namericoffee_

See You After Concert.

Riuh suara ribuan penonton mulai memenuhi landasan udara Husein Sastranegara siang itu. Lebih dari dua puluh ribu pecinta musik hadir dalam festival tahunan yang diadakan oleh salah satu promotor terbesar musik Indonesia yang membawa Sun In The Summer Festival ini. Adanya perubahan strategi serta perubahan jadwal dari dua hari menjadi satu hari pun semakin membuat lautan manusia itu semakin bertambah banyak. Tidak hanya konser, Sun In The Summer Festival juga turut mengadakan festival kuliner yang kini telah berjajar di sepanjang tempat konser.

Tepat pukul 14.00 WIB seluruh penonton mulai merapatkan posisi mereka, beberapa orang yang tadinya sedang duduk-duduk kini sudah mulai berdiri, mengambil posisi yang kosong dan berebut untuk maju ke depan agar lebih dekat dengan panggung.

Berbeda dari ribuan orang lainnya yang rela berdesak-desakan demi mendapatkan spot berdiri yang paling dekat dengan idola mereka, Abian dan teman-temannya justru lebih memilih untuk duduk dengan tenang di sayap kiri kerumunan, jauh dari panggung. Di bawah tenda salah satu sponsor terbesar acara musik tersebut, yang tidak lain adalah Paramayoga Group milik keluarga Abian.

Tidak heran, Paramayoga Group adalah perusahaan properti terkemuka di Indonesia.

Sebenarnya teman Abian tidak banyak yang ikut hari ini, tentu saja karena beberapa dari mereka sibuk bekerja di luar kota dan tidak bisa datang ke Bandung, seperti Arga dan Mahesa. Serta Nakula yang tidak jadi datang karena mendadak harus mengurus persiapan pernikahannya yang akan diselenggaarkan seminggu lagi, meskipun kenyataannya Pevita—calon istrinya—ingin sekali menonton festival tahunan ini. Namun apa daya, pernikahannya lebih penting dari pada konser. Ditambah Sarah dan teman-temannya juga ikut bergabung dengan mereka, membuat tenda itu terlihat penuh.

“Lo nggak ke backstage?” tanya Arjuna kepada Abian yang sedang fokus pada ponselnya. Mengingat laki-laki itu adalah sosok yang saat ini sedang 'dekat' dengan Cica—penyanyi yang akan tampil beberapa saat lagi karena memiliki urutan di awal perform—masih berada di lapangan bersama mereka.

Arjuna berpikir bukankah seharusnya Abian sekarang menjadi support system untuk Cica dan berusaha memberikannya semangat sebelum gadis itu tampil sebentar lagi? Mengapa ia justru ada di sini bersama mereka?

“Abis ini, Cica masih siap-siap dulu katanya.” Seolah paham akan pertanyaan Arjuna, Abian menjawabnya santai sebelum kemudian menutup ponselnya dan kembali bergabung dengan obrolan teman-temannya. Arjuna hanya mengangguk pelan setelah pertanyaan dalam kepalanya terjawab.

“Ini mulai jam berapa sih? Udah jam dua lebih lima menit tapi belum naik panggung tuh artisnya.” Deka yang sedang kepanasan mulai menunjukkan gelagat tidak sabar, wajahnya sudah memerah karena udara Kota Bandung hari ini terasa lebih panas dan sesak dari biasanya. Jelas saja, mereka harus berebut oksigen dengan puluhan ribu orang. “Katanya ada delay bentar sih gara-gara artisnya telat dateng, palingan sepuluh menit lagi,” jawab Abian singkat.

Semua tidak terkejut, laki-laki itu seolah memiliki orang dalam yang berada di balik layar sehingga bisa dengan mudah mengetahui apa yang terjadi di dalam sana. Pasalnya Abian memang memilikinya.

“Siapa emang yang pertama manggung hari ini?” Putra ikut bertanya.

“Kalo di main stage sih Kunto Aji, abis itu Aruna Nafisa—eh Cica abis ini manggung kok lo masih di sini?” Abian terkekeh kecil ketika mendapati Mody baru saja menyadari dirinya belum berada di belakang panggung ketika matanya selesai membaca list artis yang akan tampil di main stage, bahkan pertanyaannya sama persis dengan Arjuna beberapa menit yang lalu.

“Tadi gue udah nanya ke dia, Mod.” Arjuna menimpali. “Gue nggak tau, baru dateng abis beli minum nih,” balas Mody sembari menunjukkan sebuah kantong plastik berisi banyak minuman untuknya dan untuk temannya—sudah termasuk teman Abian juga. Semenjak pertemuan mereka di Southbank beberapa waktu yang lalu, Mody, Syeha, dan teman-teman Cica yang lain menjadi lebih akrab dengan teman Abian. Kecualikan Sherin dan Cica yang tidak dihitung karena sibuk dengan pekerjaan mereka.

“Abis ini, nunggu di telfon sama—nah ini dia nelfon.” Abian menunjukkan layar ponselnya yang menampilkan nama Sherin di sana, jelas alasan gadis itu menghubungi Abian karena membutuhkan laki-laki itu di belakang sana.

“Enaknya bisa ke backstage,” keluh Deka yang tiba-tiba merasa iri kepada Abian. Dengan ekspresi murungnya ia menunduk, namun masih sempat melirik Abian seolah membujuk laki-laki itu agar bisa membawanya juga ke belakang panggung dan bertemu dengan idolanya.

“Sok sedih lo,” ledek Januar dengan memukul ringan punggung Deka. Laki-laki itu tidak bereaksi apapun atas perlakuan Januar, ia hanya fokus menatap Abian penuh harap.

Setelah menutup panggilan, Abian mengambil sebuah kantong kecil yang ia letakkan di bawah kursinya, kemudian bangkit dari sana untuk dapat pergi menuju belakang panggung menemui Cica. “Lo mau ketemu Cica?” tanyanya tiba-tiba kepada Deka dengan senyum kecil.

“MAUUU MAUU!!” Laki-laki itu menjawab dengan penuh antusias bahkan sampai menyusul Abian untuk berdiri, membuat Abian dan beberapa orang di sekelilingnya tertawa kecil. “Nanti abis dia manggung lo ke backstage aja, Sherin bakal jemput lo di sana. Kalo sekarang nggak bisa soalnya agak keos takutnya.”

Sedikit rasa kecewa muncul di wajah Deka, ia merasa sedih karena tidak bisa melihat Cica saat ini juga, padahal ia ingin memberikan Cica semangat sebelum naik ke panggung mengingat Deka paham atas kejadian dua hari yang lalu, namun buru-buru Arjuna menimpali mereka.

“Kalo lo ke sana sekarang malah nonton orang pacaran terus jadi nyamuk, emang lo mau?”

Seolah kata 'pacaran' memang sudah tidak mengherankan bagi mereka semua di saat kenyataannya hubungan Abian dan Cica masih sebatas teman.

Deka tampak berpikir sejenak. Benar juga, ia baru menyadari itu ketika matanya melirik Abian yang kini sedang tersenyum geli melihatnya. Laki-laki itu pasti sedang menertawakan tingkah laku Deka dalam hatinya. “Ya udah, nanti abis Cica manggung gue ke sana.”

Usai berpamitan dengan teman-temannya, Abian segera berlari membelah lautan manusia yang menghalangi jalannya, beruntung ia segera menemukan jalur lain untuk bisa mencapai backstage secepatnya sebelum konser di mulai. Sesekali ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, memastikan ia masih memiliki banyak waktu untuk bertemu dengan Cica sebelum gadis itu naik ke panggung utama.

Dari kejauhan matanya mulai menangkap sosok gadis tinggi dengan pakaian putih yang dapat ia kenali, dengan segera ia melangkah lebih cepat menuju gadis itu. “Itu apaan?” tanya Sherin setelah Abian berhasil menghampirinya.

“Titipan Cica,” ujar Abian singkat yang sebenarnya hanya untuk membuat Sherin tidak bertanya lagi, karena kenyataannya itu bukanlah titipan Cica melainkan pemberian darinya.

Sherin hanya mengangguk pelan kemudian berjalan mendahului Abian untuk masuk ke dalam backstage, melewati kerumunan panitia yang sibuk mempersiapkan segala hal sebelum acara mulai. Abian menengok ke kanan dan kiri, memperhatikan ramainya kondisi backstage sebelum matanya menemukan sosok yang ia cari sejak tadi sedang duduk di kursi sebuah ruangan sembari memainkan rubik kecil.

Gadis itu mendongak seketika saat menyadari Sherin kini berdiri di depannya, kemudian beralih menatap Abian yang menyusul untuk berdiri di sana. “Gue tinggal dulu ya, Ca. Kalian nggak papa kan berdua?” Cica mengangguk untuk menanggapi.

“Nanti kalo udah mau naik gue kabarin. Pintunya gue tutup ya biar nggak ganggu kalian.” Cica mengangguk kecil lagi sembari menatap Sherin, namun tetap tanpa mengucapkan sepatah kata hingga manager-nya benar-benar menghilang di balik pintu cokelat itu.

Sekarang fokus gadis itu kembali pada laki-laki di depannya. Rubik yang tadinya ia pegang kini berpindah pada meja di sebelahnya. “Nih,” ucap Abian dengan tangan terlur untuk memberikan bingkisan yang ia bawa sejak tadi. Sebelah alis Cica terangkat seolah bingung sekaligus bertanya-tanya apa isi dari kantong tersebut.

“Kesukaan lo.”

Mata Cica seketika berbinar, seolah dirinya sangat mengetahui apa yang sedang dibawa oleh Abian tepat setelah ia mengenali kantong itu. “Kok dapet? Dari mana?”

Tangannya kini sibuk membuka kantong yang ternyata berisi sebuah makanan kesukaan Cica. Makanan yang hanya bisa didapatkan ketika malam hari karena toko itu hanya buka mulai dari pukul 18.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB, namun bisa Abian dapatkan saat ini dengan keadaan yang masih hangat, tanda bahwa itu baru saja ia beli. Entah bagaimana caranya laki-laki itu bisa mendapatkannya, Cica juga bertanya-tanya.

“Bisa lah, Abian gitu, apa sih yang nggak gue bisa dan nggak gue tahu,” jawab Abian congkak yang justru membuat Cica memutar bola matanya jengah. Gadis itu tidak lagi mempedulikan Abian yang kini mengambil posisi duduk di sebelahnya, yang ia pedulikan sekarang hanyalah sebuah ubi cilembu hangat di dalam sebuah kantong bertuliskan 'OOBIEKU' itu.

Makanan kesukaannya.

Cica sangat menyukai makanan manis, namun dari sekian banyak makanan manis di dunia ini, hanya ubi cilembu hangat milik 'OOBIEKU' yang bisa membuat Cica merasa benar-benar tenang seolah itu adalah obat penawar gugupnya selama ini.

“Eh, kok lo tahu kalo gue suka banget sama ubi cilembu ini?” tanya Cica tiba-tiba ketika dirinya tersadar jika selama ini ia tidak pernah menceritakan itu kepada Abian. Maka dari itu ia tampak bingung karenanya.

“Udah gue bilang, apa sih yang nggak gue tahu.” Abian menjawab dengan kekehan kecil lagi, kini tangannya ikut meraih sebuah ubi kecil di dalam kantong tersebut, kemudian mulai mengupas setengahnya dan memberikannya pada Cica. “Nih, makan aja nggak usah banyak nanya kaya Dora.”

Gadis itu hanya mendengus kecil namun menerima ubi itu dengan bahagia dan mulai memakannya sedikit demi sedikit. “Dulu ya, gue tuh kalo sebelum manggung harus banget makan ini tau. Bahkan pas gue ke luar kota aja gue minta dibawain ubi saking gue sukanya.” Cica bercerita sembari mengunyah, sedangkan Abian mendengarkan Cica dengan tangan yang sibuk mengupas ubi lain untuk gadis itu.

“Terus, mulai kapan udah nggak makan ini sebelum manggung?” Abian mengambil setengah ubi yang Cica bawa kemudian menukarnya dengan ubi utuh yang telah ia kupas. “Mulai kapan ya? Kayanya tahun lalu? Eh ini kenapa dituker?” Gadis itu bertanya ketika menyadari apa yang Abian lakukan padanya.

“Ini kulitnya belum gue kupasin, nanti tangan lo kotor kalo ngupas sendiri,” jawab Abian kemudian.

Cica baru menyadari jika sejak tadi laki-laki itu hanya mengupasnya tanpa memakan sedikitpun, lantas ketika gadis itu sadar, buru-buru ia menyodorkan ubi yang ia pegang kepada Abian agar laki-laki itu bisa ikut mencobanya. “Buka mulut, cepet,” pinta Cica.

Laki-laki itu nampak kebingungan ketika melihat Cica menyodorkan makanan manis itu kepadanya. “Kenapa?”

“Lo makan juga, cobain deh, ini enak banget.” Tadinya Abian ingin menolak suapan yang diberikan oleh Cica kepadanya, namun setelah melihat raut wajah antusias dari Cica seketika ia membuka mulutnya dengan lebar. Memakan ubi manis itu dan merasakan apa yang Cica rasakan juga. “Gimana? Enak kan?”

Abian mengangguk cepat membuat Cica semakin kegirangan, seolah seperti ia telah membagi makanan kepada orang yang tepat.

Hampir sepuluh menit mereka berdua di dalam sana, belum ada satupun interupsi dari orang lain yang mengabarkan bahwa Cica harus bersiap-siap naik. Membuat gadis itu bertanya-tanya kembali. “Ini agak molor ya?”

“Iya tadi Sherin bilang artis pertama agak telat, makanya belum mulai.” Cica mengangguk-angguk tanda mengerti. “Pantesan dari tadi belum ada aba-aba mulai.”

Hening sesaat, keduanya kini sibuk dengan kegiatan masing-masing. Abian sibuk mengupas sedangkan Cica sibuk berdiam diri, lebih tepatnya sibuk menghentikan sesuatu yang sejak tadi memenuhi kepalanya.

Sejak tadi, sejak kemarin, dan sejak dua hari yang lalu sempat menghantuinya.

“Tadi rame banget ya di luar?” tanya Cica kepada Abian. Laki-laki itu menoleh kepada Cica sebelum kemudian menjawab dengan jawaban singkat. “Banget.”

Gadis itu menghela nafas panjang, merasa sesak tiba-tiba ketika menyadari ketakutannya tiba-tiba datang. Biasanya ia tidak merasa gugup ataupun takut, panggung seolah sudah menjadi medan perangnya sejak dahulu, bahkan ia juga sudah dikenal sebagai penakluk panggung yang hebat setiap berada di atas sana. Namun hari ini semua terasa beda.

“Kenapa?” bisik Abian kepada Cica. Laki-laki itu nampak telah berhenti dari kegiatannya tadi dan meletakkan semuanya di kursi sebelah.

Sejak tadi Abian memang merasakan ada perasaan aneh dalam diri Cica. Perasaan yang tidak pernah ia temukan ada di dalam diri gadis itu. “Nggak papa.”

Bohong, sebenarnya Cica ingin kabur sekarang juga. Bukan karena ia tidak ingin tampil di panggung utama itu lagi. Namun karena ia masih merasa bersalah kepada The Zorro karena telah mengacaukan persiapan mereka dua hari yang lalu, merasa malu untuk berhadapan dengan ribuan penonton setelah mereka mengetahui kesalahannya, dan merasa tidak pantas untuk tampil bersama The Zorro hari ini, meskipun semua hal itu sudah dapat diselesaikan dengan baik kemarin, tetap saja, perasaan Cica masih terasa sedikit tidak nyaman.

“You're not okay.” Cica menoleh, menatap Abian yang kini menatapnya sendu. “Kelihatan?” tanya Cica lirih dan Abian mengangguk sebagai jawabannya.

Lagi-lagi Cica selalu terbaca, ia memang tipe orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan dan ekspresinya. Senang, sedih, marah, atau apapun itu, Cica selalu mengeluarkannya secara langsung di depan semua orang. Maka dari itu, saat melihat Cica pertama kali, Abian dapat melihat jelas jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja.

“Ah sial, padahal gue harus manggung beberapa menit lagi.”

