahan gadis itu menyadari bahwa posisinya sangat membingungkan.

Zenaya tidak mungkin menyalahkan Orlando.

Ia harusnya malah berterima kasih karena laki-laki itu bersedia membantunya selama ini. Bukan malah bersembunyi di balik rasa sakit hati atau menyalahkan Orlando dengan alasan merasa dibohongi akibat perlakuan yang diberikan kepadanya serta perasaan yang ia miliki tidak mendapat balasan seperti apa yang ia inginkan.

Menyalahkan Orlando hanya karena laki-laki itu berbuat baik sedangkan otaknya sendiri lah yang berpikir bahwa hal tersebut merupakan perlakuan spesial yang dilandasi oleh perasaan hingga menimbulkan kesalahpahaman, adalah hal yang tidak pantas menurut Zenaya.

Bukan salah Orlando menjadi orang baik. Mungkin ekspektasinya saja yang berlebihan, menganggap semua orang memiliki batas kebaikan yang sama dengannya.

Mungkin, Orlando berbeda.

Mungkin saja laki-laki itu bukan dengan sengaja melakukan semua kebaikan hanya untuk menarik perhatian atau hendak membuat Zenaya menaruh perasaan, melainkan karena ia memang selalu berbuat baik kepada siapa saja tidak memandang siapa orangnya dan seberapa dekat ia dengan orang tersebut. Karena baginya, berbuat baik itu adalah kewajiban.

Semua serba mungkin, sebab Zenaya juga tidak tahu bagaimana pastinya. “Ze?” panggilan dari Orlando membuyarkan seluruh pikiran panjang Zenaya. Menariknya kembali pada kenyataan bahwa ia harus berhadapan dengan laki-laki ini lagi dan lagi. “Lima menit lagi kita balik ke lapangan, ya.”

Gadis itu mengangguk namun masih enggan untuk berbicara. Tidak menyadari bahwa dua puluh menit telah mereka habiskan dalam keheningan.

“Kak, gue boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Zenaya setelah menimang bagaimana ia menghabiskan waktu lima menit kedepan tanpa merasa canggung atau tertekan. “Kalo lo nggak keberatan, sih.”

“Tanya aja,” balas Orlando santai.

Gadis itu menarik nafas dalam. “Lo lagi deket sama Kak Kayla, ya?”

Orlando terkekeh membuat Zenaya semakin bertarung dengan degup jantungnya yang semakin tak terkendali. Sekejap merasa malu serta menyesali perbuatannya yang bisa saja membuat Orlando tidak nyaman akan pertanyaannya. “Emang keliatannya gimana, Ze?”

“Iya.” Jawaban spontan Zenaya akhirnya mengundang gelak tawa dari Orlando. “Kenapa ketawa, Kak?” tanya Zenaya cepat seiring dengan matanya mengikuti pergerakan Orlando yang mendadak bangkit dari posisinya sejak dua puluh menit lalu dan mulai memposisikan diri di hadapan gadis itu.

“Kepala lu ini isinya pasti banyak banget, ya?” tanpa sadar Zenaya mengangguk pelan ketika Orlando menepuk pelan puncak kepalanya. Bagaikan dihipnotis oleh pesulap handal dengan satu jentikan jari dan orang tersebut akan melupakan segala hal yang terjadi sebelumnya.

Lagi-lagi Orlando hanya tertawa. “Ketawa mulu dari tadi kenapa, sih?”

“Simpen pertanyaannya buat besok aja, ya.” Orlando melirik jam tangannya, sebelum kemudian melanjutkan. “Kita harus jalan ke lapangan tiga menit lagi, nggak cukup kalo gua jelasin semuanya sekarang.”

Zenaya pasrah, lagi pula, kalau dipikir-pikir lagi Orlando juga tidak memiliki kewajiban untuk menjelaskan apapun kepadanya.

“Besok Minggu, Kak. Kuliahnya libur.” Laki-laki itu mengangguk, tanpa Zenaya jelaskan pun ia juga tahu kalau besok adalah hari Minggu dan kuliah sedang libur.

“Besok lu ada acara?” tanya Orlando membuat gadis itu dengan cepat menggeleng. Entah kenapa masih sedikit berharap ada sesuatu di balik pertanyaan itu meskipun sejak semalam pikirannya sibuk mencari cara untuk menghindari Orlando kalau semua asumsinya terbukti benar.

“Mau ikut gua, nggak?”

“Ke mana?” Zenaya sedikit ragu untuk bertanya, takut kalau laki-laki itu menangkap sebuah harapan yang tersemat dalam pertanyaannya.

“Nyari kado sekalian ke acara ulang tahun adiknya si Cecep. Kan gue udah bilang ke lo.”

Mata Zenaya melebar, tiba-tiba merasa bingung sekaligus kaget dengan ucapan laki-laki itu. “Bentar, jadi yang semalem lo tanyain tuh kado buat—”

“Adiknya Cecep.” Laki-laki itu menjawab santai. Sepertinya sadar bahwa Zenaya mungkin sempat berpikiran hal lain maka cepat-cepat ia jelaskan. “Bukan kado buat Kayla, Ze.”

Gadis itu bahkan langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan saat mendengar Orlando menjawab pertanyaan dalam pikirannya, padahal sudah jelas pertanyaan itu tidak pernah keluar dari mulutnya.

Sejak semalam Zenaya memang sedang memikirkan hal tersebut. Siapa sosok yang dimaksud oleh Orlando? Apakah itu Kayla? Melihat bagaimana Kayla mengunggah sebuah status berisi foto seorang lelaki membawa bunga untuk hadiah ulang tahunnya, lengkap dengan caption yang menyebutkan nama Orlando, jelas membuat Zenaya berpikir kalau laki-laki di foto itu adalah Orlando dan sosok yang dimaksud olehnya hendak diberikan kado ulang tahun adalah Kayla.

Tapi, hari ini semuanya menjadi jelas. “Semalem Kayla ulang tahun. Gua tau lu juga lihat status dia dan pasti sempet mikir kalo cowok itu gua, kan? Agak kepedean, sih, tapi kayanya isi kepala lu ini begitu.”

Skakmat.

“Jidat gue ada tulisannya, ya, Kak?” Laki-laki itu terkekeh sebelum mengulurkan tangan kanannya pada Zenaya. Merasa tembok yang tadi berdiri kokoh di antara mereka perlahan mulai runtuh.

“Iya, tulisannya gede banget kaya plang selamat datang di Kota Bandung.” Orlando bergurau sembari menunggu Zenaya menerima uluran tangannya. “Itu gebetannya Kayla, tetangga gue.”

“Hah jadi bukan lo, Kak? Terus kenapa Kak Kayla nyebut nama lo segala di statusnya?” tanya Zenaya lagi masih mengabaikan uluran tangan Orlando.

“Ayo berdiri, udah waktunya balik ke lapangan.” Laki-laki itu tidak menjawab dan malah menarik tangan Zenaya agar bangkit sebelum membawa gadis itu kembali ke lapangan tempat di mana mereka seharusnya berada.

“Kak, ih, jawab dulu gue penasaran!” Gadis itu bersikeras mencari jawaban lantaran kepalang penasaran dengan segala hal yang terjadi kemarin dan sebelum-sebelumnya.

Jadi selama ini ia salah sangka? Lalu bagaimana dua orang penyebar gosip itu bisa sangat yakin kalau Orlando dan Kayla dekat setelah laki-laki itu putus dari Elvira? Apakah mereka semua tidak tahu kalau Kayla memiliki gebetan lain dan bukan Orlando? Tapi, mengapa Kayla mengirimkan foto Orlando kepada Zenaya? Apa tujuannya? Banyak hal yang berputar di kepala Zenaya sekarang.

Sejujurnya, semua pikiran Zenaya serta tuduhan dari dua orang yang tidak Zenaya ketahui identitasnya perihal Orlando yang memiliki sifat baik kepada semua orang hingga terkadang membuat orang lain salah paham akan kebaikannya, adalah salah besar. Mungkin ada sebagian yang benar, seperti saat mereka tahu kalau Orlando selalu berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang siapa orangnya. Tapi satu hal yang tidak mereka tahu. Orlando tidak pernah menaruh perhatian lebih kepada satu orang kalau ia tidak memiliki ketertarikan pada orang tersebut. Ada batasan yang Orlando bangun di antara baik dan perhatian yang tidak pernah mereka tahu.

Begini jelasnya: Orlando yang ‘baik’ akan menolong orang lain untuk membelikan mereka makan. Sedangkan Orlando yang ‘perhatian’ akan mencarikan makanan yang diinginkan seseorang agar ia mau untuk makan.

Orlando yang ‘baik’ akan menolong orang lain untuk mengecek tugas yang telah mereka kerjakan. Sedangkan Orlando yang ‘perhatian’ akan mengerjakan tugas seseorang karena orang itu ketiduran.

Ada perbedaan antara baik dan perhatian yang Orlando berikan kepada seseorang. Menunjukkan bahwa ada tempat istimewa yang tidak ia berikan secara cuma-cuma dan tidak bisa dilihat oleh orang lain. Hanya bisa dirasakan oleh pemilik tempat tersebut. Sebab sebaik-baiknya Orlando, ia masih tahu di mana batas wajar kebaikannya agar tidak menimbulkan kesalahpahaman untuk orang lain.

Beruntungnya, Zenaya berhasil mendapatkan perhatian, bukan sekedar kebaikan.

“Kalo jelasin sekarang kelamaan. Keburu dicariin sama panitia, Ze, ntar dikira kita keasyikan pacaran,” balas Orlando santai masih dengan menggandeng tangan Zenaya sampai keluar dari tempat itu, tentu saja sebelum mereka tiba di lapangan. “Pacarannya besok aja.”

Jangan salahkan Zenaya kalau pulang dari sini ia menjadi gila.

tw // mature content

Tidak pernah terbayangkan oleh Cica, jika ia akan berada di ruangan ini lagi bersama laki-laki rupawan dengan tubuh indah yang menjadi satu-satunya tempat ia bisa mendekap. Bahkan ketika halusinasi selalu mengacaukan pertemuan antara dirinya dengan kewarasannya selama tiga tahun ini.

Disaat jiwa dan raganya memaksa dirinya untuk tetap sadar menjelajahi setiap inchi pahatan Tuhan dalam bentuk laki-laki itu, Cica masih merasa dirinya tidak sepenuhnya waras.

Sedangkan laki-laki yang kini terpejam itu pun tak bergeming ketika jari-jemari lentik milik Cica menemukan titik-titik terbaiknya dalam penjelajahan.

Terhitung sudah dua jam mereka berbaring dengan saling mendekap, menghangatkan satu sama lain di tengah dinginnya Kota Bandung yang tidak masuk akal. “Bian?”

“Hmm?” Hanya itu yang bisa Abian suarakan. Rasa kantuk teramat sangat menguasai dirinya hingga malam ini. “Bian?” panggil Cica lagi, tetap setia dengan jari yang menjelajahi dada bidang milik laki-lakinya.