Cica mulai panik, menyadari bahwa perasaannya sekarang mungkin akan sangat berpengaruh pada penampilannya nanti, membuat dirinya semakin merasa kacau. Ia tidak bisa berpura-pura tenang di saat pikirannya benar-benar kacau. “Tenang, Ca. Jangan panik.” Abian menenangkan. Hanya saja kalimat itu tidak mempan bagi Cica saat ini.

Laki-laki itu bangkit dari duduknya, berjalan pelan ke meja lain dan mengambil sebuah botol kecil berwarna ungu berisi minuman kesukaan Cica. Pororo.

Cica hanya melihat pergerakan Abian dengan bingung, bahkan sampai Abian berdiri di hadapannya sembari menyodorkan sebuah botol kecil itu, Cica masih merasa bingung. “Minum dulu, biar nggak panik.” Abian menyodorkan minuman yang telah ia buka agar bisa Cica minum dengan segera.

“Nggak haus.” Jawaban Cica seolah tidak didengar oleh Abian, tangannya masih menggantung di hadapan Cica hingga gadis itu mau tidak mau menerimanya dengan pasrah. “Minum aja dikit.”

Cica menurut, ia mulai meneguk minuman itu sedikit demi sedikit, kemudian menyodorkannya kembali pada Abian. Setelah meletakkan botol itu pada meja, Abian kini memposisikan tubuhnya untuk berjongkok di hadapan Cica. Sedangkan gadis itu menatap pergerakan Abian dengan bingung.

“Sekarang tarik nafas selama empat detik,” titah Abian dan Cica hanya menurut. “Terus buang lagi pelan-pelan selama empat detik.” Gadis itu menghembuskan nafasnya panjang. “Lakuin terus sampe sepuluh kali.”

“Jangan protes,” lanjut Abian sesaat setelah melihat Cica ingin protes kepadanya. Namun lagi-lagi pada akhirnya Cica akan menuruti semua ucapan Abian dengan baik. Laki-laki itu terkekeh kecil melihat Cica yang sedang mengatur nafasnya seperti seseorang yang akan melahirkan, menuruti ucapannya.

Setelah hembusan ke sepuluh—sesuai dengan hitungan Cica—gadis itu tambak sedikit lebih baik dari sebelumnya. “Gimana? Masih panik?” tanya Abian lembut, kali ini diiringi dengan sebuah senyum manis miliknya.

Jika saja Cica tidak sedang dalam mode senyap seperti sekarang mungkin dirinya akan berubah menjadi barongsai hanya karena melihat betapa manisnya senyum milik Abian.

Gadis itu menggeleng pelan, merasa benar-benar lebih baik dari sebelumnya hanya karena mengatur pernapasannya sesuai dengan arahan yang diberikan oleh Abian.

“Lo tau nggak kalo mengatur pernapasan itu baik buat orang yang lagi panik?” tanya Abian pelan dan Cica hanya menggeleng.

Benar memang, mengatur pernapasan memiliki peran yang sangat baik untuk orang yang sedang dilanda panik. Hal itu dapat membuat seseorang menjadi lebih rileks daripada sebelumnya.

Ketika panik datang, saraf simpatik akan terstimulasi untuk mendorong produksi hormon stress kortisol dalam merespon tubuh kita yang disebut dengan 'fight or fight' dan membuat napas menjadi sesak. Untuk melawannya ada sebuah sistem saraf bernama parasimpatik dan bisa terpicu ketika seseorang menarik napas panjang. Dengan mengatur napas, seseorang juga bisa mengendalikan secara tak langsung fungsi tubuh yang lain seperti area kardiovaskular, pencernaan, hormon, bahkan sistem imun. Maka dari itu ketika seseorang dilanda sebuah kepanikan maka sangat dianjurkan untuk mengatur pernapasan.

“Mulai sekarang kalo lo lagi panik cobain buat atur pernapasan, pasti kerasa lebih mendingan.” Cica mengangguk lagi, kemudian mengulang untuk mengatur pernapasannya selama dua kali.

Cica merasakannya, memang betul jika perasaannya terasa lebih baik dari sebelumnya dan ia tidak sepanik tadi, meskipun kenyataannya ia masih saja panik sedikit.

“Sekarang jam berapa?” tanya Cica setelah ia sadar bahwa mereka telah berada di dalam sana cukup lama. Abian lantas melirik jam di pergelangan tangannya. “Jam dua lebih dua puluh menit, lo naik abis ini kan?”

“Iya, tapi Sherin belum ngabarin.” Baru saja Cica mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba pintu terbuka dan menampakkan Sherin tengah berdiri di ambang pintu sembari menjawab seseorang yang sedang berbicara dengannya. “Ca, lo naik sepuluh menit lagi ya.”

Sherin berjalan mendekat ke arah Cica, memperhatikan posisi Abian yang kini masih duduk di hadapan gadis itu. “Aman kan?” tanya Sherin memastikan.

“Aman,” jawab Cica yakin. Tentu saja bukan yakin seratus persen, hanya saja ia harus terlihat professional di hadapan Sherin. “Oke, gue mau cek panggung lagi, lima menit lagi gue samperin lo harus udah siap ya.”

Tanpa menunggu jawaban Cica, Sherin kembali menghilang di balik pintu. Menyisakan Cica dan Abian dalam keheningan.

“Beneran aman?” Cica menggeleng, sedangkan Abian terkekeh lagi. Ia bangkit dari duduknya, kemudian mengulurkan tangan kepada Cica agar gadis itu ikut bangkit bersamanya. Cica menerima uluran tangan Abian dengan ragu, namun tetap ia terima dan ikut bangkit bersamanya.

Kedua tangan Abian diletakkan pada kedua sisi lengan Cica dengan lembut, menarik gadis itu untuk semakin mendekat ke arahnya. “Listen to me,” bisik Abian rendah membuat Cica mendongak agar dapat menatap mata legam milik Abian.

“Jangan terlalu mikirin banyak hal pake kepala kecil lo itu, Ca.” Abian menyentil ringan dahi Cica. “Lagian sekarang semua orang juga udah lupa sama kejadian dua hari yang lalu, sekarang mereka semua lagi fokus buat nikmatin musik kalian, nikmatin perform yang bakal kalian kasih buat mereka, udah nggak bakal ada yang mikirin itu lagi kalo misal lo masih takut sama hal itu, salah itu wajar, semua orang pernah salah. Yang paling penting sekarang lo fokus ke hari ini, fokus buat kasih mereka penampilan terbaik lo, kalo lo semangat mereka juga bakal lebih semangat lagi.”

Cica terdiam, mendengarkan satu persatu kalimat afirmasi yang Abian ucapkan untuknya. “Lo nggak punya banyak waktu buat mikirin hal nggak penting itu.” Abian melirik jam tangannya lagi. “Waktu lo sebelum naik sisa tujuh menit lagi, nggak mungkin lo naik dengan kondisi begini kan?” Cica mengangguk mengiyakan.

Benar memang, tidak mungkin Cica tampil dengan kondisi pikiran yang tidak karuan.

“Makanya, sekarang jangan mikir apa-apa selain perform lo, tunjukin hasil lo latihan selama ini, tunjukin kehebatan lo ke semua orang biar mereka tahu, Aruna Nafisa nggak cuma modal cantik tapi juga punya bakat yang super keren.” Abian berbicara panjang lebar sembari tersenyum, seolah menghipnotis Cica untuk berpikir positif sebelum ia benar-benar naik ke atas panggung.

Beruntungnya segala ucapan Abian dapat diterima Cica dengan pikiran yang jernih, membuat gadis itu kini merasa jauh lebih baik bahkan mungkin semangatnya kini telah membara kembali.

Cica tersenyum lebar dan mengangguk yakin. Membuktikan kepada Abian bahwa semangatnya kini telah kembali seperti sedia kala. “Doain gue, ya,” ucap Cica kepada Abian, laki-laki itu membalas dengan senyuman lebar dan anggukan yakin persis seperti apa yang Cica lakukan sebelumnya.

“Pasti. Gue selalu doain dan dukung lo apapun yang terjadi.” Perlahan Abian menarik Cica lebih dekat, menempatkan gadis itu pada pada pelukan hangatnya, memberikan gadis itu kekuatan sebelum pergi menuju medan perang. “Gue transfer energi gue ke lo, siapa tau lo butuh.” Abian berbicara dalam pelukannya, membuat Cica terkekeh kecil dan balas memeluk laki-laki itu lebih erat.

Tangan Cica melingkar sempurna pada tubuh Abian, wajahnya tenggelam dalam ceruk leher laki-laki itu hingga ia bisa merasakan aroma tubuh Abian masuk dalam indera penciumannya. Cica memejamkan mata, menarik nafas panjang seolah mengambil banyak energi yang ia butuhkan dari Abian.

“Maaf gue mengganggu acara berpelukan kalian, but it's time to go, Ca.” Suara interupsi Sherin disertai tawa kecilnya membuat kedua orang itu melepaskan pelukan mereka seketika. Keduanya saling berpandangan sebelum kemudian tertawa.

“Sorry,” ucap Cica pada Sherin membuat gadis itu mengangkat bahu pelan. “No problem, you need a lot of energy.” Seolah paham akan kondisi, Sherin hanya tertawa kecil tanpa protes sedikitpun.

Cica buru-buru membereskan dirinya sebelum kemudian menatap Abian kembali. Laki-laki itu menatap Cica dan mengangguk yakin, membuat Cica ikut merasa semakin yakin karenanya. Selepas itu ia melangkah pergi untuk menyusul Sherin yang masih berdiri di ambang pintu ruangan. Meninggalkan Abian yang berada di dalam ruangan itu sendirian.

“Cica?” panggil Abian lagi sebelum Cica meninggalkan dirinya. Gadis itu menoleh, menatap Abian yang tersenyum lembut kepadanya.

“See you after concert.” Cica tersenyum dengan sangat lebar, kemudian mengangguk cepat sebelum menjawab Abian. “See you after concert, Bian.”

Siapapun yang ada di sana pasti sadar, mereka berdua benar-benar sedang di mabuk asmara yang nyata.

Hari sudah berganti saat mata Feyre menatap layar ponselnya yang menampilkan sebuah penunjuk waktu dengan angka kesukaannya terpampang di sana, 00.10. Malam ini, ia tengah duduk di teras menunggu kedatangan seseorang yang baru saja memberitahukan kepadanya bahwa ia akan mampir ke rumah gadis itu, tentu saja, awalnya ia menolak karena merasa hari sudah terlalu malam, meskipun pada hari biasanya gadis itu tidak peduli jam berapapun Abian akan mampir ke rumahnya.

Namun, ketika mengetahui bahwa laki-laki itu datang membawa sebuah titipan dari seseorang yang ia rindukan, tanpa basa-basi tangannya mengetikkan persetujuan kepada Abian di seberang sana. Euphoria dalam dirinya mendadak datang secara tidak sadar dan membuat gadis itu dengan cepat melangkah turun dari kasurnya kemudian membuka pintu lebar-lebar, menunggu sosok laki-laki pembawa titipannya muncul di pekarangan rumahnya dengan jantung yang berpacu kencang.

Kak Dewa nitip apa?” pikirnya.

“Ngapain nunggu di luar? Dingin, masuk aja.” Abian datang tujuh menit setelah Feyre duduk di sana dalam diam. Langkah kaki Abian melebar seiring dengan tangannya yang ikut membawa masuk Feyre untuk menghindari udara malam yang dingin menembus kulit gadis itu. “Apa itu?” tanya Feyre setelah keduanya sampai di ruang tengah, duduk di sofa panjang ruangan itu.

“Gak tau, tulisannya buat lo. Gue gak berani buka.”

Mata Feyre memicing dan dahinya mengerut melihat sebuah amplop coklat dengan sebuah tulisan tangan indah terukir di sana. Tulisan yang dapat ia kenali secara langsung siapa pemiliknya. “Buka sekarang coba. Gue penasaran.” Abian memberikan amplop yang dipegangnya kepada Feyre, menginstruksikan gadis itu untuk segera membukanya, karena pada kenyataannya Abian jauh lebih penasaran dengan isinya ketimbang penerima asli dari surat itu, Feyre.

Gadis itu mengangguk pelan, kemudian tangannya membuka amplop itu dengan sangat hati-hati, merasa takut kalau-kalau kertas di dalamnya ikut robek saat ia membukanya. Diambilnya sepucuk surat dalam amplop itu setelah ia berhasil membuka amplopnya dengan lebar, dipandanginya perlahan, kemudian ia mengambil nafas dalam sebelum membuka lipatan kertas itu. Kertas yang dengan segera menunjukkan sebuah pesan panjang dengan tulisan tangan rapi milik Dewa.


Apa kamu akhirnya berhasil buka surat ini, Re?

Kalo iya, artinya Abian udah masuk ke apartemen dan nyari aku, benar kan? Karena gak mungkin kamu yang masuk ke sana, kamu pasti masih menghindar dari aku, iya kan?

Pembuka surat yang berhasil membuat Feyre mengangguk ringan dan tertawa kecil secara tidak sadar, Dewa tahu itu.


Merdu musik yang mengalun, masuk dengan bebas menembus rungu setiap insan yang mengisi ruangan terbuka ini, ruangan yang dibalutkan sebuah selimut tak kasat mata bertajuk peringatan bertambah umurnya seseorang. Tak hanya menyuguhkan sebuah musik, ruangan ini menyuguhkan pesona megah bak sebuah perayaan besar sejenis pernikahan atau pertunangan, yang pada kenyataannya acara ini jauh dari itu.

Sepasang mata gadis bergaun putih selutut, yang ditemani oleh seorang laki-laki jangkung berpakaian tuxedo hitam itu, menangkap sosok laki-laki paruh baya yang menjadi tuan rumah acara ini. Kakinya melangkah beriringan dengan pasangannya, menyusul laki-laki yang sedang menjadi fokusnya kala itu.

“Om Wira, selamat ulang tahun,” ucap gadis itu dengan senyum manis semanis gula-gula.

“Terima kasih banyak sudah datang, Ravika, om sangat senang melihat kalian berdua di sini,” balas laki-laki paruh baya itu dengan senyum kecil.

“Iya sama-sama om, aku juga seneng udah diundang di acara ini.” Gadis itu kemudian menoleh pada laki-laki di sebelahnya yang masih terdiam tanpa suara. “Dewa?” panggilnya.

Sikunya menyenggol ringan perut Dewa membuat laki-laki itu menyadari satu hal dan dengan segera mengambil tangan yang telah dahulu menggantung di depannya dengan kikuk. Tangan dinginnya bergesekan dengan tangan hangat sang papa untuk pertama kalinya setelah sekian lama.

“Selamat ulang tahun, pa,” katanya singkat. Laki-laki itu tersenyum canggung, menunggu sosok di depannya menjawab ucapan tersebut.

“Terima kasih, Dewa. Papa senang kamu bisa datang hari ini. Papa sengaja membuat acara di Bandung agar kamu bisa datang,” jawab laki-laki yang dipanggil papa oleh Dewa baru saja.

Dewa hanya mengangguk pelan dan tersenyum, memilih untuk menyembunyikan suaranya di balik kerongkongan yang kering karena terlalu canggung. Ia tahu, acara ulang tahun keluarganya tidak hanya akan menjadi acara biasa, melainkan menjadi sebuah ajang lelang besar untuk berdonasi yang tentu saja dihadiri banyak kolega papanya. Mengingat juga hari ini ia akan mengumumkan sebuah keputusannya untuk bertunangan dengan gadis di sebelahnya, tiba-tiba saja perutnya terasa mual.

“Mau duduk di sana aja nggak?” tanya Ravika dengan menunjuk sebuah kursi kosong di ujung ruangan terbuka itu, Dewa mengangguk ringan untuk membalas. Langkah demi langkah mereka tapaki dengan menyunggingkan sebuah senyuman, merasa menjadi pusat perhatian secara tiba-tiba setelah mereka menyadari bahwa Benjamin Nataprawira, selalu menunjuk mereka berdua ketika tengah mengobrol dengan beberapa koleganya, membuat beberapa pasang mata selalu melihat mereka secara langsung.

Saat keduanya telah mendaratkan diri di kursi paling ujung yang menghadap sebuah pintu masuk tidak jauh dari mereka, mata Dewa secara tiba-tiba menangkap sosok yang ia kenal namun sudah tidak pernah ia temui selama satu bulan terakhir ini. Sosok yang sedang berjalan bersama kedua orang laki-laki di sebelahnya, sosok yang membuat hati dan pikiran Dewa mendadak ditarik menuju ketidaksesuaian, dan sosok yang sempat hadir dalam kehidupannya kemarin.