“Hmm?” Masih dengan jawaban yang sama, laki-laki itu tak membiarkan satupun kata keluar dari mulutnya. “Sayang?”

Sepertinya Cica memang mengerti bagaimana cara membuat laki-laki itu membuka mata seketika. Dengan wajah yang masih mengantuk akibat tidak tidur semalaman, Abian menatap Cica dengan lembut. Mengusap rambut gadis itu pelan, dan mendaratkan sebuah kecupan singkat pada dahi sempit milik Cica. “Kenapa sayang?”

Ada desir halus mengalir dalam tubuh Cica ketika panggilan itu masuk dalam indera pendengarannya. Hembusan nafas panjang kembali ia wujudkan sebagai bentuk rasa lega yang akhirnya ia dapatkan. “You okay?” tanya Abian dengan lembut. Sedangkan gadis itu hanya menatap Abian dalam, seolah ingin menyampaikan sesuatu melalui tatapannya.

“Tell me, apa yang lagi ganggu pikiran kamu, hm?”

Sejujurnya Cica bingung harus mengatakan ini atau tidak, karena jika ia mengatakannya, maka dengan cepat Abian akan menertawakannya dan menganggapnya sebagai gadis agresif. Namun jika ia tidak mengatakannya, isi kepalanya akan terus sibuk berlari-larian memaksa dirinya untuk semakin menjadi binatang buas yang siap menerkam.

“Nevermind.” Cica hampir saja bangkit dari tidurnya, merasa pasrah dan ingin segera mengakhiri pikiran kotornya yang menjadi tuan rumah dalam kepalanya malam ini.

Belum sempat gadis itu bangkit dari sana, tangan kekar laki-laki itu menarik kembali tubuh Cica untuk dapat kembali berbaring bersamanya. Satu detik kemudian kekehan muncul dari balik wajah tampan itu. “Mau pergi ke mana?”

“Makan,” jawab Cica asal, ia sudah hampir menyerah karena malam ini rasa-rasanya ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.

“Aku juga mau makan.” Laki-laki itu berbisik, membuat rona merah seketika muncul pada wajah berseri milik Cica. Sebut saja gadis itu mesum, namun benar-benar yang ada dalam otaknya sekarang hanyalah pikiran kotor itu. “Makan apa?” tanya Cica dengan sok polos.

Jelas Cica tahu maksud Abian, nada rendah yang laki-laki itu lontarkan disertai tangan yang mulai menjelajah punggung miliknya menjadi jawaban atas pertanyaan gadis itu. “Kamu.”

Maka setelah ucapan itu terlontar, rasa kantuk yang Abian rasakan sejak tadi tergantikan oleh hasrat yang membara. Jauh lebih membara daripada lava gunung yang hampir menyembur ke permukaan.

Tanpa ada keraguan lagi, karena merasa Cica pun memberikan akses penuh kepadanya, Abian mengangkat tubuhnya segera untuk bisa menghadap Cica dari atas sana. Memandang wajah indah gadis yang saat ini telah berada di dalam kurungannya.

“You look beautiful from here.” Ucapan Abian dalam suara dalamnya benar-benar membius Cica hingga titik tertingginya. Tidak ada lagi sekat yang membatasi ruang gerak mereka, deru nafas yang membara hadir menggantikan sunyi yang sempat menghilang.

“And you look perfect from here.” Cica membalas tak mau kalah. Begitu bibir Abian mulai naik pada salah satu ujungnya, Cica yakin, tidak ada kata henti dalam kamus mereka setelah ini.

Benar saja, tanpa memotong waktu yang terus berjalan, sedikit demi sedikit jarak mulai terhapuskan. Pertemuan mereka kali ini bukan hanya singgah untuk sejenak, melainkan perhentian yang sejatinya menjadi tujuan. Mata yang terpejam pun menjadi perintah tak terucap kala bibir saling mengecap. Hamparan bumi yang dipenuhi kupu-kupu kini berpindah tempat ke ruang sempit itu. Menjadikannya sebagai tempat tinggal baru.

Penghuni mulut yang tak mau kalah pun ikut menyaksikan pertemuan lidah itu, bertukar sapa hingga menghadiahkan sebuah enzim yang saling menyatu. Mengosongkan pikiran mereka dari jerat dunia yang sementara.

Malam ini akan menjadi malam panjang bagi mereka, setelah sekian lamanya.

Kaus hitam yang melingkupi tubuh kekar Abian berhasil ia loloskan dengan sekali tarikan, menyisakan kewarasan yang berada di ambang batas antara bertahan atau hilang sekalian. Tentu saja pemandangan ini adalah hal yang Cica pikirkan sejak beberapa waktu mereka mendaratkan tubuh di tempat yang paling nyaman.

Laki-laki itu kembali memagut bibir indah gadisnya dengan penuh dambaan, menghadiahkan kecupan-kecupan kecil di ujung kanan dan kiri bibirnya kala pagutan telah berhasil dilepaskan.

Menghindari bagian lagi merasa iri, Abian tak berhenti di sana. Perlahan ia turun menuju titik lain yang juga ikut berperan dalam ledakan euforianya. Aroma khas tubuh Cica perlahan masuk menggantikan wangi ruangan yang sejak tadi ia rasakan. Mengendusnya hingga rasa geli seketika menjalar dalam tubuh gadis itu.

Tangannya yang bebas mulai turun untuk mencari celah masuk ke balik kain penutup tubuhnya. Menggerayahi setiap inchi ciptaan Tuhan yang paling indah yang pernah ia temukan. Kepala Cica tidak sanggup lagi menerimanya, kewarasan yang sejak tadi ia jaga telah sepenuhnya jatuh dalam jurang yang paling dalam.

Basah yang terasa pada lehernya menjadi saksi bahwa laki-laki itu telah berhasil membuat tanda kepemilikan pada tubuhnya. Persetan dengan semuanya, Cica menarik kembali Abian untuk naik ke atas sana, meraup bibir itu dalam-dalam hingga lawannya merasa sesak akibat kegiatan yang ia lakukan.

“Calm down, Ca, breathe.”

Setelah memberikan jeda selama beberapa detik, kegiatan bertukar enzim itu kembali terjadi. Bahkan lebih dalam membuai Cica hingga tak sadar kain penutup tubuh yang ia kenakan telah sepenuhnya menghilang. Kedua mata mereka kembali berkabut, tertutup hasrat yang melebihi batas wajarnya.

Tangan Abian bergerilya mencari titik-titik yang menjadi pengantar surga dunia, datang pada gadisnya. Sesekali mengusap dan memberikan hadiah berupa sengatan pada tubuh Cica. Hingga jari panjangnya sampai pada titik paling sensitif yang gadis itu punya, dengan segera bibirnya menyesap kembali sumber kemanisan yang ada.

Kepala Cica sudah tidak mampu lagi mengumandangkan kalimat-kalimat pinta yang sejak tadi memenuhi pikirannya, bahkan kekosongan justru menjadi tamu utamanya kala nikmat datang menyerbunya. “Feel my finger inside yours.”

Kalimat itu membuat kewarasan Cica yang telah terjatuh semakin tidak bisa ditemukan lagi. Matanya terpejam, kepalanya terangkat, serta bibirnya merapalkan nama laki-laki itu dalam desahnya. “Bian.”

“Yes babe?” Balasan Abian yang berjalan bersama jari-jemarinya yang semakin liar menjadi pengantar untuk lepasnya jiwa Cica yang sempat hampir hilang. “I’m close.”

Laki-laki itu tersenyum, menurunkan wajahnya untuk menyesap leher jenjang Cica serta mempercepat gerakan tangannya yang berada di bawah sana. Sampai getaran itu datang, seringai milik Abian masih setia menemani kegiatan bersama gadisnya.

Menit selanjutnya, tak butuh waktu lama untuk laki-laki itu menempatkan surga kembali pada dunia miliknya. Menghentakkannya setiap detik dengan sebuah kenikmatan yang tiada tara, perlahan namun pasti, hingga seluruh kekuatan dalam dirinya lepas bersamaan dengan nama yang saling terucap di antara mereka. Laki-laki itu menjatuhkan diri, mendekap erat miliknya sampai fajar menemui mereka di pagi hari.

Hari ini, mereka benar-benar menemukan surga dunia yang sejati. Tidak merasa takut bila membuka mata nanti, mereka masih berada dalam dunia fana yang mereka pijaki. Setidaknya, untuk sekarang mereka telah saling berjanji, saling menerima satu sama lain hingga ajal menjemput mereka nanti.

Terangnya lampu kota malam ini menjadi teman perjalanan panjang kedua anak adam itu, begitu juga bising kendaraan yang saling berebut untuk menyita perhatian dari kemacetan yang tak mampu mereka hindarkan. Bandung dan hari minggu memang selalu menjadi perpaduan yang tak terkalahkan, apa lagi di waktu-waktu semua orang ingin memanjakan mata dan pikiran, kala jenuh datang pada sunyinya kehidupan.

Mereka berjalan beriringan, menjadi penikmat bising yang datang dari puluhan kendaraan di jalanan. “Bandung lagi berisik, ya?” ucap Abian dengan tawa kecil khas miliknya.

Sudah lebih dari lima belas menit mereka berjalan, namun belum ada satupun kata yang dilemparkan untuk dapat memecah kebisingan sekaligus keheningan yang hadir di antaranya. Kebisingan yang berasal dari sekitarnya serta keheningan yang berasal dari keduanya. Mereka sama-sama bingung, atas apa yang harus mereka ucapkan saat berada di kondisi seperti sekarang.

Cica mengangguk untuk membalas ucapan Abian, menyadari bahwa jantungnya ikut berisik karena genggaman tangan laki-laki itu tidak dilepaskan sejak pertama kali mereka turun ke jalan. Bukannya Cica tidak ingin bersuara, namun isi kepalanya mendadak hilang, bahkan bising di jalanan pun tak mampu meredam bising kepalanya saat ini.

Abian berhenti berjalan, kemudian berbalik menghadap Cica yang tampak mulai tidak nyaman. Jika boleh jujur, jantung Abian juga tak kalah berisik dari Cica. Bahkan jika gadis di sebelahnya dapat menyadari, Abian tak berhenti mengatur nafasnya sejak tadi. Tanda jika jantungnya juga dalam kondisi yang tidak aman.

Kalo kaya gini mah suara bedug maghrib juga kalah sama suara jantung gue. Batin Abian pasrah ketika merasakan jantungnya semakin berpacu hanya karena melihat Cica yang berdiri di sampingnya.

“Lo nggak nyaman? Terlalu berisik ya?”

Sebenarnya bukan tidak nyaman, justru Cica merasa sangat nyaman dengan posisinya sekarang, berjalan di sebelah kiri laki-laki itu dengan tangan yang digenggam erat olehnya. Hangatnya tangan Abian bahkan bisa tersalurkan hingga ke tangannya, dan lebih jauh lagi ternyata hingga ke dadanya. “Nyaman kok, cuma ... ya agak berisik aja emang.”

Gadis itu terkekeh kecil, tidak menyalahkan Abian yang mengajaknya pergi malam ini karena itu semua juga keinginannya. Justru ia berterima kasih kepada laki-laki itu karena telah membantunya memenuhi keinginan yang sejak lama ia pendam. Tapi di sisi lain ia memang merasa bahwa jalanan terlalu berisik untuknya, ditambah beberapa orang yang mulai menyadari siapa dirinya meskipun separuh wajahnya sudah tertutup oleh masker dan topi hitam andalannya.

“Mau balik aja nggak? Kayanya jalan-jalan malem di hari minggu bukan pilihan yang bagus.”

Patut diakui jika ucapan Abian memang benar adanya, hari minggu bukanlah hari yang baik untuk mereka yang ingin menikmati Kota Bandung di malam hari dengan tenang. Mereka justru akan bertemu dengan banyaknya kendaraan bahkan juga orang-orang yang sedang berkencan di pinggir jalan.

“Balik tuh beneran balik? Apa gimana?” Cica memastikan.

Dalam hati Cica tidak ingin menyudahi hari ini dengan cepat, rasanya ia sedang tenggelam dalam buaian harapan yang hampir menyatu dengan kenyataan.

Harinya di mulai dengan sempurna, makan bubur di pinggir jalan bersama Abian, kemudian datang ke pernikahan teman Abian dan disambut seluruh temannya dengan hangat dan penuh perhatian, kemudian lanjut untuk berburu makanan enak di Bandung yang hampir tidak bisa ditemukan, dan sekarang mereka berjalan di trotoar dengan bergandengan tangan.

Sungguh, siapa yang tidak bahagia jika dihadapkan dengan segala hal baik yang sempat ia impikan?

“Emang lo mau ke mana?” Abian bertanya dengan masih memandang Cica. “Awas, itu ada orang lewat.” Cica menarik Abian untuk maju satu langkah karena mendadak ada segerombolan anak perempuan yang tampak asyik bercanda dan tidak memperhatikan jalan.

Mereka meminta maaf ketika menyadari salah satu di antaranya menyenggol Abian hingga laki-laki itu hampir menabrak Cica jika tidak menahan tubuhnya dengan cepat. “Maaf-maaf kak,” katanya. Mata mereka perlahan mulai menelusuri Cica dan Abian yang hanya mengangguk pelan sebagai balasan.

“Eh itu Aruna Nafisa bukan sih?”

“Iya, itu kayanya Cica!!”

“Sama cowoknya? Apa sama kakaknya?”

Gadis-gadis itu saling berbisik, namun suaranya masih bisa dijangkau oleh telinga Cica dan Abian yang berdiri tidak jauh dari mereka. Sepertinya gerombolan gadis muda itu sudah menyadari bahwa sosok di depan laki-laki yang mereka tabrak baru saja adalah Aruna Nafisa. Penyanyi terkenal yang lagunya sering mereka dengarkan.

“Ca?” bisik Abian tiba-tiba. Tubuhnya kini mulai menutupi Cica dengan sempurna hingga beberapa gadis itu tidak dapat melihat Cica lagi karena tertutup oleh tubuh besar milik Abian. Sepertinya laki-laki tengah merencanakan suatu pelarian karena matanya mengisyaratkan kepada Cica untuk mengerti kode yang akan ia berikan setelah ini. “Kenapa?” bisik Cica saat dirinya tidak menangkap kode yang Abian berikan.

“Kalo gue bilang lari, kita lari balik ke McD ya?” lanjut Abian dengan berbisik.

“HAH?”

“Lari.” Belum sempat Cica mencerna ucapan laki-laki itu, tangannya ditarik paksa dan tubuhnya ikut terseret secara tiba-tiba, seketika ia harus menyesuaikan langkah lebar yang Abian lakukan.

Mereka berdua berlari, persis seperti seorang anak kecil yang kabur akibat ketahuan menghilangkan sebuah Tupperware berharga milik ibunya. Tentu saja, siapa yang berani menghadapi kemarahan ibu-ibu yang Tupperware-nya menghilang? Jelas lebih menyeramkan daripada menghadapi singa yang kabur dari hutan.

Terdengar sayup-sayup beberapa gadis itu berteriak. “Tuh kan bener!! Itu Aruna Nafisa woy!”

“Harusnya tadi lo cepet ngomong, kan kita bisa foto bareng kalo tau!”

Abian dan Cica hanya tertawa, mereka sudah sering menghadapi beberapa orang yang tiba-tiba mengenalinya ketika berada di luar bersama. Sayangnya, untuk saat ini mereka harus kabur, tidak seperti biasanya yang dengan senang hati memberikan oleh-oleh foto bersama secara cuma-cuma. Mereka sedang dalam hubungan yang tidak ingin dipublikasikan, tentu mereka harus waspada jika ada orang yang mengenali mereka tiba-tiba seperti baru saja.

“Capek?” Abian bertanya saat keduanya telah sampai di pelataran parkir McD Simpang Dago, tempat di mana mereka meletakkan mobil yang mereka bawa sebelum berjalan menyusuri Jalan Ir H Juanda. “Lumayan.”

Nafas cepat milik Cica dapat menjelaskan dengan jelas bagaimana kondisi gadis itu sekarang. Ia itu tersenyum, senang dengan adegan kejar-kejaran yang sebenarnya tidak perlu mereka lakukan, karena gerombolan gadis tadi pun tidak sampai hati untuk mengejar mereka. Untuk apa?

Padahal sebenarnya adegan berlari-larian tadi hanya akal-akalan Abian untuk membuat suasana lebih terasa seperti ada di dalam drama Korea yang sering Cica ceritakan.

Lupakan, Abian memang sering berbuat hal gila.

Begitu memasuki mobil, hal pertama yang laki-laki itu lakukan adalah menyalakan AC agar panas yang menjalar dalam tubuh mereka setelah berlari-larian dapat segera sirna. “Jadi mau motoran abis ini nggak?” ucap Abian masih dengan nafas yang terengah-engah.

Cica tampak berpikir sejenak, kemudian mengangguk antusias. “Jadi plisss!”

Abian tertawa pelan, menyadari Cica masih setia dengan energi yang penuh walaupun peluh perlahan mulai turun dari pelipisnya. “Okey! Tapi bentar, nafas dulu ya.”

Gadis itu mengangguk, toh tidak buru-buru juga.

Abian kini tampak bingung, berusaha mengobrak-abrik bagian jok belakang mobilnya akibat mencari sesuatu yang saat ini ia butuhkan. “Nyari apa?”

“Tissu,” jawab Abian cepat dengan tangan yang sudah memegang sekotak tissu mobil dari belakang joknya dan kembali pada posisinya semula. Ia mengambil beberapa helai tissu itu, kemudian menghadap Cica yang kini ikut menatapnya. “Kenapa liatin gue?”

Abian menggeleng pelan, tidak lupa dengan menyuguhkan bibir yang melengkung ke atas tanda bahwa ia sedang bahagia. “Nih ambil, apa mau gue yang ngelapin ke lo biar romantis gitu?” Matanya menunjuk tissu yang tadi telah ia tarik dari wadahnya. Menyunggingkan senyum miring karena berhasil menggoda gadis di depannya hingga ia salah tingkah hanya karena ditatapnya.

“Nggak lah, gue bisa ngelap sendiri kali. Dasar manusia sinting.” Cica menyahut tissu yang Abian berikan, kemudian mengelap peluhnya sendiri dengan cepat.

Kekehan kecil laki-laki itu berhasil membuat rona merah pada wajah Cica semakin ketara. Bukan lagi karena hawa panas yang ada pada tubuhnya setelah berlari-larian, namun hawa panas karena tatapan yang saat ini sedang Abian berikan.

“Liatin gue-nya biasa aja kali, gue tahu kalo gue cakep.” Cica menatap wajahnya pada kaca mobil, kemudian memutar tubuhnya untuk menghadap jendela, mencoba mengalihkan padangan Abian dari wajahnya yang sudah merah sejak tadi. “Lo kalo salting lucu dah.” Abian terkekeh gemas.

Permisi, bisa nggak kalian pergi dulu dari sini? Hehehe, maaf saya jomblo.

Oke, kembali kepada dua sejoli yang sedang di mabuk asmara itu lagi. Cica mungkin sekarang sedang berperang, berusaha mati-matian untuk menahan senyumnya agar tidak merekah seperti bunga di musim semi setelah penantian panjang melalui musim dingin. “Udahan belum nafasnya? Bisa lanjut sekarang aja nggak biar lo nggak liatin gue terus?” ucap Cica masih dengan membelakangi Abian.

Meskipun tidak melihatnya secara langsung, pantulan wajah Abian di kaca mobil yang terkena lampu membuat Cica bisa melihat raut wajah miring laki-laki itu.

Abian semakin tertawa. Ingin rasanya ia menggigit Cica saking gemasnya. Gadis itu sekarang tengah duduk dengan kedua kaki yang terangkat, meringkuk menghadap kaca sembari sesekali melirik Abian dengan tatapan yang seolah mengintimidasi. Namun bukannya takut, Abian justru merasa gadis itu sangat lucu.

“Biaaaann!” Cica sepertinya sudah tidak tahan dengan kelakuan Abian. “Bian di sini.”

Kebiasaan Abian ketika Cica memanggil namanya. Sepertinya mulai sekarang hobi Abian yang baru adalah menggoda Cica. “Buruaaan atau gue turun sekarang?” Cica mengancam. Tahu jika Abian tidak akan membiarkan ia pergi dari sana dan lebih memilih untuk menurutinya.

“Iya-iya maaf, ini gue jalan sekarang.”

...

Begitu sampai di pelataran parkir rumah itu, Abian dengan segera melepaskan sabuk pengamannya juga milik Cica secara tiba-tiba, hingga gadis itu terkejut seketika.

Jangan kaget, tangan Abian memang terkadang jahil seperti sekarang.

“Udah sampe nih, nggak mau turun?” Cica menoleh menghadap kaca, mengamati rumah yang lumayan besar itu dengan mata yang kebingungan. “Ini di mana?”

Ah benar, Abian lupa belum memberitahu Cica jika ia tidak memiliki motor dan harus meminjam kepada seseorang jika ingin mengajaknya berkeliling Bandung dengan motor. Bukannya tidak punya, hanya saja motor miliknya telah dijual oleh papanya karena mengira Abian tidak akan pernah menaiki motor itu lagi. Tidak salah sih, mungkin jika Cica tidak menginginkan hal ini juga Abian mungkin tidak akan memberanikan dirinya untuk mengendarai kendaraan roda dua itu lagi. Trauma yang dimilikinya cukup berat untuk dilawan, tapi demi gadis itu, Abian rela untuk melawan ketakutan yang ia rasakan.