Feyre Lyssa Damian. Cinta pertamanya.

Netranya menangkap sebuah lengan yang mengapit lengan gadis itu dengan erat, serta sebuah senyuman yang tidak pernah luntur dari wajah cantik gadis itu.

“Rav, gue haus, mau gue ambilin minum sekalian?” Merasa sesak secara tiba-tiba, Dewa bangkit dari kursi dan menuju meja minuman untuk mengambil dua gelas orange juice setelah Ravika mengiyakan tawarannya.

Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan gadis itu lagi di sini, hari ini, terlebih lagi dengan Abian, yang berjalan bersama gadis itu di sebelahnya. Perasaan Dewa mendadak bercampur aduk, ia tahu bahwa kondisi perpisahan dirinya dengan Feyre sebelumnya terbilang tidak bagus, bahkan jauh dari kata bagus, sehingga ketika ia melihat kembali gadis itu di hadapannya, seketika ia tidak mengerti harus bersikap bagaimana.

Nafasnya yang terasa berat dan mencekat dihembuskan secara kasar sebelum ia berbalik untuk kembali menuju kursi yang sempat ia tinggalkan. Namun, belum sempat ia melangkah dari posisinya, keadaan kembali membuatnya seperti berada di atas jurang kehidupan.

“Dewa?” Tubuhnya membeku tepat ketika mendengar suara laki-laki yang sangat ia kenal selama ini. Abian Paramayoga, sahabatnya. Telinganya memang mendengar suara seorang laki-laki, tapi matanya justru melihat ke arah seorang perempuan.

Dewa mengamati dari ujung kepala hingga ujung kaki, tidak ada yang berubah dari gadis itu, hanya saja tubuhnya terlihat semakin kurus dan matanya terlihat sedikit lelah.

“Halo, Bi, Zra,” ucapannya berhenti saat melihat gadis yang tadinya menunduk, kini mulai mendongak dan menatapnya tajam ke arahnya. “Halo, Re,” sambungnya kemudian dengan nada lirih dan hampir tak dapat bersuara.

“Kalian ke sini juga ya, uhmm by the way ... gue duluan ya, udah ditunggu sama Ravika di sana.” Dewa tersenyum canggung sebelum berlalu mendahului ketiganya tanpa menunggu sepercik jawaban dari mereka.

Feyre tahu, laki-laki itu masih menghindarinya. Bagaimana tidak, jika Feyre memutuskan hubungan mereka secara sepihak dengan keadaan yang sangat tidak baik dan tanpa penjelasan apapun. Ia tahu, sangat tahu, bahwa tindakannya sangatlah jahat dan jauh dari kata benar, tindakannya bukan hanya membuat laki-laki itu sakit hati, melainkan membuat dirinya juga harus menanggung resiko yang tidak kalah berat atas apa yang akhirnya ia pilih.

“Lo mau minum apa?” Abian dengan segera menyadari keadaan Feyre dan mencoba untuk membuat gadis itu kembali kepada kenyataan setelah kurang lebih 5 menit ia terdiam.

“Lagi ga haus, lo aja sama Ezra,” jawabnya singkat dengan mata yang menatap lekat gelas orange juice di hadapannya.

...

Acara hari ini berjalan cukup meriah dan lancar, waktu sudah menunjukkan pukul 21.45 WIB dan situasi sudah menandakan bahwa mereka sudah hampir berada di penghujung acara. Namun, seolah ada sebuah kejutan yang selalu terselip di setiap akhir, acara ini juga memilikinya.

Malam itu, di bawah langit malam yang ditaburi banyak bintang, Benjamin Nataprawira memanggil seseorang laki-laki yang sedari tadi terlihat tidak tenang. Laki-laki yang mendadak dihantui oleh keputusan apakah ia benar-benar akan melakukan ini atau ia lebih baik memilih untuk kabur dari sana dan menolak semuanya kembali seperti sebelumnya.

Sedangkan di ujung lain, seorang gadis secara tidak langsung mengamati gerak-gerik laki-laki itu melalui ekor matanya, tidak ingin terlihat memperhatikan secara langsung apa yang menjadi pusat perhatian semua orang saat ini.

Lantas ketika akhirnya Dewa memutuskan untuk menaiki panggung bersama gadis di sebelahnya, Feyre memejamkan mata secara tidak sadar, karena pada akhirnya, keputusan Dewa sudah final.

Tangan gadis itu mengepal, menahan perasaan sakit yang harus ia terima karena menjadi konsekuensi atas keputusannya. Jauh dalam hatinya, ia masih merasakan desiran halus yang menggelitik perutnya ketika ia mengingat tentang laki-laki itu. Bagaimana ia bersikap, bagaimana ia berbicara, dan bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama-sama seperti sebelumnya. Saling menjadi yang pertama atas apa yang selalu mereka lakukan.

Ingin rasanya ia menolak keputusan tersebut sekarang juga, membantah kenyataan bahwa bukan Dewantara yang ia kenal yang sedang berdiri di sana, hanya saja ia sadar diri untuk mengingat bahwa ia juga lah penyebab semua ini terjadi. Ia juga penyebab Dewa akhirnya memilih untuk berada di sana saat ini. Sehingga pada akhirnya ia hanya bisa kembali berusaha untuk melapangkan perasaannya. Mencoba menerima kenyataan yang membuat ia merasakan sakit yang tak tertahan.

Gadis itu masih mengepalkan tangannya sampai buku jarinya memutih, matanya pun masih terpejam, dan telinganya masih berusaha untuk ditutupi oleh pikirannya karena tidak ingin suara dari kenyataan itu masuk ke dalam telinganya, kemudian menusuk kembali jantungnya. Namun, sampai suara riuh tepuk tangan itu datang, gadis itu masih mendengar setiap detail kalimat yang terlontarkan.

“Perkenalkan, saya Dewantara Nataprawira, berdiri di sini bersama seorang gadis bernama Ravika Astara, yang akan menjadi calon istri saya. Kami akan mengumumkan kepada semua orang di sini bahwa, kami berdua akan menggelar sebuah acara pertunangan yang akan dilaksanakan minggu depan. Kami mohon kepada semua yang ada di sini untuk memberikan sebuah dukungan kepada kami agar acara yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana.”

Tubuh Feyre melemas, benar-benar tidak ada lagi harapan baginya untuk masuk kembali dalam kehidupan Dewa yang masih sempat ia pikirkan sebelumnya.

Berat baginya untuk memilih jalan ini, seluruh rencana dan upaya untuk membuatnya ada di sini sekarang sudah terlaksana. Ia tidak ingin membuat semua usahanya itu sia-sia hanya karena keegoisannya, sehingga pada akhirnya, ia berusaha untuk tetap terlihat ikut bahagia.

Untuk cinta pertamanya.

“Mau kemana, Fey?” tanya Abian kemudian saat melihat Feyre yang tengah bangkit dari duduknya. “Ke belakang, kak.”

Tanpa menunggu jawaban dari Abian, kaki Feyre melangkah cepat menuju taman yang terletak jauh di belakang venue, tempat di mana orang-orang tidak bisa melihatnya, saat ini yang ingin ia lakukan hanya mengeluarkan air matanya yang telah tertahan sejak tadi.

“Lo mau nangis di sini?” Abian bertanya, sesaat setelah Feyre menyandarkan punggungnya di tembok dan menutup matanya. “Ngapain lo ikut ke sini?” tanya gadis itu masih dengan mata tertutup.

Abian menghembuskan nafas panjang. “Mau nyebat.” Padahal sudah jelas Abian di sana karena ia mengkhawatirkan gadis itu.

Laki-laki itu tahu, sejak pertama datang ke sini Feyre tidak bisa berhenti menggigit bibirnya, tanda ketika gadis itu sedang menahan tangisannya. Sehingga ketika ia menyadari bahwa gadis itu dengan segera berlari ke arah belakang venue setelah mendengar pengumuman bahwa Dewa akan bertunangan dengan Ravika, sudah jelas ia tahu bahwa Feyre akan menangis saat itu juga.

Abian tahu, semua alasan Feyre, semua alasan tentang keputusanya melakukan hal besar yang membuat Abian sendiri tidak habis pikir dengan pilihan gadis itu, tapi ia juga tidak bisa memaksanya. Gadis itu tahu dan pasti sudah mempertimbangkan dengan matang, resiko ketika ia memilih jalan seperti ini dan membuat hatinya hancur berkali-kali lipat, bukan hanya hatinya, namun hati sahabatnya juga.

“Gue tahu, pasti berat buat lo pas lihat semua ini, jadi Fey, nangis aja gapapa,” bisik Abian tepat satu jengkal di depan Feyre, kakinya melangkah maju untuk menutupi wajah gadis itu dengan tubuhnya. “Gak akan ada yang lihat lo nangis i sini, udah gue tutupin.”

Tangan Abian terulur untuk membuat Feyre mendekat, mengelus puncak kepala Feyre, kemudian menepuk ringan punggung gadis itu. “Nangis aja, Fey, gue bawa baju ganti kok.” Abian terkekeh kecil.

Merasa benar-benar sudah tidak kuat, gadis itu akhirnya tidak bisa lagi menahan rasa sakit yang selama satu bulan ini ia tahan. Tangisannya pecah, dan ia menangis sampai tak bersuara. Tangisan tanpa suara, tangisan paling pilu yang membuat seseorang yang melihatnya akan ikut merasakan sakit meskipun tanpa mendengar suaranya.

Sayangnya, di ujung lain jauh dari keramaian sebelumnya, kedua mata tajam milik Dewa melihat kedua sosok itu dengan tangan yang mengepal. Menahan sisa perasaannya yan hampir meledak ketika matanya tidak sengaja menatap mereka dari ujung sana. Dewa tidak melepaskan pandangannya barang satu detikpun, sampai kedua tangan halus dan hangat milik seorang gadis menyentuh kulitnya. “Lepasin aja, Wa,” bisik Ravika tepat di telinga Dewa.

Pada akhirnya, kedua anak adam itu hanya saling melihat dari kejauhan tanpa bisa berbicara. Menyembunyikan luka mereka yang masih menganga dalam keheningan malam yang sudah tak terbalut asa.

Benar, lepasin aja, Wa. Katanya dalam hati.

.

Flashback saat Feyre ke Sumedang


Mata Feyre memicing, melihat keramaian di sekitar rumah kontrakannya. Ia menyadari bahwa pasti banyak warga sekitar yang penasaran dengan apa yang terjadi, sampai ada polisi beserta beberapa orang yang tidak ia kenal, datang menghampiri mereka. Meskipun sebelumnya tetangga mereka sudah terbiasa dengan kedatangan orang asing yang datang untuk menagih hutang, namun kali ini, mereka tidak biasa karena melihat suatu hal baru. Bukan penagih hutang namun polisi yang justru datang.

“Kak!!” teriak Ezra yang membuat beberapa orang menoleh kepada Feyre. Ezra di sana, di luar rumah, sedang berdiri sembari mengecek ponselnya berkali-kali, mestikan Feyre telah sampai atau belum. Di dalam rumah, sudah ramai oleh beberapa orang polisi beserta beberapa orang yang tidak Feyre kenal, tentu saja dengan om dan tantenya juga di dalam sana.

“Permisi, boleh saya tau ini ada apa?” tanya Feyre usai ia memasuki rumahnya. Ia melihat beberapa polisi sedang berbicara dengan seorang laki-laki paruh baya berpakaian jas hitam dan rambut yang ditata sangat rapi. Laki-laki itu menoleh, ketika mendengar suara kedatangan Feyre.

“Kamu, Feyre Lyssa Damian?” pertanyaan tersebut dihadiahi dengan sebuah anggukan kecil dari Feyre. “Tadi adik kamu bilang, kamu lagi di jalan. Makanya kami tunggu sampai kamu datang,” jelasnya membuat Feyre kebingungan. Mengapa mereka menunggu Feyre?

Ketika ia melihat kembali om dan tantenya, mereka sudah tidak berbicara apapun dan hanya menunduk di kursi yang ada pada ujung ruangan. “Maaf, anda siapa ya?” tanya Feyre kepada laki-laki di depannya.

“Saya pengacara, yang akan mendampingi Anda beserta adik anda dalam kasus ini,” ungkap laki-laki tersebut. Feyre mengerutkan keningnya masih tidak mengerti. Mengapa tiba-tiba dirinya didatangi seorang pengacara yang mengatakan bahwa ia akan mendampingi mereka? Dan mengapa pula ia terlibat dalam kasus yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya? Sungguh, ia benar-benar merasa sangat bingung.

“Sebentar, pak, Saya masih tidak bisa memahami situasi ini, bisa tolong jelaskan dengan lebih jelas apa yang terjadi di sini?”

Pengacara tersebut tersenyum dan mengangguk pelan, kemudian memberikan arahan untuk menuntun Feyre dan Ezra menuju sebuah mobil yang terparkir tidak jauh dari rumah mereka. “Silahkan anda masuk, seseorang akan menjelaskan kepada anda di dalam sana.”

Tanpa menunggu waktu lagi, Feyre masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi depan, diikuti oleh Ezra yang masuk dan duduk di kursi belakang. Feyre merasakan aura yang berbeda di dalam sana, seperti terasa kenal namun ia tidak mengenalinya. Ia melihat seorang laki-laki paruh baya yang sekiranya lebih tua dari laki-laki yang mengantarkan mereka tadi, sedang duduk di kursi belakang dengan tenang.

“Selamat sore, Feyre dan Ezra,” ucapnya membuka sebuah pembicaraan.

“Selamat sore, pak. Jadi ... ini kenapa ya?” balas Ezra tanpa basa-basi, menanyakan secara langsung perihal apa yang telah mereka alami baru saja.

Laki-laki itu tersenyum kecil. “Saya orang yang membawa polisi kesini untuk menangkap om dan tante kalian, karena mereka telah terlibat dalam sebuah kasus,” tuturnya dengan raut wajah serius. Namun, kepala Feyre dan Ezra masih tetap saja diselimuti dengan tanda tanya besar yang belum terjawabkan.

“Kasus? Kasus apa ya, pak?” Feyre bertanya, merasa sangat aneh karena ia tidak mengerti dengan apa yang diucapkan laki-laki tersebut kepadanya.

“Kasus penggelapan dana perusahaan dan penipuan. Mereka sudah menjadi buronan sejak lima tahun yang lalu namun merikan diri ke luar negeri. Saya sempat bingung kenapa mereka memutuskan untuk pulang dan terlihat seperti menyerahkan diri kepada polisi, namun yang pasti, mereka sekarang akan ditangkap polisi.”

Otak Feyre yang sedari tadi berkeliaran karena tidak mendapatkan jawaban, seketika berhenti dan membeku. Ia tidak menyangka bahwa akan ada orang yang melaporkan om dan tantenya kepada polisi, di saat dahulu ia hampir saja melaporkannya namun berakhir dengan mengurungkan niat, karena merasa tidak tega terhadap keluarganya sendiri.

Siapa sangka, Tuhan memberikan suatu jawaban atas pikirannya selama ini, melihat om dan tantenya didatangi oleh polisi secara lansung tanpa ia repot melaporkannya. “Penipuan? Om dan tante saya menipu siapa, pak?” tanya Ezra.

Laki-laki paruh baya itu kemudian mengambil sebuah amplop, yang berisi data orang-orang yang telah ditipu oleh kedua manusia itu. “Kalian berdua salah satunya.”

Tangan Feyre berhenti membuka amplop tersebut. Matanya menatap lekat kepada pemilik mobil ini, melihat apakah ada kebohongan dalam mata laki-laki paruh baya tersebut, “Kami berdua salah satunya? Artinya banyak orang yang ditipu sama mereka berdua?” duga Feyre, dan laki-laki itu hanya mengangguk.

“Selama ini, kalian telah ditipu sebanyak itu dan tidak pernah melaporkannya kepada polisi. Jadi mulai sekarang, saya akan membantu kalian untuk melaporkan mereka, lalu mengambil kembali hak atas harta warisan orang tua kalian,” tuturnya dengan nada tegas, membuat kedua anak tersebut diam. Ezra dan Feyre sangat bingung, mereka tidak tahu siapa laki-laki ini, mengapa ia ada di sini sekarang dan berusaha untuk membantu mereka berdua. Padahal kalau dipikir-pikir, mereka tidak pernah bertemu sekali pun dengannya.

“Kenapa anda membantu kami, pak? Memangnya anda siapa sampai repot-repot membantu kami untuk mengurus hal ini?” tanya Ezra yang dibalas oleh kekehan kecil dari laki-laki itu.

Suasana mobil menjadi sedikit berubah, ada suasana bingung dan penuh tanda tanya yang melingkupi ruangan sempit itu, puluhan pertanyaan masih tersimpan dalam kepala kedua anak tersebut, sedangkan satu orang lainnya, sedang menunggu pertanyaan itu terlontar untuk akhirnya bisa ia jawab.

“Saya, sahabat dekat papa kalian.”

“Sahabat papa?” Ezra bertanya lagi. Tidak mempercayai ucapan laki-laki itu yang secara tiba-tiba mengatakan bahwa ia adalah sahabat dekat papanya.

“Iya, saya sahabat dekat papa kalian sejak kuliah ... sampai dia meninggal.” Ada nada sedih dalam ucapan laki-laki paruh baya tersebut. Kesedihan yang benar-benar ia selipkan bersama kerinduan dalam kalimatnya.

“Saya adalah rekan kerja papa kalian sekaligus sahabatnya, papa kalian sudah saya anggap sebagai saudara karena selalu membantu saya apapun yang terjadi. Papa kalian juga pernah minta tolong kepada saya untuk menjaga kalian jika sesuatu terjadi kepadanya. Dahulu saya hanya merasa bahwa itu sebuah candaan yang sering dia katakan, tapi saya tidak tahu bahwa itu sebuah pesan yang benar-benar dia sampaikan kepada saya sebelum dia pergi.”

Feyre dan Ezra tidak pernah mengetahui hal ini, yang mereka tahu selama ini hanya sebuah fakta bahwa papa mereka bekerja di Jakarta, dan tidak mengetahui jenis kantor dan siapa saja orang yang dekat dengan papanya. Lantas ketika ada orang yang datang dan mengatakan bahwa ia adalah sahabat dari papanya, mereka hanya bisa mematung di tempat, tidak berani untuk percaya ataupun menolak karena takut akan realita yang menghujamnya, jika semua ini hanya sebuah mimpi belaka.

“Bapak, benar-benar sahabat dekat papa saya?” tanya Ezra lagi untuk memastikan. Laki-laki itu mengangguk, kemudian mengeluarkan sebuah foto yang berisi dirinya serta Jonathan Damian, papa dari kedua anak tersebut.

“Lihatlah ini jika kalian masih tidak percaya. Saya hanya ingin membalas budi karena papa kalian sudah banyak membantu saya selama hidupnya. Dan juga, dia sudah menitipkan kalian kepada saya. Sudah lama saya mencari kalian, tapi tidak pernah ketemu. Saya tidak tahu bahwa kalian berada di sini selama ini. Jika saya tahu, mungkin lima tahun yang lalu kalian sudah saya bawa ke Jakarta untuk tinggal bersama saya, karena saya juga hidup sendiri selama ini,” terangnya dengan sebuah kekehan kecil.

Ezra dan Feyre tidak tahu bahwa papa mereka memiliki seorang sahabat dekat yang sangat baik seperti ini. Mereka mulai berpikir, bagaimana hidup mereka jika lima tahun yang lalu mereka tidak pindah dan tetap berada di Bandung, mungkin mereka akan bertemu dengan laki-laki paruh baya ini. Menjadikannya sosok orang dewasa yang bisa melindungi mereka berdua.

Namun takdir sudah berkata, dan waktu tidak bisa diulang. Kenyataannya mereka sudah berada di sini sekarang.

Feyre tiba-tiba merasa bahwa dunia kini sedang berpihak kepadanya. Kemarin, ia merasa sangat bahagia karena pada akhirnya ia bisa kembali bersama dengan Dewa, orang yang sangat ia cinta, setelah sebuah masalah datang menghampiri mereka. Hari ini, ia mendapatkan sebuah kejutan lagi bahwa sahabat dari papanya yang selama ini tidak pernah ia kenal, datang untuk membantu ia dan adiknya, sosok yang selama ini ia cari untuk memberikan sebuah perlindungan kepada mereka berdua.

Ia merasa bahwa Tuhan memang Maha Adil, setelah memberikan semua kesedihan yang pernah ia rasakan, kini Tuhan mulai menggantikannya dengan hal-hal yang membahagiakan, yang ada dalam kehidupannya.

“Saya tahu ini pasti sangat membingungkan, tapi saya akan menjelaskan semuanya lebih detail kepada kalian setelah ini. Jadi tolong dengarkan saya dengan baik-baik.”

Feyre dan Ezra tidak menjawab apapun, mereka berdua masih terlalu terkejut dengan semua yang datang dalam hidupnya. Mereka hanya bisa diam dan mendengarkan seluruh ucapan yang dilontarkan oleh laki-laki paruh baya itu, tentang bagaimana om dan tantenya bisa menjadi buronan, tentang bagaimana papa mereka memberikan banyak dukungan kepadanya, tentang bagaimana mereka akan hidup setelah ini, dan tentang bagaimana mereka akhirnya bisa ditemukan olehnya setelah pencariannya selama lima tahun.

Pada akhirnya, Feyre merasa bahwa dunianya perlahan akan kembali seperti semula. Meskipun tidak lengkap dengan kedua orang tuanya lagi, setidaknya sekarang ia memiliki seseorang yang bisa ia andalkan layaknya seorang papa.

Ya, laki-laki itu adalah sahabat papanya, Benjamin Nataprawira.

Flashback saat Dewa mengantarkan Ezra pulang


Pagi hari itu, mobil Dewa yang berisi dirinya beserta seorang anak laki-laki yang lebih muda darinya, melaju sedang membelah jalanan untuk menuju perhentian mereka di kota seberang. Kota tempat anak laki-laki itu tinggal.

“Kak Dewa sejak kapan kenal sama Kak Feyre?” tanya Ezra kepada Dewa yang sedang menyetir.

“Dua bulan yang lalu, kayanya,” jawab Dewa dengan tersenyum. Mengingat pertemuannya dengan Feyre yang mungkin belum bisa dikatakan 'kenal' karena ia hanya bertemu tanpa berkenalan secara langsung dalam dua bulan sebelumnya. Lebih tepatnya, satu bulan sebelum kontrak mereka terlaksana. Ezra mengerutkan kening, sesaat setelah mendengar jawaban Dewa, karena ia tidak menyangka bahwa kakak perempuannya ternyata bisa dibilang, baru saja bertemu dengan laki-laki ini. Tidak seperti bayangannya, yang mengira bahwa Feyre telah lama mengenal Dewa seperti ia mengenal Nasya ataupun Nando.

“Tapi kok, kakak kelihatan kaya ... udah kenal baget sama Kak Feyre?”

Dewa juga bingung, mengapa ia bisa merasa sangat mengenal dan sangat nyaman berada di sekitar Feyre, seolah ia sudah mengenal gadis itu jauh lebih lama dari yang ia pikirkan. Namun, yang ia tahu, ia hanya merasa bahwa Feyre dapat membawa suasana yang nyaman kepada orang di sekitarnya, begitulah akhirnya ia menjawab pertanyaan yang ada dalam pikirannya tadi, “Kalian asalnya emang dari Sumedang?” Dewa bertanya tanpa menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Ezra tadi, karena sejujurnya, ia tidak tahu bagaimana cara menjawabnya.

Sesaat Ezra terdiam, bingung harus menjawab seperti apa, karena pada kenyataannya, jawaban itu tidak se-simple seperti yang orang lain pikirkan. “Kalo ga mau jawab juga gak papa kok,” ujar Dewa melihat keraguan di dalam diri Ezra. Laki-laki itu menarik napas panjang sebelum menjawab.

“Sebenernya ... aku sama Kak Feyre ... diungsikan ke sana,” Dewa yang mendengar itu tiba-tiba menahan nafasnya. Diungsikan? Ia bingung dengan pemilihan kata yang Ezra gunakan sehingga membuat kalimatnya menjadi sedikit ambigu. Pasalnya, yang Dewa tahu bahwa kata 'mengungsi' dalam KBBI berarti menyelamatkan diri ke tempat yang aman. Lantas, apakah yang dimaksud dengan mengungsi menurut Ezra sama dengan apa yang ia pikirkan?

“Kalo boleh tau, emang kalian kenapa?”

Dewa sebenarnya berat untuk menanyakan hal ini, terlebih lagi kepada Ezra yang mungkin baru ia temui pagi tadi. Namun, rasa penasarannya terlalu besar untuk akhirnya bisa ia sampaikan. Ia bukan sekedar bertanya hanya karena penasaran dan sudah begitu saja, ia bertanya karena penasaran dengan bagaimana ia harus menyikapi kehidupan yang akan mereka jalani setelah ini. Tidak ingin salah dalam mengambil langkah yang mungkin dapat membuat suatu jarak di antara keduanya jika benar terjadi.

“Pasti Kak Fey udah pernah cerita kan, kalo mama sama papa udah gak ada di dunia?” Dewa mengangguk. “Mereka pergi lima tahun yang lalu, ninggalin banyak hal. Ninggalin aku dan kakak, ninggalin kesedihan, ninggalin harta warisan, dan juga ninggalin hutang,” lanjutnya tanpa menoleh kepada Dewa.

Mengerti dengan sendu yang Ezra utarakan dalam kalimatnya, membuat Dewa merasa sangat tidak enak telah bertanya hal tersebut kepadanya. “Maaf, Zra. Kalo berat gak usah diterusin.”

Ezra justru tersenyum. Ia suka ketika diberikan ruang untuk bercerita, rasanya seperti ia tidak sendirian lagi di dunia ini. Benar jika dibilang ia tidak sendiri di dunia karena masih ada Feyre, kakaknya, tapi Feyre juga tidak selalu ada di sisinya. Ia tidak selalu bisa bercerita, terlebih kepada kakaknya yang ia rasa punya beban lebih berat dari dirinya. Di umurnya yang sekarang, Ezra membutuhkan tempat cerita untuk seluruh pikirannya, menyalurkan sebagian pikirannya kepada orang lain, dan berbagi beban agar dirinya tidak gila. Namun, kenyataan justru menuntut ia untuk bisa kuat dan akhirnya tidak memiliki tempat untuk bercerita.

Maka ketika Dewa bertanya tentang hal tersebut, Ezra merasa sangat bahagia. Akhirnya ada orang yang bisa dijadikan tempat untuk bercerita, serta orang yang peduli dengan kehidupan mereka, pikirnya.

“Gak papa kak, gue malah seneng kalo bisa cerita, apalagi ke lo. Meskipun gue baru ketemu sama lo hari ini, tapi gue ngerasa kalo lo orang baik kak,” ucapnya yang membuat hati Dewa terasa menghangat. Sungguh, kedua saudara ini telah tumbuh dengan sangat baik meskipun tanpa orang tua.

“Dulu gue sama kakak tinggal di Bandung dari kecil, sampe mama sama papa meninggal karna kecelakaan. Karena tepat seminggu setelah mereka pergi, gue sama kakak didatengin banyak orang yang nagih hutang papa, kita berdua gak pernah tau kalo papa punya hutang sebanyak itu,” Ezra mengambil jeda, “Kita berdua cuma bingung harus mulai dari mana. Bayangin aja kita masih berduka karena kehilangan orang tua, tiba-tiba didatengin sama orang yang gak pernah kita kenal untuk nagih hutang, dan jumlahnya banyak. Beberapa hari kemudian, om sama tante dateng ke rumah, mereka bilang ke kita berdua kalo rumah warisan mama sama papa harus dijual buat bayar hutang, dan kita akhirnya disuruh pindah ke Sumedang, ke rumah nenek sama kakek. Diungsikan ke sana, menghindari penagih hutang itu dateng lagi.”

Dewa masih terdiam, mendengarkan dengan seksama cerita dari Ezra. Tangannya terulur untuk mengecilkan volume musik dalam mobil agar suara Ezra bisa terdengar dengan jelas.

“Karena masih remaja dan gak tau apa-apa, aku sama kakak nurut aja. Kita gak pernah mikir apapun karena percaya sama om dan tante, keluarga kita satu-satunya yang kita punya. Setelah pindah ke Sumedang, om dan tante dateng ke sana dan bilang kalo mereka udah berhasil jual rumah warisan juga semua uang warisan udah dipindahkan ke rekening mereka untuk bayar hutang mama dan papa. Mereka bilang uang warisan yang masih tersisa nanti ditransfer ke rekening baru karena kita berdua masih di bawah umur dan belum punya rekening. Aku sama Kak Fey masih tetep percaya, tanpa ada satupun rasa curiga. Seminggu kemudian, Kak Fey dihubungi lagi sama pihak penagih hutang, katanya hutang belum dibayar sepeser pun. Kita kaget, padahal udah seminggu om dan tante pergi bawa semua harta warisan yang katanya untuk membayar hutang orang tua kami, tapi mereka malah pergi dan gak bisa dihubungi sejak saat itu.”

Sungguh, Dewa tidak habis pikir dengan kelakuan om dan tante Feyre yang memanfaatkan uang anak yatim piatu, untuk mereka gunakan secara pribadi. Dewa tidak bisa membayangkan seberapa takut kedua anak itu, ketika mereka diteror oleh orang-orang yang datang untuk menagih hutang, bahkan yang tidak pernah mereka ketahui sebelumnya.

“Penderitaan gak sampe di situ. Setelah kita disuruh pindah ke rumah kakek dan nenek, ternyata rumah itu udah dijual. Jadi selama itu, aku dan kakak tinggal di rumah kontrakan yang katanya adalah rumah nenek sama kakek. Om dan tante gak pernah bilang kalo kita harus kontrak, dan bukan tinggal secara cuma-cuma karena itu rumah nenek dan kakek kita,” suara Ezra menurun. Menandakan bahwa ia sedang kesulitan untuk berbicara.

Tangan Dewa mencengkeram setir kemudi semakin erat. Dadanya terasa sangat sakit, karena mendengar cerita pilu kehidupan Feyre dan Ezra yang sangat jauh dari kehidupannya. Ia merasa malu, hidupnya tidak seberat mereka, namun keluh kesah yang ia keluarkan jauh lebih banyak dari keduanya. Hampir saja ia memukul kemudi, sebelum ia tersadar bahwa di dalam mobil bukan hanya ada dirinya, melainkan ada Ezra juga.

“Kak Feyre gak pernah cerita apapun tentang ini ke gue, dia selalu sembunyiin semua ini sendirian, nyari solusi sendirian, selalu berusaha terlihat kuat dan baik-baik aja di depan gue. Tapi gue tahu, kalo dia sering nangis, dia sering pusing sendiri, tapi setiap gue tanya dia selalu bilang gak papa. Sampe akhirnya gue tau ini semua dari buku diary dia. Gue sedih, gue marah, gue ngerasa gak berguna jadi seorang adek. Tapi gue sadar kalo gue emosi, masalah akan semakin besar bukan semakin berkurang. Akhirnya gue tetep selalu diem, terlihat seperti gak tahu apapun padahal sebenernya gue tahu semuanya. Mencoba bantu Kak Feyre dari belakang tanpa sepengetahuan dia.”

Dewa membeku di tempat. Otaknya melayang kepada pernyataan Ezra tentang Feyre yang selalu terlihat kuat. Ia menyadari itu, selama ia mengenal Feyre, tidak pernah sekalipun gadis itu menunjukkan sisi lemahnya kepada Dewa. Ia terbiasa memasang sebuah topeng untuk menutupi kesedihan dan ketakutannya.

“Jadi rumah yang lo tinggali sekarang...”

Ezra mengangguk. “Iya, itu rumah nenek kakek yang udah dikontrakkan sama pemilik barunya.”

Hampir saja Dewa menghentikan mobilnya dan memutar balik untuk membawa Ezra kembali ke Bandung, memberikannya tempat yang layak ia tinggali selain rumah kontrakan itu, namun ia mengurungkannya. Sangat tidak memungkinkan jika Dewa secara tiba-tiba melakukan hal itu, yang ada Ezra ataupun Feyre akan merasa aneh atau justru marah karena Dewa akan terlihat seperti mengasihani mereka, kenyataannya mereka pasti tidak menyukai hal itu.