“Rumahnya Ezra, adiknya temen gue yang pernah gue ceritain, inget?” Cica mengangguk pelan, kepalanya masih mengingat dengan jelas nama sosok laki-laki yang sering Abian sebut dengan sebutan 'adik' itu. “Terus kenapa kita ke sini?”

“Ambil motor.” Abian membuka pintu mobilnya ketika melihat sosok laki-laki jangkung tengah berdiri di depan pintu rumahnya, melambaikan tangan kepada Abian dan mengisyaratkan bahwa apa yang ia cari telah disiapkan.

Cica keluar dari mobil dan segera mengikuti langkah Abian dengan lebar, matanya sesekali menoleh ke arah taman bunga anyelir putih yang terawat dengan sempurna di halaman rumahnya.

“Keren banget ada taman anyelir sebagus ini di sini.” Cica berbisik kepada dirinya sendiri, namun karena jarak langkah Abian yang terlalu dekat dengannya, membuat suara itu masih dapat diterima oleh telinganya. “Itu hadiah dari Dewa.”

Mendengar suara Abian di depannya, Cica mendongak dengan cepat. Gadis itu bingung dengan ucapan yang baru saja terlontar dari mulut Abian. “Maksudnya?”

Abian mendesah penuh sesal.

Banyak hal yang sebenarnya ingin ia ceritakan kepada Cica, namun terkadang masih terasa berat bagi laki-laki itu untuk mengingatnya. Hingga yang bisa ia lakukan adalah mencoba perlahan-lahan untuk keluar dari zona hitamnya, mencoba sedikit demi sedikit kembali pada kehidupan normal miliknya, ya setidaknya upaya yang telah berhasil ia lakukan adalah seperti sekarang. Untuk bercerita secara langsung? Ia yakin jiwanya belum siap.

“Ini boleh gue bawa kan?” tanya Abian kepada Ezra, sengaja tidak menjawab pertanyaan Cica yang sempat ia sesalkan karena mulutnya yang tidak sengaja memancing pikiran gadis itu. Beruntung Cica tidak mengambil pusing dan lekas berpaling dari sana. “Bawa aja, mobil lo di sini kan?”

“Yoi. Mobil lo ke mana?” Abian menoleh ke kanan dan kiri, mencari mobil putih yang dihadiahkan oleh Om Wira kepada Ezra beberapa tahun yang lalu. “Gue titipin temen gue.”

“Eh by the way, kenalin, Zra, ini Cica, gue yakin lo pasti kenal.”

Ezra tertawa pelan, menyetujui ucapan Abian. Lagi pula siapa sih yang tidak mengenalnya? Selain Abian waktu itu tentu saja.

“Halo, Ezra?” Cica mengulurkan tangan ketika Abian selesai memperkenalkan. “Halo, kak. Pacarnya kak Bian, ya?” balas Ezra dengan tawa yang sekilas terselip dalam ucapannya. Tangannya terulur untuk membalas jabatan tangan dari Cica.

Gadis itu segera menoleh kepada Abian, bingung sekaligus berusaha mencari jawaban atas apa yang ditanyakan oleh Ezra kepadanya . “Iya aja biar cepet,” bisik Abian kepada Cica.

“Iya, hehehe.” Cica juga bingung mengapa ia menuruti perkataan Abian?

Setelah memberikan kunci motor kepada laki-laki itu, Ezra segera masuk kembali ke dalam rumah dan melanjutkan kegiatannya untuk mengerjakan tugas yang sempat tertunda beberapa menit sebelumnya. Sedangkan kedua anak adam itu masih sibuk bersiap-siap untuk mengendarai motor yang ada di hadapannya.

“Bisa masang nggak?” Abian bertanya kepada Cica ketika melihat gadis itu masih sibuk mengoak-atik helm yang sejak tadi tidak bisa terbuka talinya. “Bisa, tapi ini talinya susah dibuka,” balas Cica.

Tangan Abian terulur untuk mengambil helm itu dari tangan Cica, kemudian dengan sekali pergerakan dapat membukanya. “Lah kok bisa,” ucap Cica tidak terima. Ia sudah bersusah payah sejak tadi mengapa tidak bisa terbuka, namun ketika Abian yang membuka justru dengan segera dapat terbuka.

Hampir saja Cica mengambil helm yang ada di tangan Abian sebelum laki-laki itu dengan segera menginstruksikan Cica untuk menguncir rambutnya ke belakang. “Rambut lo kuncir dulu, Ca. Biar nggak kena angin.”

Gadis itu menurut, mengambil kuncir rambut yang ada di tas kecilnya kemudian menguncir rambutnya dengan satu gerakan cepat. Namun lagi-lagi ketika Cica hendak mengambil helm itu, laki-laki itu menjauhkan helmnya dari Cica, membuat gadis itu bingung dengan kelakuan Abian.

Tanpa diduga, Abian justru memasangkan helm itu kepada Cica, membenahi rambut-rambut gadis itu yang berantakan, dan mengunci tali helmnya dengan sempurna.

Cica terdiam, sudah tidak bisa kaget dengan apa yang selalu dilakukan Abian kepadanya. Melihat Abian yang terlihat santai memasangkan helm—sedangkan Cica harus bersusah payah menahan jantungnya agar tidak meledak—seolah laki-laki itu telah ribuan kali melakukan itu kepada para gadis, membuat perasaan Cica merasa terbakar tiba-tiba. “Lo sering begini ya?”

Abian dapat melihat raut cemburu pada wajah Cica yang berada di depannya, gadis itu mendongak, menghadap Abian yang jauh lebih tinggi darinya. Kekehan kecilnya dapat terdengar jelas oleh gadis itu, sedangkan tanpa menjawab, tangannya menarik resleting jaket itu hingga menutupi seluruh dada dan perut Cica. Berusaha meminimalisir udara yang akan mengenai tubuh gadis itu saat berkendara nanti. Usai melakukannya, Abian menyejajarkan wajahnya pada wajah Cica, memegang kedua pundak gadis itu, dan tersenyum miring kepadanya.

“No, you're my first.”

Setelahnya Abian berbalik, memasang helm full face miliknya dan menaiki motor itu, kemudian memundurkannya hingga dapat mencapai gerbang, di susul oleh Cica yang berjalan mendekat dengan senyum kecil di wajahnya setelah mendengar ucapan dari Abian.

Mungkin jika diberi kesempatan untuk menyimpan satu hari yang bisa ia ulang sebanyak apapun di dunia, mungkin Cica akan memilih hari ini. Hari di mana ia memulai kegiatannya bersama Abian dari pagi menjelang pagi lagi seperti sekarang.

Cica melirik Abian yang sudah duduk manis di atas motornya, kemudian ketika dirinya hendak menurunkan pijakan motor, tangan Abian lebih dulu menurunkannya untuk Cica. “Yuk?” tangannya terulur untuk membantu Cica agar ia bisa naik ke atas motor besar itu dengan mudah.

Gadis itu menarik nafas panjang, sepertinya ia tidak akan diberikan kesempatan untuk melakukan apapun ketika Abian ada bersamanya. Segala hal sudah dilakukan oleh laki-laki itu, bahkan tanpa Cica meminta.

Suara motor mulai menjadi teman bagi malam yang sunyi ini, mengisi ruang untuk bersanding bersama bunyi jangkrik yang sudah terdengar sejak tadi. “Pegangan, Ca.” Abian mengingatkan ketika Cica sudah duduk di atas motornya.

“HAHH?!!” Sayangnya suara motor itu mengalahkan suara Abian, hingga motor itu melaju menembus jalanan Kota Bandung yang cukup sepi, Cica masih tidak paham dengan ucapan Abian dan tidak berpegangan.

Mereka berkeliling kota, menikmati indahnya malam di Kota Bandung dengan mengendarai sepeda motor, sesekali melaju pelan ketika melihat ada tempat yang menarik perhatian mereka. Menyadari gadis itu tidak berpegangan kepadanya, Abian melepaskan satu tangannya dari setang dan menarik tangan Cica yang diletakkan di atas pahanya untuk dapat melingkar ke tubuh Abian.

Awalnya gadis itu tidak merespon, kemudian memahami apa yang Abian lakukan, dengan segera Cica sadar dan lekas melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Abian. Memotong jarak di antara mereka dengan menempelkan tubuhnya pada tubuh Abian yang hangat, serta meletakkan dagunya pada pundak Abian. Sedangkan laki-laki itu memundurkan duduknya sedikit agar tubuhnya bisa menempel dengan sempurna pada tubuh Cica.

“Geli nggak?” tanya Cica dengan berteriak ketika meletakkan dagunya pada pundak Abian, takut jika laki-laki itu merasa tidak nyaman, dan berharap Abian masih bisa mendengar ucapannya karena sejak tadi mereka tidak bisa saling berbicara karena tidak mendengar apapun yang saling mereka ucapkan. Laki-laki itu menggeleng, membuat Cica tersenyum dan mengeratkan pelukannya pada tubuh Abian.

Nyaman, itu yang Cica rasakan.

Berada di posisi seperti ini, membuat Cica merasa jantungnya seakan dipompa melebihi biasanya. Aroma tubuh Abian yang maskulin bercampur udara malam yang segar pun dapat menjadi obat penenang instan untuknya. Bahkan jika Cica terpejam sebentar saja, ia akan bisa benar-benar tertidur karena merasa amat sangat nyaman untuk memeluk Abian.

Sudah hampir satu jam mereka berdua berkeliling Kota Bandung dalam tenang, sesekali tangan Abian terulur untuk mengusap punggung tangan Cica yang melingkar di tubuhnya, merasakan setiap desiran halus serta kupu-kupu yang menggelitik hingga ke dalam perutnya.

Mengingat hari sudah mulai malam dan tidak ingin berlama-lama di jalanan, Abian membelokkan motornya untuk kembali ke rumah Ezra, mengembalikan motor itu sekaligus mengambil mobilnya yang ia titipkan di sana. “Cepet banget?” tanya Ezra ketika melihat Abian yang telah sampai di rumah kembali hanya dalam waktu satu jam.

“Iya, takut ibu negara masuk angin.”

Bohong, sebenarnya Abian masih takut jika berlama-lama di atas motor. Apalagi dengan Cica yang ada bersamanya. Setidaknya ia tidak akan menaiki kendaraan itu lagi setelah ini, mungkin dalam wkatu enam bulan kedepan, atau lebih, ia tidak tahu.

..

Cica membuka pintu apartemennya, disusul oleh Abian yang ikut masuk bersamanya. Malam ini, mungkin akan menjadi malam terakhir mereka bersama sebelum laki-laki itu kembali ke Jerman untuk melanjutkan studinya. Besok malam Abian sudah harus persiapan untuk kembali ke Jerman, maka dari itu, Cica dan Abian memutuskan untuk tinggal lebih lama sebelum setelah ini harus dipisahkan.

Abian melemparkan tubuhnya ke sofa dengan cepat, seolah sudah akrab dengan apa yang ia lakukan di apartemen Cica. Sedangkan gadis itu masuk ke dalam kamar untuk segera membersihkan wajahnya setelah seharian tidak dibersihkan. Cica keluar membawa sebuah pouch yang berisi banyak skincare miliknya, kemudian duduk di sebelah Abian yang tampak telah memejamkan mata.