“Lo kenapa gak langsung pindah ke Bandung aja, Zra?”

Laki-laki itu menggeleng. “Enggak kak, biaya pindah sekolah mahal, lagian kontrakan juga udah dibayar sampe tahun depan, pas banget sampe gue lulus nanti. Sayang aja duitnya kalo dipake pindah sama nyewa kosan lagi di Bandung, mahal juga,”

Sekeras apapun Dewa berpikir, ia tidak menemukan suatu keraguan di dalam kalimat Ezra, yang menandakan bahwa laki-laki itu bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Ezra merelakan hal yang sangat ia inginkan—untuk hidup bahagia bersama kakaknya di Bandung—karena suatu alasan. Alasan yang muncul karena kenyataan yang belum mendukungnya.

“Mama sama papa, dulu kerja apa, Zra?” tanya Dewa lagi, masih mencoba menggali lebih dalam tentang kehidupan Ezra.

“Mama dulu dokter kak, terus papa kerja kantoran sih, di Jakarta. Jadi kita sering gak ketemu papa, soalnya papa pulang seminggu sekali. Tapi gak masalah sih, karena sekalinya pulang, papa selalu ngajak kita semua buat jalan-jalan, gantiin waktunya yang hilang karena pekerjan, katanya,” balas Ezra dengan senyuman. Dewa tahu, menceritakan orang yang sangat dicintai memang begitu, secara tidak sadar akan membuat senyum muncul dalam ceritanya. Dewa merasa sedikit iri, karena ia tidak merasakan hal itu lagi bersama keluarganya, meskipun dulu pernah, sebelum mereka pindah ke Jakarta karena suatu alasan.

Sepanjang jalan, Ezra menceritakan seluruh kehidupannya dan kehidupan Feyre sejak kecil, cerita ketika mereka susah maupun senang, menjadikan cerita itu pengantar perjalanan mereka yang secara tidak sadar sudah berjalan selama satu jam lebih. Bagi Dewa, bercerita merupakan suatu tahap lanjutan dari perkenalan, ketika mereka akhirnya mau untuk bercerita, maka orang tersebut telah merasa nyaman dan dapat membuka diri. Menjadikan itu suatu langkah awal untuk dapat berjalan lebih jauh, masuk ke dalam kehidupan mereka selanjutnya.

Ezra tahu itu, Dewa sangatlah mirip dengan Feyre, bagaimana laki-laki itu mendengarkan semua cerita Ezra, bagaimana ia menanggapi setiap ucapan Ezra, bagaimana ia menasehati Ezra, dan bagaimana ia memberikan suatu solusi atas kebingungan Ezra. Maka dari itu, Ezra pun mulai menyadari, bahwa sekarang, ia mulai bisa melihat Dewa sebagai kakak laki-laki keduanya, setelah Abian.

Jika Tuhan menciptakan seluruh hal yang ada di bumi sudah memiliki takdir, maka Dewa percaya bahwa kebetulan bukanlah suatu hal yang benar-benar ada di dunia. Kebetulan adalah sebuah fiksi yang tidak nyata. Pepatah pun mengatakan bahwa kebetulan adalah takdir, namun takdir bukanlah suatu kebetulan.

Seperti ketika apel jatuh mengenai kepala Isaac Newton, Tuhan sudah merancang sebuah takdir untuk Isaac Newton menemukan Teori Gravitasi melalui sebuah apel yang menimpa kepalanya.

Ataupun seperti ketika kita berpapasan dengan orang lain di jalan pun, sudah menjadi takdir yang tidak bisa disebut sebagai kebetulan lagi.

Maka ketika Dewa bertemu sebanyak empat kali secara 'kebetulan' dengan gadis itu, Dewa yakin, Tuhan sedang merencanakan sesuatu kepada mereka berdua yang disematkan dalam kata 'takdir' dalam hidup mereka.

Sore itu, dua bulan yang lalu ketika Dewa memilih duduk sendiri di ujung ruangan dan tidak sengaja melihat sebuah buku diary tertinggal di meja kafe yang sedang ia tempati, ia melihat gadis itu untuk pertama kali. Berlari dengan raut wajah panik menuju meja Dewa dan mengambil kembali buku yang sedang ia cari. “Permisi,” ucap gadis itu singkat kemudian bergegas pergi setelah meraih bukunya tanpa melihat seseorang di sebelahnya.

Dewa terus mengingatnya, karena aroma parfum yang Feyre gunakan saat itu—yang sangat mirip dengan aroma parfum dari seseorang yang ia kenal—tercium dengan jelas saat gadis itu berada satu jengkal di sebelahnya.

Pertemuan kedua, ia melihat gadis itu lagi, berdiri diantara jajaran orang yang sedang mengantri untuk memesan sebuah makanan di salah satu restoran cepat saji di Kota Bandung. Tentu saja Dewa bisa mengenalinya lagi, dengan aroma parfumnya yang tercium sebab ia berdiri tidak jauh dari Dewa.

Lagi-lagi, Dewa selalu mengingat seseorang hanya dengan satu hal dalam dirinya. Seperti ketika ia mengingat Feyre, dengan aroma parfumnya.

Pertemuan ketiga, Dewa hampir saja tidak mengenalinya. Feyre berdiri di depannya saat mereka mengantri untuk membeli sebuah tiket bioskop dini hari. Gadis itu menggunakan pakaian serba hitam dan menggunakan masker, sehingga Dewa tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Namun, yang membuat Dewa yakin bahwa gadis itu adalah Feyre, lagi-lagi karena aroma parfum yang ia gunakan tercium dengan jelas oleh Dewa.

Hal itu semakin membuat Dewa yakin, saat ia menyadari bahwa gadis yang duduk bersamanya dalam teater bioskop pada dini hari saat ia menangis hari itu, adalah gadis itu juga. Gadis yang sama dengan yang pernah ia temui dua kali sebelumnya. Gadis yang sama dengan penemu dompetnya. Tentu saja, gadis yang memiliki aroma yang sangat ia kenal juga.

Hari itu, saat Dewa menangis untuk pertama kalinya di sebuah bioskop yang memutarkan film pada dini hari. Ia pikir tidak akan ada orang yang mengetahuinya. Tapi ia tidak sadar, selain diriya, ada orang di sana.

Ketika hati Dewa sibuk menangisi takdir yang seolah bercanda dengannya, pikirannya sibuk untuk mencari cara bagaimana ia akan menghabiskan sisa hidupnya tanpa sia-sia.

Ucapan seorang dokter pada hari itu cukup untuk membuat dunianya berhenti secara tiba-tiba. Ia ingin menolak kenyataan itu, namun tidak bisa. Yang bisa ia lakukan hanya menangis, dan mungkin sedikit merenungkan ucapan lanjutan dari sang dokter saat berbicara dengannya tadi.

“Kamu harus memiliki semangat untuk bisa bertahan, Dewa. Cari sesuatu yang bisa membuatmu merasa hidupmu masih berharga, sakit bukan suatu akhir dari segalanya. Tuhan maha baik, mungkin Tuhan akan mendengar doa tulus kamu, jika kamu mau berdoa.”

Begitulah kemudian Dewa menyadari, apa yang membuat hidupnya bisa terasa berharga? Ia sudah tidak memiliki orang yang bisa dijadikan semangat untuk hidup. Bagi Dewa saat itu, kalaupun ia pergi dari dunia, tidak ada penyesalan dalam hidupnya. Tujuan hidup ia saat itu hanya membuat Atha, kembarannya, merasa bahagia. Melindungi ia sampai bisa mendapatkan hidup yang lebih baik dari hidup yang keluarganya berikan. Lantas ketika Atha akhirnya mendapatkan hidup barunya bersama Mahesa, orang yang mengambil alih tanggung jawab Dewa, laki-laki itu merasa tidak punya tujuan lagi.

Kalaupun ia mati saat itu juga, ia tidak masalah. Namun, ia juga merenungi kembali hidupnya yang terasa belum sempurna. Ia memikirkan masih banyak hal yang belum ia lakukan, ia takut menyesal ketika ia pergi dan belum merasakan hal-hal itu. Jatuh cinta dengan seseorang, contohnya.

Pada akhirnya, hari itu ia mencoba berdoa untuk diberikan kesempatan dalam memahami suatu perasaan, jatuh cinta, yang mungkin dapat menjadi jawaban atas apa tujuan hidup ia selanjutnya.

Beginikah Tuhan menjawab doa darinya? Saat beberapa waktu yang lalu ia mulai berharap kepada Tuhan, tentang adanya seseorang yang kembali hadir dalam hidupnya, tentang seseorang yang bisa ia jadikan tujuan hidup selanjutnya, dan secara tiba-tiba, gadis itu datang.

Membawa sebuah jawaban atas pertanyaan Dewa 'Apakah benar takdir mempertemukan mereka karna suatu alasan?' dan 'Apakah benar cinta akan membuatnya merasa bahwa hidupnya masih berharga?'

Maka saat itu juga, pilihan Dewa jatuh kepadanya.

Entah sudah berapa kali gadis itu menghembuskan nafas panjang, mencoba menetralkan detak jantungnya yang berdegup sangat kencang melebihi ketika ia menyelesaikan tes lari enam putaran di Lapangan Saraga saat mata kuliah olahraga. Hari ini, ia akan bertemu dengan laki-laki itu lagi. Laki-laki yang sempat menghilang beberapa hari belakangan, laki-laki yang berhasil membuat hati dan pikiran gadis itu menjadi penuh sampai berserakan.

Ia merapikan bajunya, mengecek kembali rambutnya yang tergerai, kemudian masih berusaha mengatur nafas dan detak jantungnya untuk membuat dirinya lebih tenang.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21.50 WIB, ia masih memiliki waktu kurang lebih sepuluh menit sebelum Dewa datang menjemputnya hari ini.

Kafe sudah tutup sekitar 20 menit yang lalu, entah kenapa pemilik kafe memberitahukan bahwa hari ini kafe cukup buka sampai pukul 21.30 WIB dan seluruh pekerja bisa pulang dengan lebih cepat, membuat Feyre menghembuskan nafas lega karena merasa beruntung. Ia bisa mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum benar-benar bertemu dengan Dewa. Sebuah keberuntungan, batinnya.

Silau lampu mobil membuat mata Feyre menyipit. Ia tahu, Dewa pasti akan datang lebih awal dari perkiraan, sesuai dengan kebiasaannya yang memilih untuk datang lebih dulu daripada terlambat. Dan tebakannya benar, pukul 21.55 WIB mobil Dewa sudah terlihat memasuki pelataran parkir kafe tersebut. Laki-laki itu kemudian turun dari mobilnya dan menghampiri Feyre yang tengah berdiri di depan pintu kafe setelah memarkirkan mobil hitamnya di tempat parkir kafe yang sudah sepi.

“Udah siap? Mau pergi sekarang?” ucap Dewa sesampainya di depan Feyre, yang dijawab dengan sebuah anggukan kecil tanpa suara.

Keduanya sama-sama terdiam di dalam mobil, tidak mengatakan satu patah kata dan lebih memilih untuk berbicara dalam hati mereka masing-masing. Membiarkan musik mengantarkan mereka menuju tujuan.

Feyre tidak tahu ke mana Dewa akan membawanya hari ini. Seperti sudah menjadi sebuah kebiasaan, Feyre selalu saja menurut ke mana pun laki-laki itu membawanya, tanpa banyak bertanya. Seperti sekarang, Feyre hanya diam tanpa suara, memandang jalanan Kota Bandung yang cukup ramai, tanpa bertanya ke mana tujuan mereka hari ini. Dan ketika matanya menangkap sebuah tempat yang sangat ia kenali, jantungnya kembali berdegup kencang.

Apartemen Dewa.

Feyre tidak mengerti kenapa Dewa membawanya ke sana, tempat yang mengingatkan ia dengan segala hal tentang laki-laki di sebelahnya.

“Kita ngapain ke sini?” tanya Feyre setelah mesin mobil berhenti dan Dewa melepaskan sabuk pengamannya.

“Mau ngomongin sesuatu, kita butuh tempat yang tenang.”

Jika jantung Feyre berdetak sangat kencang, maka jantung Dewa tidak kalah kencangnya. Laki-laki itu sampai harus memegang dadanya sesekali untuk membuat detakan dalam tubuhnya dapat berkurang. Namun sayang, semua itu tidak berhasil, jantungnya semakin berpacu. Apalagi ketika tangannya tidak sengaja menyenggol tangan Feyre saat berada di dalam lift, rasanya jantung Dewa akan meledak saat itu juga.

Rasanya aneh. Perasaannya sekarang dengan kemarin-kemarin seakan menjadi dua hal yang sangat berbeda. Jika biasanya ia akan dengan mudah mengacak rambut Feyre atau menggandeng tangan gadis itu. Sekarang, sekadar untuk menatap matanya saja ia tidak mampu. Terlalu canggung bagi mereka berdua untuk kembali menatap dan berbicara.

Selain itu, suasana yang cukup hening sedari tadi membuat keduanya semakin dibuat canggung oleh keadaan.

Dewa sampai hampir lupa tentang apa tujuan ia mengajak gadis itu untuk bertemu di hari ke-30 mereka menjalani kontrak. Pikirannya mendadak berhenti bekerja sesaat setelah ia menyadari betapa cantiknya gadis yang ada di sebelahnya saat ini.

Mereka berdua tengah berada di balkon apartemen dan berdiri secara terpisah sejauh satu meter. Keduanya sama-sama sedang fokus melihat Kota Bandung yang menyajikan sebuah pemandangan indah lampu kota yang menghiasinya. Dan lagi, keduanya masih terdiam. Sibuk dengan apa yang sedang mereka pikirkan.

Pikiran Dewa melayang ke berbagai hal, tentang sanggupkah ia mengakhiri kontrak ini dan melepaskan Feyre, membiarkan gadis itu hidup jauh dari pandangannya, dan mungkin membiarkan hidupnya tidak lagi terisi oleh gadis itu. Memikirkannya saja, membuat dada Dewa terasa sangat sesak.

Namun, kembali pikirannya membawa sebuah realita, tentang bagaimana hidup gadis itu akan berubah ketika Dewa memaksakan diri untuk bersamanya. Memikirkan bagaimana jika nanti papanya melakukan hal yang sangat tidak ia inginkan kepada Feyre, memikirkan bagaimana jika Feyre mengalami hal buruk saat bersamanya, dan memikirkan hal-hal buruk lain yang membuat Dewa merasa sangat frustasi.

Sedangkan Feyre?

Gadis itu juga terdiam, pikirannya melayang jauh untuk memikirkan bagaimana ia harus memulai percakapan ini. Sudah hampir 30 menit mereka sama-sama diam, sejak menginjakkan kaki di balkon apartemen ini. Feyre bingung, apakah ia harus menunggu Dewa membuka suara atau haruskah ia memulai percakapan mereka karena merasa Dewa tidak akan segera membuka suara.

Ia sudah hampir tidak mampu, perasaannya semakin mendominasi ketika ia berdiri di sebelah laki-laki itu. Aroma tubuh Dewa yang selalu ia ingat di luar kepala dan suasana apartemen yang selalu menghantui pikirannya—karena menampilkan banyak memori di kepalanya—membuat gadis itu ingin cepat pergi dari sana. Karena ia takut. Takut, kalau perasaannya akan semakin mengambil alih dirinya dan ia tidak akan mampu lagi untuk pergi dari Dewa setelah ini.

“Kak?” kalimat singkat Feyre akhirnya berhasil membuat lamunan Dewa menghilang dalam sekejap. Dewa menoleh, mendapati gadis itu sudah berbalik untuk menghadapnya. Tatapannya mengarah langsung ke mata Dewa. “Kalo lo belum mau ngomong, gue yang mau ngomong duluan ya,” ujar Feyre yakin.

Saat ini Dewa hanya diam, menatap Feyre dengan tatapan yang mengisyaratkan bahwa ia sangat ingin berbicara namun mulutnya seolah terkunci dan tidak bisa terbuka. Feyre mengangguk pelan menyadari arti tatapan Dewa.

“Gue rasa, kontrak kita udah cukup sampe di sini. Waktu gue udah habis,” ucap Feyre dengan suara yang sedikit bergetar.