Sepertinya laki-laki itu kelelahan.

Tangan Cica mulai bergerak untuk mengambil kapas dan menuangkan sedikit micelar water ke atasnya. Perlahan mengusapkan kapas itu di atas wajah Abian yang masih terpejam. “Jangan bangun, gini aja dulu.” Cica memperingatkan ketika Abian tiba-tiba membuka mata dan hampir bangun karenanya.

Gadis itu terbiasa untuk segera membersihkan wajah ketika pulang dari mana saja, ia juga sering mengingatkan kakak-kakaknya untuk ikut membersihkan wajah mereka meskipun mereka merasa laki-laki tidak perlu melakukannya.

Abian membuka mata, menatap wajah Cica yang berjarak tidak jauh dari wajahnya. Pandangannya menelusuri setiap wajah Cica, kemudian berhenti pada matanya. “Kenapa?”

“Nggak papa, you look beautiful from here.”

Wajah Cica memanas, bisa-bisanya Abian masih sempat menggodanya ketika ia sedang membersihkan wajah laki-laki itu. “Nggak usah gombal deh.”

Selesai membersihan wajah Abian, Cica hampir berdiri untuk membuang kapas yang terlihat sedikit kotor itu. Meskipun tidak sekotor wajahnya nanti jika dibersihkan. “Gue serius.”

Kalimat seperti itu sebenarnya sudah sering Cica dengarkan dari banyak orang, namun untuk orang yang kini tengah menarik tubuhnya agar bertukar posisi dengannya, sangatlah jarang ia dengarkan. Saat ini posisi mereka berubah, Abian yang bangkit untuk duduk, menarik Cica agar memposisikan dirinya untuk tertidur seperti Abian tadi. “Gantian, gue bersihin wajah lo.”

“I can do it my self, Bian,” balas Cica dengan cepat. “Tapi gue pengen lakuin ini, please?”

Desahan Cica akhirnya membuat Abian bersorak bahagia, ia mengambil kapas yang ada di meja depannya dan menuangkan micelar water seperti apa yang Cica lakukan tadi. Perlahan ikut mengusapkan kapas basah itu pada wajah Cica dengan gerakan yang pelan dan tidak tergesa-gesa.

Dalam hati Cica sudah banyak sekali pertanyaan yang ingin ia sampaikan, mengenai apa kelanjutan hubungan yang mereka punya setelah ini. Mengingat ia akan ditinggalkan oleh Abian selama kurang lebih enam bulan ke depan, membuat pikiran Cica terbang ke mana-mana. “Bi, gue boleh nanya sesuatu nggak?”

“Nanya aja, Ca. Ngapain pake izin dulu?”

Cica mengangguk pelan, kemudian mempersiapkan kalimat-kalimat yang hendak ia lemparkan. “Tapi sebelumnya, gue mau pengakuan dosa dulu.” Ucapan Cica tersebut dihadiahi dengan sebuah kekehan kecil oleh Abian. “Pengakuan dosa apa?”

“Gue tadi lihat saved video lo, di TikTok.”

Tangan Abian berhenti seketika, menyadari apa yang Cica katakan akan berdampak panjang dengan kelangsungan hidup mereka setelah ini. Gadis itu bangkit dari tidurnya, kemudian menghadap Abian dengan pandangan yang menatap lurus ke mata legam laki-laki itu. Ada kilat keterkejutan dalam matanya, namun cepat-cepat Abian sembunyikan ketika menyadari Cica kini mempertanyakan tatapannya. “Is that, true?”

Sepertinya memang sudah tidak bisa disembunyikan lagi, sepertinya takdir juga yang memaksa Abian utuk berterus terang kepada Cica mengenai perasaannya. Laki-laki itu lantas meletakkan kapas yang ia pegang, dan mendekatkan dirinya kepada Cica.

Hembusan nafas panjang Abian menjadi pembuka untuk senyum manisnya terpampang di sana. Ia mengangguk, menyetujui apa yang ditanyakan oleh Cica kepadanya.

“That's true.”

“So ... what are we right now?” tanya Cica ragu. “Basically, we're not dating, right?”

Dating? Abian juga bingung, apa hubungan mereka sekarang? Haruskah ia mendeklarasikan dengan formal menggunakan kalimat 'Mau nggak kamu jadi pacarku?' seperti pacaran anak remaja pada umumnya? Menurutnya, formalitas seperti itu sudah tidak ada, ketika mereka saling mengetahui perasaan satu sama lain dan saling mencintai, maka ia bisa menyebutnya sebagai deklarasi atas suatu hubungan. Lantas ketika ia telah mengetahui perasaan Cica sebelumnya, ia hanya perlu memastikan perasaannya saja bukan?

Perlahan tangan Abian terulur untuk membelai lembut rambut Cica, gadis itu menarik nafas dalam ketika merasakan tangan Abian mulai turun ke wajahnya, mengusap lembut rahangnya dan berhenti di sana. Senyuman tidak tertinggal dari wajahnya.

“You wanna know?” bisikan singkat Abian bahkan berhasil membangkitkan bulu-bulu halus dalam tubuh Cica. Gadis itu mengangguk pelan, masih dengan menatap mata Abian yang kini bergerak mendekat ke arahnya. Dibawanya tangan gadis itu untuk melingkar pada tubuhnya, sebelum kemudian Abian berhasil menghapus jarak di antara mereka hingga hidung mereka menyatu dan yang tersinya hanyalah udara di sekitarnya.

“Dating or not, you're still mine, right?” bisik Abian tepat di depan bibir Cica. Gadis itu tersenyum, matanya terpejam sebelum bisikannya berhasil membuat kewarasan Abian benar-benar hilang. “Right, dating or not, you're still mine, Bian.”

Abian menggeram, tidak sanggup menahan hasrat yang selama ini ia pendam. Terlebih lagi tangan Cica kini mulai berani untuk menyusup di balik rambutnya.

Secepat gerakan kilat, Abian menghapus jarak bibir mereka hingga tak tersisa. Ciuman itu terasa begitu hangat, memberikan sensasi yang menyengat dalam tubuhnya. Jika sebelumnya mereka pernah berciuman ketika Cica sedang mabuk, sekarang mereka benar-benar di dalam kondisi sepenuhnya sadar. Sehingga tidak akan ada lagi acara lupa ingatan setelah ini.

Lumatan yang diberikan oleh Abian membuat Cica ikut mengerang pelan. Tangan laki-laki itu menarik tengkuk Cica untuk memperdalam ciuman mereka, hingga decapan-decapan itu muncul seiring dengan erangan yang ikut keluar bersamanya. Abian menggigit bibir Cica pelan hingga gadis itu membuka mulutnya, kemudian kesempatan itu tidak ia sia-siakan begitu saja, ia segera meloloskan lidahnya untuk bertemu dengan milik Cica, merasakan milik gadis itu yang selama ini selalu menjadi pertanyaan dalam benaknya.

“Taste like strawberry, you like it, right?” Abian berbisik ketika memberikan jeda pada ciumannya. Namun sakan Cica yang kini menginginkan lebih, ia lekas mengangguk dan menarik Abian untuk kembali menciumnya dengan cepat. “Calm down girl, i'm not going anywhere.” Abian terkekeh di sela ciuman mereka. Sedangkan Cica seolah tidak mendengar ucapan Abian dan hanya fokus pada ciumannya.

Tangan Abian meremas pinggang Cica pelan, menarik gadis itu untuk berdiri sembari masih melumat bibir satu sama lain. Mereka berjalan menuju ruangan yang diketahui adalah kamar tidur Cica, saat ini.

Menyadari bahwa hasratnya mungkin sudah hampir menguasai dirinya, Abian melepaskan ciuman mereka dengan segera.

“We need to stop, Ca. Gue takut kebablasan.” Laki-laki itu berdiri di depan Cica yang tengah duduk di ujung tempat tidur. Matanya menatap bibir itu dalam, bibir yang terlihat sedikit membengkak akibat ulahnya beberapa menit yang lalu.

Memang benar, jika kegiatan itu mereka lanjutkan, mungkin Abian akan benar-benar kebablasan.

Cica menarik nafas panjang, kemudian menatap Abian dengan kecewa, seolah gadis itu masih sangat menginginkan laki-lakinya.

Ah benar, mungkin sekarang status mereka bisa naik satu tingkat dari sebelumnya, hingga dapat mengakui sat sama lain sebagai milik mereka.

“But i want you so bad, please?”

Abian menunduk untuk menatap Cica, tangannya menangkup kedua pipi gadis itu dan terkekeh karena merasa gemas.

Namun Cica sudah tidak tahan lagi, ia benar-benar menginginkan Abian. Memikirkan setelah ini ia akan jauh dengan laki-laki itu semakin membuat otaknya rancu. Tanpa menunggu jawaban, Cica menarik Abian yang berdiri di depannya, dan kembali melumat bibir manis itu dengan cepat.

Pertahanan Abian runtuh, ia bahkan tidak bisa menolak apapun permintaan Cica. Maka setelah gadis itu memilih untuk menciumnya sekarang, Abian mendorong tubuh kecil Cica agar berbaring di atas tempat tidur. Menggunakan kedua tangannya untuk menopang berat tubuhnya agar tidak memberatkan gadis itu. “Remember that you want it yourself.”

“With pleasure.”

Selanjutnya Abian tidak menahan diri lagi, ia melumat bibir Cica lebih dalam dari sebelumnya, sesekali membelai rambutnya dan turun untuk menjamah leher jenjang milik Cica. Menghirupnya dalam seperti menghirup ganja yang ia butuhkan.

Jangan salahkan Abian jika setelah ini mereka akan melewati malam yang panjang, Cica bahkan tidak membiarkan dirinya bernafas barang satu detik pun. Gadis itu sudah yakin, menyerahkan dirinya pada Abian dengan perasaan yang akhirnya terbalaskan.

Pada kenyataannya, mereka kembali saling memiliki tanpa harus ada kata tanya yang menyertainya.

Pelataran parkir itu nampak sesak, penuh dengan berbagai macam jenis kuda besi yang telah berjajar rapi sejak pagi. Waktu memang sudah menunjukkan pukul sembilan lebih empat puluh lima menit, yang artinya lima belas menit lagi upacara sakral yang diadakan sekali seumur hidup ini—semoga benar begitu—akan segera dimulai. Upacara yang akan mengantarkan laki-laki berumur dua puluh lima tahun bernama Nakula, menuju gerbang dunia baru miliknya serta milik wanitanya.

Abian selalu merasa senang, ketika satu persatu pejuang hidup yang pernah berjalan bersamanya sejak duduk di bangku kuliah, kini telah menemukan labuhan hati mereka yang sesungguhnya. Terhitung sudah hampir tiga setengah tahun sejak sembilan kepala itu lulus dari kampus tercinta yang mempertemukan mereka. Lucunya, meskipun semua telah sibuk dengan kehidupan masing-masing, mereka tetap berada pada jalur yang sama dalam kisah percintaannya, ya mungkin dengan kasus yang berbeda-beda tentu saja.