Dewa tahu, Feyre pasti akan mengatakan hal ini. Namun, Dewa tidak tahu jika efek samping dari mendengar hal ini secara langsung, dapat membuat dirinya merasa seperti digores dengan sebuah pisau belati tepat di hatinya. Sakit. Terlebih lagi ketika melihat gadis itu berbicara dengan membawa secuil kesedihan dalam ucapannya.

“Maaf, gue nggak berhasil dalam pekerjaan ini,” ucap Feyre lagi, “maaf karena gue gagal, maaf karena gue gak bisa bikin lo jatuh cinta sama gue, dan maaf karena...” Ia memberikan jeda dalam ucapannya, menarik nafas panjang sebelum mengucapkan kalimat terakhirnya.

“Gue jatuh cinta sama lo.”

Feyre menunduk, tidak ingin melihat Dewa dengan wajah yang sudah hampir penuh dengan air mata. Perasaannya sangat tidak karuan, ia ingin menyimpan perasaan itu dan meguburnya dalam-dalam, tidak memberitahu kepada Dewa bahwa ia gagal karena telah jatuh cinta kepada laki-laki itu. Namun ketika ia hendak berhenti, mulutnya seolah tersihir sampai semua perasaannya mengalir dengan sempurna dalam ucapannya.

Akhirnya, setelah mengumpulkan semua keberaniannya, Feyre bisa merasa lega. Setidaknya ketika ia pergi setelah ini, tidak ada perasaan yang mengganjal dalam dirinya karena ia sudah mengatakannya kepada laki-laki itu. Ia pun sudah berjanji kepada dirinya sendiri, bahwa ia tidak ingin memaksakan perasaannya kepada Dewa.

Apapun yang terjadi nantinya.

Sepuluh detik berlalu dan masih tidak ada suara dari Dewa, Feyre pun tidak mampu mendongak untuk melihat bagaimana reaksi Dewa saat ini. Yang ia lakukan sekarang hanya menunduk dan meremas tangannya. Mencoba untuk menghilangkan rasa sakit yang ia rasakan dalam hatinya karena pikirannya yang berkata bahwa Dewa pasti akan menolaknya setelah ini, memutus kontrak, dan menyuruh Feyre untuk mengembalikan semua uangnya karena gagal dalam pekerjaan ini.

Sebenarnya Feyre sudah tidak peduli lagi dengan uang itu, kalaupun ia harus mengembalikannya agar bisa bersama dengan Dewa, ia rela. Sebab yang ia pikirkan sekarang hanyalah bagaimana ia bisa bersama dengan laki-laki itu atau bagaimana ia bisa berdamai dengan perasaanya, jika Dewa sudah tidak ada di sisinya lagi setelah ini.

Sebaliknya, Dewa pun saat ini juga sudah tidak peduli dengan uang itu. Karena baginya, perasaan ini lebih berharga dari segepok uang 100 juta yang ia berikan kepada Feyre.

“Fey,” panggil Dewa lirih.

Bukannya menjawab, Feyre justru diam dan semakin meremas tangannya. Kepalanya masih menunduk, bibirnya masih digigit dan kini gigitannya semakin kuat untuk menahan air matanya agar tidak jatuh melewati pipinya. Baginya, hanya mendengar suara Dewa sudah membuatnya sangat ingin menangis. Bagaimana laki-laki itu memanggil namanya dengan lembut dan membuat pertahanannya menjadi semakin runtuh.

“Feyre,” panggil Dewa kedua kali, namun dengan nada yang lebih lembut. Terdapat sebuah perasaan dalam ucapannya, yang bisa Feyre rasakan.

Ketika Dewa menyadari bahwa tangis Feyre hampir tidak bisa dibendung lagi, dan Feyre menyadari bahwa perasaannya kini sudah 100% mengambil alih dirinya, tanpa ragu Dewa melangkah untuk mendekap gadis itu dalam pelukannya. Merengkuhnya pelan dan menenggelamkan wajah Feyre dalam dadanya, tangan kanannya mengusap kepala Feyre dengan lembut dan penuh rasa sayang.

“Ssshhh, Fey, lo nggak perlu minta maaf, lo nggak salah apapun di sini.”

Benar saja, ketika Feyre mendengar kembali suara Dewa meluncur dengan sangat lembut di atas kepalanya, gadis itu akhirnya menangis semakin kencang. Pertahanan yang telah ia bangun sejak kemarin seketika runtuh.

Secara tidak sadar, tangannya sudah melingkar di pinggang Dewa, megeratkan dirinya untuk dapat merasakan kenyamanan dalam pelukan laki-laki itu. Dewa tidak bisa menahan lagi, keinginan untuk memeluk Feyre sejak beberapa hari yang lalu akhirnya terbayarkan.

Dewa merasa pertahanannya juga ikut runtuh, perasaannya terhadap Feyre terasa lebih besar dari apapun untuk akhirnya bisa mengusir ketakutannya akan hal-hal yang ada di pikirannya sejak kemarin. Ia tidak lagi memikirkan hal buruk yang akan terjadi ke depannya, yang ia pikirkan sekarang hanyalah bagaimana cara ia melindungi Feyre dari semua orang, terlebih lagi dari papanya. Agar ketika ia memilih untuk bersama Feyre dan melawan papanya lagi, ia bisa memastikan bahwa gadis itu akan baik-baik saja dalam jangkauannya.

“Lo nggak gagal, Fey, nggak pernah. Justru lo berhasil. Bahkan jauh sebelum lo, gue udah jatuh lebih dulu,” ucap Dewa dengan lembut.

Dewa membiarkan gadis itu tenang dalam pelukannya. Ia tahu, perasaan Feyre saat ini pasti sedang tidak baik-baik saja. Dewa mengumpat dalam hati, memaki dirinya sendiri yang sempat menghilang kemarin, hanya karena merasa takut akan sesuatu hal yang sebenarnya tidak perlu ia takutkan.

Saat merasa bahwa Feyre sudah lebih tenang, Dewa melonggarkan pelukannya. Namun tangan Feyre masih melingkar di tubuh Dewa dan enggan untuk dilepaskan.

Diraihnya wajah kecil gadis di depannya, yang sudah memerah dan penuh dengan air mata. Dewa tersenyum, sungguh, Feyre masih saja terlihat sangat cantik bahkan ketika ia selesai menangis. Tatapan matanya bertemu dengan mata cantik Feyre. Gadis itu menatapnya dengan perasaan yang amat sangat tergambarkan, perasaan sayang, perasaan cinta, dan perasaan takut, akan kehilangan.

Dengan masih tersenyum kecil, dipandanginya detail wajah Feyre dari jarak dekat, jarak yang hanya tersisa kurang dari satu hasta. Ibu jarinya mengusap pelan sisa-sisa air mata di wajah gadis itu, memberikan usapan ringan yang berhasil membuat jantung Feyre seakan ingin meloncat dari tempatnya.

“Fey,” ucap Dewa ketiga kali.

Entah hanya perasaannya, atau memang Feyre merasa bahwa Dewa lebih hangat dari biasanya. Wajahnya terlihat sangat dekat, aroma tubuh mereka bercampur memenuhi ruangan karena tubuhnya yang saling bersentuhan. Feyre memandang Dewa lekat, menunggu laki-laki itu melanjutkan ucapannya.

“I'm falling in love with you, so hard, more than you know, and more than you think.” Tatapan mata Dewa tidak berbohong, apa yang ia ucapkan memang benar-benar nyata dari dalam hatinya. Laki-laki itu telah jatuh, jauh ke dalam, lebih dari apa yang mereka pikirkan.

“Maaf karena kemarin gue terlalu pengecut, lari dari hal sepele yang sebenernya nggak pantes gue takutkan,” ujar Dewa, “tapi gue janji, mulai sekarang, gue nggak akan lari, bahkan kalau gue harus ngelawan takdir buat bisa terus sama lo, gue akan lawan itu, sekuat apapun yang gue mampu, sampe kematian jadi satu-satunya hal yang bisa misahin kita berdua.”

Dewa kembali merengkuh Feyre dalam pelukannya. “Lo percaya sama gue, kan?”

Feyre merasakan hatinya menghangat, ucapan jujur dari Dewa membuat dirinya melupakan semua hal yang sebelumnya menghantui pikirannya, melupakan semua orang, dan melupakan sebuah fakta bahwa Dewa telah memiliki calon istri.

Gadis itu mengangguk pelan dalam pelukan Dewa. Memejamkan matanya dan merasakan detak jantung Dewa berdetak seirama dengan jantungnya. “Gue percaya. Jangan pergi ya, Kak. Jangan tinggalin gue sendirian lagi.”

Senyum Dewa merekah di sela usapan tangannya pada kepala Feyre, “Iya, gue janji. Gue nggak akan pergi ninggalin lo lagi.”

Pada akhirnya Dewa tersadar, bersembunyi di balik rasa takut hanya akan membuatnya menyesal di kemudian hari. Ia memberanikan diri untuk mempertaruhkan segala hal yang ia punya agar dapat melihat gadis dalam pelukannya tersenyum bahagia, bersamanya.

Gadis yang ia temui satu bulan yang lalu. Ralat, lebih tepatnya dua bulan lalu, jauh sebelum kontrak itu di mulai. Gadis yang tidak pernah menyadari bahwa Dewa sudah memperhatikannya jauh sebelum ia berbicara dengannya. Gadis yang ternyata dibawa oleh takdir untuk menghadapnya, tepat ketika Dewa membuka tangannya untuk berdoa.

Sejak pertama kali Abian mendengar suara Dewa diseberang sana, ia sudah yakin bahwa laki-laki itu sedang tidak baik-baik saja. Abian bingung, apa yang sedang terjadi dengan sahabatnya di saat Dewa seharusnya sedang bersama dengan gadis ini. Dan sekarang, justru Abian lah yang sedang bersamanya sekarang.

Di depan rumah kos Feyre, memandang punggung gadis itu menghilang di balik pagar besi berwarna hitam setelah berpamitan dengannya.

Tangan Abian kemudian dengan cepat mengambil ponsel di sakunya, menuliskan beberapa kalimat yang ia kirimkan kepada Dewa yang sedari tadi tidak membalas ataupun menjelaskan apapun kepadanya.

Lantas ketika Abian membaca sesuatu yang tidak benar pada kondisi ini, langkahnya melebar dengan sempurna meninggalkan tempat itu, kemudian dengan segera melaju kembali ke tempat yang ia pikirkan sekarang.

Tempat di mana Dewa mungkin berada.

Mungkin.

“Lo kenapa sih wa?” rutuk Abian dalam hati, memikirkan apa yang Dewa lakukan sekarang sangat tidak masuk akal baginya. Tidak mungkin Dewa sedang mabuk, ia bahkan tidak pernah menyentuh botol alkohol sedikitpun ketika sedang bersama teman-temannya. Ia hanya akan melihat dan meminum air putih dengan alasan ia harus menjaga kesehatannya.

Selalu begitu.

Satu hal yang tidak pernah Abian pikirkan, mengapa Dewa selalu seperti itu?

Dan ketika Abian melihat kembali pesan yang Dewa kirimkan, seolah terlihat seperti seseorang yang sedang mabuk, Abian berpikir kembali, apakah Dewa benar-benar melakukannya? Mengapa?

Tidak ada satu jawabanpun yang melintas di benak Abian sekarang.

Matanya menatap parkiran yang masih sama seperti tadi, saat terakhir kali laki-laki itu meninggalkannya. Tidak ada yang berubah sama sekali, bahkan mobil hitam Dewa masih berada di sana.

“Mas, mau nanya. Tadi lihat temen saya yang duduk di sebelah sana, nggak?” Tangan Abian menunjuk ke arah meja di ujung halaman, tempat ia menemui Feyre sepuluh menit yang lalu.

“Oh, tadi kayaknya ke kamar mandi, Mas,” balas pelayan itu dengan ramah.

Tidak butuh waktu lama, Abian segera beranjak menuju kamar mandi setelah mengucapkan terima kasih kepada pelayan yang berjaga di area luar tempat tersebut. Pikirannya tidak berpikir macam-macam, sampai ketika ia melihat kerumunan orang di depan salah satu bilik kamar mandi, perasaannya mendadak tidak enak. “Bukan Dewa, kan?” batinnya.

Tapi harapan tetaplah harapan, meskipun kenyataan tidak menunjukkan apa yang ia inginkan.

Di sana, seorang laki-laki yang sangat ia kenal, terduduk di lantai dengan kondisi setengah sadar, keringat memenuhi tubuhnya, dan wajah yang kemungkinan sudah terlihat pucat pasi.

Ketika ada beberapa orang yang terlihat berusaha untuk membantunya, Dewa memberikan tanda mengunakan tangannya bahwa ia tidak kenapa-kenapa. Namun tetap saja, semua orang tahu bahwa ia sedang tidak baik-baik saja.

Dewa melarang semua orang untuk mendekat ataupun membantunya. Ia masih berusaha sekuat tenaga untuk berdiri dengan tenaganya yang tersisa, meskipun percuma, semua itu sia-sia. Badannya terlalu lemah untuk sekadar digunakan mengangkat kepalanya.

“Wa, anjing, lo kenapa?” Bukan mengumpat kepada Dewa, Abian justru mengumpat kepada keadaan, keadaan di mana ia tidak menyadari dengan cepat bahwa sahabatnya sedang bertarung dengan sesuatu yang berat.

Abian dengan cepat berusaha masuk ke bilik kamar mandi tersebut, mendorong beberapa orang untuk menyingkir dari hadapannya dan mendekat ke arah Dewa yang masih menunduk dengan mata terpejam.

“Dewa! Lo kenapa?!” Lagi-lagi Abian bertanya. Alih-alih menjawab, Dewa justru mendorong Abian untuk menjauh darinya, membuat Abian bingung namun tidak menghiraukannya.

“PANGGIL AMBULANS, TOLONG!” Abian menoleh, berteriak kepada beberapa orang di sana untuk meminta tolong. Ia merutuk dalam hati, kenapa tidak ada satupun orang yang membantu Dewa? Kenapa mereka tidak memiliki inisiatif untuk memanggil petugas medis saat melihat seseorang terlihat sangat kacau di sana.

Fokus Abian kemudian beralih kembali kepada Dewa yang kini tengah mengangkat tangannya, mengisyaratkan kepada sahabatnya untuk tidak benar-benar memanggil ambulans.

“Gue ... nggak kenapa-kenapa. Jangan ... panggil ambulans ... anterin ... gue ... balik aja.” Abian yang mendengarnya dengan cepat memberikan kode kepada orang di sana untuk membatalkan panggilannya.

“Lo serius? Gak mau ke rumah sakit aja? Kondisi lo nggak baik, Wa.” Dewa menggeleng pelan.

Sungguh, suasana yang cukup membingungkan bagi Abian, sesaat ia bingung harus menuruti pikirannya dengan memanggil ambulans atau menuruti Dewa untuk mengantarnya pulang. Namun, akhirnya ia memutuskan untuk mengantar Dewa pulang, melihat laki-laki itu kini sudah sedikit mendongak untuk bisa menatap matanya, mengisyaratkan bahwa ia benar-benar ingin pulang saja.

Abian menghembuskan nafas panjang, mencoba untuk tidak panik saat ini. Dibantu oleh beberapa orang di sana, Dewa dibopong menuju mobil Abian yang terparkir tepat di depan pintu. Dan dengan segera, Abian melajukan mobilnya menembus jalanan Kota Bandung yang beruntungnya, cukup sepi malam ini. Laki-laki itu tidak mengatakan satu patah katapun sampai mobil mereka tiba di apartemen Dewa, membiarkan Dewa tertelap di sana dengan kondisi yang masih sama.

“Udah ... sampe?” Dewa bertanya dengan pelan dan masih setengah sadar, ketika menyadari mobil yang mereka kendarai tidak lagi berjalan. “Udah. Lo tunggu sini bentar ya, gue mau minta tolong orang buat bawa lo ke atas.”

Tangan Dewa menahan lengan Abian agar ia tidak keluar dari sana. “Nggak usah ... tunggu aja ... abis ... ini ... pasti mendingan.”

Abian menghembuskan nafas panjang, kemudian menatap Dewa dengan penuh pertanyaan, ia benar-benar tidak mengerti dengan kondisi yang sedang terjadi sekarang. Puluhan pertanyaan sudah menggantung di kepala Abian sejak tadi, namun ia mengerti jika tidak memungkinkan bertanya kepada Dewa sekarang juga. Berbicara dengan jelas saja ia masih belum bisa.

30 menit mereka diam tanpa suara. Mesin mobil masih menyala, hanya saja tidak ada suara sedikitpun dari mereka, sekalipun suara radio atau musik yang biasa mereka dengarkan. Abian sengaja mematikannya, tidak ingin mengganggu tidur Dewa yang terlihat sangat pulas.

Sejujurnya, Abian takut. Takut kalau apa yang ia pikirkan selama beberapa waktu lalu adalah suatu kebenaran yang membuat dirinya ikut merasakan sakit dalam dadanya.

Pernahkah kalian membayangkannya ada sesuatu buruk yang terjadi kepada orang yang kalian anggap seperti saudara sendiri, dan ketika kalian benar-benar melihatnya, perasaan kalian akan ikut merasakan rasa sakit itu.

Itulah yang Abian rasakan ketika melihat Dewa tadi. Laki-laki itu ikut merasakan rasa sakit, yang dialami sahabatnya.

Dewa adalah sahabat dekatnya, sangat dekat, sampai-sampai kalau ada orang yang bertanya siapa orang yang Abian sayang selain keluarganya, maka dengan lantang ia akan menjawab sahabat-sahabatnya, terutama Dewa. Baginya, Dewa bukan hanya sosok sahabat, melainkan sudah seperti saudara.

“Lo udah mendingan?” Abian bertanya saat melihat Dewa sudah terlihat lebih baik dari sebelumnya. Matanya kini sudah terbuka dan ia sudah duduk dengan tegap, tidak terlihat lemas seperti sebelumnya.

“Udah.” Dewa mengatur nafasnya perlahan, kemudian melanjutkan ucapannya. “Thanks ya, Bi.” Satu kalimat tambahan yang sangat ingin Dewa ucapkan saat ini.

Abian mengangguk untuk menjawab. Masih tidak ingin menanyakan apapun tentang apa yang ia lihat hari ini. “It's okay, Wa. Lo mau naik sekarang?” tanya Abian kemudian.

Dewa menggeleng. Saat ini, apa yang ingin Dewa lakukan hanyalah diam di sana, menetralkan tubuh dan pikirannya, dan menyudahi segala kebingungan yang ada di kepala sahabatnya. Abian masih diam, memandang lurus ke depan dengan pikiran yang melayang.

“Bi?”

“Hmm? Kenapa, Wa? Lo butuh sesuatu?” tanya Abian dengan cepat, kembali fokusnya mengarah kepada Dewa, namun lagi-lagi laki-laki itu menggeleng pelan.

“Maaf,” ungkap Dewa.

“Maaf buat apa?” Abian tidak yakin mengapa Dewa secara tiba-tiba mengatakan maaf kepadanya, padahal ia merasa laki-laki itu tidak melakukan suatu kesalahan apapun.

“Maaf karena gue ngerepotin lo,” Dewa menggantung kalimatnya, memikirkan apakah ia benar-benar akan mengatakan ini atau tidak. “Maaf ... karena gue nggak bilang ke lo, kalo gue ... gue.” Suaranya terhenti di tenggorokan. Ia tidak sanggup mengatakan hal ini kepada Abian, tapi ia harus melakukannya.

Dewa berhenti sesaat. Mengatur kembali nafasnya dan mengumpulkan seluruh keyakinan untuk memberitahukan suatu kenyataan pahit kepada seseorang di sebelahnya. Kenyataan pahit yang terasa seperti mengunyah puluhan obat secara bersamaan tanpa sedikitpun minum untuk menetralkannya. Kenyataan yang sesungguhnya sangat tidak ingin ia beritahukan kepada siapapun.

Abian semakin takut, jantungnya kini berdetak cepat menunggu kalimat lanjutan yang diucapkan oleh Dewa. Sejak awal Dewa mengatakan kata 'maaf', perasaan Abian sudah terasa tidak enak.

Bagi mereka, kata 'maaf' adalah suatu hal yang diucapkan ketika mereka menyadari bahwa kenyataan tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka harapkan.

Seperti kalimat 'Maaf sudah membuat kamu menunggu.' karena menyadari bahwa kenyataannya mereka tidak bisa datang tepat waktu seperti yang diharapkan.

Seperti kalimat 'Maaf masakannya tidak enak.' karena menyadari bahwa kenyataannya mereka tidak bisa membuat masakan yang sesuai dengan apa yang diharapkan.

Dan seperti kalimat 'Maaf gue gak bisa dateng.' karena menyadari bahwa kenyataannya mereka tidak bisa memenuhi undangan seperti apa yang diharapkan.

Lantas ketika Abian mendengar bahwa Dewa mengatakan 'maaf' untuk memulai percakapan mereka, Abian sadar, bahwa ada suatu kenyataan yang tidak berjalan sesuai dengan apa yang mereka inginkan.

“Gue ... sakit, Bi.” Kalimat itu akhirnya lolos dari mulut Dewa.

“Maksud lo?” Abian menoleh kepada Dewa karena tidak mengerti, Dewa hanya mengatakan satu kalimat singkat, sangat singkat untuk bisa dipahami oleh Abian yang masih bingung dengan kondisi sekarang.

“Gue sakit, Kanker otak ... Stadium 4.”

Seolah dunia mendadak berhenti, Abian hanya terdiam, karena terkejut, tentu saja, sangat terkejut sampai ia tidak bisa memproses ucapan Dewa yang ada setelahnya. Saat ini, yang bisa Abian rasakan hanyalah seluruh dunianya mendadak berhenti, semua benda di sekelilingnya mendadak hilang dari pandangannya, pikirannya tidak bisa memproses apapun, dan jantungnya terasa amat perih, seperti terkena goresan pedang yang sangat tajam secara tiba-tiba.

“Wa sumpah, bercanda lo gak lucu, anjing.” Abian tertawa miris.

Tapi mau bagaimana lagi, Dewa pun berharap ini semua hanya bercanda. Ia berharap apa yang ia dengar dari dokternya hanya suatu candaan atau bahkan suatu mimpi, yang ketika ia bangun, semua akan kembali pada kenyataannya.

Tapi tidak. Semua ini nyata.

“Dokter bilang hidup gue cuma bertahan 12 bulan lagi, maksimal.”

Satu lagi kenyataan pahit yang menghantamnya. Masih belum selesai dengan kalimat sebelumnya, ia kini semakin dibuat bingung dengan kalimat terakhir Dewa. Ia benar-benar merasa bahwa ini semua masih terasa tidak nyata.

“Wa, ini mimpi kan? Gue ikut ketiduran di mobil terus gue mimpi lo bilang kaya gini, kan? Wa, bangunin gue sekarang, tolong,” pinta Abian lirih, penuh dengan harapan yang semu.

Dewa diam. Tidak mengatakan satu patah katapun, sampai akhirnya Abian menyadarinya.

“Jadi ... ini semua beneran nyata?” Dewa masih diam, membuat Abian semakin takut untuk menghadapi kenyataan.

Pasalnya, ia masih tidak bisa memahaminya, mengapa dari sekian juta manusia di dunia, harus Dewa? Sahabat dekatnya? Tapi kenyataan tetap tidak bisa menjawabnya.

Abian meremas kasar rambutnya, kemudian mengacak-acaknya karena pikirannya sangat kacau saat ini. “Wa... Maaf. Maaf gue gak peka jadi sahabat lo. Maaf gue gak pernah sadar kalo selama ini lo lagi gak baik-baik aja.” Dewa menepuk punggung Abian pelan, saat laki-laki itu tengah menunduk dan menenggelamkan kepalanya di setir kemudi.

“Lo gak perlu minta maaf buat hal yang gak lo lakuin, Bi. Semua ini udah takdir gue.” Ucapan yang membuat Abian merasa hatinya semakin sakit. Abian tahu, takdir memang tidak bisa disalahkan. Tapi... ia hanya terus berpikir, kenapa takdir begitu jahat kepadanya, terutama kepada Dewa.

Sampai ketika Abian menyadari kembali tentang apa yang terjadi kepada laki-laki di sebelahnya, ia tidak sadar, air mata berhasil lolos dari kedua bola matanya.

Air mata yang tidak pernah keluar untuk siapapun di dunia. Dan untuk pertama kalinya, laki-laki itu menangis untuk sahabatnya.

Biasanya, Dewa tidak akan pernah mau keluar apartemen jika waktu sudah menunjukkan lebih dari jam 9 malam—kecuali jika sahabat atau saudara kembarnya—meminta tolong untuk melakukan sesuatu yang membuat ia harus keluar dan mau tidak mau ia akan keluar, jam berapapun itu. Tapi ternyata hari ini ada satu pengecualian lagi. Beberapa hari yang lalu Dewa melakukan suatu hal gila, yang menurutnya bisa saja dimaklumi, tapi kalau saja orang lain tahu, mungkin mereka akan langsung berpikir bahwa Dewa bukan hanya gila, melainkan benar-benar gila.

Bagaimana tidak, Dewa meminta seseorang untuk bekerja dengannya selama satu bulan, dengan gaji sebesar 100 juta, dan pekerjaannya hanya satu, membuat Dewa jatuh cinta kepadanya selama satu bulan. Meskipun sebenarnya Dewa sendiri tidak yakin gadis itu akan bisa membuat laki-laki seperti Dewa jatuh cinta, karena seumur hidupnya, sekalipun ia belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Belum pernah, bukan tidak pernah.

Bukan karena Dewa tiba-tiba menjadi pengemis cinta, sampai rela membayar 100 juta demi sebuah cinta dari orang yang bahkan tidak pernah ia kenal sebelumnya, tapi jauh dari itu, Dewa punya alasan. Alasan yang cuma ia dan tuhan yang tau. Saat ini.

Dewa juga bingung, kenapa dari sekian banyak gadis di dunia, ia harus singgah di ruang DM twitter seorang gadis bernama Feyre, yang pernah ia temui satu hari sebelumnya. Hari itu, hari di mana gadis itu menarik Dewa keluar dari kafe dan mengatakan kepada teman-temannya jika laki-laki yang sedang bersamanya adalah ‘cowo’ nya, saat itu juga Dewa menyadari satu hal. Feyre sedang menghindar dari suatu perjodohan.

“Feyre ini tuh jomblo dari lahir tau, tapi dia selaluuuuu aja, nolak cowok yang deket sama dia.” Kalimat teman satu mejanya yang masih sempat Dewa dengar, sebelum akhirnya gadis yang disebut dengan nama Feyre itu, menarik Dewa untuk ikut keluar dari kafe dan menghindari obrolan temannya, yang terlihat jelas sedang menjodohkannya dengan seseorang.

Lucunya, setelah hari itu, Dewa menjadi kepikiran dengan gadis itu. Gadis yang sekarang sedang duduk di hadapan Dewa, sambil memakan sepotong cheese cake dan menyeruput kopi nya yang tinggal setengah, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya untuk berkutat dengan tugas-tugasnya. Mengabaikan Dewa, yang sejak 30 menit lalu sudah berada di depannya. Tangan Dewa terlipat di depan dadanya, ia hanya diam mengamati kegiatan gadis di depannya, tanpa sedikitpun memiliki niat untuk mengajaknya ngobrol. Sesekali ia ikut menyeruput kopi yang baru saja disajikan—oleh Feyre. Dewa kemudian bangkit dari duduknya yang dihadiahi dengan tatapan bertanya dari Feyre.

“Mau kemana?”

“Ke depan, nge vape bentar. Takut lo keganggu kalo gue nge vape disini,” katanya menjelaskan.

“Padahal kalo lo mau nge vape disini juga gapapa.” Sejujurnya, Dewa tidak benar-benar akan melakukannya. Ia sudah berhenti melakukannya sejak masuk kuliah, namun entah kenapa ia mengatakan hal tersebut. Ia hanya bingung harus melakukan apa untuk menunggu Feyre menyelesaikan tugasnya dan mereka bisa pulang. Ia bisa saja meninggalkan Feyre disana sendirian dan pulang—karena sebelum Feyre mengenal Dewa pun, gadis itu sering begadang sendiri di kafe ini, setelah menutup kafe nya. Namun, Dewa memilih untuk menemani gadis itu, hari ini.

Hari itu, tepat satu minggu Feyre menerima tawaran Dewa untuk ‘bekerja’ selama satu bulan—yang sebenarnya tidak bisa disebut bekerja dan lebih ke sebuah misi gila.

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 dan mereka berdua masih berada di kafe tempat Feyre bekerja. Tadi, Dewa memutuskan untuk berkunjung ke tempat kerja Feyre di Arion Café, setelah laki-laki itu selesai bekerja. Ia mendapati Feyre yang sedang duduk sendirian, di meja paling dekat dengan jendela, sedang berkutat dengan laptopnya seperti sekarang, di saat tulisan pada pintu kafe sudah menunjukkan tanda 'closed' sehingga tidak ada satu orang pun disana kecuali mereka.

“Lo gak mau balik?” tanya Dewa setelah ia kembali ke dalam kafe.

“Bentar, nanggung banget ini tugas gue tinggal dikit. Lo mau balik duluan kak?” Dewa menggeleng dan memilih untuk kembali duduk di hadapan gadis itu. Feyre memang seperti ini. Ia akan bekerja sampai larut malam, dan baru bisa mengerjakan tugas-tugasnya setelah selesai bekerja.

Dewa baru menyadari sesuatu setelah mereka bersama, kalau gadis di hadapannya ini, adalah orang yang gigih dan pantang menyerah. Hidup sebatang kara bersama adiknya, menjadikan ia tulang punggung keluarga di umurnya yang masih belia. Dewa juga tidak menyangka, kalau seseorang sepertinya harus menjalani kehidupan yang pahit karena ditinggalkan kedua orang tuanya—yang telah pergi dulu meninggalkan mereka dari dunia—karena sebuah kecelakaan tragis lima tahun yang lalu. Menyisakan ia dan adiknya—yang hanya berbeda tiga tahun dari umurnya.

Gadis yang pada awalnya Dewa pikir hidup dalam kedamaian dan kasih sayang bersama orang-orang terdekatnya, yang setiap pulang kuliah selalu disambut hangat oleh orang tuanya, atau yang setiap hari berangkat kuliah mengendarai mobil mewah yang dikemudikan oleh supir pribadinya, ternyata jutru memiliki kenyataan yang sangat berbeda. Gadis yang ternyata selalu hidup dalam ketakutan akan hidupnya, yang tidak pernah disambut oleh kedua orang tuanya sepulang kuliah, dan yang selalu bekerja siang malam karena harus membiayai hidupnya dan adiknya. Suatu kenyataan yang akhirnya membuat hati Dewa tergerak, karena melihat sedikit sosok dirinya di dalam gadis itu, si anak pertama yang bahunya harus sekuat baja.

Dewa tau, gadis yang ia temui itu sebenarnya adalah sosok gadis rapuh yang berusaha kuat untuk berdiri tegak di tengah kerasnya dunia. Tulang punggung keluarga kecilnya. Gadis yang tidak memiliki sandaran, dan hanya bisa bersandar pada kedua kaki kecilnya. Feyre sudah mulai bekerja sejak duduk di bangku SMA, mencoba segala macam pekerjaan yang sekiranya bisa ia kerjakan, hanya karena tidak ingin ia dan adiknya mati kelaparan di dunia.

“Gue anak pertama kak, jadi gue harus kuat dan gak boleh nyerah. Masih ada adik gue yang harus gue jaga di dunia,” katanya beberapa hari yang lalu, saat mereka berbicara di apartemen Dewa.

Beberapa hari yang lalu, gadis itu mampir ke apartemen Dewa. Hari itu, hari ke-5 sejak Feyre memutuskan untuk 'bekerja'. Feyre yang merasa curiga karena laki-laki itu tidak membalas pesannya sejak pagi, dan perasaan Feyre yang tiba-tiba menjadi tidak enak. Feyre merasa ada yang tidak benar dengan Dewa, ia pun akhirnya memutuskan untuk segera menuju apartemen Dewa yang letaknya tidak jauh dari tempat tinggalnya.