Lebih jelasnya begini.

Empat di antara mereka sudah berlabuh, dengan satu orang terakhir yang kini tengah berdiri risau sembari menguatkan hatinya untuk mengucap janji suci di depan calon istri dan tamu undangannya nanti.

Sedangkan lima lainnya? Tentu saja masih setia dengan skenario percintaan yang cukup membingungkan.

Satu orang masih sibuk dengan garis batas antara hubungan pertemanan dan pacaran, antara dirinya dengan saudara tiri sahabatnya yang tidak ingin memiliki hubungan. Satu orang masih berkelana mencari sang puan, di tengah kerasnya kehidupan malam dengan banyak perempuan, hingga lupa jika ia butuh seseorang untuk dijadikan tujuan.

Satu orang lain masih bingung harus memutus bahan kehaluan, atau menggalaukan sang mantan. Satu orang selanjutnya masih sibuk mencocokkan tanggal pernikahan, berdasarkan weton dari primbon yang dia baca untuk bisa langgeng dengan gadis incaran. Sedangkan satu orang terakhir ... entahlah, sepertinya ia sudah tidak sibuk memikirkan masa lalunya yang sempat menjadi lintah dalam pikiran, dan sekarang sedang fokus untuk menata masa depan.

Iya, satu orang terakhir itu adalah Abian.

“Kita masuk sekarang apa nanti? Kayanya udah rame banget di dalem, liat deh itu.”

Abian menoleh untuk mengikuti arah pergerakan tangan Cica, menatap pintu masuk yang kini penuh dengan hiasan bunga, lengkap dengan orang-orang yang menggunakan gaun dengan warna serba ungu muda—sepertinya mereka adalah bridesmaid hari ini, karena Abian sekilas dapat melihat Atha dan anak Kanay yang lain tengah berdiri di sana dengan wajah yang ikut berbunga-bunga.

Oh iya, untuk yang belum tahu Pevita, ia adalah sahabat Atha sejak kuliah. Jadi tidak heran jika hari ini mereka datang untuk menjadi bridesmaid dalam pernikahan Pevita dengan Nakula.

Abian dengan cepat menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya, kemudian membuka ponsel untuk mencari update terkini di mana posisi teman-temannya yang juga berperan sebagai groomsmen seperti dirinya. “Bentar, gue tanya Janu dulu mereka sekarang ada di mana.”

Cica mengangguk, kemudian berbalik untuk memperhatikan sekitar. Untungnya tempat parkir VIP yang disediakan untuk keluarga dan teman-teman pengantin tidak jauh dari venue, sehingga Cica tidak perlu merasa kesulitan berjalan akibat menggunakan heels yang terlalu tinggi hari ini.

Penampilan gadis itu simple, senada dengan Abian yang menggunakan kemeja berwarna hitam yang dibalut dengan sebuah jas berwarna ungu rasin, Cica pun memilih untuk menggunakan gaun panjang berwarna ungu muda, dengan belahan yang sampai pada lutut serta bahu yang terekspos sebagian karena gaun tersebut bermodel sabrina. Gadis itu juga terlihat lebih cantik dengan rambut yang digelung seluruhnya, menampakkan leher jenjangnya yang indah.

Tema pernikahan Nakula dan Pevita memang unik, mereka tidak ingin menggunakan dominasi warna putih seperti upacara pernikahan pada umumnya, dan lebih memilih memakai tema serba ungu yang sebenarnya terlihat lebih gelap namun juga elegan di waktu yang bersamaan. Meskipun begitu, Deka sempat mengkritik Nakula, karena katanya pernikahan dengan tema ungu ibarat menjadi doa agar mereka berdua segera berpisah, hanya karena menurutnya warna tersebut melambangkan warna janda.

Deka memang aneh, siapa yang masih percaya dengan hal seperti itu?

Beruntungnya argumen Deka berhasil dipatahkan oleh Nakula dengan cepat, karena laki-laki itu berkata bahwa konsep pernikahannya dengan Pevita yang menggunakan tema ungu ini, lima puluh persennya adalah campur tangan ide dari Gista. Gadis yang bisa membuat Deka bungkam seketika.

Jangan kaget, Deka memang bucin akut sejak dahulu. Tidak salah jika ia menjilat ludahnya sendiri dengan mengatakan bahwa konsep pernikahan Nakula adalah yang terbaik di antara semua teman-temannya setelah mengetahui fakta tersebut.

Dasar Deka.

Namun, tentu saja pilihan itu juga jatuh karena Pevita sangat menyukai warna ungu, bahkan sejak dahulu pun ia sudah bermimpi akan menggunakan warna itu untuk tema pernihannya. Sedangkan Nakula, ia tidak memiliki preferensi apapun dan hanya bisa menuruti apapun yang Pevita minta.

Begitulah Nakula, si tsundere bucin yang tidak bisa menolak segala permintaan gadisnya.

Ralat, sepertinya seluruh anak Tinggar memang memiliki kepribadian yang hampir sama, menerapkan konsep 'Iya boleh, apa aja yang kamu mau deh sayang, aku ngikut aja asal kamu bahagia.' hanya kepada wanitanya. Perhatikan saja baik-baik semuanya.

Iya, semuanya. Termasuk Abian yang selanjutnya.

Usai mendapatkan jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan di grup pertemanannya, laki-laki itu membuka sabuk pengamannya dengan segera, kemudian mengambil jas yang tersampir pada sandaran jok belakang mobilnya dan mengenakannya dengan cepat.

“Ayo, mereka udah di dalem semua katanya.”

Jika kalian bertanya, mengapa Abian tidak datang bersama dengan teman-temannya yang lain dan memilih untuk datang terlambat, tepatnya lima belas menit sebelum acara dimulai, jawabannya hanya satu.

Karena ia tidak ingin meninggalkan Cica sendirian terlalu lama.

Menjadi groomsmen sebenarnya tidak terlalu berat, ia hanya perlu memastikan acara pernikahan ini berjalan dengan sempurna serta mendampingi pengantin pria hingga berdiri di altar, bersama dengan pasangan bridesmaidnya. Namun, untuk menuju hal tersebut, Abian harus meninggalkan Cica sendirian di kursi undangan, sedangkan ia harus pergi ke belakang untuk persiapan.

Maka dari itu, untuk membuat Cica merasa nyaman, ia meminta izin kepada teman-temannya untuk datang terlambat dan turun tepat ketika acara akan dimulai.

Seperti sekarang, setelah Abian mengantarkan Cica untuk duduk di kursi VIP yang berada di dekat altar, ia berjalan pergi meninggalkan gadis itu sendirian. Sebenarnya tidak benar-benar sendirian karena di meja sebelahnya ada Arin, istri Arga yang tidak ikut menjadi bridesmaid seperti Atha dan yang lainnya. Lagi pula Arin juga tidak memiliki teman duduk, mengapa ia tidak duduk bersama dengan Cica saja?

Namun, melihat Cica yang tidak pernah berinteraksi dengan Arin sekali pun, sepertinya ia harus berkenalan dulu dan beradaptasi dengan gadis itu sebelum akhirnya mereka benar-benar merasa nyaman untuk berbicara dan berteman.

“Hai? Gue boleh duduk di sini?” Cica tiba-tiba bangkit untuk mendekat ke arah Arin yang sedang bermain ponsel. Membuat gadis itu menoleh dan tersenyum kepada Cica. “Eh duduk aja,” balas Arin ramah dengan senyum yang lebar. Gadis itu segera menutup ponselnya dan menatap Cica yang telah sepenuhnya duduk di sana.

Buset, ini orang cantik banget, mana kalem lagi. Batin Cica dengan kagum saat melihat Arin yang duduk dengan anggun di sebelahnya. Belum tahu saja, Arin sebenarnya sebelas dua belas dengannya.

“Istrinya Arga?”

“Pacarnya Abian?”

Keduanya berbicara dengan bersamaan, kemudian tertawa setelahnya karena merasa lucu saat tiba-tiba bertanya hal yang mirip. “Lo duluan deh,” ucap Arin kepada Cica yang dihadiahi dengan sebuah gelengan kuat dari Cica. “Lo duluan.”

Setelah itu mereka berdua hanya diam. Tidak melanjutkan apa yang tadi ingin mereka katakan. Keduanya saling bertatapan, kemudian tertawa lagi seolah mereka paham dengan apa yang mereka pikirkan satu sama lain. “Ini kita nggak ngomong apa-apa kenapa tiba-tiba ketawa sih?” Arin bertanya lebih dahulu dan dihadiahi dengan sebuah gelengan lagi oleh Cica.

“Nggak tahu, gue juga bingung lo tiba-tiba ketawa gitu, padahal nggak ada yang lucu sama sekali.”

“Lah, lo juga ketawa kenapa?” Cica mengangkat kedua bahunya. “Nggak tahu, tiba-tiba pengen ketawa aja.”

Bahkan belum ada sepuluh menit mereka bersama, kini keduanya telah terlihat seperti dua orang yang sudah berteman selama sepuluh tahun lamanya. Tidak kaget, mereka seperti berbagi isi kepala yang sama.

Obrolan mereka akhirnya dapat mengalir dengan sendirinya, melupakan pembicaraan sebelumnya yang sempat terasa canggung dan digantikan dengan obrolan random yang ternyata sama-sama mereka pahami. Cica merasa beruntung, setidaknya ia tidak benar-benar duduk sendirian tanpa obrolan.

...

Lima belas menit berlalu, seluruh tamu tampak sudah memenuhi tempat duduk yang disediakan, sedangkan dari kejauhan, Nakula terlihat sedang berjalan menuju altar didampingi oleh beberapa temannya, termasuk Abian. Cica dan Arin yang sejak tadi sedang duduk lantas segera tersadar, kemudian ikut bangkit mengikuti beberapa orang yang lebih dahulu berdiri menyambut pengantin dan barisannya itu.

Alunan piano mulai terdengar, suasana semakin terasa khidmat saat lampu mulai redup dan digantikan dengan lampu lain yang berjajar di sepanjang jalanan menuju altar.

Jika bisa dideskripsikan, mungkin kejadian ini hampir sama dengan salah satu scene yang ada di sebuah Film berjudul Crazy Rich Asian, di mana orang-orang mulai berdiri dan menyambut pengantin wanita untuk masuk. Pevita tampak menawan berdiri di ujung sana, gaun putih dengan semburat ungu melekat sempurna pada tubuhnya yang ramping, ditambah iringan lima orang bridesmaid yang tak kalah cantik darinya membuat mereka tampak semakin sempurna.

Sekarang, perhatian semua orang tertuju pada dua orang yang menjadi tokoh utama dalam acara hari ini, memberikan mereka ruang hingga janji suci mereka dapat terucap dengan lantang. Pagi ini, kurang lebih lima puluh orang yang terpilih, menjadi saksi Nakula dan Pevita menghadap Tuhan untuk saling berjanji menjadi suami istri sehidup semati.