Dewa bukan tipe orang yang mengabaikan pesan Feyre, sekalipun itu adalah pesan iseng atau pesan yang tidak jelas, ia mungkin hanya membalas dengan singkat namun tidak akan pernah mengabaikannya, tidak hanya Feyre, namun semua orang yang Dewa kenal. Benar saja, saat Feyre tiba disana, Dewa sudah tergeletak lemas di ruang tamu dengan kondisi berkeringat deras dan tidak kuat untuk bangun. Feyre memang sudah mengetahui kode apartemen Dewa sejak hari pertama ia ‘bekerja’.

“Gue kasih kode apartemen kalo sewaktu-waktu lo harus dateng kesana karena suatu hal.” Begitulah yang Dewa ucapkan hari itu. Makanya pada saat itu, Feyre bisa masuk dengan sendirinya.

Beruntung saat Feyre datang, ia membawa makanan dan sekotak obat, karena ternyata Dewa pun belum makan sedikitpun sejak tergeletak disana.

“Lo kenapa ga telfon gue sih kak? Kalo misalnya gue ga kesini gimana?” Itulah saat di mana Dewa melihat seorang Feyre marah, untuk pertama kalinya. Bukan marah karena ia merasa dikecewakan, dikhinati, atau marah karena hal-hal seperti itu, melainkan marah karena ia takut. Feyre takut kalau Dewa kenapa-kenapa dan ia tidak ada di sana.

Gadis itu juga bingung, kenapa ia harus se marah itu hanya karena laki-laki yang kini sedang duduk di sebelahnya dan memakan buburnya dengan perlahan itu— tidak memberitahu kepadanya kalau ia sedang sakit hingga tidak bisa bangun.

“Gue ga kepikiran,” balas Dewa singkat. Benar juga, siapa yang kepikiran memberitahu orang lain kalau ia sedang sakit, di saat memikirkan dirinya sendiri sudah makan atau belum saja tidak sempat.

“Lain kali lo missed call gue aja, tanda kalo lo kenapa-kenapa.”

Dewa hanya tertawa kecil. “Gue seriusan kak,” ucap Feyre memelas.

“Kenapa lo jadi marah? Gue ga kenapa-kenapa, cuma demam doang tadi.” Sungguh, Feyre juga bingung kenapa ia menjadi seperti ini.

“Gue... takut.” Dewa menoleh untuk menunggu kalimat lanjutan apa yang akan Feyre ucapkan. “Gue takut... orang terdekat gue pergi lagi.” Sambungnya.

Dewa merasakannya, ketulusan di dalam ucapan Feyre baru saja. Ketulusan yang dapat menjemput senyum kecil Dewa yang selama ini belum pernah Feyre lihat sebelumnya. Tangan besar Dewa terulur untuk mengacak pelan rambut Feyre. “Jadi sekarang gue udah jadi orang terdekat lo?” Ucapnya dengan sedikit tawa.

Orang terdekat. Dewa merasa hatinya menjadi hangat, sesaat setelah mendengar perkataan tulus Feyre. Diantara semua orang di dunia ini, Feyre akirnya menganggap Dewa menjadi orang terdekatnya. 5 hari yang sebelumnya mereka berdua masih bertukar pandangan saling membenci, tidak mengenal dan tidak mempedulikan satu sama lain. Siapa yang menyangka hanya dalam waktu 120 jam mereka akhirnya bisa menjadi orang terdekat, orang yang saling membutuhkan dan saling bergantung, untuk satu sama lain.

Feyre akhirnya menyadari itu, ia menyadari bahwa di dunia yang luas ini, ia hanya memiliki tiga orang terdekat dalam hidupnya. Sekarang.

Adiknya, sahabatnya, dan Dewa.

“Iya.” Feyre menunduk setelah mengucapkan satu kalimat singkat itu.

Dewa tersenyum tipis mendengar kalimat yang Feyre ucapkan, ia merasa bahwa akhirnya, ada orang yang membawa masuk dirinya ke dalam hidup mereka. Dahulu, hidup Dewa hanya berisi Atha, saudara kembarnya, orang yang paling ia sayang di dunia ini. Tentu saja sahabat-sahabatnya juga, hanya saja porsi mereka berbeda.

Namun, ia pun baru menyadari juga, bahwa hidup Atha tidak semua tentang Dewa, hidup Atha juga berisi orang lain, yang mungkin akan ada orang yang lebih ia sayang dan cinta, jauh lebih dari pada Dewa. Siapa lagi kalau bukan Mahesa, suaminya.

Lantas ketika Feyre datang di hidupnya, untuk pertama kali setelah sekian lama, Dewa merasa hidupnya berharga.

Ya. Ini sebuah cerita tentang dua orang yang saling menjadi 'yang pertama' dalam hidup mereka.

5 menit berlalu dan Dewa belum juga menampakkan batang hidungnya di hadapan Feyre. Gadis itu berdiri sendirian di depan gerbang kos-kosannya, memeluk dirinya sendiri karena angin malam yang dingin datang menerpa tubuhnya. Ia lupa kalau Kota Bandung malam hari sudah pasti dingin, tapi ia juga sudah terlanjur berada di bawah dan kamarnya berada di lantai 3, yang artinya ia harus berjalan menaiki puluhan anak tangga lagi jika ingin mengambil jaketnya, sehingga yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah berdiam diri dan memeluk erat dirinya seperti sekarang.

“Anjir lama banget tau gitu gue keluarnya nanti aja kalo dia udah sampe.” Seperti di dengar oleh tuhan, tidak butuh waktu lama sebuah mobil pajero hitam berhenti di depannya. Feyre memicingkan mata mencoba mengenali siapa orang yang ada di dalam mobil, dan benar saja, saat kaca turun, ia menemukan Dewa disana dengan ekspresi datar seperti biasa.

“Masuk.” Katanya.

Tidak ingin membuang tenaga dengan menjawab, Feyre dengan segera membuka pintu mobil dan duduk di sebelah Dewa yang kini tengah memandang Feyre dengan tatapan bertanya. Gadis itu tidak menyadari bahwa Dewa menatapnya dalam diam hanya untuk menunggu kalimat lanjutan Feyre tentang kemana tujuan mereka hari ini.

“Kemana?” Akhirnya Dewa membuka suara lagi, karena seseorang yang ditunggu nya tidak juga peka dengan keadaan dan justru tengah sibuk dengan seatbelt yang sedari tadi susah untuk ditarik—entah kenapa.

Feyre pun bingung harus kemana, karena sebenarnya ia tidak benar-benar lapar dan sebenarnya ia juga sudah makan. Ia hanya iseng mengatakan kepada Dewa bahwa ia akan pergi keluar, memancing laki-laki itu dengan mengatakan apakah ia mau ikut atau tidak, dan berharap Dewa akan mengatakan tidak sehingga ia bisa kembali bergulung di atas kasur bersama selimut tebalnya, menonton Netflix yang belum sempat ia sentuh setelah satu minggu lamanya karena sibuk dengan tugas-tugas kuliah atau harus bekerja.

Namun siapa sangka, umpannya dimakan sempurna oleh Dewa, laki-laki itu tiba-tiba saja menyetujui tanpa bertanya—membuat Feyre sedikit merutuki keputusannya selama beberapa menit—dan berakhirlah mereka berdua ada disini sekarang, di dalam mobil dengan suara musik dari Keshi yang sedang memutarkan lagu like i need u, menjadi teman ketiga mereka.

“Ga tau, sejujurnya gue belom kepikiran.” Tangannya masih sibuk menarik-narik seatbelt yang entah kenapa menjadi alot dan susah ditarik.

“Lo mau kemana?” Karena tidak sabar, akhirnya Dewa melepaskan seatbelt nya dan mendekatkan dirinya untuk dapat membantu Feyre memasang sabuk pengamannya yang sudah hampir 5 menit tidak bisa terpasang. Feyre menahan nafasnya sebentar saat Dewa berada tepat beberapa inchi di depannya, hanya untuk menarik sabuk pengaman itu dengan mudah sampai akhirnya terkunci dengan sempurna, membuat mata Feyre membulat sempurna karena bingung mengapa Dewa bisa dengan mudahnya menarik seatbelt itu sedangkan ia harus bersusah payah dan menghabiskan sedikit tenaganya.

“Gue bukan modus, emang tadi susah ditariknya.” Feyre berucap setelah akhirnya dapat menghembuskan nafas, saat Dewa sudah duduk di kursinya dan memasang kembali sabuk pengamannya. Aroma parfum Dewa yang masih tertingal di sekitar hidung Feyre, masuk ke dalam indera penciumannya dengan sempurna. Aroma musk dan woody ditambah dengan citrus yang sedikit terasa.

“Gue ga ngomong apa-apa kenapa lo klarifikasi?”

“Biar lo ga mikir aneh-aneh aja.” Dewa tersenyum tipis, tipis sekali sampai siapapun tidak bisa melihatnya. Benar juga, kenapa Feyre harus repot-repot klarifikasi suatu hal yang bahkan tidak perlu diucapkan. Ia kemudian merutuki kebodohannya di depan Dewa.

Beberapa menit tidak mendapatkan jawaban, mobil Dewa akhirnya melaju membelah Kota Bandung untuk menyusuri setiap jalan yang mereka lewati, berputar dari arah Dipati Ukur menuju pusat kota untuk mencari apa saja yang sekiranya bisa mereka dapatkan. Namun, dari sekian banyak pedagang yang mereka lihat di pinggir jalan, tidak ada satupun yang mereka datangi karena sedari tadi, Feyre hanya mengatakan “yang lain aja.” sampai tidak sadar mereka sudah berputar selama 2 jam.

“Kak balik aja apa? gue ga tau mau makan apa.”

“Gue laper.”

Feyre menatap Dewa dengan cepat mengingat obrolan mereka di chat tadi yang mengatakan bahwa ia sudah makan. “Kan tadi lo udah makan.”

“Siapa yang ga laper lagi kalo diajak ngomong 2 jam nonstop?”

Benar juga, sedari tadi mereka berdua tidak berhenti berbincang. Feyre merasa sedikit bangga karena akhirnya ia bisa membuat Dewa berbicara lebih dari 10 kata, hanya dengan menanyakan alasan kenapa ia menangis di bioskop pada malam itu. Malam di mana Dewa kehilangan dompetnya dan Feyre menemukannya. Mungkin jika hari itu mereka tidak pergi ke bioskop, hari ini tidak akan ada mereka berdua yang sedang berkeliling Kota Bandung di malam hari.

Feyre bingung kenapa seseorang seperti Dewa bisa menangis saat menonton film komedi? Ia masih ingat dengan jelas suara Dewa menangis di belakangnya, karena sedikit mengganggu dirinya untuk menonton dan bahkan hampir saja ingin Feyre protes. Tapi mendengar Dewa menangis membuat hati Feyre sedikit iba. 'Apa yang membuat laki-laki itu menangis sampai seperti itu?' batin Feyre. Sudah pasti jawabannya bukan film yang mereka tonton. Feyre tau Dewa menonton film sendirian pada tengah malam hanya untuk mencari 'tempat persembunyian' untuk ia bisa menangis. Bioskop pada dini hari memang sebuah tempat yang paling nyaman untuk menjadi tempat menangis, Feyre tahu karena ia pun pernah mengalaminya. Benar saja, tadi Dewa mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak menangis karena film pada hari itu, melainkan karena hal lain yang saat ini tidak bisa ia ceritakan kepada Feyre.

Gadis itu juga tidak mengambil pusing dan tidak bertanya lebih jauh, karena tau bahwa Dewa pasti punya alasan kenapa ia tidak mengatakannya, terlebih kepada gadis yang baru ia temui 2 hari yang lalu.

“Yauda mau makan apa?” Tanya Feyre lagi kepada Dewa yang masih fokus dengan jalanan tanpa menoleh sedikitpun pada Feyre. Ia sudah menyerah karena benar-benar tidak kepikiran tentang makanan apapun, kecuali makanan pada satu tempat ini.

“Apa aja.”

Begitu Dewa mengatakannya, otak Feyre dengan cepat mengarahkan mereka menuju warung penyetan di pinggir jalan yang letaknya tepat di depan kampus. Warung yang sudah sering ia kunjungi sendiri ataupun bersama teman-temannya, sampai-sampai penjual makannya hafal dengan pesanan Feyre, tepat saat ia berdiri di depan meja pesanan. “Kaya baisanya kan teh rere?”

“Iya mang. Sama satu lagi—eh lo apa kak?” Feyre memandang Dewa yang kini tengah sibuk melihat menu yang disodorkan oleh Feyre. “Biasanya lo apa?”

“Lele goreng sama nasi uduk, minumnya es teh manis.”

“Yaudah itu aja.” Dewa sebenarnya juga sering kesini, dahulu, saat ia masih kuliah. Namun mungkin tidak se-sering Feyre yang sampai dihafal oleh mamang penjual penyetan atau sampai bisa bercanda bersama menanyakan hal-hal pribadi seperti—”Teh lagi gak ada acara himpunan ya? Kok tumben jam segini udah pulang.” atau “Teh pacarnya baru ya? ieu kasep pisan atuh, perasaan mamang gak pernah lihat ada yang teteh ajak kesini selain teh Nanas sama a' Nanan.“—kepada gadis itu.

“Mang jadinya 2 ya, samain aja.” Mamang penjual penyetan kemudian menjawab dengan anggukan dan memberikan tanda 'oke' kepada Feyre menggunakan tangannya.

Teh Nanas adalah panggilan untuk Nasya, sahabat Feyre yang beberapa hari lalu Dewa temui di kafe saat mengambil dompetnya, dan a' Nanan adalah Nando, pacar Nasya, yang ternyata sering diajak kesini juga oleh Feyre. Sedangkan Teh Rere adalah panggilan yang diberikan para penjual makanan yang ada di depan kampus kepada Feyre. Kenapa bisa Feyre akrab dengan mereka? Feyre sering ikut dalam kegiatan kampus yang berfokus pada pengembangan usaha khususnya pedagang yang ada di depan kampus, makanya ia jadi banyak kenal dengan sebagian dari mereka karena sering mengobrol saat kegiatan berlangsung. Selain kuliah dan kerja, Feyre juga aktif dalam kegiatan dan organisasi di kampus, ia juga tipikal mahasiswa yang pandai dalam bersosialisasi dengan sekitarnya, makanya ia bisa dikenal oleh sebagian orang di kampus seperti pedagang makanan, penjaga fotokopian, bahkan sampai satpam-satpam di kampus.

“Lo kuliah di NCIT?” Tanya Dewa yang dijawab dengan anggukan oleh Feyre yang kini tengah mengaduk minumannya. “Lo dulu kuliah di mana kak?”

“Sama, gue di sini juga.” Feyre sedikit terkejut, tidak menyangka bahwa ia akan menemukan seseorang dengan almamater yang sama dengannya, dunia ternyata sekecil ini.

“Jurusan?”

“Teknik Perminyakan.” Jawab Dewa singkat. “Lo jurusan apa?”

“Tebak.” Bukannya menjawab dengan langsung, Feyre justru mengajak Dewa bermain tebak-tebakan yang membuat Dewa menoleh untuk mengisyaratkan bahwa ia sedang malas bermain tebak-tebakan. “Ih tinggal tebak doang padahal.”

“Tinggal ngomong doang padahal.” lagi-lagi Feyre tidak bisa berkata-kata lagi. Sebenarnya Feyre juga ingin langsung mengatakannya, namun ia memilih untuk bermain-main sebentar yang ternyata justru tidak ditanggapi dengan sempurna oleh lawan bicaranya.

“Ish, gak asik lo kak. Gue jurusan Planologi.”

Dewa hanya mengangguk untuk menjawab, tidak melanjutkan kalimat apapun—persis seperti apa yang Feyre bayangkan—sampai mereka berdua menghabiskan makanannya.

Malam ini, setidaknya mereka sudah mencoba untuk maju satu langkah, berbagi sedikit cerita yang bisa mereka ingat sampai hari tua. Feyre merasa ia melakukan hal yang benar dengan mengajak pergi Dewa hari ini, karena setidaknya ia jadi bisa sedikit memahami sebagian kecil dari hidup Dewa. Bagian kecil yang bisa menjadi kunci untuk membuat laki-laki itu jatuh cinta kepadanya, selama satu bulan kedepan.

Semoga bisa, batinnya.