Tangis haru dan bahagia dari mereka yang merasakannya terasa menjadi satu dalam telinga. Tidak hanya itu, teman dan keluarga juga saling mengucapkan rasa syukur dan bahagia mereka atas pernikahan Nakula dan Pevita. “Selamat ya bangg! Akhirnya lo bisa nyusul punya Nakula junior abis ini.” Deka mengawali.

“Eh bentar, ngucapin selamatnya agak nantian aja. Sekarang lempar bunga dulu, biar cepet ada yang nyusul abis ini.” Nakula tertawa, mengisyaratkan kepada teman-temannya agar mereka berdiri di belakang Nakula dan Pevita untuk sesi lempar bunga.

Namun sebelum itu, sosok laki-laki yang sejak tadi tidak melepaskan padangannya dari seseorang tampak sangat gusar.

“Kenapa, Bi?” tanya Arjuna ketika melihat Abian sesekali menengok ke arah tempat duduk Cica, takut jika dirinya terlalu asyik dengan teman-temannya dan melupakan Cica yang menunggunya.

Kenyataannya, gadis itu terlihat sangat asyik berbincang dengan Arin tanpa memperhatikan Abian yang sejak tadi menatapnya.

“Oalaaaahhh,” ucap Januar panjang ketika matanya menangkap sosok yang sejak tadi Abian perhatikan dari kejauhan. “Nggak usah diliatin terus kali ah, nggak bakal ilang kok Cica-nya.”

Semua orang kini ikut menoleh ketika mendengar ucapan Januar yang cukup keras—sengaja agar yang lain dapat mendengarnya juga—tak terkecuali Deka, yang dengan cepat merespon ketika mendengar nama Cica disebutkan.

“Mana Cicaaaa?” tanya Deka antusias. Sorot matanya menampakkan kebahagiaan yang terlihat jelas, meskipun sebelumnya laki-laki itu pernah bertemu dengan Cica di Sun in The Summer Festival sebelumnya, namun ia masih tetap terlihat antusias seperti sekarang. Sudah jelas mengapa, karena Cica adalah idolanya. “Eh mau ke mana lo Dekaaaa?”

Nakula memperingatkan Deka yang hendak pergi menemui Cica, lupa jika agenda mereka sekarang adalah sesi lempar bunga yang sangat Deka nantikan sebelumnya. “Katanya lo mau cepet nyusul gue? Ini bunganya ambil dulu.”

Deka segera berhenti, kemudian menoleh ke kanan untuk menatap Cica dan berbalik menghadap Nakula lagi secara bergantian. Sepertinya laki-laki itu sedang bingung.

“Cica gue panggil ke sini aja, biar sekalian ikut lempar bunganya. Nggak papa kan?” Abian menoleh kepada Nakula dan Pevita, meminta persetujuan atas apa yang akan ia lakukan. “Panggil aja, siapa tahu lo juga mau cepet nyusul abis ini, sama Cica.”

Candaan Nakula menjadi keputusan untuk Abian yang akhirnya berjalan mendekat ke arah Cica. Di belakangnya, Arga memilih berjalan pergi mengikuti Abian untuk menemui istrinya yang duduk bersama Cica, setelah berpamitan untuk meninggalkan teman-temannya yang masih menunggu rangkaian acara selanjutnya.

Lagi pula Arga juga tidak akan mengikuti proses lempar bunga, statusnya yang sudah bukan lajang seperti teman-temannya membuat ia tidak diperbolehkan untuk mengikutinya, takut kesempatan mereka yang masih lajang menjadi lebih sedikit jika mereka yang sudah menikah ikut berpartsipasi.

Selain Arga, ada juga Atha dan Mahesa yang kini ikut menyusul mereka untuk duduk di sana. “Kalian nggak ikut?” tanya Abian santai, melupakan fakta bahwa kedua temannya itu sudah memiliki istri yang kini duduk tepat di sebelahnya.

“Menurut lo aja gimana?” Mahesa menjawab dengan memiringkan kepalanya kepada Atha, sedangkan Arga hanya tertawa ringan tanpa menanggapi apa-apa. “Kali aja kalian mau istri dua.”

Sepertinya nyawa Abian ada dua puluh dua, berani-beraninya ia mengatakan hal tersebut tepat di depan istri Arga dan Mahesa.

“Ampun, gue bercanda.” Abian segera meralat ucapannya ketika melihat Atha dan Arin kini ikut menatapnya tidak percaya. “Santai, gue cuma mau ngajak Cica ke sana. Bukan ngehasut Mahesa sama Arga buat punya istri dua.”

Cica ikut tertawa ketika melihat Abian yang saat ini terlihat seperti sedang dihakimi oleh dua wanita ganas di depannya.

Laki-laki itu kemudian mengulurkan tangannya tepat di depan wajah Cica, seperti apa yang ia lakukan pagi tadi ketika hendak pergi dari warung bubur ayam. Cica menoleh ke kanan dan ke kiri, merasa canggung ketika menyadari Abian ingin menggandengnya di depan semua teman-temannya.

Untungnya, hari ini tamu undangan untuk acara pagi hanya sedikit, sehingga Cica tidak perlu khawatir akan menjadi bahan tontonan dan omongan oleh orang-orang yang mengenalnya. Toh orang-orang yang diundang ini hanyalah teman Nakula dan Pevita serta keluarganya saja, tidak ada orang luar yang harus Cica dan Abian khawatirkan karena hubungan yang mereka lakukan saat ini. Hanya saja, ia lupa jika menjadi bahan tontonan teman-teman Abian akan lebih memalukan.

Memalukan karena mereka semua tahu bahwa apa yang Cica dan Abian lakukan sebelumnya hanyalah settingan dan bukan pacaran sungguhan.

“Nggak papa, mereka udah pada tahu.” Sadar dengan apa yang Cica pikirkan, Abian meyakinkan gadis itu untuk menerima uluran tangannya. Cica menoleh lagi, kali ini Arin dan Arga mengangguk bersamaan, kemudian disusul oleh Atha dan Mahesa yang ikut mengangguk seolah paham dengan kekhawatiran Cica pada mereka.

Setidaknya Abian dapat merasa bersyukur karena seluruh teman-temannya sangat peka dengan keadaan dan membuat Cica perlahan mulai merasa nyaman.

...

Mereka duduk melingkar, dengan dua buah meja yang digabungkan menjadi satu agar terasa lebih luas untuk enam belas kepala yang hadir di sana.

“Sukurin lo kalah sama Bian, tadi harusnya lo terbang aja kaya burung biar bisa nangkep bunganya sebelum jatuh ke belakang.” Arjuna berbicara kepada Deka yang duduk tepat di seberangnya, bersebelahan dengan Cica tentu saja, setelah perdebatan panjangnya dengan Abian.

“Emang bukan rezeki lo nikah abis ini, Dek. Udah jangan ngambek, calon lo juga masih asyik sama cowok lain tuh.”

Abian mengingatkan Deka, menunjuk Gista yang sedang asyik berbicara dengan Januar sembari sesekali tertawa, melupakan keberadaan Deka yang sedang cemberut menatapnya.

Dalam hati Deka sudah tidak ingin kalah, “Lihat aja gue juga bisa akrab-akraban sama Cica.”

“Cica, abis ini mau nikah sama siapa?” tanya Deka tiba-tiba, membuat Cica kaget dan bingung dengan pertanyaan mendadak darilaki-laki itu. “Eh itu maksudnya, kan lo abis dapet bunganya Pevita, biasanya yang dapet bunga kan cepet nyusul nikahnya. Nah lo mau nikah sama siapa?” Deka kembali menjelaskan.

Atensi seluruh orang kini ada pada Cica, tentu saja semua orang juga penasaran dengan jawaban apa yang akan gadis itu lontarkan. “Sama siapa lagi, Dek, ya sama sebelahnya dong.” Arga tertawa kecil sembari menopang kepalanya.

“Lah, sebelahnya kan gue? Sama gue maksudnya?”

Mungkin jika Deka bukan sahabat Abian, laki-laki itu sudah memukul kepala Deka. Untungnya Abian paham jika Deka memang hobi halu seperti ini. “Tanya dulu tuh, emang Cica mau sama lo? Modelan Badut Ancol begitu.”

Kali ini semua orang tertawa dengan balasan yang Mahesa lemparkan, termasuk Cica. “Jangan salah lo, dia bukan Badut Ancol,” komentar Arjuna cepat karena tidak terima jika Deka dibilang Badut Ancol. “Terus gue apaan?”

“Dilan Bekasi. Ngopi bang, lu orangnya asik bangeeet,” balas Arjuna sembali memperagakan gerakan ngopi asik ala Dilan Bekasi yang sering mereka lihat sliweran di FYP Tiktok.

Semua orang kembali tertawa, jelas merasa lucu ketika Arjuna berhasil mempergakan gerakan Dilan Bekasi sembari membawa gelas berisi kopi. Selalu dan tidak pernah ketinggalan, Deka yang selalu dibully oleh teman-temannya.

“Laper nggak?” Abian berbisik di telinga Cica, mencoba mengambil atensi gadis itu ketika teman-temannya mulai sibuk berbincang dan bercanda. Cica menoleh, mendapati wajah Abian berada sangat dekat dengan wajahnya, sontak membuatnya kaget dan memundurkan wajahnya.

“Dikit, tapi lagi mager jalan, heels gue patah,” bisik Cica dengan wajah yang memelas, menyayangkan heels kesukaannya menjadi korban hari ini.

Beberapa menit yang lalu menjadi waktu yang cukup menyulitkan untuk Cica, karena ia harus berjalan dengan sangat hati-hati akibat heels miliknya tiba-tiba patah ketika ia berusaha untuk mengambil bunga yang dilemparkan oleh Pevita dan Nakula saat sesi lempar bunga tadi. Maka dari itu saat semua orang sibuk berkelana mencari hidangan makanan di sana, ia lebih memilih untuk duduk dan tidak berpindah dari tempatnya.

“Lo mau apa, gue ambilin.” Seakan peka dengan keadaan, Abian segera berdiri dan menunggu gadis itu mengucapkan permintaannya sebelum ia pergi untuk mengambil makanan.

Abian dan act of service-nya memang tidak pernah terpisahkan.

“Apa aja deh, lo mau makan juga?” tanya Cica pelan dan Abian mengangguk untuk mengiyakan. Sekarang sudah hampir pukul dua belas siang dan perutnya sudah berteriak minta diisi makanan. “Ya udah, tunggu di sini bentar ya.”

Sebelum pergi, Abian sempat melepaskan jas miliknya karena mulai merasa gerah, kemudian menyerahkan jas itu kepada Cica untuk dibawa. “Nitip bentar, itu HP gue ada di dalem saku jas kalo lo butuh buat liat TikTok.”

Abian ingat itu, sejak tadi sebelum berangkat Cica sudah mewanti-wanti Abian jika dirinya tidak memiliki paket data sehingga ia tidak akan bisa dihubungi jika sewaktu-waktu dirinya menghilang. Syukurlah laki-laki itu sadar dan memberikan HP-nya kepada Cica untuk dijadikan hiburan ketika gadis itu duduk sendirian.

“Makasihhhh. Eh passwordnya ap—oh nggak di password ternyata.”

Setelah perbincangan singkat tadi, anak Tinggar dan anak Kanay memang mulai berpencar untuk berburu makanan. Mencari makanan yang jarang mereka temukan jika tidak di acara pernikahan, dan mengisi perut mereka hingga tidak ada ruang kosong yang tersisa.

Meninggalkan Cica yang duduk sendirian di sana, setelah menjawab semua pertanyaan orang-orang tentang apakah ia ingin ikut berkeliling juga atau tidak, dan dibalas dengan gelengan kecil serta sebuah kalimat yang dapat membuat mereka tersenyum bahagia. “Udah diambilin Bian, kalian duluan aja.”

Jelas mereka bahagia, karena menyadari hubungan Cica dan Abian mulai terlihat hilal keseriusannya.

Mengapa mereka berpikir begitu? Karena mereka semua tahu, jika Abian tidak akan melakukan itu ke sembarang gadis, berbeda dengan Januar dan Arga yang memang sering membantu secara cuma-cuma hingga membuat banyak orang salah sangka kepada mereka, Abian hanya melakukan itu kepada gadis yang ia suka. Meskipun ia dikenal sebagai orang yang friendly kepada semua orang termasuk kepada para gadis, namun untuk melakukan effort yang lebih, ia tidak pernah.

Abian adalah perpaduan antara Arga dan Mahesa.

Cica membuka ponsel Abian dengan hati-hati, kemudian menemukan sebuah wallpaper yang terlihat familiar di matanya. Foto mereka di eskalator, saat pertama kali pergi berdua. Foto yang pernah Cica jadikan lockscreen dan menjadi penghuni archive instagram close friend miliknya.

Senyum manis tiba-tiba merekah pada wajahnya, hatinya mendadak terasa hangat ketika melihat Abian bisa menjadikan foto biasa itu menjadi luar biasa.

Bukan Cica jika tangannya tidak iseng. Mumpung sedang membuka ponsel Abian, ia pun berpikir untuk membuka kontak dan mencari namanya di sana. Penasaran dengan nama yang Abian berikan kepadanya. Meskipun sebelumnya ia sudah tahu karena sempat bertukar foto kontak, tetap saja, ia ingin melihat secara langsung. Tangannya dengan cepat membuka kontak, dan mengetikkan namanya di search bar.

Lagi-lagi gadis itu tersenyum, bahkan sepertinya sekarang senyumnya semakin lebar hingga gigi putihnya dapat terlihat dengan jelas. Padahal itu terjadi hanya karena melihat sebuah simbol '<3' di akhir nama miliknya. Simbol yang berbentuk hati. Simbol yang membuat jantung Cica terasa berdetak lebih cepat hanya karena melihatnya.

“Sejak kapan Bian ganti nama kontak gue pake love gini, anjir lucu banget aaaaaa Bian.” Cica menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mencari keberadaan Abian yang masih sibuk berjalan mencari makanan.

Sejenak pandangannya mulai kembali pada ponsel itu, tersadar akan apa yang ia lakukan, Cica segera menutup aplikasi tersebut. “Jangan diliatin terus ih, Ca, bikin salting,” racaunya pada diri sendiri.

Puas dengan apa yang ia lihat, sekarang ia benar-benar beralih ke aplikasi Tiktok, membuka profil Abian yang tampak sepi karena tidak memiliki satupun video yang di post. Tadinya Cica ingin membuka galeri atau Whatsapp, tapi sadar jika itu akan melanggar privacy Abian, maka ia mengurungkan niatnya.

“Kalo gue buka saved video, lancang nggak ya?” tanya Cica kepada dirinya sendiri, menimbang-nimbang apakah ia boleh membuka itu atau tidak. Setelah beberapa detik berpikir, tangannya dengan tidak sengaja membuka saved video. Entah kenapa rasanya ia juga penasaran dengan hal itu.

Tidak ada yang aneh dari sana, laki-laki itu banyak menyimpan video-video lucu yang sempat Cica kirimkan kepadanya. Kemudian tangannya bergeser ke tulisan lain dan matanya menemukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat, karena bersifat rahasia—sepertinya.

Cica membuka folder 'collection' itu pada akun Abian, kemudian membuka satu persatu isinya dengan jantung yang berdetak semakin kencang. Sejujurnya ia merasa takut ketika membukanya, namun rasa penasaran yang ia punya tidak bisa dibendung lagi. Hingga yang bisa ia lakukan sekarang adalah menahan nafas ketika matanya melihat video-video yang ada di dalam sana. “Liatin apa, Ca?”

“Hah? Bukan apa-apa, liatin tiktok aja tadi.” Cica segera menutup TikToknya dan meletakkan ponsel Abian kembali ke atas meja. Laki-laki itu telah kembali, membawa sebuah piring yang berisi makanan serta sebuah gelas berisi jus jeruk. “Lo nggak makan?” tanya Cica ketika melihat piring yang dibawa Abian hanya satu, artinya ia hanya mengambil untuk satu orang.

“Abis ini, makan dulu nih. Gue mau ambil sesuatu di mobil.” Abian mengulurkan piring yang berisi makanan, jelas makanan itu terdiri dari beberapa makanan yang sekiranya Cica suka. Hanya saja melihat Abian yang segera pergi meninggalkan dirinya di sana, membuat Cica berpikir ulang untuk makan sekarang.

Lima menit menunggu, laki-laki itu terlihat datang menghampiri Cica lagi dengan sapasang sepatu yang ia bawa di tangan kanannya. “Sepatu siapa?”

Cica melihat Abian tiba-tiba berjongkok di depannya, kemudian mengambil kaki kanan Cica dengan segera tanpa menjawab. “Ih, Bian, jawab gue dulu.” Tangan Cica berusaha mengehentikan pergerakan Abian, membuat laki-laki itu mendongak.

“Pake dulu, nanya nanti aja. Heels lo udah nggak bisa dipake itu.”

Benar juga, Cica baru ingat jika ia tidak bisa pergi dari sana karena heels miliknya rusak. Tapi tetap saja, Abian mendapatkan sepatu itu dari mana?

“Gue pasang sendiri aja,” ucap Cica yang langsung dicegah oleh Abian dengan tangannya. “Ssssstt, diem aja di situ. Tangan lo mau dipake buat makan, nanti kotor kalo kena sepatu.”

Mau tidak mau Cica menyerah, membiarkan Abian memasangkan sepatu bertali itu di kakinya. Nyaman, itu yang pertama kali Cica rasakan ketika mengenakan sepatu yang dibawa oleh Abian, seolah sepatu itu memang khusus untuknya.

“Udah, sekarang lo bisa jalan-jalan lagi.” Abian bangkit dari jongkoknya dan kini duduk di sebelah Cica. Sedangkan gadis itu masih terkejut denganapa yang Abian lakukan kepadanya. Tidak biasa diperlakukan seperti ini, terlebih lagi oleh laki-laki seperti Abian. “Kenapa nggak dimakan? Katanya laper?”

Cica menoleh, memandang makanannya yang masih utuh. “Nunggu lo, hehehe.”

Alis Abian terangkat sebelah, bingung dengan apa yang gadis itu maksudkan. “Makan dulu aja, tuh ada Deka sama yang lain juga udah balik, jadi ada temen makan sekarang. Gue makan nanti.”

“Kenapa?” tanya Cica lagi, kali ini wajahnya mengisyaratkan bahwa ia benar-benar bingung mengapa Abian tidak makan bersamanya. Apakah ia malah merepotkan laki-laki itu tadi karena memintanya mengambil makanan serta mencari sepatu untuknya?

“Gue makan kalo lo nggak abis,” jawab Abian yang berhasil membuat Cica bungkam. Sepertinya ia sedikit hafal dengan tabiat Cica yang sering tidak menghabiskan makanan. Makanya Abian lebih memilih untuk makan nanti, siapatau Cica tidak bisa menghabiskan makanannya.

Setelahnya Cica benar-benar makan seperti apa yang Abian katakan, sesekali gadis itu juga tampak mengobrol dengan Deka hingga tawanya meledak di sela makan. “Ohhh gue tau, itu kemaren lewat FYP gue juga ta—uhuk uhuk.”

Benar kan, gadis itu tersedak di sela-sela tawanya bersama Deka. Abian yang sejak tadi menopang dagu untuk mengamati setiap pergerakan Cica dengan segera mengambil minum yang ada di sebelah Cica, memberikannya kepada gadis itu dan mengambil piring yang dibawa oleh Cica agar gadis itu dapat fokus kepada minumannya.

“Kalo makan jangan sambil bercanda, abisin dulu makanannya biar nggak kesedak.” Abian meletakkan piringnya pada meja, kemudian menepuk punggung Cica dengan pelan, agar gadis itu dapat merasa lebih baik dari sebelumnya. Memberikan minuman lain untuk menetralkan diri. Tapi tetap, batuknya tidak segera reda.

“Dek, lo jangan ajak ngobrol cewek gue pas lagi makan dong. Nanti aja ngobrolnya kan masih bisa. Dia tuh nggak bisa nolak kalo lo ajak ngomong terus gitu.” Abian berkata dengan nada yang sedikit naik karena panik yang tiba-tiba melanda dirinya.

Semua orang kini memandang Abian, tidak terkecuali Cica yang sekarang sudah sepenuhnya berhenti dari batuknya. “Lo ... tadi ngomong apa?” tanya Januar tiba-tiba.

Abian yang tidak sadar dengan ucapannya segera menoleh, kemudian matanya mengedar untuk melihat semua temannya kini tengah memandang Abian dengan pandangan yang tidak percaya. “Kenapa lo semua liatin gue sih? Emang ada yang aneh?”

Tanpa menghiraukan pandangan teman-temannya, Abian kembali menepuk punggung Cica, kali ini disertai dengan usapan lembut hingga gadis itu membeku di tempatnya. “Lo udah nggak papa?” Cica mengangguk untuk menjawab laki-laki itu.

“Gue nggak salah denger kan?” Di sisi lain, Putra berbisik kepada Arjuna yang masih memandang Abian dengan bingung. Laki-laki itu menggeleng, kemudian menjawab Putra dengan senyum yang sangat lebar.

“Kayanya temen lo yang itu udah bener-bener jatuh cinta deh, Put.”

Semua mata melihatnya, bagaimana Abian memperlakukan Cica dengan sangat istimewa sejak pertama kali mereka tiba. Tidak ada yang bisa dibohongi, bahkan Cica selaku gadis yang berhubungan dengan Abian, pun merasakan hal yang sama.

Bahwa tokoh utama mereka telah benar-benar jatuh cinta.